Waktu menunjukkan jam 8 pagi. Suara mesin penyedot debu menggema di ruang tengah. Rifan tampak fokus membersihkan lantai dari debu.
Sementara sejak tadi, ada Alisha yang memperhatikan sambil telentang di sofa. Ia asyik memakan kacang, ditemani dengan tayangan televisi yang menampilkan acara mukbang.
Dari sana bisa dilihat siapa yang babu dan majikan. Namun hubungan Rifan dan Alisha tidak seperti hubungan majikan dan babu pada umumnya, tapi lebih ke arah persahabatan. Itu terjadi karena sejak kecil mereka sudah bersama. Kebetulan ibunya Rifan adalah pembantu senior di keluarga Lesmana. Dia dan Rifan sudah mengabdi di keluarga itu puluhan tahun.
Sebutir kacang melayang. Tepat mengenai leher Rifan. Seketika cowok itu mendelik ke arah Alisha. Meski Alisha adalah nona mudanya, Rifan sama sekali tak takut.
"Eh, kau nggak lihat aku lagi bersihin lantai di sini? Malah nambahin kerjaan lagi," tegur Rifan.
"Dih! Ada ya babu lebih galak dari majikan?" balas Alisha sambil cengengesan. Dia kembali melempari Rifan dengan kacang.
"Alisha!" Rifan sigap menghindari kacang yang mengarah ke arahnya.
"Hahaha!" Alisha malah tertawa geli, sambil memegangi perut dan memperlihatkan giginya yang rapi.
Rifan yang gemas, segera mengambil kacang dari lantai dan menghampiri Alisha. Ia paksa gadis itu memakan kacang tersebut. Namun apa yang dilakukan keduanya jelas hanya candaan. Tawa Alisha semakin gelak saat Rifan mencoba menyuapinya kacang.
"Ayo, ayo, Rifan. Kamu sudah selesaikan kerjaan nggak?" Fatma, ibunya Rifan menegur. Dia kebetulan datang dari pasar.
Rifan segera menjauh dari Alisha. Lalu melanjutkan kerjaannya. Sedangkan Alisha hanya bisa tertawa sambil memakan kacangnya.
"Fan, malam ini kita netflix lagi ya!" celetuk Alisha.
"Kau nggak jalan bareng cowokmu malam ini? Biasanya malam minggu jalan terus tuh," tukas Rifan.
"Cowokku malam ini lagi sibuk katanya. Dia ikut les. Kan dia kelas tiga. Senin ini ada ujian," sahut Alisha.
"Oke. Nanti aku ke kamarmu pas habis makan malam," tanggap Rifan sembari beranjak. Dia harus melanjutkan kerjaan berikutnya, yaitu menyiram tanaman di halaman depan dan belakang.
Menghabiskan waktu di kamar adalah hal biasa bagi Rifan dan Alisha. Keluarga mereka bahkan tak masalah. Mengingat hubungan Rifan dan Alisha sudah seperti saudara sedarah. Saat kecil bahkan tidak jarang Rifan dan Alisha mandi bersama, karena memang sedekat itulah mereka.
...***...
Waktu hampir menunjukkan jam delapan malam. Namun Rifan belum juga datang ke kamar Alisha. Gadis itu sudah bosan menunggu.
"Lama banget sih tuh anak," gerutunya.
Tak lama, orang yang ditunggu datang. Alisha menyambut kedatangan Rifan dengan raut wajah cemberut.
"Lama amat? Dari Afrika kau tadi?" timpal Alisha.
"Iya. Aku ke Afrika buat jemur jagung terus bikin jagung sampai jadi gini." Rifan memamerkan berondong jagung yang dibawanya. Seketika wajah cemberut Alisha berubah jadi sumringah.
"Seneng kan kau?" tambah Rifan.
"Udah! Cepetan duduk! Aku tadi hampir jadi zombie karena kelamaan nunggu tahu!" balas Alisha seraya merebut berondong jagung dari tangan Rifan. Ia lantas memakannya dengan lahap.
Rifan segera memilih film untuk diputar. Setelah berdiskusi dengan Alisha, dia dan gadis itu sepakat menonton film bergenre horor. Tapi bukannya seram, film itu justru banyak menunjukkan adegan dewasa.
"Kau sengaja pilih film ginian ya, Fan?" celetuk Alisha. Atensinya tak teralihkan dari televisi yang sekarang memperlihatkan adegan ranjang pasangan suami istri.
"Mana aku tahu isinya beginian. Mau ganti film aja?" tanggap Rifan. Sama seperti Alisha, adegan panas di televisi juga menarik perhatiannya.
"Biarin aja. Nanggung," sahut Alisha.
"Benar. Nanggung banget." Rifan setuju. Dia dan Alisha sepertinya sama-sama penasaran.
"Al, kau sama cowokmu pernah ciuman di bibir nggak?" imbuh Rifan.
"Enggak. Kalau kau sama pacarmu?" balas Alisha.
"Nggak juga."
"Kau penasaran nggak sama rasanya?"
Mendengar itu, Rifan menatap Alisha. "Kenapa kau tanya begitu? Ya penasaranlah! Tapi kan masih lama kita bisa begitu. Harus nikah dulu," sahutnya.
Alisha tertawa geli. "Nggak harus nunggu nikah kali, Fan!" ucapnya.
"Terus kapan? Kalau aku sama Citra berencana begitu. Kau sama cowokmu pasti gitu juga kan?" pungkas Rifan.
"Biasa aja sih. Tapi kita nggak harus mencobanya sama pacar kita." Alisha melirik Rifan sambil melipat tangan di dada.
"Hah? Maksudnya?" Rifan mengerutkan dahi.
"Kau tahu maksudku. Kalau kau mau, kita bisa mencobanya sekarang," usul Alisha.
Rifan tampak kaget. "Kau gila! Kau itu sahabatku sekaligus majikanku! Kalau ketahuan bokap nyokapmu, leherku bisa digorok!"
"Kau takut, Fan?" Alisha mendekat ke hadapan Rifan. Seolah mengejek cowok itu.
"Bukan takut, Al. Aku mencemaskanmu!"
"Dih! Pengecut! Rifan takut... Rifan takut..." ejek Alisha dengan nada menjengkelkan.
Rifan jadi jengkel. Dia terpancing dengan ejekan Alisha. Ia lalu menarik gadis itu mendekat dan menyatukan bibirnya dengan bibir milik Alisha.
Tidak tanggung-tanggung, Rifan lumat bibir Alisha dengan intens. Membuktikan bahwa dirinya tidak takut dan bukan pengecut. Ia pegang dagu Alisha agar bisa mencium dengan leluasa. Pergerakan bibir dan lidah Rifan begitu lihai. Sukses membuat Alisha tak bisa berkutik.
Puas membuktikan, Rifan segera berhenti dan melepas ciumannya. Seringai lantas terukir di wajah tampannya.
"Gimana? Masih mau ngejek aku?" timpal Rifan.
Alisha hanya diam terpaku menatapnya. Tanpa diduga, gadis itu duduk ke atas pangkuan Rifan dan kembali menyatukan bibir.
Rifan sama sekali tak terkejut. Dia dan Alisha terbuai untuk terus berciuman. Rifan bahkan bisa merasakan kupu-kupu beterbangan di perut. Anehnya, dia sangat menyukai ciuman yang dilakukan dirinya dan Alisha.
Tiba-tiba Alisha menghentikan ciuman. Nafasnya tersengal-sengal dan berucap, "Tutup pintu gih!"
Rifan sempat terpaku untuk bertukar pandang dengan Alisha. Dia merasa kalau gadis itu bicara dengan tatapannya.
Tanpa pikir lama, Rifan segera menutup pintu kamar. Lalu kembali menghampiri Alisha ke sofa. Gadis itu kembali duduk ke pangkuan Rifan. Ciuman mereka pun berlanjut.
Terdengar suara kecup-mengecup dari bibir keduanya. Menandakan betapa intensnya ciuman yang terjadi. Rifan dan Alisha juga sesekali memiringkan kepala. Lidah keduanya bergulat dengan liar.
Satu, dua, hingga sepuluh menit berlalu. Ciuman Rifan dan Alisha belum berhenti juga.
"Rifan! Rifan? Kau di dalam?" terdengar suara Fatma dari luar pintu. Saat itulah tautan bibir Rifan dan Alisha terlepas.
"Anjir! Ibumu bikin kaget aja," protes Alisha seraya mengusap bibirnya yang tampak memerah dan agak bengkak.
"Aku pergi ya!" Rifan bergegas pergi dari kamar Alisha. Ciuman yang berlandaskan penasaran tadi seketika berlalu begitu saja.
Saat Rifan telah pergi, Alisha duduk termenung. Perlahan senyuman mengembang di mulutnya. Entah kenapa dia sangat menyukai perasaan saat berciuman dengan Rifan tadi.
Di sisi lain, Rifan juga merasakan hal yang sama. Namun dia tak berhenti merutuki dirinya yang sudah berani mencium nona mudanya.
"Lebih baik aku bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Lagi pula aku dan Alisha melakukannya hanya karena penasaran. Ya, jangan terlalu dipikirkan." Rifan mencoba menenangkan dirinya sendiri. Setelah itu dia langsung mencoba untuk tidur.
...***...
Keesokan harinya, matahari yang cerah menyapa pagi minggu. Jika Rifan sudah bangun dan sedang sibuk menyelesaikan kerjaannya, maka berbeda dengan Alisha yang masih tidur cantik di atas ranjang. Gadis itu bahkan tak tahu kalau kedua orang tuanya pergi untuk acara keluarga.
"Fan! Kau jaga rumah dan Nona Alisha ya. Ibu harus pergi nemenin Nyonya Tania," kata Fatma sambil bersiap-siap.
"Iya, Bu. Siip! Aku kan udah biasa begini," sahut Rifan.
"Ya sudah. Ibu pergi ya, Nak!" Fatma segera beranjak pergi.
Sementara Rifan pergi ke kolam renang. Di sana dia membersihkan air kolam dari dedaunan kering.
Tak lama kemudian, Alisha muncul. Gadis itu tampak mengenakan handuk kimono.
"Baru bangun, Non? Pasti habis mimpi tidur di singgasana. Enak banget hidupmu," tegur Rifan. Dia benar-benar bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi dengan dirinya dan Alisha.
"Julid aja kau, Fan. Kau sendiri tahu kalau aku selalu bangun siang pas hari minggu. Biar pas bangun, aku bisa langsung berenang!" ucap Alisha sembari melepas handuk kimono. Kini terpampang nyata lekuk tubuhnya yang hanya mengenakan bikini.
Rifan menenggak salivanya satu kali. Baru pertama kali ini dia merasa salah tingkah saat melihat Alisha mengenakan bikini. Padahal bisa dibilang Rifan sudah cukup sering melihat gadis itu berenang pakai bikini. Sepertinya ciuman panas tadi malam memberikan perbedaan besar terhadap perubahan hubungan Rifan dan Alisha.
Byur!
Alisha langsung bercebur ke kolam. Ia berenang dengan tenang di air. Perlahan cewek itu melirik Rifan.
"Alisha! Aku belum selesai bersihinnya loh," protes Rifan.
"Udah lah, Fan. Lagian itu cuman daun kering doang. Kau bisa membersihkannya nanti. Mending berenang bareng sama aku. Biar kita bisa balapan renang," sahut Alisha.
"Sok ngajak-ngajak tanding. Kau selalu kalah pun!" balas Rifan.
"Ayolah, Fan. Aku kesepian berenang sendirian." Alisha cemberut. Memasang raut wajah menggemaskannya agar Rifan luluh. "Nanti aku adukan sama Mamah Papah kalau kau kerjanya nggak becus," lanjutnya.
"Oh, sistem ancam sekarang ya. Dasar!" Rifan melepas jaring pengambil dedaunan keringnya. Kemudian melepas pakaian sampai hanya mengenakan celana pendek sepangkal paha.
Kali ini Alisha yang dibuat terpaku akan tubuh Rifan. Cowok itu punya bentuk tubuh yang atletis, putih bersih, dan menggoda.
Rifan segera terjun ke kolam renang. Dia menemani Alisha berenang. Keduanya bertanding dan mengobrol dengan seru seperti biasa. Mereka terlihat benar-benar melupakan ciuman yang terjadi tadi malam.
"Udahan deh. Kita udah hampir tiga jam berenang. Nanti kalau kau sakit, semua orang yang susah. Terutama aku!" Rifan berenang ke tepian dan segera keluar dari kolam. Tanpa sepengetahuannya, Alisha mengikuti dari belakang diam-diam. Dengan cepat gadis itu mempeloroti celana Rifan.
"Alisha!!!" pekik Rifan tak terima. Kini aset pribadinya terpampang nyata. Jujur saja, bagi keduanya itu hal biasa.
Buru-buru Alisha melepas celana Rifan dan melemparnya jauh-jauh. Ia melakukannya sambil ngakak brutal.
Rifan tak terima dan segera melakukan pembalasan. Tak peduli kalau dirinya sekarang sedang telanjang bulat. Rifan ingin melepas celana bikini yang sekarang menutupi alat vital Alisha. Namun pergerakannya terhenti saat tatapan Rifan bertemu dengan tatapan Alisha. Keduanya terpaku untuk sesaat.
"Buka aja, Fan..." kata Alisha pelan. Kali ini dia tidak tampak bercanda. Ia bicara serius seperti tadi malam.
Rifan tak bisa berkata-kata. Ia terkejut saat Alisha mendorongnya hingga jatuh terduduk. Gadis itu tampak nekat, melepas pakaiannya satu per satu tanpa ragu.
Rifan masih terpaku. Ia sulit mencerna apa yang baru saja terjadi di depan matanya. Semuanya begitu cepat dan di luar dugaan.
Alisha kemudian duduk di pangkuannya dan mencium bibir Rifan. Ciuman itu panas dan dalam, mengingatkan mereka pada malam sebelumnya. Namun kali ini terasa lebih berani, lebih menegangkan.
Rifan bisa merasakan tubuh Alisha yang basah karena air kolam. Jantungnya berdegup semakin kencang. Mereka sama-sama hanyut dalam emosi dan keintiman yang sulit dikendalikan.
“Mmph…” desah samar keluar dari keduanya.
Ciuman itu berlangsung lama, sampai akhirnya Rifan menurunkan bibirnya ke leher Alisha. Ia mencium lembut kulit putih gadis itu, membuat Alisha terperanjat kecil karena sensasi yang menggelitik.
Alisha mencengkeram rambut Rifan, tak menolak, bahkan membiarkan cowok itu terus menelusuri kulitnya. Nafas mereka semakin berat, udara di sekitar pun seolah ikut memanas.
Tatapan mereka bertemu lagi, kali ini lebih dalam, lebih jujur. Tanpa banyak kata, keduanya tahu apa yang sedang terjadi di antara mereka.
“Aku nggak tahan, Al… Kalau kau nggak mau, kita berhenti saja sekarang,” bisik Rifan, suaranya bergetar menahan gejolak.
“Kau pikir aku bisa menahan ini?” jawab Alisha pelan, lalu menarik tangan Rifan. “Ayo ke kamar.”
Mereka berdua berlari kecil masuk ke kamar terdekat. Rifan sempat ingin protes ketika sadar kamar itu milik orang tua Alisha, tapi belum sempat berbicara, bibirnya kembali dibungkam oleh ciuman gadis itu.
Ciuman mereka kembali memanas, disertai sentuhan-sentuhan lembut yang saling mencari kenyamanan. Keduanya naik ke atas ranjang, tapi tiba-tiba Alisha menghentikan Rifan.
“Aku punya alasan melakukannya di sini,” ujarnya pelan. “Buka laci itu dan lihat.”
Rifan menurut, membuka laci, dan menemukan sesuatu yang membuatnya sedikit tertegun. Ia lalu menatap Alisha yang kini berbaring menatapnya dengan wajah memerah.
“Cepat, Fan… jangan hanya diam,” bisik Alisha.
Rifan menarik napas panjang. Ia menatap gadis di depannya, menyadari betapa beraninya Alisha malam itu. Namun bukannya terburu-buru, Rifan justru mendekat perlahan, menatap mata Alisha dalam-dalam.
“Al… kau yakin dengan semua ini?” tanyanya lembut.
Alisha menggigit bibir bawahnya, tapi tidak menjawab. Ia hanya menarik napas, lalu mengangguk kecil.
Rifan menunduk dan memeluk Alisha erat. Tak ada lagi kata-kata di antara mereka. Hanya degup jantung yang saling bersahutan, dan kehangatan yang perlahan menelan waktu.
Di sela keheningan itu, Rifan menatap wajah Alisha yang kini memejam, seolah menyerahkan seluruh dirinya pada momen tersebut. Namun, ketika rasa ragu sempat muncul di hati Rifan, Alisha tiba-tiba menggenggam tangannya kuat-kuat.
“Jangan berhenti, Fan,” bisiknya dengan suara parau. “Aku sudah siap.”
Rifan menarik napas lagi, mencoba tetap tenang di tengah gejolak yang menyesakkan dada. Ia membelai lembut pipi Alisha, lalu mencium keningnya dengan penuh kasih.
Beberapa saat kemudian, Alisha menahan napas panjang dan menggigit bibirnya. Ia sempat meringis, sebelum akhirnya memejam erat dan menarik napas dalam.
“Kenapa… sakit ya?” tanyanya pelan, menatap Rifan dengan mata berkaca.
Rifan memeluknya erat. “Karena ini pertama kalinya,” jawabnya lembut.
“Diamlah dan lanjutkan,” potong Alisha sambil tersenyum kecil, walau wajahnya masih memerah. “Kau terlalu banyak bicara.”
Rifan hanya tersenyum tipis. Ia tak membalas dengan kata-kata, hanya kembali memeluk Alisha lebih erat, memastikan gadis itu merasa aman di pelukannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!