NovelToon NovelToon

Dimahkotai Mafia Dengan Cinta Dan Kekuatan

Calon Suami?

"Mana calon suamimu, kok belum datang juga, Eir?" tanya Savero dengan wajah gelisah.

Bagaimana tidak gelisah? Hari ini, bahkan dua puluh menit lagi, pernikahan Eireen dan Aslan akan digelar.

Tapi, sampai sejauh ini, jangankan keluarganya, laki-laki yang sudah Eireen temani perjuangannya hingga menjadi jaksa itu tidak kunjung terlihat batang hidungnya.

Eireen memaksakan diri agar tetap terlihat tenang. "Sebentar, Paman. Coba aku hubungi Aslan dulu, mungkin ada kendala di jalan."

"Baiklah."

Savero menyisir ruang rias itu dengan pandangan mata, selagi Eireen mencoba menghubungi Aslan lewat telepon genggamnya.

'Dimana juga Anabia dan Zeya? Kenapa tidak terlihat dimana-mana mereka itu? tahu acara sebentar lagi dimulai apa?' batinnya kesal, mencari adik dan keponakannya.

Di sisi lain, wajah cemas mulai menggelayuti Eireen.

Gadis dengan iris mata berwarna abu-abu kebiruan itu tidak kunjung bisa menghubungi

Aslan. 'Aneh, padahal nomornya aktif. Kenapa tidak diangkat juga?'

Dalam benaknya, ia takut, jika Aslan dan keluarganya mengalami musibah, saat berangkat ke gedung acara pernikahan mereka.

Mengingat, biasanya, Aslan fast respon, kecuali saat sedang sibuk dengan pekerjaannya saja.

Eireen coba menghubungi calon ibu mertuanya, tapi sama saja, tidak kunjung ada jawaban, padahal nomornya aktif.

'Ada apa ini? Tumben sekali mereka begini?' batinnya semakin cemas.

Melihat Eireen seperti itu, Savero mendekatinya. "Kenapa, Nak? Tidak bisa dihubungi?"

"Iya, Paman. Aneh sekali, aku jadi khawatir."

"Hmm. Coba hubungi sekali lagi, ibunya juga. Kalau tetap tidak bisa Paman akan melihat ke rumahnya, siapa tahu ada apa-apa."

Eireen menganggukkan kepala, sambil terus mencoba menghubungi. Sayangnya, apapun yang ia lakukan tetap tidak membuahkan hasil.

"Tidak bisa, Paman. Ibunya juga sama, tidak tersambung. Aku semakin khawatir."

"Tenang, Eir." Savero memegang lengan kanan Eireen, menatap mencoba menenangkan. "Kau tenang di sini, biar Paman yang pergi mencari tahu. Ok?"

Eireen menganggukkan kepala, tersenyum tipis.

"Terima kasih, Paman."

Laki-laki yang tidak punya hubungan darah dengannya itu selalu saja bisa ia andalkan.

Bahkan, saat usia 13 tahun, ia ditemukan hampir sekarat di laut, Savero menolongnya, membesarkannya, hingga kini berusia 27 tahun.

Karena itulah, Eireen sudah menganggapnya seperti ayahnya sendiri, tanpa tertarik untuk mencari keluarganya yang asli.

Savero pamit pergi, Eireen ikut mengantar sampai keluar ruangan. Para penata rias hanya melihat mereka pergi, karena pekerjaan mereka selesai untuk sementara.

Di depan ruangan rias itu, tiba-tiba suara laki-laki terdengar. "Pak Savero? Pak Savero? Itu calon mempelai laki-lakinya sudah datang."

Mendengarnya, Eireen tersenyum lega, menatap Savero yang juga menatapnya. "Nah, itu sudah datang, Nak. Mungkin tadi karena sudah dekat, jadi tidak diangkat teleponnya."

"Iya sepertinya, Paman. Entah kenapa aku jadi overthinking sekali tadi."

"Biasa, gugup mau menikah. Ya walau, Paman pikir, kau tidak akan merasa gugup sama sekali. Sejak kecil kau selalu percaya diri dan berani."

Eireen terkekeh, ia tahu, Savero agak-agak menyindirnya, karena dulu, sering dipanggil ke sekolah saat ia buat masalah.

"Sudah datang, Kak?" Suara perempuan terdengar, membuat Savero dan Eireen menoleh.

"Ehm, sudah. Dari mana saja kau itu? Kenapa baru terlihat?" tanya Savero kepada adiknya Anabia.

"Biasalah, perempuan butuh dandan, Paman." Suara Zeya yang berjalan dari belakang Anabia terdengar menyahut.

Eireen dan Savero tampak heran, karena anak Anabia itu sudah memakai gaun, sudah seperti yang dipakai oleh Eireen sebagai calon mempelai wanitanya.

"Dandananmu kenapa begitu, Zeya?" tanya Savero kepada keponakannya.

"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh tampil cantik, Paman?" Zeya bertanya balik.

Eireen sendiri hanya menyeringai tipis. Dari dulu, Zeya memang suka sekali meniru dirinya, atau ingin memiliki yang ia punya.

Karena ia anak dari adik Savero, Eireen memperlakukan Zeya seperti kakaknya sendiri. Ya walau, Zeya dan ibunya, lebih sering menjadi beban untuknya.

Demi balas budi pada Savero, ia tetap menganggap Zeya dan Anabia seperti keluarganya sendiri.

"Ya boleh-boleh saja. Tapi ---"

Perkataan Savero disela oleh Anabia. "Sudahlah, ayo ke depan, saatnya menemui calon pengantin prianya!"

Mengherankannya lagi, Anabia memeluk Zeya dari samping, sudah seperti sedang mengiring calon pengantinnya saja.

"Lho ---" Savero pun sampai heran, mau protes. Tapi, Eireen segera berkata, "Sudah tidak apa-apa, Paman."

"Hmm."

Akhirnya, Eireen menggandeng tangan Savero, berjalan ke arah ruangan utama, dimana pernikahannya digelar.

Namun, saat melihat calon suaminya pertama kali, Eireen yang tadinya tersenyum tiba-tiba saja terhenyak.

Ia dan Savero bahkan menghentikan langkah, tatkala Azusa ibu Aslan memeluk Zeya sambil berkata, "Aduh.... calon menantu ibu cantik sekali begini....!"

'Menantu?' batin Eireen dan Savero bersamaan, karena saking herannya.

Lebih-lebih Aslan pun tampak bangga dan terpesona melihat Zeya. Padahal mereka tidak terlihat dekat dulu. Kenapa tiba-tiba begini?

"Apa maksudnya?" celetuk Eireen curiga sambil melanjutkan langkah, mendekati calon suaminya.

Savero mengikutinya, menatap penuh tanya juga.

Dengan begitu percaya dirinya, Zeya menggandeng lengan Aslan.

Setelah mereka berdua saling tatap sekilas, seperti sepasang kekasih, Aslan berkata kepada Eireen. "Ah... apa aku lupa mengatakan kepadamu?"

"Mengatakan apa?" Eireen melihat sekilas tangan Aslan yang mengusap-usap tangan Zeya yang melingkari lengannya.

Semuanya tampak aneh dan mencurigakan. Lebih-lebih, orang-orang dari kedua keluarga tidak terlihat heran, seperti dirinya dan Savero. Seolah yang tidak tahu apa-apa, hanya dia dan Savero saja.

"Aduh, kau pasti lupa memberitahu, kan, Sayang?" Zeya menepuk gemas dada Aslan, sudah seperti pasangan kekasih yang saling mencintai.

"Lihat, dia sampai susah-susah make up, sudah seperti yang akan menikah saja!" imbuhnya sambil melirik sinis, dengan seringaian mengejek ke arah Eireen.

Aslan terkekeh. "Iya-iya, maaf. Aduh, maaf ya, Eir? Aku terlalu sibuk, sampai lupa, kalau jadinya, aku akan menikahi Zeya, bukan dirimu. Maaf sekali lagi."

Bagai tersambar petir, Eireen dan Savero terhenyak sekali lagi. Tatapan mata Zeya dan Anabia pun terlihat jelas mengejek bercampur merendahkan harga diri.

Eireen menahan geram. Ia tatap Aslan dan bertanya, "Apa maksudnya? Bahkan kemarin malam, kau masih memintaku untuk menggantikanmu dulu melunasi semua biaya pernikahan kita ini. Kau bilang, kau baru bisa membayar bagianmu nanti, saat awal bulan depan."

Eireen dan Aslan kebetulan menggunakan jasa WO lengkap yang diselenggarakan satu pihak, dengan pelunasan akhir di h-1.

Awalnya, itu bagian Aslan yang harusnya melunasi. Tapi, laki-laki itu kemarin berdalih, memohon pada Eireen untuk membantunya melunasi dulu.

Eireen pikir, calon suaminya itu sungguhan sedang dalam masalah keuangan, karena memang ia tahu benar, jika ibunya suka berulah dengan gaya hidup sok mewahnya. Ternyata, ada udang di balik batu yang memanfaatkan sikap baiknya.

Mendengar perkataan Eireen, Aslan terkekeh.

"Tadi kan aku sudah minta maaf, Eir. Aku lupa. Lagipula, ini pernikahanku dengan Zeya yang sudah kau anggap kakak sendiri bukan? Harusnya sudah benar, kau yang membiayainya."

Lihatlah, Eireen sekarang sadar benar, jika ia bukan hanya dikhianati, tapi juga dimanfaatkan habis-habisan oleh mereka!

Belum sempat Eireen bicara, Anabia dengan sombongnya menaikkan dagu berkata, "Ya, itu benar sekali. Kau itu sudah ditampung keluargaku bertahun-tahun, anggaplah itu sebagai balas budi!"

Zeya menganggukkan kepala mantap.

"Harusnya sih kau juga tahu diri. Mana mungkin, Aslan yang seorang jaksa mau menikahimu yang cuma seorang sopir? Jelas-jelas aku lebih pantas, karena lulusan sarjana!"

"Ya kan, Sayang?" imbuhnya sambil menatap Aslan manja.

"Tentu saja, hanya kau yang pantas jadi istriku, Zeya Sayang." Aslan pun unjuk memamerkan kemesraan dengan menyentuh sekilas dagu Zeya.

"Cukup, kalian keterlaluan!" sergah Savero yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

"Eir..." Savero menoleh ke arah Eireen, mau membesarkan hatinya, membelanya.

Tapi, ia tertegun, tatkala melihat Eireen menyeringai penuh arti. Tatapan mata dengan iris abu kebiruan yang misterius itu seolah dipenuhi kobaran api.

Savero yang melihatnya menenggak ludahnya sendiri. Ia sangat hafal tabiat Eireen yang selalu berani melawan, lebih-lebih jika ada penindasan.

'Astaga,' batinnya kemudian menatap satu per satu adik dan keponakannya. Ia khawatir, entah apa yang akan Eireen lakukan kepada mereka setelah ini.

Kebaikan dan Pengkhianatan

"Kenapa kau malah menyeringai begitu, hah? Gila karena tidak jadi dinikahi? Kasihan sekali!" Anabia mencecar dengan ekspresi geram.

Ia pikir, Eireen akan langsung meronta, menangis memohon-mohon, karena gagal dinikahi.

Tapi lihatlah, bukannya menangis, gadis itu justru menyeringai dengan tatapan yang bahkan tampak menggebu, seolah sudah siap meladeni apapun itu.

Bukannya menyahuti perkataan Anabia, Eireen justru mengarahkan pandangan kepada Pram. "Oh, jadi... kalian diam-diam berselingkuh di belakangku. Kemudian mau menikah, tapi tidak modal hingga membuatku yang membayar semua ini? Hebat sekali ya, untuk ukuran pengkhianat!?"

"Siapa yang kau bilang berselingkuh dan penghianat, hah? Jaga itu ucapanmu! Kau itu justru yang menghalangi cinta kami selama ini!" Zeya menyergah emosi.

Eireen menyeringai, sambil menggelengkan kepala sekilas. Tatapannya begitu tidak habis pikir.

Lebih-lebih Aslan pun dengan lemah lembut berkata kepada Zeya. "Tenang, Sayang. Tenang, jangan langsung emosi begitu. Eireen pasti shock, karena mengira aku sungguhan mencintainya."

Gigi Eireen menggertak, menatap tajam ke arah Aslan, hatinya sakit, tapi ia tahan agar tidak terlihat.

Laki-laki itu pun menatapnya. "Asal kau tahu saja. Selama ini, aku hanya kasihan kepadamu, yang selalu saja mendekatiku. Jadi, aku pura-pura menerimamu, biar kau tidak terbuang, seperti keluargamu membuangmu."

"Ya tapi maaf. Ternyata, cintaku kepada Zeya lebih besar, jadi aku tidak mau membuatnya dan hatiku sendiri terluka. Kuharap, sekarang kau mau gantian yang mengerti kami ya?" imbuhnya dengan ekspresi tanpa dosa.

Savero saja sampai menganga mulutnya. Bagaimanapun dipikir, perkataan Aslan itu tidak masuk akal sekali.

Ia mau melampiaskan kemarahan. Tapi, Eireen ternyata lebih dulu tertawa, membuat semua orang menatap ke arahnya.

"Ih, kenapa dia itu? Gila sungguhan?" Azusa berbisik kepada putranya. "Aduh, untung kau tidak jadi menikah dengannya, Aslan!"

"Salah, Bu. Salah!" ucap Eireen sambil menatap ke arah mantan calon mertuanya.

Gadis dengan wajah tegas itu menepuk-nepuk dadanya. "Aku... yang beruntung karena tidak jadi menikah dengan putra tidak tahu malumu itu. Ya, itu baru benar!"

"Apa katamu?!" Mata Azusa sudah melotot, tidak terima anaknya yang dihina begitu.

"Tenang, Bu. Tenang." Aslan memegangi ibunya, yang seolah sudah mau mendekat ke arah Eireen.

"Bagaimana bisa tenang? Lihatlah? Sopir tidak tahu diri itu menghina anakku yang seorang jaksa!"

"Hahaha." Eireen tertawa lagi. "Astaga, bangga sekali dengan title jaksa. Hei, uangku yang dihutangnya punya andil besar untuk membiayai kuliah anakmu. Sudah begitu masih selingkuh dan tidak mampu bayar biaya pernikahan, sampai menipuku, yang katanya hanya seorang sopir begini segala pula? Saking hebatnya, penipu di luar sana pasti berlutut di hadapan kemampuan menipu kalian!"

Perkataan Eireen masuk akal, bisik-bisik pun terdengar dari tamu yang mereka bawa. Azusa yang mulai malu seketika naik pitam. "Ka-kau..."

Namun, perkataan Azusa tercekat, saat melihat Anabia menggerakkan tangan menampar Eireen.

PLAK!

"Berhenti bicara, kau menghancurkan pernikahan putriku!"

"Eir!" Savero terkejut, kemudian menatap nanar ke arah Anabia. "Keterlaluan. Kau..."

Laki-laki itu hendak membalas perbuatan Anabia kepada Eireen. Tapi, gadis itu mencegah.

Pipinya memerah, tapi wajahnya masih tampak santai. "Tenang, Paman. Biar aku yang membalas sendiri. Toh, dia yang menampar lebih dulu."

PLAK!

BRUK....!

Sekali tampar, Anabia terjungkal ke lantai sambil mengeram kesakitan karena saking kerasnya.

"Bu....!" Zeya sampai teriak, segera menundukkan badan, berusaha membantu ibunya yang masih tergeletak di lantai. Aslan juga tampak membantu calon mertuanya.

Sementara, Savero, Azusa dan semua orang yang melihat masih ternganga.

Mereka terkejut, karena kekuatan tamparan Eireen, sampai membuat Anabia tergolek di atas lantai begitu.

Mereka tidak tahu saja, jika Eireen bukan hanya sopir biasa, makanya gajinya pun sangat tinggi. Tubuhnya sudah sangat terlatih, bahkan jika dibanding laki-laki.

Sambil masih terduduk di lantai, dipegangi oleh Zeya dan Aslan di kanan kiri, Anabia menyeka sudut bibirnya yang berdara kemudian berteriak, "Kurang ajar kau....!"

"Aduh-aduh, jangan teriak begitu, tanganku masih sakit ini. Kau sih, kenapa memaksaku menamparmu?" Dengan santai, Eireen pura-pura tangannya sakit, padahal mengejek saja.

"Kau..."

"Teriak lagi, tidak malu dengan para tamu undanganmu itu? Pantas saja, yang diundang adalah semua kenalanmu, ternyata menipuku, memang rencana kalian sejak awal?" imbuhnya menyela dengan mata menyisir ke orang-orang kenalan Anabia.

Awalnya, Eireen memang merasa aneh, karena tamu yang diundang dari keluarga Savero justru lebih banyak kenalan Anabia dan Zeya.

Tapi, karena ia tidak punya banyak kenalan yang diundang, jadi Eireen membiarkan saja itu, biar pernikahannya dirayakan banyak orang, bahagia bersamanya.

Sayangnya, kebaikannya dibalas pengkhianatan, yang ternyata telah disusun serapi itu sejak awal, sampai biaya pernikahan selesai.

Semua tamu undangan yang tadinya seolah sudah siap mengejek Eireen, kini lebih banyak mengalihkan pandangan saat dia tatap, seolah takut, karena Eireen tidak tampak seperti orang yang bisa ditindas.

"Diam kau!" Anabia memaksakan berdiri. Ia sangat kesal melihat rambutnya sudah acak-acakan karena terjatuh tadi. "Sialan!"

Napasnya menderu, menatap nyalang ke arah Eireen dengan jari telunjuk teracung.

"Kuperingatkan sekali lagi. Kau... berhenti mengacaukan pernikahan putriku atau..."

"Atau apa?" Eireen menyela sambil berjalan maju mendekat.

Takut-takut, Anabia memundurkan langkah, membuat Eireen menyeringai sambil mengejeknya, seolah sedang berkata, 'Didekati saja takut, pakai mengancam segala!'

"Atau akan kuusir kau dari sini sekarang juga!" Anabia pura-pura berani, padahal sudah bersiap berlindung di balik Aslan.

Eireen terkekeh. "Astaga. Usir? Aku yang membiayai semua acara ini, bahkan sewa gedung ini juga. Jadi... kalian itu yang harusnya kuusir dari sini bukan?"

"Enak saja. Ini acara pernikahan kami, Eir. Kenapa kau itu kok tidak tahu malu sekali sih?!" Zeya justru membuat Eireen terkekeh sekali lagi.

Eireen bersedekap tangan, menatap perempuan dengan dress pengantin sepertinya. "Pernikahan kalian? Apakah ada... namamu tercantum di undangannya?"

"I-itu..." Zeya tergagap, karena jelas-jelas, undangan itu atas nama Eireen sebagai mempelai perempuannya.

"Tidak ada, kan? Lihat!" Eireen sampai menunjuk ke beberapa hand tag di meja tamu undangan, yang menampilkan nama Eireen sebagai mempelai perempuan. "Semuanya namaku. Lantas kau mengaku-aku, tanpa tahu malu?!"

"Tapi Aslan lebih memilih menikah denganku, bukan denganmu! Masa' begitu saja kau tidak paham?!" Zeya menoleh ke arah Aslan. "Ya, kan, Sayang?"

"Tentu saja. Aku tidak akan pernah menikahimu, Eir. Dan soal biaya, nanti, akan kubayar semuanya lunas tanpa terkecuali!" kata Aslan sambil membusungkan dada.

Zeya dan Anabia tampak memasang wajah penuh kemenangan mereka. Namun, Eireen justru menyeringai, menatap ke arah Zeya, kemudian ibunya. Ya, perempuan itu melirik Aslan seolah protes, 'Bayar pakai apa?'

Aslan pun mengedipkan mata ke arah ibunya, seolah memberi kode. 'Bohong saja, biar bisa nikah dan mengusirnya dulu, tapi tidak akan kubayar nanti!'

Sayangnya, saking sudah pahamnya dengan tabiat kedua orang itu, Eireen menatap ke arah Savero. "Maaf ya, Paman? Mungkin, kali ini Paman akan malu dengan keputusanku."

Bukan hanya Savero, Anabia dan Zeya jadi menatap penasaran. Maksudnya apa? Keputusan apa yang akan membuat malu?

Savero pun menghela napas. "Jangan memikirkanku, Nak! Lakukan apa yang menurutmu benar. Mereka sudah sangat keterlaluan, jadi aku... tidak akan membela."

"Kak!"

"Paman!"

Anabia dan Zeya berseru bersamaan, menatap protes ke arah Savero, yang selalu saja ada di pihak Eireen dari dulu.

Savero tidak menyahut. Laki-laki berkumis tipis itu bahkan malas menatap mereka.

"Sudahlah, Eir. Jangan banyak bicara lagi, kau cepat pergi dari sini, atau kuseret kau...!" Aslan bicara dengan arogannya, mau mendekat.

Namun, tangan Eireen terangkat ke atas melambai seolah memanggil seseorang.

Langkah Aslan terhenti. Penasaran Eireen memanggil siapa, ia menoleh ke belakang, hingga matanya membulat. "I-itu..."

Double J

Dua orang laki-laki berbadan kekar, dengan pakaian serba hitam mendekat, sudah seperti bodyguard. Wajahnya menyeramkan, mirip tukang pukul.

"M-mau apa kau memanggil preman-preman itu, hah?" Azusa seketika protes kepada Eireen.

Bukannya menjawab, Eireen hanya fokus kepada kedua orang laki-laki berbadan kekar yang akrab disapa dengan sebutan Double J itu.

"Ada apa? Kenapa memanggil kami mendekat?"

tanya Jimmy, laki-laki di luka codet di pipi kanan.

"Security, tolong bawa keluar semua orang ini!"

Eireen tiba-tiba memerintah mereka.

Kedua laki-laki itu menatap satu sama lain.

Tanpa suara, tatapan mata Jimmy seolah berkata, 'Security? Sejak kapan kita jadi security?'

Joey yang ditatap hanya bisa menaikkan pundak, seolah tidak mengerti juga, kenapa Eireen begitu.

"Enak saja kau mengusir kami, hah?" Suara Anabia terdengar, membuat semua mata fokus kembali padanya.

"Putriku akan menikah di sini. Ini resepsi pernikahannya. Kau itu yang harus diusir, karena bukan calon pengantin!" imbuhnya sambil menunjuk-nunjuk kasar ke arah Eireen.

"Maka bayarlah semua biayanya, sekarang, tidak nanti-nanti. Enak saja aku yang menyiapkan semuanya, pengkhianat yang justru menikmati. Tenang, murah kok, cuma 120 juta. Masa' si paling sarjana dan jaksa tidak punya?" jawab Eireen dengan santainya, seringaian mengejek tidak ketinggalan.

"Kau itu sudah hutang budi kepada keluargaku ya. Harusnya kau... balas budi, bukan malah meminta uang yang tidak seberapa itu kepada kami. Ingat, tanpa kami, kau hanya anak haram yang terbuang!"

"Cukup!" Savero segera menyergah kasar ucapan adiknya. "Kau sudah sangat keterlaluan, Anabia!"

Tangan Eireen mengepal, menahan amarah yang sudah sangat menggebu dalam dirinya. Rasa tersakiti, mungkin tidak tergambar jelas di wajahnya. Tapi, hatinya sudah seperti tergores di mana-mana, karena saking bertubi-tubi hal buruk menyerangnya hari ini. Bayangkan saja, bertahun-tahun, kau berusaha melakukan yang terbaik untuk orang, berusaha menganggapnya seperti keluarga, tapi dijatuhkan, dikhianati bahkan dihinakan di depan banyak orang begini.

Dari dulu, Eireen paling benci disebut sebagai anak haram yang terbuang. Ia sering kena masalah, saat memberi pelajaran orang yang menghinanya seperti itu.

Anabia tahu, tapi justru melakukannya, di depan banyak orang begini pula.

"Keterlaluan apa?" Anabia menantang kakaknya. Ia menunjuk dengan tangan ke arah Eireen. "Dia yang keterlaluan. Aslan lebih memilih menikahi Zeya, tapi dia bahkan tidak terima dan iri, sampai-sampai mengungkit biaya seperti ini. Harusnya dia..."

PLAK!

Sebuah tamparan menyasar pipi Anabia, membuat perkataannya tercekat.

"Paman!" Zeya terkejut, protes seketika kepada pamannya itu.

"Jangan berteriak di depanku!" Suara lantang Savero terdengar menggelegar, membuat Zeya dan beberapa orang terdekat dengannya sampai terjingkat.

Anabia memegangi pipi, menatap kakaknya nanar. "Kau menamparku demi anak haram itu, Kak? Iya?!"

"Tutup mulutmu, Anabia. Jangan sebut Eireen seperti itu lagi!"

"Heh. Kau selalu membelanya. Lihat, apa yang dia lakukan..."

"Eireen sudah lebih dari cukup!" Savero menyela perkataan adiknya. "Membalas budinya. Bertahun-tahun ini dia sudah menanggung biaya hidup kita sekeluarga. Bahkan, Zeya bisa kuliah dan lulus sarjana juga berkat Eireen yang membiayainya."

"Tapi apa? Anakmu itu justru jadi pengkhianat, yang berselingkuh dengan calon suami orang yang sudah begitu baik padanya?!" Savero melirik begitu marah kepada Zeya.

Anabia diam, memegangi pipinya yang semakin sakit dengan dua kali tamparan. Merasa dipermalukan, Zeya berteriak, "Paman!"

"Kubilang jangan teriak di depanku!" Savero berteriak lebih keras lagi, membuat Zeya beringsut mundur, takut.

Eireen justru terharu. Savero lagi-lagi membelanya, bahkan di depan keluarga kandungnya sendiri. Satu alasan, kenapa ia selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Savero dan keluarganya dulu, adalah yang seperti ini.

Savero seolah menyayanginya, seperti ayahnya sendiri. Di saat ayah kandungnya, mungkin telah dengan tega membuangnya. Atau, seperti kata semua orang, jika dia adalah anak haram yang dibuang oleh ibunya, karena tidak diinginkan ayahnya.

"Entah kenapa kalian berdua bisa menjadi setidak tahu diri ini. Bukan Eireen yang hutang budi, justru kita yang hutang budi padanya sekarang!"

Mendengar ucapan Savero, Eireen mulai berkaca-kaca matanya. Ia paling tidak bisa, menahan rasa haru, karena melihat ketulusan orang padanya. Mungkin, itu satu kelemahan yang dimanfaatkan oleh orang lain atasnya.

Sementara, orang-orang di sekitarnya mulai bergunjing, Zeya menatap ke arah Aslan, meminta dia melakukan sesuatu.

Laki-laki itu pun berkata, "Sudahlah, terserah kalau Paman Savero lebih memilih membela orang lain dibandingkan dengan keluarga Paman sendiri. Tentang biaya, aku... akan membayarnya, tapi nanti, setelah acara ini selesai."

"Heh." Eireen melangkah maju, sambil bersedekap tangan. "Enak saja, kau pikir, akan bisa menipuku untuk kedua kali, hah?"

"Tidak!" Eireen menggelengkan kepala. "Lagipula, jaman sekarang uang segitu, tinggal transfer pakai mobile banking, selesai urusan. Ya, kecuali, Pak Jaksa ini tidak punya uang."

"Enak saja, kau jangan hina putraku ya!" Azusa berceletuk tidak terima. "Putraku ini jaksa, uangnya banyak!"

"Maka suruh putramu itu transfer uangnya sekarang juga. Sekalian dengan semua hutang, yang katanya untuk tambahan biaya kuliah tiga tahun terakhir. Mungkin, hanya sekitar 300 juta total dengan biaya pernikahan ini. Kecil lah, untuk jaksa sepertinya. Ya, kan?" Sekali lagi, Eireen menyeringai mengejek ke arah Aslan.

Dia tahu benar, laki-laki itu, walau jaksa tapi tidak punya tabungan banyak, karena gaya hidupnya dan sang ibu sudah seperti orang kaya raya.

"Iya-iya, dia benar. Sudah cepat suruh bayar saja pengantinnya. Biar pernikahan ini segera dilaksanakan. Kami sudah lelah menunggu. Niat jadi tamu, malah melihat drama tidak ada ujungnya begitu!" Salah seorang tamu berceletuk, mendesak, membuat orang lainnya ikut-ikut juga.

Suasana mulai riuh, oleh gunjingan yang semakin mengeras, menyudutkan kubu Zeya dan Aslan.

Kedua pasangan pengkhianat itu tampak saling tatap. Ini tidak sesuai dengan rencana mereka, yang ingin mempermalukan Eireen tadinya.

Bahkan, Savero pun sampai semarah ini untuk membelanya. Di tengah kebingungan mereka, Eireen menyeringai. "Terlalu lama. Tidak punya uang bilang saja. Security.... cepat usir mereka semua dari sini!"

Double J tampak mau protes, karena dipanggil security lagi oleh Eireen.

Namun, ketika gadis itu melotot ke arah mereka, kedua laki-laki, yang merupakan rekan kerja Eireen itu seketika cosplay menjadi security.

"Ayo-ayo, semua keluar dari sini!"

Tamu undangan, terkhusus yang dari pihak Aslan menatap protes, seolah berkata, 'Ini sungguhan kita diusir begini?'

Melihat dirinya dan sang ibu jadi kehilangan muka begitu, Aslan segera dengan lantang berkata, "Aku....!"

Semua pergerakan orang terhenti. Mata-mata kembali fokus ke arah Aslan.

"Bukannya tidak punya uang. Tapi... akan menggelar pernikahan lebih mewah dari ini. Lihat saja nanti!" imbuh Aslan sambil masih saja membusungkan dada.

"Oh ya?" Eireen bertanya dengan nada mengejek.

"Ya. Aku... tidak sudi menggelar pernikahan di tempat dengan preferensimu yang kampungan ini. Karena pernikahanku dengan Zeya akan lebih mewah dari ini!"

Zeya menganggukkan kepala mantap. "Benar. Kami hanya harus mengundur tanggal pernikahan. Tapi kau? Astaga... tidak akan ada yang mau menikah denganmu. Karena kau... tetap dan akan selalu menjadi orang tidak diinginkan, Eireen!"

Sekali lagi seperti tergores belati, hati Eireen tersakiti. Tapi, ia masih dengan percaya diri, memasang wajah dingin, seolah tidak terpengaruh sama sekali.

Ia tatap kedua pengkhianat di depannya dengan berani. "Kata siapa? Kau itu hanya sarjana tidak punya pekerjaan, sedang laki-laki ini, butuh banyak bantuan, yang tidak mungkin kau berikan. So, aku bahkan ragu, kalian bisa menggelar pernikahan."

"Kau

"Tapi!" Eireen menyela dengan nada tegas. Ia menyempatkan menyeringai sekilas, agar terlihat lebih tenang. "Bagaimana kalau kita buktikan? Mari kita lihat, seberapa mewah pernikahan kalian nanti?"

"Siapa takut? Dan ya... saat pernikahan kami, kau akan datang, walau hanya seorang diri bukan? Mana ada laki-laki yang mau dengan perempuan buangan sepertimu?" sindir Zeya berbagi senyum mengejek dengan Aslan yang juga melakukan hal sama.

Mereka melakukan itu, agar Eireen marah-marah seperti orang gila.

Namun, yang terjadi justru Eireen tetap tenang, masih sempat juga terkekeh. "Ya-ya. Akan kubuktikan juga, kalau aku... akan datang ke pesta mewah kalian bersama dengan pengganti yang jauh lebih dari si pengkhianat itu!"

Aslan tertawa. "Astaga... halu dia?"

Eireen beranjak mendekat ke arah Aslan, semua orang di dekat mereka mundur.

Aslan yang menjaga harga diri hanya mundur sedikit-dikit. Jadi, dengan gerakan cepat, Eireen berhasil menarik kerah pakaian laki-laki itu.

Dengan nada terbata, Aslan protes, dengan wajah ketakutan. "H-hei kau mau apa, hah?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!