"Kita akan pergi kemana?" Tanya Susan sambil memegang tangan lelaki di sebelahnya, itu adalah suaminya, Peter.
Peter tersenyum sembari membalas memegang tangan istrinya dan menjawab "Ke suatu tempat"
Peter dan Susan adalah sepasang suami istri idaman, rumah tangga mereka begitu harmonis, tentram dan jauh dari gosip negatif. Peter, seorang pria tampan dengan tinggi tubuh 180cm, berkulit putih bersih dan gagah, menjadi idaman para wanita. Bahkan banyak wanita yang menyerahkan diri mereka cuma cuma agar di sentuh oleh Peter, namun Peter bukanlah laki-laki macam itu. Dia setia kepada istrinya, Susan.
Bagaimana tidak? Susan dengan kecantikan asli yang murni, berkulit putih bersinar dengan mata birunya mampu membius siapa saja di dekatnya. Dia bak malaikat yang di utus turun ke bumi untuk menjadi istri Peter.
Malam ini, tepat anniversary ke 2 pernikahan mereka. Peter telah memerintah Traver untuk mengurus semua kebutuhan mereka.
Traver adalah asisten pribadi Peter, bahkan dia adalah tangan kanan Peter. Traver selalu bisa di andalkan.
Setelah sekitar setengah jam mobil melaju, akhirnya mobil yang mereka berhenti di suatu hotel berbintang.
Susan menoleh dan melihat hotel itu dengan tersenyum. Dia tau selera suami sangat tinggi.
Mobil berhenti, Traver keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Susan.
"Traver, semua sudah siap? " Tanya Peter.
"Sudah Tuan" Jawab Traver sembari mengangguk hormat.
Susan melihat begitu banyak pengawalan disana dan sekilas melihat pistol yang tersembunyi di balik jas mereka.
"Apa ini tidak terlalu berlebihan, Peter?" Susan menggandeng lengan suaminya itu.
"Aku tidak mau ada yang mengganggu malam spesial ini, sayang."
Mereka mulai memasuki lobby dan langsung menuju lift. Ya, tentu saja Peter tidak mau ada yang mengganggu malam aniversary mereka. Dengan pengawalan ketat yang sudah di persiapkan oleh Traver atas perintah Peter. Setidaknya Peter akan merasa sedikit tenang, karena akhir akhir ini perusahaan cabang miliknya mulai di serang oleh mafia lain, bahkan sudah beberapa yang harus gulung tikar.
Tuan Sanders memang mafia yang sudah menguasai sebagian besar di negara itu sekaligus mafia tertua disana, dia di segani dan di takuti oleh semua mafia. Tidak ada yang berani macam macam dengannya. Karena semua orang tau dia akan membunuh siapapun yang di anggap mengganggu.
Namun, beberapa tahun terakhir, Tuan Sanders sakit sakitan, mengalami komplikasi yang cukup serius hingga harus bolak-balik ke rumah sakit.
Sejak saat itu juga, dia mulai menyerahkan kedudukannya pada Peter Sanders yang merupakan anak tunggalnya. Tapi Peter sepertinya tidak begitu menyukai dunia mafia. Dia juga tidak begitu ahli di bidang ini.
Tapi bagaimana lagi, hanya dia yang bisa meneruskan bisnis ayahnya itu, meskipun harus sedikit hancur karena kelalaiannya. Beberapa mafia juga mulai menyerang mereka karena tau Peter tak begitu kuat seperti ayahnya.
TING!!
Suara bel lift berbunyi. Lift pun terbuka. Mereka akhirnya sampai di rooftop. Traver membukakan pintu menuju rooftop.
"Selamat datang Tuan Peter dan Nyonya Susan!" Sambut seorang pelayan perempuan berambut pendek sebahu.
"Lewat sini, Nyonya!" Sambungnya.
Peter dan Susan pun melangkah masuk. Dengan dress putih klasik yang pas di tubuh Susan semakin membuatnya bak malaikat yang turun dari langit.
Tiba-tiba Susan menghentikan langkahnya, matanya membulat dan dia sontak menutup mulut karena terkejut.
Ya, rooftop hotel berbintang itu sudah di sewa Peter untuk acara aniversary nya malam ini. Di dekor dengan bunga bunga melati putih kesukaan Susan. Serta lilin lilin yang di tata sedemikian rupa membuat suasana semakin hangat dan tak terlupakan.
Sepasang kursi yang berhadapan bercover kain satin putih dengan meja bulat yang sudah tersedia beberapa alat makan serta lilin di tengahnya. Ini benar-benar candelight dinner sesungguhnya.
"Ini indah sekali.. Aku suka!" Ucap Susan dengan menatap Peter. "Terimakasih sayang!"
Peter tersenyum dan memeluk Susan. Lalu memberi kode agar Traver dan pelayanan perempuan itu pergi.
"Seharusnya aku yang berterimakasih pada mu, karena kau mau menerima perjodohan itu dan kini kau menjadi istri ku. Aku sangat bersyukur, sayang!" Peter mencium dahi Susan dengan lembut.
"Jika aku tidak menerima perjodohan itu, mungkin ayahku tidak akan meninggal dengan tenang." Ucap Susan sembari memeluk Peter lebih kuat.
Peter dan Susan memang menikah karena perjodohan. Leonardo, ayah Susan bersahabat dengan Sanders, ayah dari Peter.
Mereka membangun Alpha Group bersama sama, hingga perusahaan itu menjadi besar dan lebih besar. Namun Sanders juga menjalankan beberapa bisnis gelap di pasar gelap, yang membuatnya cepat kaya seperti sekarang.
Namun, suatu ketika di malam hari yang gelap dan dingin. Sekelompok pengawal mafia membunuh Leonardo yang sedang menginap di rumah perusahaan. Mereka mengira malam itu Sanders lah yang menginap disana. Mereka sebenarnya memburu Sanders untuk meruntuhkan kekuasaannya di dunia mafia. Namun naas bagi Leonardo, dia menjadi korban salah target dan harus terbunuh disana tanpa perlawanan.
Saat polisi datang, mereka menemukan wasiat terakhir Leonardo yang meminta putrinya, Susan, untuk menikah dengan Peter anak dari Sanders agar ada seseorang yang menjaganya. Karena Susan hanya memiliki ayahnya, ibunya telah meninggal saat melahirkan.
Dengan berat hati, Sanders memberikan surat wasiat terakhir ayahnya pada Susan. Susan hanya menangis membaca surat itu.
Setelah pemakaman ayahnya, Susan memutuskan setuju untuk menikah dengan Peter.
Sedangkan Peter sudah bisa di pasti setuju dengan perjodohan itu, karena sudah sejak lama dia menyukai Susan. Bahkan sejak dia masih memiliki kekasih, diam diam dia menyimpan rasa pada Susan.
Dengan adanya kesempatan itu, Peter langsung setuju dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang tidak mungkin datang dua kali.
Sanders pun merasa lega dengan begitu dia dapat terus menjaga Susan dan menebus kesalahannya pada Leonardo. Dengan begitu pula Alpha Group juga dapat berjalan dengan lancar tanpa harus pembagian harta gono gini, karena nantinya pasti semua harta dan kekuasaan yang dimiliki Sanders sekarang akan jatuh ke tangan anak dari Peter dan Susan, yaitu cucunya.
Namun, sampai saat ini Susan belum juga hamil.
"Aku merindukan ayah." Susan menatap mata Peter dengan mata birunya seolah mata itu sedang menghipnotis Peter.
Peter mencium bibir Susan dengan lembut. Memegang kedua pipi Susan dan menciumnya lebih dalam. Semakin dalam hingga membuat Peter jatuh dalam kenikmatan, tangannya mulai meraba pinggang Susan dan semakin turun ke ke pantat yang padat dan berisi itu.
"Bukankah kita harus makan dulu?" Tanya Susan melepas ciuman mereka.
Peter memejamkan mata sambil tertawa kecil. "Kau selalu membuat ku bersemangat!"
Mereka pun tertawa bersama. Merayakan aniversary yang ke 2 dengan candlelight dinner yang sangat romantis dan hangat. Hidangan demi hidangan telah di keluarkan. Selepas makan malam, Peter mengajak Susan untuk menginap di hotel tersebut.
Sebelum memasuki kamar, Peter melihat Traver yang berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa. Dia tau gelagat itu, pasti ada yang tidak beres.
Peter segera meminta Susan untuk segera masuk ke dalam kamar dan menunggunya di dalam, lalu dia menutup pintu kamar hotel itu.
"Ada apa?" Tanya Peter setelah Traver berdiri di depannya.
Traver langsung menunjukkan tabletnya, "Perusahaan cabang kita di Kota Tabalo di serang, Tuan. Ada sebuah virus yang di masukkan sehingga beberapa data perusahaan bocor dan berhasil di curi!"
"Bagaimana bisa? Ayah sudah tau?"
"Tuan Sanders sedang menuju kesana, Tuan. Dan meminta anda untuk segera kembali ke mansion segera mungkin." Traver menggeser tabletnya, menunjukkan sebuah pesan dari Sanders.
Peter membuang nafasnya kesal, dia menutup mata dan memijit pelipisnya.
"Siapkan mobil, kita pulang sekarang!"
Traver mengangguk dan segera pergi. Tanda mengerti apa yang harus dia kerjakan.
Peter membuka pintu kamar hotel dan melihat istrinya sedang duduk di tepi ranjang sambil memandang ke arahnya. Pandangan was was seakan tau apa yang terjadi.
"Maaf sayang, kita harus pergi!"
"Tidak apa apa, mari kita pulang." Susan mengambil tasnya yang tergeletak di atas kasur. "Coba hubungi Lucy, dia ahli di bidang IT, aku yakin dia pasti bisa membantu kita."
"Kau menguping ya?" Peter menatap Susan.
"Kasian ayah jika terus melibatkannya, ayah sudah sakit sakitan sayang."
"Iya sayang. Ayo segera pulang, ayah pasti akan marah jika kau tidak segera sampai di mansion." Peter menggenggam tangan Susan dan segera keluar dari kamar hotel menuju ke basement.
Traver sudah menunggu di depan pintu mobil. Susan juga melihat ada beberapa mobil lain di depan dan belakang mobil yang akan mereka tunggangi.
Sanders, ayah mertua Susan selalu mengkhawatirkan Susan jika terjadi penyerangan seperti ini. Dia selalu mengerahkan para pengawal untuk menjaga Susan. Dia takut jika musuh mafianya akan melakukan sesuatu yang buruk pada Susan.
Peter dan Susan segera masuk ke dalam mobil. Begitupun dengan Traver, ia segera masuk, duduk di samping supir dan iring-iringan mobil pun segera keluar dari basement menuju jalanan yang cukup ramai.
Tak lama kemudian, mereka sampai di halaman mension. Peter segera membawa Susan ke kamarnya.
"Maaf ya, seharusnya ini menjadi malam yang indah." Ucap Peter setelah menutup pintu kamar mereka.
Susan menunduk lesu. Sebenarnya dia juga kecewa karena dia berharap malam ini akan menjadi malam yang panas bersama Peter. karena selama ini Peter terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Belum lagi urusan para mafia yang mulai menyerang bisnis mereka setelah tau Sanders sakit sakitan dan mulai melemah.
Peter berjalan menuju istrinya yang terduduk lesu. Dia berjongkok di depan sUsan sembari memegang tangannya. "Semua akan baik-baik saja, tenang sayang."
Lalu Peter mencium punggung tangan Susan dan memeluknya. "Aku ingin.." katanya dengan nada yang dibuat-buat.
Terdengar lucu dan sedikit geli hingga membuat Susan seketika tersenyum. "Bukankah kau harus pergi?"
"Ya, beri aku amunisi sedikit saja agar aku bersemangat, karena malam ini sepertinya aku akan bergadang lagi." Pinta Peter sambil membuka ikatan baju di punggung Susan.
"Aku sudah menahannya sepanjang perjalanan kemari."
"Oh ya?" Susan menjawabnya sembari tertawa, dia tak mampu melihat wajah suaminya yang sedang memelas itu.
Peter mulai meraba paha Susan. Tangannya lihai naik turun dan menyingkap dress milik Susan. Kini paha putih mulus itu terekspos dan membuat Peter semakin memanas.
Lalu Peter mulai membuka resleting di punggung Susan. Meraba punggungnya, menggigit lembut telinga Susan hingga membuat Susan tak berdaya dan memejamkan mata menikmati sentuhan-sentuhan Peter.
Peter membuka dress Susan dengan menariknya ke atas, dai juga buru-buru membuka bra berwarna merah muda itu. Hingga muncullah gunung kembar milik Susan yang padat dan kenyal seperti menantang Peter untuk terus menaklukkannya.
Dan ya, Peter kalap. Dia melumat gunung kembar Susan bergantian. Kadang juga memelintirnya pelan. Kini tangan kanannya mulai turun ke bawah sana. Menyingkap segitiga bermuda yang menjadi penghalang.
"Aagghhh.." akhirnya Susan tak mampu menahannya lagi.
Cukup lama Peter melakukan itu hingga membuat Susan merobohkan diri di atas kasur karena di buat tak berdaya.
Peter membuka segitiga bermuda itu dan segera membuka celananya, mengeluarkan sesuatu yang sudah mengeras sedari tadi, seakan tak sabar untuk masuk ke milik Susan.
"Aagghhh.. Peter!!" Ucap Susan saat milik Peter mulai masuk ke dalam miliknya.
Peter mulai memompa, pelan pelan, semakin lama semakin cepat. Begitu pula dengan suara-suara Susan yang mengiringi gerakan Peter sekan berirama.
Setelah sekian lama, akhirnya Peter mencapai pelepasannya, dia mengeluarkannya di dalam milik Susan. Susan pun lelah.
Perlahan Peter mencabut miliknya dan merobohkan diri di samping Susan. Keduanya mengatur nafas yang tersenggal-senggal.
"Istirahatlah, setelah ini aku akan pergi membantu ayah." Peter mencium bibir ranum Susan.
Susan hanya mengangguk dan tersenyum, dia tak mampu menjawab banyak karena masih mengatur nafas.
Dan malam itu, Peter benar-benar pergi menyusul ayahnya di Kota Tabalo bersama Traver. Susan akhirnya tidur sendiri lagi di kamarnya. Peter benar-benar sibuk bahkan di hari aniversary mereka.
Susan merasa tidak enak badan malam itu. Kepalanya sedikit pusing, perutnya kembung, dan mual. Akhirnya dia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Dokter Joshua, dokter pribadi mereka. Susan membuat janji temmu dengan Dokter Joshua besok pagi untuk berkonsultasi masalah kesehatannya.
Pagi pun tiba. Susan membuka matanya perlahan, menengok ke sisi lain ranjang, mencari Peter. Namun sepertinya Peter belum pulang pagi itu.
Dia pun segera pergi mandi dan berganti pakaian. Memakai setelan rok berwarna biru langit membuat tubuhnya semakin bersinar. Setelan itu seakan senada dengan mata birunya yang menawan. Siapapun akan terkesima dengan kecantikan asli yang di miliki Susan. Tak jarang orang mengatakan Peter sangat beruntung memiliki Susan.
Setelah berganti pakaian dia segera keluar dari kamar dan meminta salah satu pengawal untuk menyiapkan mobil karena dia ingin segera menemui Dokter Joshua.
"Maaf Nyonya, tapi jika anda keluar mension sebelum Tuan Besar dan Tuan Peter datang, mereka pasti akan khawatir. Lagipula Nyonya juga belum sarapan bukan?" Kata pengawal itu.
Beberapa bulan terakhir, selama beberapa kali mereka di serang oleh mafia lain, ayah mertuanya memang melarang Susan untuk bepergian saat keadaan seperti ini. Dia sangat menyayangi Susan.
"Aku sedang mual dan aku ingin segera menemui Dokter Joshua. Aku akan menelpon mereka, jadi kau tidak perlu khawatir!" Kata Susan.
Dia berlalu pergi menuju halaman mension dan segera masuk mobil untuk menuju ke rumah sakit milik Dokter Joshua.
"Apakah masalah di Kota Tabalo belum selesai?" Tanya Susan pada pengawal yang duduk di depan. Dia di temani seorang pengawal dan supir di mobil itu.
Dan satu mobil lagi yang mengawal mereka dari belakang.
"Sudah Nyonya, Tuan Sanders dan Tuan Peter sedang dalam penerbangan kemari."
Susan hanya mengangguk-ngangguk paham. Selama perjalanan dia merasa pusing dan mual. Pengawal yang melihat wajah Susan pucat pun khawatir dan bertanya.
"Nyonya apakah anda baik-baik saja?" Tanyanya.
Susan hanya mengangguk dan memberi kode agar mempercepat mobilnya. Tak lama mereka sampai di rumah sakit milik Dokter Joshua. Susan segera turun dan langsung menuju ruangan Dokter Joshua.
Dokter Joshua langsung memapah Susan untuk duduk di atas ranjang rumah sakitnya.
"Aku merasa mual akhir-akhir ini, kepala ku pusing dan nafsu makan ku juga turun." Susan menjelaskan kondisinya.
"Apa kau telat datang bulan?" Tanya Dokter Joshua.
Susan berpikir sejenak. Dia tidak begitu ingat. Masih menimang-nimang untuk menjawab. "Entahlah, harusnya minggu minggu ini."
"Kenapa kau tidak meminta ku datang ke mension saja, kondisi mu cukup lemah, tekanan darah mu juga rendah." Kata Dokter Joshua sembari melepas tensimeter dari lengan Susan.
"Aku merasa jenuh dengan masalah akhir-akhir ini, jadi aku ingin keluar mension sebentar."
Joshua mengangguk. "Sepertinya Peter harus banyak belajar dari ayahnya."
"Apa kau bersedia untuk melakukan memeriksakan kehamilan?"
"Hah?" Sontak Susan kaget dengan pertanyaan Joshua.
"Ya, mungkin saja kan. Aku rasa kau hamil tapi untuk hasil yang akurat kita harus melakukan USG."
Susan mengangguk paham. Dokter Joshua memanggil asistennya untuk membawakan alat USG. Setelah asistennya datang dengan alat USG itu, dia membantu Susan untuk berbaring. Mengoleskan pasta bening di alat USG dan di perut Susan.
Untung saja Susan saat itu menggunakan setelan rok, sehingga hanya perlu menyingkap bajunya saja.
Dokter Joshua pun melakukan pemeriksaan. "Lihat, akhirnya penantian mu berakhir Susan. Peter dan Tuan Sanders pasti akan sangat bahagia!" Kata Joshua setelah gumpalan kecil terlihat di layar.
"Hah? Benarkah aku hamil?" Tanya Susan menutup mulutnya dengan mata membulat.
"Ya, ini sudah usia 5 minggu. Karena itulah kau merasa merasa pusing dan mual." Jawab Dokter Joshua.
Susan yang masih tak percaya hampir meneteskan air matanya. Dia terharu, dia berpikir akan menunggu sampai bertahun-tahun untuk memiliki seorang anak.
"Aku kira, aku akan hamil di usia tua." Ucapnya sambil melihat ke arah Dokter Joshua.
Joshua tertawa mendengar perkataan Susan. "Kau masih usia 24tahun Susan, Peter juga masih 25 tahun. Jikalau masih harus menunggu, kalian itu masih muda!"
"Ya, tapi sepertinya tuhan sudah mendengar doa ku."
Setelah melakukan pemeriksaan, Dokter Joshua menuliskan resep obat untuk Susan agar dia tidak pusing dan mual lagi.
Susan melihat jam tangannya, dia memperkirakan Peter akan pulang sekitar setengah jam lagi. Dia juga memutuskan untuk memberi kabar gembira itu secara langsung, karena dia ingin melihat ekspresi Peter dan ayah mertuanya.
Di dalam mobil Susan masih memandangi foto hasil USG. Dia tersenyum bahagia. "Kamu masih kecil sekali, nak. Ayah mu pasti bahagia dengan kehadiran mu, kami sudah menanti mu selama dua tahun." Ucap Susan sambil mengelus perutnya.
Tiba-tiba mobil melaju dengan begitu kencang. Membuat Susan terkejut begitu juga dengan pengawal dan supirnya.
"Apa yang kau lakukan!" Teriak pengawal itu pada sang supir.
"Saya tidak tau, Tuan. Remnya tidak berfungsi!" Jawab sang supir.
Sontak Susan dan pengawal membulatkan mata.
"Saya tidak menginjak gas, Tuan. Sepertinya mobil kita di sabotase!" Sambung sang supir lagi.
"Apa!!" Teriak Susan bebarengan dengan pengawal.
"Nyonya pasang sabuk pengaman anda!!" Perintah pengawal itu.
Sontak Susan gelagapan dan segera memasukkan hasil USG nya ke dalam tas dan langsung memasang sabuk pengaman. Mereka mulai panik. Susan juga melihat pengawal itu langsung menghubungi markas untuk meminta bantuan.
"Mobil ini seperti di kendalikan dari jauh, Tuan!" Sambung sang supir.
Susan memegangi perutnya, keningnya mulai berkeringat karena ketakukan, tangannya gemetaran.
Tiba-tiba mobil pengawal yang berada di belakang mobil mereka banting setir ke kiri hingga menabrak trotoar dan terbalik kencang.
DUARRR!!!!
Mobil itu langsung meledak seketika setelah berguling-guling dan menabrak sebuah pohon.
"Aahhh!!" Teriak Susan melihat mobil para pengawalnya meledak. "Cepat minta bantuan lagi!!" Perintah Susan.
Pengawal itu langsung membuka ponselnya, memencet serangkaian nomor dan segera menelpon.
Namun belum juga di angkat, pengawal itu di kagetkan dengan teriakan Susan.
"Awas trukkk!!!" Teriak Susan menunjuk sebuah truk yang terparkir di sisi jalan.
Pengawal dan supir itu pun langsung melihat ke arah yang di tunjuk Susan. Dan mobil ini benar benar di kendalikan dari jauh, mobil malah melaju lebih kencang dan mengarah ke arah truk yang terparkir.
Pengawal mencoba membuka pintu tapi hasilnya nihil. Pintu terkunci dan tidak dapat terbuka. Susan juga mencobanya, tapi hasilnya sama saja.
Sampai akhirnya mobil mereka sudah dekat dengan truk. Susan pun mulai pasrah, memegang perutnya dan memejamkan mata.
"Ya Tuhan, tolong selamatkan kami!" Batinnya.
Dan terjadilah tabrakan itu.
JENDUARRR!!!
Mobil menabrak truk dengan kecepatan tinggi hingga membuat bagian depan mobil ringsek dan rusak parah. Asap mulai mengebul dari kap mobil.
Susan sedikit membuka matanya. Pelipisnya mulai mengeluarkan darah karena terbentur kaca. Matanya mulai berkunang-kunang. Sedikit demi sedikit dia melihat pengawal dan supirnya. Mereka terhimpit mobil yang sudah ringsek, sudah bisa di pastikan mereka mati di tempat.
Dengan sakit yang terasa di sekujur badan, Susan mencoba membuka sabuk pengamannya. Namun tangan tangan kirinya terasa begitu sakit, hingga membuat Susan meringis kesakitan.
Dia juga mulai panik saat melihat asap semakin banyak.
"Ahh.. Tolong!!" Ucap Susan dengan menangis.
Lalu Susan mencoba membuka sabuk pengamannya lagi menggunakan tangan kanannya. Dengan susah payah akhirnya sabuk itu terlepas.
Dia mencoba membuka pintu mobil. Tapi itu masih terkunci. Susan mulai pasrah. Tangannya gemetaran karena sangking takutnya. Keringat sebiji jagung mulai bermunculan lagi di dahinya.
Saat Susan menutup mata karena pasrah. Sayup-sayup dia mendengar derap kaki yang berlarian menuju ke arah mobil.
Itu adalah bantuan yang di kirim dari markas mereka. Para pengawal langsung mencoba membuka pintu dengan berbagai cara. Susan merasa sedikit ada harapan baginya.
Namun, perutnya terasa begitu sakit. Sangat sakit, hingga badannya menegang karena menahan rasa sakit. Wajahnya semakin pucat.
Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai hilang, sampai akhirnya dia merasakan ada sesuatu yang mengalir di antara kedua selangkangannya.
Susan menunduk dan melihat sedikit darah di roknya, saat itu juga dia syok dan akhirnya pingsan.
Bersambung...
Hari ini tepat 1 bulan setelah kecelakaan itu. Susan selamat, dia hanya mengalami cidera di lengan kirinya. Beruntung bantuan dari markas cepat datang hari itu, sehingga mereka segera membawa Susan ke rumah sakit.
Tapi sudah 1 bulan ini juga dia mengurung diri di kamar. Makan pun harus di bawakan ke kamar. dia tak mau keluar kamar dan menemui siapapun selain Peter.
Peter lebih banyak meluangkan waktunya untuk Susan sekarang.
Susan jadi pemurung, pendiam dan juga menutup diri. Bukan hanya trauma pasca kecelakaan, tapi juga karena dia kehilangan anaknya. Ya, Susan mengalami keguguran karena insiden kecelakaan itu.
Sebulan ini pula dia hanya mau di temani Peter, namun tak banyak bicara. Peter sudah berulang kali mencoba merayu Susan untuk keluar dari kamar, mengajaknya berbelanja atau sekedar berkeliling mension di pagi atau sore hari. Tapi Susan selalu menolaknya.
Hari itu Peter libur, dia tidak pergi ke perusahaan. Dia ingin membujuk Susan agar mau bertemu dengan Dokter Joshua untuk melakukan pemeriksaan pada tubuhnya.
Tuan Sanders yang meminta hal itu. Karena dia sangat khawatir dengan kondisi Susan yang berubah drastis.
Tuan Sanders juga sering meminta untuk bertemu dan mengobrol sebentar dengan Susan, tapi Susan menolaknya. Dia mengatakan masih ingin menenangkan diri.
Saat itu, Susan duduk di kursi balkon. Pandangannya kosong ke depan. Wajah cantik bak malaikat itu seakan redup dan tak bersemangat hidup lagi.
Diam-diam dibawah sana, Tuan Sanders memandangi Susan dengan rasa sedih dan penuh rasa bersalah . Dia juga merasa gagal menjaga Susan. Seketika dia ingat almarhum Ayah Susan.
"Ini teh mu, sayang." Kata Peter memecah lamunan Susan.
Susan masih diam mematung, bahkan tak menoleh.
"Kau membuatku seakan mati perlahan, Susan!" Sambung Peter dengan menaruh teh hangat itu di atas meja kecil sebelah Susan.
"Aku sendiri bahkan sudah merasa mati, Peter." Kata Susan, matanya mulai berair lagi.
"Jika kau terus begini, anak kita juga tidak akan tenang disana, kau hanya akan menahannya menuju tempat semestinya dia berada." Kata Peter.
Susan tak menjawab. Hanya air mata yang mengalir di pipinya. Matanya bengkak karena setiap hari menangisi mendiang anaknya.
Peter berjongkok di depan Susan dan menghapus air mata itu dengan kedua ibu jarinya.
"Tidak sampai 1 jam aku merasakan kehadirannya, bahkan aku belum memberitahu mu. Kenapa Tuhan begitu cepat mengambilnya, apa Tuhan pikir aku tak sanggup menjaganya?" Tangis Susan akhirnya pecah.
"Tuhan selalu punya rencana di luar pikiran kita. Aku merasa sangat bersyukur karena kau selamat dari kecelakaan itu. Aku mohon kembalilah ke kehidupan mu, jangan biarkan diri mu tenggelam begitu lama. Ayah selalu menanyakan kondisi mu pada ku. Aku tak sanggup melihat wajah sedihnya setiap hari."
"Maafkan aku.." Kata Susan dengan sesegukan.
"Tidak papa, sayang. Mungkin Tuhan sedang ingin kita belajar ikhlas dan sabar."
Susan mengangguk.
"Ayah ingin kau bertemu dengan Joshua, hanya untuk pemeriksaan saja. Dia ingin memastikan kau baik-baik saja. Apakah kau mau?" Tanya Peter.
Susan mengangguk lagi. Peter terkejut dengan jawaban Susan. Karena biasanya Susan akan menolak semua yang di tawarkan padanya.
"Tapi aku ingin kau berjanji pada ku." Kata Susan menghapus air matanya.
Peter menatap istrinya itu begitu dalam. "Apa? Aku akan melakukan semuanya untuk mu, asal kau harus bangkit dari keterpurukan ini!"
"Apa kau sudah tau siapa yang melakukan itu pada kita? Orang yang mensabotase mobil dan membuat kecelakaan itu?" Tanya Susan.
Peter menggeleng. "Aku dan ayah masih mencari tahu. Apakah orang yang meretas data perusahaan dan orang yang mencelakai mu itu orang yang sama atau bukan."
"Berjanjilah pada ku! Jika kau tau siapa yang melakukan itu semua, kau harus membunuhnya Peter! Karena dia sudah membunuh anak kita!" pintu Susan dengan penuh penekanan.
Peter sedikit terkejut dengan permintaan Susan. Karena Susan adalah wanita yang begitu lembut, baru kali ini dia mendengar istrinya itu meminta hal semacam ini. Biasanya Susan selalu memaafkan dan tak mau ikut campur masalah dunia mafia yang penuh dengan bunuh membunuh.
Peter mengangguk mantap. "Aku akan membunuhnya dengan tangan ku sendiri, demi anak kita!"
Mereka pun berpelukan, begitu dalam. Susan merasa sedikit kehangatan di hatinya. Setelah sekian lama berdiam diri di dalam keterpurukan, akhirnya hari ini dia mau bangkit lagi setelah mendengan janji Peter.
Dan sebuah dendam di lubuk hatinya. Bahwa dia harus bangkit dan mencari tau siapa yang telah mensabotase mobilnya hingga dia mengalami keguguran.
*******
Dokter Joshua pun datang ke mansion. Dia begitu gugup saat akan memasuki kamar Susan. Karena terakhir kali mereka bertemu Susan menangis sejadi-jadinya saat tau dirinya keguguran. Itu membuat Joshua tak tega dan ikut menangis.
Karena Joshua sudah menjadi dokter pribadi di keluarga Sanders sangat lama. Semenjak ayahnya meninggal, dia menggantikan posisi ayahnya. Sudah sekitar 5 tahun dan fia begitu dekat dengan keluarga ini.
Saat Joshua melakukan pemeriksaan, dia seperti melihat malaikat yang sedang terpuruk. Mata Susan bengkak, bibirnya pucat dan wajahnya sayu.
"Kau baik-baik saja. Aku akan memberikan vitamin untuk mu." Kata Joshua.
"Hanya vitamin?" Tanya Peter yang menemani Susan sedari tadi. Karena Susan masih melarang siapapun masuk, jadi mereka hanya bertiga di dalam kamar yang begitu luas.
"Ya, karena sebenarnya Susan tidak memerlukan obat-obatan. Dia hanya butuh relaks dan mungkin teman cerita." Jawab Joshua.
"Maksudnya?" Tanya Peter lagi.
"Susan baik-baik saja Peter. Tapi secara psikologi mungkin tidak, dia tidak meluapkan perasaannya dengan baik. Mungkin membutuhkan seorang psikiater untuk teman mengobrol." Joshua melihat ke arah Susan.
"Jika kau mau, aku bisa merekomendasikan salah satu psikolog untuk mu."
"Siapa?" Tanya Peter.
"Abell, kau bisa menemuinya atau memintanya untuk datang kemari. Luapkan perasaan mu Susan, dia akan menjadi wadah bagi setiap cerita mu!" Kata Joshua.
Peter sedikit mengangkat sudut bibirnya. Dia tau dan kenal siapa Abell. Abell adalah kekasih Joshua, sudah sekitar 1 tahun ini mereka menjalin kasih jarak jauh dan sepertinya Abell sudah kembali dari luar negeri.
"Abell?" Tanya Susan seketika.
"Ya, teman sekolah mu dulu kan?" Goda Joshua. "Abellia Pavensie, dia sudah kembali dari luar negeri."
Susan sedikit tersenyum mendengar nama itu. Susan dan Abell memang bersahabat baik. Tapi semenjak Abell memutuskan untuk berkuliah di luar negeri karena orang tuanya pindah kesana. Mereka jadi lost contact, bahkan Abell tak datang saat pemakaman ayah Susan dan saat pernikahan Susan dengan Peter dulu.
"Apa boleh?" Tanya Susan pada Peter, meminta ijin dari suaminya itu.
"Tentu saja!" Jawab Peter antusias karena melihat senyuman di wajah istrinya.
"Bagaimana dengan ayah?" Tanya Susan.
"Mungkin kau harus menemuinya dulu agar dia tenang, baru dia akan memberikan ijin, aku yakin itu." Kata Peter tersenyum.
*********
Setelah Dokter Joshua pulang dan memberikan kartu nama milik Abell. Susan memutuskan untuk menemui ayah mertuanya. Dia meminta maaf karena telah membuatnya khawatir sebulan ini.
Mereka berpelukan dan setetes air mata Tuan Sanders membasahi pipinya. Dia merasa lega dan bahagia karena Susan sudah mau bicara dengannya.
Namun, saat Susan meminta ijin untuk bertemu dengan Abell yang akan menjadi psikiaternya. Tuan Sanders terliat keberatan, dia meminta Susan bertemu di mension saja. Karena khawatir dengan kondisi Susan dan juga khawatir terjadi sesuatu lagi pada anak mantunya itu.
Susan berusaha membujuk dengan di bantu Peter. Karena sebenarnya Susan pun merasa kesepian dan kekosongan di hatinya selama sebulan ini. Dia ingin dari keluar mension menemui Abell. Sekedar mengopi santai di sebuah kafe sembari mencurahkan isi hatinya.
Setelah Peter mengatakan bahwa dia dan Traver akan menemani Susan, barulah Tuan Sanders menyetujuinya. Dengan syarat, Susan harus bersedia di temani pengawal yang jumlahnya cukup banyak.
"Ya ampun, Ayah! 50 orang pengawal? Apa ayah pikir aku akan berperang dengan Abell?" Kata Susan.
Tuan Sanders yang mendengar itu sebenarnya ingin tertawa, akhirnya Susan sudah kembali ke dirinya sendiri. "Aku tidak mau terjadi sesuatu lagi pada mu! Bagaimana kalau 30 orang?"
"5 orang cukup, Ayah! Peter dan Traver ikut bersama ku." Kata Susan.
Peter hanya diam saja ketika Susan dan Tuan Sanders mulai berdebat. Karena memang hanya Susan yang berani melawan Tuan Sanders.
"Tidak! 20 orang!" Kata Tuan Sanders.
"5 orang, Ayah!"
"20 orang itu sudah sedikit, Susan!" Tuan Sanders sedikit mendelik.
"Tidak, pokoknya 5 orang saja!" Kata Susan dengan tegas.
"10 orang! Jika kau tidak mau, maka kalian tidak boleh keluar! Biarkan Abell saja yang datang kemari!" Tuan Sanders mulai membiat keputusan.
"Ya ampun, Ayah... Ya sudah, 10 orang termasuk Peter dan Traver, titik. Aku tidakmau berdebat lagi!" Kali ini Susan yang membuat keputusan.
Akhirnya Tuan Sanders mengalah. Dia mengijinkan Susan keluar di temeni Peter dan Traver, juga 8 pengawal.
Setelah berganti pakaian mereka segera berangkat menuju kafe yang di maksud Susan. Kafe itu berada di tepian pantai.
Tak begitu lama mereka pun sampai di tempat tujuan. Susan segera turun karena sudah tidak sabar bertemu dengan Abell, teman masa kecilnya.
"Abell..." Teriak Susan saat melihat Abell sudah duduk di sebuah kursi menghadap ke pantai.
Abell yang mendengar teriakkan itu segera mencari sumber suara. Menengok ke kanan dan kiri, setelah ketemu, dia langsung berdiri dan berlari ke arah Susan.
"Aku sangat merindukan mu." Kata Abell.
"Aku juga, kemana saja kau? Kenapa tidak pernah menghubungi ku? Kau juga tidak pernah membalas email ku!" Tanya Susan.
"Ceritanya panjangggg sekalii... Nanti akan ku ceritakan, ayo duduk dulu!"
Peter yang melihat itu sangat senang, dia juga tak henti-hentinya tersenyum. Peter mengenal Abell hanya sekilas, karena dulu sewaktu kecil Peter bersekolah di luar negeri bersama ibunya. Peter hanya mengenal abell sebagai sahabat bermain Susan sewaktu kecil.
"Akhirnya dia tersenyum lagi." Kata Peter kepada Traver.
"Iya, Tuan. Nyonya sangat cantik jika tersenyum dan.." Sontak Traver terdiam karena dia sadar jika salah bicara. Tak seharusnya dia bicara begitu soal Susan. Karena Traver tau Peter sangat pencemburu.
"Apa kau ingin aku mematah leher mu." Kata Peter menatap Traver.
"Maaf, Tuan." Kata Traver dengan menundukkan kepala.
Tapi sepertinya Peter sedang bahagia. Dia kembali tersenyum saat memandangi Susan. Peter juga memilih tempat duduk yang berbeda dengan Susan dan Abell. Dia memberikan ruang kepada mereka berdua agar Susan lebih nyaman menyampaikan apa yang dia rasakan kepada Abell, selaku psikiaternya sekarang.
Terlihat Susan juga menikmati waktunya. Dia menceritakan semua yang terjadi, hingga membuatnya keguguran. Susan mulai menangis tersedu-sedu hingga membuat Peter tak tega dan ingin menghampirinya, namun Peter masih menahan diri.
Susan menyampaikan semua unek-unek di hatinya, hingga dendam yang muncul di hati kecilnya. Dendam ingin membunuh orang yang telah membuatnya keguguran.
"Aku tak tau sejak kapan rasa dendam itu muncul, Abell. Tapi rasa itu juga yang membuat ku bangkit dari keterpurukan!" Kata Susan.
"Aku mengerti, tak apa, tidak semua kesalahan harus di maafkan sekarang, tidak harus hari ini, tidak harus besok, dan kita juga tidak mungkin ikhlas begitu saja. Yang terpenting adalah bagaimana kau melewatinya, kau pasti lebih hebat dari yang aku pikirkan, Susan!" Kata Abell.
Abell pun menenangkan Susan. Setelah Susan mulai tenang, dia penasaran dengan kehidupan Abell, kenapa dia hilang begitu saja setelah pergi keluar negeri.
"Saat sampai di bandara, aku kehilangan ransel ku, ponsel dan tablet ku ada disana, kau tau aku kan, aku tidak pernah bisa mengingat password email dan akun ponsel ku. Jadi aku kehilangan nomor mu, kau juga tidak menggunakan sosial media, aku juga tidak bisa mengingat email mu." Jelas Abell.
"Saat ayah mu meninggal, aku ketinggalan kabar itu. Dan saat kau menikah, aku ingin datang, tapi ayahku sakit, dia kritis saat itu." Tambah Abell.
"Maaf ya, aku kira kau sudah melupakan mu. Soal sosial media, kau tau kan kalau aku di larag menggunakan itu demi privasi ku dari musuh-musuh mafia ayah." Kata Susan.
"Iya aku ingat."
"Lalu bagaimana kabar ayah mu?" Tanya Susan.
"Baik, dia baik-baik saja sekarang. Itu sebabnya aku bisa kembali kesini."
"Ngomong-ngomong, kau sudah lama dengan Dokter Joshua? Peter tau soal itu, tapi kenapa aku baru tau ya." Kata Susan.
Abell tersenyum malu. "KIta bertemu di acara amal tahun lalu, dari situlah semua mulai. Kita juga hanya berhubungan lewat ponsel selama ini. Aku juga tak tau kalau dia adalah dokter pribadi kalian. Joshua selalu menjaga privasi pasiennya."
Setelah mengobrol cukup lama, Susan merasa sedikit lega. Dia seakan hidup kembali.
"Aku akan ke kamar mandi dulu." Kata Susan. Abell hanya menjawab dengan mengangguk.
Saat melewati Peter, Peter mencegatnya. "Akan aku antar. Ku mohon jangan menolak ya." PIntanya.
"Aku tau isi otak mu, Peter!" Jawab Susan tersenyum karena dia sudah hafal betul dengan tingkah suaminya itu.
Di ujung lorong sebelum Susan masuk ke dalam kamar mandi kafe itu.Peter menahan lengannya dan langsung mencium bibir Susan.
"Ini di tempat umum!" Kata Susan.
"Sedikit saja! Kau sudah membuat ku menahannya selama sebulan penuh!"
Susan hanya tertawa kecil yang langsung di sambut dengan ciuman oleh Peter. Terlihat seorang pria bertubuh tinggi menggunakan jaket hitam dan penutup kelapa di balik dinding kamar mandi itu tersenyum kecut mendengar percakapan Susan dan Peter.
Susan mengendorkan ciumannya dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Dia tau jika tak di hentikan Peter bisa memakannya disana.
Setelah beberapa menit menunggu. Peter masih setia berdiri di depan pintu kamar mandi itu. Namun, selang 10 menit kemudian dia mulai resah karena tak mendengar tanda-tanda Susan di dalam.
Sampai terdengar suara Abell yang meneriaki seorang pria yang sedang merayunya. Peter melihat dari kejauhan lalu memberi kode pada Traver untuk membantu Abell.
Peter kembali ke kamar mandi, masih berdiri di depan pintu. Namun perasaannya mulai gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi dan masuk ke dalam mencari Susan.
"Susan!" Panggil Peter.
Namun tak ada jawaban.
"Susan!" Panggilnya lagi.
Peter mulai mengecek setiap bilik. Dia semakin panik saat tak menemukan Susan disana. Jantungnya mulai terpacu. Dia melihat sekitar dan ada sebuah jendela yang berukuran lumayan besar telah terbuka.
Dia langsung berlari ke arah jendela itu dan melihat seorang laki-laki sedang menempelkan sesuatu di salah satu mobil pengawalnya.
"Sial, mereka pasti membawa Susan lewat jendela ini." Kata Peter menggerutu.
Saat akan pergi dia melihat laki-laki itu kabur karena ketahuan oleh salah satu pengawalnya, dia memicingkan mata melihat benda apa yang di letakkan oleh laki-laki itu. Benda itu kecil, bulat dan menempel di dekat ban mobil.
Seketika Peter sadar.
"Bom!"
Tepat setelah Peter menyadari benda itu adalah bom. Seketika bom itu meledak.
JENDUAR!!
Peter langsung berlindung di balik dinding. Namun dinding itu tak cukup kokoh untuk menahan ledakan bom. Puing-puing dan pecahan kaca mengenai tubuh besarnya.
Beruntung itu hanya bom kecil. Ledakannya tak meluluhlantakkan kafe itu.
Dengan tergopoh-gopoh dia berusaha berdiri dan keluar dari kamar mandi. Mencari Traver yang ternyata Traver juga mencari dirinya.
"Cepat minta bantuan! Susan di culik!" Kata Peter memegang kepalanya.
Mata Traver langsung membulat tak percaya, "Bagaimana bisa, bukankah Nyonya Susan bersama Tuan Peter?" Batinnya
"Cepat!!" Teriak Peter karena Traver masih mematung tak percaya.
Traver langsung mengeluarkan ponselnya dan menelpon markas mereka. Dia juga menyuruh anak buahnya untuk segera berpencar mencari Susan.
"Sialll!! Pasti ayah akan marah besar!!" Pekik Peter yang membayangkan amarah ayahnya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!