NovelToon NovelToon

Lucid Dream

Cerita Kita

Pernah terjebak di sebuah perasaan yang aneh?

Dimana seseorang begitu jelas mencintai orang lain… tapi entah kenapa justru memilih untuk terus hadir dalam hidup kita.

Aneh. Mustahil. Membingungkan.

Itulah yang Nina rasakan, sampai malam ini.

Nina terbangun dari tidurnya saat telepon berdering, mengusik mimpinya yang baru saja terasa indah. Dengan mata masih berat dan kepala pening, ia meraba ponsel di samping bantal.

Nama yang tertera di layar membuat napasnya tercekat.

Bastian.

Cowok badboy yang selalu muncul tanpa tahu waktu. Jam 12 malam, dan dia menelpon. Apa dia pikir dirinya vampir? Atau jangan-jangan… sedang ritual ngepet?

Nina menghela napas panjang, mencoba menahan jengkel.

"Ada apa?" tanya Nina malas, suaranya serak karena baru bangun.

"Dimana Reyna?" suara Bastian terdengar datar, tapi menyimpan nada cemas.

"Di kamarnya. Ada apa?" Nina mengerutkan kening.

"Dia gak kemana-mana kan?" nada suaranya semakin mendesak.

Nina merasakan kesal yang menumpuk. "Telponlah, ngapain ganggu orang?"

"Emmm… lo tidur?" tanya Bastian seolah tak berdosa.

"Ishhh, manusia gila! Ini sudah jam berapa Bastian, ngapain lo ganggu gue? Lo telepon saja dia!" Nina hampir berteriak, amarahnya memuncak.

"Takut ganggu!" jawabnya enteng, seakan-akan masalahnya sepele.

Nina menahan diri sekuat tenaga agar tidak melempar ponsel ke dinding. "Blokir nomor gue, Bastian! Lo takut ganggu Reyna, tapi kenapa ganggu gue gak takut? Gue lagi tidur, lagi mimpi indah, dan lo ganggu gue. Dasar gila!" Nina langsung memutuskan telepon dengan kasar.

Namun, layar ponselnya kembali menyala.

Bastian menelepon lagi.

Dan lagi.

Nina menatapnya dengan wajah muram, menolak untuk mengangkat.

Jangan tanya lagi siapa dia.

Dia adalah Bastian si badboy sekolah. Anak bandel yang jarang masuk kelas, sering bikin guru pusing. Tapi anehnya, otaknya brilian. Entah bagaimana bisa.

Dan kenapa Nina bisa kenal? Semua bermula dari Reyna teman mereka yang cantik, populer, dan selalu jadi pusat perhatian. Bastian mendekati Reyna, minta nomor teleponnya. Tapi, bukannya berhenti di situ, dia justru ikut menghubungi Nina. Katanya, karena Reyna susah dihubungi.

Bayangkan, demi dapat nomor, dia nekat mencuri kontak dari HP guru. Alasan konyol, entah bohong atau tidak. Yang jelas sejak itu, malam-malam Nina tak pernah tenang. Tidurnya selalu diganggu suara telepon dari “jin berbentuk manusia” itu.

Aneh, di sekolah mereka hampir tak pernah bicara. Tapi di telepon, mereka seperti saling kenal dekat. Bukan karena Nina mau, melainkan karena dia tak punya pilihan.

Kadang Nina berpikir, mungkin semua ini karena dirinya dianggap… remeh.

Dia hanya pelantara di antara kisah cinta Bastian dan Reyna. Tempat persinggahan, bukan tujuan.

Kenapa merasa seperti itu ?

Karena dia jelek. Bahkan saat bertemu dengan geng Bastian dirinya kabur ,mungkin Bastian tahunya dirinya Melisa atau yang lainnya. Bodo amatlah !

Dia jarang berinteraksi dengan banyak orang, lebih suka menyendiri. Bertahan dengan lingkaran kecil teman yang ia punya. Rasanya percuma mencoba lebih dekat, kalau ujung-ujungnya tak pernah dianggap ada.

Contohnya sekarang.

Mengapa harus nomornya yang dipilih Bastian? Kenapa bukan Melisa? Kenapa bukan orang lain?

Nina menatap layar ponsel yang masih berkedip. Hatinya panas, kepalanya penat.

Cukup.

Ia melemparkan ponsel ke sisi ranjang, menarik selimut rapat-rapat.

Biarlah gangguan itu menunggu.

Malam ini, ia ingin kembali pada mimpinya. Mimpi yang tak pernah bisa disentuh oleh Bastian.

**

Nina sudah berangkat ke sekolah bersama Melisa dan Reyna. Mereka seperti dua kutub yang berlawanan ,Reyna cantik, modis, selalu menarik perhatian, sedangkan Melisa, bahenol dan menggoda, membuat kepala siapa pun ikut menoleh. Sedangkan Nina… merasa dirinya hanyalah kutu buku yang tidak pintar, tenggelam di antara dua cahaya itu.

"Apa Bastian menelponmu lagi?" tanya Melisa sambil menatap Nina dengan alis terangkat, setengah penasaran, setengah menggoda, saat mereka sudah sampai di gerbang sekolah.

"Ya, dia mengganggu tapi setidaknya dia bisa mendekatiku. Dia badboy tapi dia tampan dan pintar," ucap Reyna sambil menyunggingkan senyum tipis, seolah membayangkan malam-malam telepon yang membuat hatinya berdebar.

"Bagaimana menurutmu, Nina?" tanya Melisa, mencondongkan tubuh sedikit, menunggu reaksi.

"Gak ada komentar sama sekali," jawab Nina datar, menundukkan kepala sedikit sambil menahan rasa jengah yang mendidih di dalam dada.

Tiba-tiba, motor Bastian dan teman-temannya masuk ke parkiran. Suara knalpot menggelegar, aura berandalan dan sombongnya langsung membuat bulu kuduk Nina meremang. Untungnya, Bastian tidak menyadari keberadaannya ,ia hanya menyebut nama Melisa.

Nina tersenyum lega tipis, menarik napas panjang, mencoba bersikap cuek. Mereka baru awal semester, dan Bastian jelas belum tahu soal Melisa. Jujur, ia terlalu cuek terhadap sekitar, makanya aneh bisa saja Bastian menyukai Reyna. Apalagi, Bastian adalah playboy ulung yang selalu berganti target, dan Nina tahu para perempuan itu masih tergoda, meski sering hanya menjadi pengisi waktu sementara.

"Hei, Bas!" sapa Reyna dengan langkah ringan dan senyum manis menghampiri Bastian.

"Hai Reyna!" jawab Aldo, teman Bastian, dengan suara setengah meremehkan tapi terselip rasa kagum.

"Bastian, maaf aku ketiduran semalam," ucap Reyna sambil menundukkan sedikit kepala, wajahnya memerah samar.

"Iya, gak papa," jawab Bastian, sedikit cuek, matanya tetap menatap lurus ke depan, tapi ada setitik perhatian tersembunyi.

Bastian memalingkan kepala sebentar, melihat Melisa, dan senyumnya tipis muncul begitu mengenali namanya.

"Ada apa?" tanya Melisa, alisnya sedikit berkerut, nada suara berbeda dari biasanya.

"Ada apa Bas?" tanya Reyna, mencondongkan tubuh, penasaran dengan suasana yang aneh.

"Satu lagi," bisik Doni, teman Bastian, sambil menepuk bahu temannya, memberikan kode.

Nina buru-buru menutup name tag namanya, jantungnya berdegup kencang, pipinya terasa hangat.

"Dia masih temanmu?" tanya Bastian menunjuk Nina, suaranya ringan tapi tajam di telinga Nina.

"Iya, dia Nina, sahabatku juga," jawab Reyna dengan senyum ramah tapi tegas, menenangkan situasi.

"Nina," panggil Gilang dari belakang, senyumannya hangat.

"Iya. Bentar! Rey, Mel, duluan ya, mau sarapan!" ucap Nina sambil tersenyum dan melambaikan tangan, berusaha menutupi rasa groginya, lebih tepatnya kesalnya.

Saat matanya tanpa sengaja bertemu Bastian, muka Nina langsung memerah dan kesal bercampur canggung.

"Gilang, tunggu!" Nina cepat mendekati Gilang, menahan diri agar tidak terpancing oleh Bastian. Mereka berjalan bersama, tertawa ringan.

"Itu Gilang saingan lo kan?" tanya Aldo sambil menatap Bastian, menyinggung sedikit rasa penasaran.

"Si kutu air suka sama berandalan juga?" tanya Bastian dengan nada setengah mengejek, menyipitkan mata.

"Mereka sudah lama bersama, entah pacaran atau hanya sahabatan," jawab Reyna sambil mengangkat bahu, tersenyum tipis.

"Ayo pergi!" ajak Bastian, berjalan santai, menebarkan aura percaya diri yang membuat beberapa perempuan di dekat mereka menoleh.

Reyna dan Melisa mengikuti dari belakang, langkah mereka ringan tapi penuh perhatian.

"Lo kalau dimanfaatin Bastian gimana?" tanya Melisa, menyeringai nakal sambil menatap sahabatnya.

"Biarin, yang penting bisa dekat dengan Bastian," jawab Reyna dengan mata berbinar, sedikit menunduk malu tapi tetap percaya diri.

"Dasar spotlight," ejek Melisa sambil tertawa ringan.

**

"Aku tunggu nanti, Gilang. Ingat jangan berantem lagi ya!" ucap Nina saat mereka berpisah di lorong kelas.

"Ya, tapi kalau kelepasan gak papa kan! Jangan lupa juga ya!" ucap Gilang sambil mengacak rambut Nina, tersenyum nakal.

"Iya, bajingan!" ejek Nina sambil menepuk bahu Gilang, wajahnya tersenyum lebar.

Nina tersenyum sendiri, meski sekarang mereka tidak sekelas lagi.

Namun langkahnya terhenti ketika menyadari bahwa… ia sekelas dengan Bastian.

Mereka berhenti di depan pintu kelas, dan dari dalam, para perempuan sudah berteriak histeris. Bastian memang ganteng, tapi reputasinya… mempermainkan hati perempuan.

"Hai kutu air!" sapa Bastian dengan nada santai tapi menantang.

Plakkkkk…

Nina memukul Bastian pakai tas"Dasar gila!" umpat Nina kesal sambil mendorong pintu masuk kelas.

"Benar dia kan?" tanya Doni, menepuk pundak Bastian sambil menahan tawa.

"Ya, dia memang cewek yang sering gue ganggu tiap malam," jawab Bastian masuk ke kelas, matanya menyipit penuh kenakalan.

"Salah sasaran!" ucap Aldo sambil masuk bersama Doni, tertawa kecil.

Cerita Kita

Nina menahan emosinya, jantungnya berdegup kencang saat Bastian memilih duduk sebangku dengannya. Napasnya terasa berat, tangan sedikit gemetar, tapi ia berusaha tetap tenang.

"Tuhan, aku ingin tenang bukan seperti ini, mendapat ujian dengan godaan manusia berbentuk vampire ini. Lebih tepatnya manusia gila!" ejek Nina di depannya, matanya melotot setengah kesal setengah jengkel.

Bastian menatap Nina, sudut bibirnya tersenyum tipis. "Kenapa lo bilang kalau lo Melisa?" tanyanya, suaranya datar tapi ada nada penasaran. Doni dan Aldo, yang berada tepat di hadapan mereka, ikut memperhatikan dengan mata sedikit melebar.

"Bukan urusan lo!" jawab Nina sambil mengambil handphone dari sakunya, tangannya menutupnya erat, mencoba menenangkan diri.

"Eh, kutu air, lo gak senang gue telpon, tahu gue kan?!" tanya Bastian, matanya berbinar penuh percaya diri, sedikit bangga dengan keberaniannya.

"Siapa yang senang diganggu oleh makhluk kaya lo, Bastian. Bisa gak lo… lo gak usah telpon gue, misal kalau lo gak diangkat oleh Reyna lo main game sama teman lo atau apa gitu, jangan gangguin gue dengan nanyain hal-hal aneh. Denger ya, Bastian, lo cowok jangan pengecut!" bentak Nina, wajahnya memerah, tangan mengepal, hampir ingin melempar ponselnya.

Bastian hanya tersenyum menatap Nina, matanya menyipit, seperti menikmati reaksi Nina.

"Bas, Reyna nelpon!" ucap Aldo sambil mengambil handphonenya, menahan senyum kecil.

"Kenapa nelpon ke nomor lo?" tanya Nina ke Aldo, alisnya terangkat, merasa sedikit kesal karena Aldo lupa keberadaannya.

"Ya, karena yang chat Reyna memang Aldo, kalau nelpon baru gue," jawab Bastian santai, matanya tetap menatap Nina sekilas.

Nina langsung menelpon nomor Bastian. Begitu ponsel berbunyi, Bastian cepat mengambilnya dengan ekspresi sedikit puas.

"Lo gila, Bastian! Lo lagi taruhan lagi sama Aldo? Ih, bajingan kalian," umpat Nina sambil menepuk meja, pipinya memerah.

"Lo itu penampilan kutu air tapi mulut emak-emak komplek," balas Bastian sambil menyeringai, sedikit mendekatkan wajahnya ke Nina.

"Lah, daripada lo, wajah kaya pemain drama China tapi otak gak berguna," ucap Nina, matanya menyipit dan mendorong wajah Bastian menjauh.

"Berarti gue tampan?" tanya Bastian sedikit mendekat, matanya berbinar nakal.

Nina membenarkan kacamatanya dengan gerakan cepat dan mendorong wajah Bastian, bibirnya mencekam setengah kesal.

"Jangan terlalu pede, walau lo tampan tapi hati sama otak lo jelek. Gak berguna!" umpat Nina, menepuk meja keras.

Reyna menelpon ke handphone Nina. "Nina, lo sekelas sama Bastian kan? Dia ada gak? Belum ngajarkan?" tanyanya sambil terdengar cemas melalui speaker.

"Ya, dia ada, sedang menjarah ilmu ghaibnya," jawab Nina kesal, menutup mata sebentar.

"Lo kenapa? Ada yang bikin masalah sama lo? Gue akan minta bantuan sama Bastian," ucap Reyna, suaranya terdengar khawatir.

"Rey, gak usah bawa-bawa nama laki-laki itu, gue tahu lo cantik dan pintar, sedangkan Bastian badboy dan playboy. Dia sering berantem walau dalam pelajar plus tapi tetap saja dia sering memanfaatkan perempuan kan. Kamu mau dimanfaatkan dia?" tanya Nina, alisnya berkerut, menatap layar handphone dengan serius.

"Nina, kamu berantem sama Bastian?" tanya Reyna, suara cemas.

"Gak ada waktu," jawab Nina cuek, menepuk meja pelan.

"Gak usah benci sama Bastian nanti…" ucapan Reyna terpotong oleh Nina.

"Gak usah aneh-aneh, Reyna," ucap Nina dengan nada tegas tapi lembut di ujungnya.

"Bastian sudah balas, katanya dia lagi main game," ucap Reyna.

Nina melirik ke arah Bastian dan Aldo, bibirnya menegang tapi menahan senyum.

"Ohh iya, mereka berisik di sini. Ya sudah, aku tutup!" jawab Nina sambil mematikan teleponnya, menarik napas panjang.

Dia melihat Aldo yang masih memainkan handphonenya, alisnya sedikit terangkat.

"Lo suka sama Reyna tapi menggunakan Bastian? Lo gak takut di-tikung Bastian? Pesona bajingan dia sangat kuat, lo?" ucap Nina ke Aldo, tangannya diletakkan di pinggang. Aldo melirik ke arah Bastian, bibirnya tersenyum tipis.

"Lo gak takut sama Bastian?" tanya Doni, matanya mengintip dari samping.

"Gue gak kenal dia jadi gak perlu takut, lagian dia gak mungkin mencari masalah kan. Oh ya, peringatin para betina di sini, gak usah gosip keluar dari kesal tentang gue. Gue malas di-bully sama perkumpulan habitat lo!" ucap Nina kesal, pipinya memerah dan tangan mengepal.

Bastian langsung menyubit kedua pipi Nina. "Ishhh, chubby sekali pipimu, kutu air." Nina langsung mengembungkan pipinya, matanya melotot.

"Pipi gue jadi ternoda, jangan menyentuhnya, Bastian!" ucap Nina sambil memukul tangan Bastian, hampir tersulut emosi.

"Gue akan ngejar lo!" jawab Bastian sambil tertawa nakal, membuat Nina melotot kesal.

"Lari gue cepet lo!" ucap Nina polos sambil .

Bastian tertawa, suaranya memenuhi kelas. Para siswa langsung menoleh, beberapa bahkan mengeluarkan ponsel untuk mengambil gambar.

"Gyus, boleh ambil gambar tapi jangan ambil video," titah Doni ke siswi lain, menenangkan suasana.

"Siap, Doni," jawab para siswi serempak.

"Pacaran, Chubby!" ejek Bastian sambil melangkah santai.

Nina langsung merasa mual dan merinding, wajahnya memerah.

"Lo terlalu gila, Bastian! Gue gak akan nerima lo," jawab Nina dengan tegas, tangan mengepal.

"Lo langsung nolak Bastian?" tanya Doni penasaran.

"Lebih baik sama lo kan daripada Bastian," jawab Nina, tatapannya tajam, membuat Doni agak canggung di depan Bastian.

"Gue mundur juga!" jawab Doni, ketakutan, mundur sambil menunduk.

Handphone Nina berbunyi lagi, melihat Gilang menelpon.

"Hai Gilang!" sapa Nina lembut, senyumnya muncul alami.

"Nin, nanti kita pergi ya pulang sekolah!" ucap Gilang hangat.

"Oke, apa bawa mereka juga?" tanya Nina sambil tersenyum manis.

"Ya, pasti. Lo sedang apa? Eh, gue udah kirim uang buat lo jajan," ucap Gilang, nada suaranya ceria.

"Thank you, Gilang, senang bekerja sama dengan kamu. Love you, bos!" jawab Nina bahagia, matanya berbinar saat melihat notifikasi aplikasi m-banking.

"Iya, sayang!" jawab Gilang sambil menutup teleponnya.

Nina tersenyum melihat uangnya, dan Bastian langsung mengambil handphone Nina, membarcode ke m-banking Nina. Bastian tersenyum santai.

"Ambilah, anggap saja kompensasi tiap malam gue ganggu," jawab Bastian sambil memakai headset dan tiduran di meja, matanya menatap Nina sekilas penuh nakal.

"Thank you, Bastian!" ucap Nina lembut, pipinya sedikit memerah, membuat Bastian tersenyum tipis tanpa terlihat terlalu jelas.

"Dasar badboy," umpat Nina sambil menutup mulutnya, menahan senyum.

**

"Gilang, gak papa kan ngajak Bastian dan yang lainnya?" tanya Reyna saat mereka bertemu di sebuah mall. Nina dan Gilang memang berangkat duluan.

Nina memegang tangan Gilang, menahan sebentar, "Iya, gak papa," jawab Gilang sambil tersenyum sabar.

"Ayo kita masuk!" ajak Gilang, langkahnya ringan.

Nina mengantri tiket bioskop, menata tempat duduk untuk Gilang. Matanya menatap sekitar, hati sedikit tegang.

"Kenapa dipisah?" tanya Bastian sambil menyipitkan mata, nada suaranya menantang.

"Bukan urusan lo," jawab Nina jutek, menoleh sebentar tapi tetap mengatur tiket.

Nina memberikan tiket untuk teman-temannya dan sialnya, ia duduk berdekatan dengan Bastian dan Doni, sedangkan Gilang bersama Melisa. Mata Nina menatap Bastian sebentar, menghela napas kecil.

"Kesialan apa ini?" ucap Nina, pipinya sedikit memerah.

"Keberuntungan, Chubby!" jawab Bastian sambil menyeringai, matanya berbinar nakal.

Melisa dan Gilang terlihat canggung duduk bersebelahan.

"Kamu beneran gak pacaran sama Nina?" tanya Melisa, suaranya penasaran.

"Tidak. Dia sahabatku dan membantuku mendekatimu," jawab Gilang jujur, menatap Melisa lembut.

"Serius? Kamu menyukaiku?" tanya Melisa, mata berbinar.

"Dari kelas satu tapi aku baru berani bilang sekarang," ucap Gilang, wajahnya sedikit memerah.

"Aku juga menyukaimu, tapi bagaimana dengan Nina?" tanya Melisa, menoleh sebentar ke arah Nina.

Gilang langsung mengechat Nina: "Dia juga menyukai ku!"

"Yuk jadian, jangan lupa pajak jadiannya ya!" balas Nina dengan emotikon senang, wajahnya berbinar.

Melisa dan Gilang saling menatap Nina, tersenyum senang.

"Ayo kita pacaran!" ajak Melisa ke arah Gilang.

"Oke," ucap Gilang, memegang tangan Melisa dengan lembut.

Nina menatap chat itu lama, hatinya hangat, lalu menoleh ke layar bioskop, fokus menonton film.

Sedangkan Aldo dan Reyna duduk seperti biasa, tenang tapi saling menatap sesekali.

"Kapan kamu akan jujur?" tanya Reyna, membuat Aldo menatapnya serius, alisnya sedikit berkerut.

Cerita Kita

"Kapan kamu akan jujur ?" tanya Reyna, matanya menatap tajam, bibirnya sedikit menekuk menandakan penasaran sekaligus tegas.

"Jujur ?" tanya Aldo, alisnya terangkat, tangan menggenggam gelisah.

Reyna memperlihatkan chatannya dengan Aldo yang disangka Bastian, menahan napas sebentar sebelum menatap Aldo.

"Kamu darimana tahu ?" tanya Reyna, nada suaranya sedikit menekan.

"Seseorang." jawab Reyna singkat, matanya menatap lurus, penuh arti.

"Maaf." ucap Aldo, menunduk malu, jemarinya memainkan pinggiran baju.

"Untuk apa ?" tanya Reyna, alisnya mengernyit, menunggu jawaban.

"Mengganggumu." jawab Aldo lirih, suaranya bergetar sedikit.

"Ya, gak papa." jawab Reyna, menelan napas, wajahnya tetap serius tapi lembut.

"Apa kamu marah ?" tanya Aldo, bibirnya sedikit mengerucut.

"Beri aku berpikir satu detik." ucap Reyna cepat, menutup mata sejenak.

"Hah." ucap Aldo kaget, matanya membesar.

"Kita coba pendekatan dulu." jawab Reyna, cepat tapi sedikit tersenyum tipis.

"Ini serius ?" tanya Aldo, matanya berbinar, bahunya sedikit bergetar menahan senyum.

"Lihat ke depan !" titah Reyna, menepuk bahu Aldo ringan.

Aldo tersenyum lega begitu pun Reyna, keduanya saling bertukar pandang malu-malu.

Nina menonton film, bahunya tergetar. Air mata menetes, matanya merah. Ia menghapusnya dengan tisu. Tangannya gemetar sedikit saat mengambil popcorn di tangan Bastian, lalu ia juga minum dari minuman Bastian.

"Nina, menghayati banget lo !" ejek Doni sambil menahan tawa, matanya menyorot Nina.

"lagi fokus, jangan ganggu !" ucap Nina cuek, menunduk.

"Cubby, lo gak papa?" tanya Bastian, mencondongkan badan, matanya penuh perhatian.

Nina melirik ke arah Bastian, wajahnya basah, napas tersengal, lalu tangisnya tambah parah meski berusaha menahan suara.

"Nanti gue bayar laundry untuk bersihin ingus ya." ucap Nina sambil mencoba tersenyum tipis, pipinya merah, membuat Bastian menahan tawa.

"Gue masih banyak duit." jawab Bastian santai, bahunya mengangkat.

Nina terus menangis, hidungnya mampet, napas tersendat.

"Bastian, hidungku mampet. Tuh gak bisa nafas !" ucap Nina, tubuhnya sedikit menekuk, mata merah.

"Lagian nangisin film kaya gitu." ucap Doni sambil menggeleng.

"Berisik lo, Doni." kesal Nina sambil menoleh tajam.

Handphone Nina terjatuh. Saat hendak mengambil, Bastian lebih cepat meraihnya. Tanpa sengaja ia menekan tombol on/off dan terlihat chat dengan Gilang.

"Handphone Lo !" ucap Bastian, menyerahkannya sambil tersenyum tipis.

"Ya, makasih!" jawab Nina, cepat-cepat mengambilnya, wajahnya merah.

Bastian menatap Nina sejenak, pikirannya berputar.

"Dia patah hati? Dia menjodohkan cintanya dengan temannya?" batinnya gelisah.

"Nina, ingus lo jangan awas jangan banyak-banyak !" ucap Bastian, suaranya lembut tapi tegas.

"Dikit doang, tapi gak bisa nafas !" ucap Nina, sesenggukan, memeluk Bastian, cengkeramannya erat, tubuhnya bergetar.

Mereka keluar dari bioskop, langkah Nina lesu di belakang Bastian.

"Gila, filmnya banyak sedihnya." ucap Melisa, tangan mengibas-ngibaskan rambut.

"Iyaa, walaupun aku gak bisa nangis." ucap Reyna datar, menyandarkan tubuh ke kursi bioskop.

"Heh, Nina mana lihat mata lo." tanya Reyna sambil menatap Nina, matanya terkejut.

"Siapa sih yang menyuruh nonton film ini? Bikin mata gue jadi kaya gini, gak bisa lihat, mana pusing sebelah karena nangis. Sialan kalian!" ucap Nina dengan suara serak, wajah memerah, keluar di belakang tubuh Bastian.

"parah sih lo mah !" Reyna dan Melisa tertawa ngakak, menutupi mulut mereka.

"Gilang, gimana?" tanya Nina, menoleh ke arah Gilang yang memegang tangan Melisa.

"seperti yang lo lihat !" ucap Gilang santai, tersenyum.

"berarti gue bisa jadi mak comblang, kasih bonus ya Lang. Awas lo kalau sombong saat sudah punya, gue jitak lo." ucap Nina sambil tersenyum lebar, matanya berbinar tapi sedikit palsu menurut Bastian.

"Apapun nanti gue kasih." jawab Gilang sambil mengacak rambut Nina, membuatnya tertawa ringan.

"Ayo kita cari makan, Gilang dan Melisa yang traktir." ajak Nina, menepuk tangan.

Mereka duduk, makanan di depan.

"Eh, nin, gue kira kalian berdua pacaran ternyata enggak." tanya Reyna, sedikit terkejut.

"Enggaklah, masa kita pacaran iya gak, Lang?" tanya Nina sambil tersenyum tipis.

"Iya, kita gak mungkin pacaran. Dia sahabat gue dari orok juga sampai sekarang, makanannya kita akur, bahkan dari SD saja kita disangka cinta monyet eh tapi dulu gue emang nembak lo kan tapi ya nembak-nembak biasa." ucap Gilang sambil tertawa.

"Ya, lo juga masih SD sudah main taruhan untuk pacaran satu hari eh malah gue yang kena, mana langsung di surat yang ditulis di depan teman-temannya. Gila si Gilang dulu, sekarang tambah gila, apalagi ditambah lagi sama yang di samping gue." ucap Nina, mata sesekali menoleh ke Bastian.

"Gak usah nyindir !" jawab Bastian, sedikit menjitak jidat Nina.

"Sakit." ucap Nina, kesal, memegangi jidatnya.

"Eh baju lo kenapa Bastian?" tanya Reyna.

"noh, air mata buaya dia bersama dengan antek-anteknya pada keluar." ucap Bastian sambil menunjuk Nina, tersenyum nakal.

"berlebihan." ucap Nina, menyesuaikan kacamatanya. Mereka makan sambil bercanda.

**

Mereka pulang ke kost. Reyna dan Melisa tidur, Nina masih menangis, mengatur napas hidung yang mampet sebelah.

Jam menunjukkan 12 malam. Nina hendak mematikan handphone, tapi Bastian menelpon. Ia menolak panggilan, menaruh handphone, menunduk lelah.

Tring… notifikasi berbunyi.

"Uang buat lo, angkat teleponnya, gue tahu lo belum tidur." pesan dari Bastian, bukti transfer 200 ribu.

Nina mengangkat telepon.

"Matre dasar !" umpat Bastian di seberang, nadanya setengah kesal setengah geli.

"Gak papa dong, harus ada bonusnya. Lagian ini jaman kapan sih, nelpon jam segini, lo lagi pesugihan atau lo nunggu gratisan nelpon?" tanya Nina, senyum tipis tapi matanya merah.

"Gak usah ngejek kali, lagian buat apa gue pesugihan gue udah kaya dari lahir." jawab Bastian sombong, bahunya terangkat.

"Ya kaya toke." jawab Nina, bibirnya menyeringai.

"Lo nangis lagi? Lo gak papa kan?" tanya Bastian lembut.

"Bisa gak lo jangan nanya seperti itu, bikin gue mau nangis lagi." ucap Nina, menahan sesenggukan, pipi basah.

Bastian minta alih video.

"Ngapain video call udah saja gini, lo gak bosan lihat muka gue." ucap Nina, menunduk, rambut menutupi wajah.

"Angkat nanti gue kasih lagi, matre." jawab Bastian, nada bercanda.

"Ya, badboy!" jawab Nina, tersenyum tipis.

Nina mengambil tisu, membuang ingus, rambut menutupi sebagian wajahnya.

"Kacamata gue mana ya?" tanya Nina, mencari.

"Nin, bisa diam gak muka lo gak keliatan!" ucap Bastian.

"bentar, kacamata gue gak ada!" ucap Nina.

Krekkkk… terdengar suara patah.

"Bastian kacamata gue patah." ucap Nina, pipinya merah, menatap layar.

"mana lihat!" tanya Bastian, kaget.

Nina menyesuaikan posisi handphone, wajahnya terlihat tanpa kacamata. Bastian terdiam, matanya menatap mata Nina yang sedikit bengkak.

"Liat bas, besok pakai apa kalau kaya gini! Mana mata gue minus karena terlalu hobi nonton drama." kesal Nina.

"Bastian!" panggil Nina, tapi Bastian tetap diam.

Nina mendekati kamera, hanya wajahnya terlihat.

Bastian dengan cepat screenshot wajah Nina.

"ada apa?" tanya Bastian, sedikit gugup.

"lo Kesambet?" tanya Nina.

"enggak." jawab Bastian, pipinya memerah.

"Doni, teman lo jagain takut dibawa lari kunti jomblo." ucap Nina, tertawa kecil melihat Doni di layar.

"Siap, nin. Eh lo Nina? Cantik bener lo kalau gak pakai kacamata." ucap Doni.

"awww." rintih Doni saat kakinya tertendang Bastian.

"kenapa lo Don?" tanya Nina, tertawa.

Doni langsung pergi, wajah kesakitan.

"Bastian si Doni Kenapa sih dia nggak kejepit sama kaki meja kan ekspresinya sangat tersisih kan?" ucap Nina, tertawa.

Bastian hanya tersenyum menikmati.

"kenapa lo bisa tahan, chubby?" tanya Bastian pelan.

"apanya?" tanya Nina.

"hati lo." jawab Bastian, tersenyum tipis.

Nina menunduk, pipinya memerah, tahu arah masalahnya kemana.

"gak usah sok tahu Lo." jawab Nina, rebahan, handphone di samping boneka.

"Lama lo, berapa tahun?" tanya Bastian.

"13 tahun, sejak dia terus bilang akan menikahinya setelah dewasa." jawab Nina, menatap langit-langit.

"Tk ?! cinta berudu dong." jawab Bastian, tertawa pelan.

"lo nyamain gue kaya anak kodok." jawab Nina kesal.

"Enggak, sayang!" ucap Bastian, tertawa.

"Ishhh, ishhh, panggilan lo badboy." ucap Nina.

"tenang, nanti gue tambahin lagi. Dasar cewek matre." ucap Bastian.

"Ya, aku memang matre, biar aku punya banyak duit, biar bisa jalan-jalan dan beli ini itu sesuai kemauanku." jawab Nina.

"Ya, nanti gue sumbang." jawab Bastian.

Mereka lanjut mengobrol sampai tertidur masing-masing.

**

Keesokan paginya, Nina sudah berada di depan kelas. Gilang menariknya ke taman belakang.

"Lo bicara apa sama Melisa?" tanya Gilang, matanya menatap tajam.

"Bicara apa?" tanya Nina

"Bicara apa?" tanya Nina, alisnya mengernyit, tangan menggenggam tas erat.

"Dia menyuruh gue untuk menjauhinya." ucap Gilang, matanya sedikit menunduk, bibirnya menekuk kecewa.

"Aku gak bicara apa-apa." jawab Nina, suaranya datar, tapi jantungnya berdebar cepat.

"Jangan bohong! Lo bilang bahwa gue akan menikahi lo setelah dewasa, lo gak salah? Mungkin lo dulu memang impian gue tapi sekarang impian gue Melisa." ucap Gilang, nadanya tegang, bahunya menegang, tangannya mengepal.

"Lalu kenapa? Apa yang salah? Kenapa bertanya seperti itu? Lo baru sehari pacaran sudah kaya rumah tangga. Kita sahabatan dari orok Lo Gilang, kenapa lo jadi begini." ucap Nina, wajah memerah, matanya berkaca-kaca, tangan menutup sebagian wajahnya.

"Kenapa? Cinta lo yang kenapa? Ternyata lo suka sama gue? Kenapa? Kenapa lo merusak semuanya?" tanya Gilang, suara meningkat, nada frustasi terdengar jelas, alisnya mengerut.

"Gue gak ganggu percintaan lo kan? Gue emang suka sama lo, tapi apa gue ganggu percintaan lo dari dulu, enggak kan? Cinta gak salah, hanya orangnya yang salah. Lagian Melisa kenapa gak bilang sama gue, pakai langsung bilang, sama saja kaya mau merusak semuanya. Gue bahkan bantuin Lo, tapi ini balasannya, Lo harusnya tahu, kalau Gue suka sama Lo berarti, gimana perasaan Gue saat Lo cerita tentang Melisa, bagaimana Gilang ?" kesal Nina, matanya memerah, napas tersengal, tangannya meremas tas.

"pokoknya buang perasaan lo dan jangan bicara macam-macam lagi, jauhin gue." ucap Gilang sambil menoleh, langkahnya cepat meninggalkan Nina, bahu tegap tapi kaku.

Nina langsung jongkok, kepala menunduk, menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut, bahunya bergetar menahan tangis yang tersisa.

Tiba-tiba, Bastian datang, langkahnya tenang tapi matanya waspada, seakan mengawasi Nina. Ia menaruh jaketnya menutupi kaki Nina dan langsung memeluknya dari belakang.

"boleh gue pukul dia?" tanya Bastian, rahangnya mengeras, matanya menatap tajam namun terdengar nada menahan amarah.

"Gak guna juga." jawab Nina, suaranya parau, menepuk jaket Bastian lemah.

"Kenapa?" tanya Bastian, matanya menatap wajah Nina yang tertunduk, tangannya masih menahan tubuh Nina agar tetap di dekatnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!