Hujan turun deras di senja hari. Mengguyur lebat dedaunan tua pohon pohon perkebunan kopi di lereng gunung Merapi. Membasahi jalanan tanah berlumpur yang mengarah ke sebuah rumah nan megah milik Tuan Hendrik Van Der Vlite.
Rumah itu berdinding tembok batu bata. Bagian bawah pondasi tinggi, batu batu hitam besar. Masyarakat menyebut Loji Tuan Menir, pada rumah megah itu.
Loji itu berdiri angkuh di sekitar kebun kebun kopi, yang juga milik Tuan Hendrik Van Der Vliet alias Tuan Menir.
“Kenapa hujan tidak berhenti sejak pagi.” Gumam seorang perempuan muda yang berdiri di depan jendela kayu jati yang sangat tinggi lebar. Pandangan matanya menatap gelisah ke luar jendela.
Hari pun semakin gelap.
Angin dari arah barat membawa bau tanah basah, bercampur aroma bunga kenanga yang diletakkan di sudut meja ruang depan. Lampu minyak menggantung lesu di langit-langit rumah besar itu, remang cahayanya bergoyang-goyang, menari bersama bayangan dinding.
“Tuan harusnya sudah di sini.” Gumam perempuan muda itu lagi.
Kodasih nama perempuan itu. Dia adalah gundik kesayangan Tuan Hendrik Van Der Vliet.
Wajahnya manis, kulit sawo matang eksotis. Rambut disanggul rapi, meski sebagian helai telah lepas tertiup angin. Tubuh nya semampai, sintal padat berisi.
Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana seharusnya Tuan Hendrik mengunjungi Kodasih hingga Hari Senin pagi tiba.
Di kejauhan seorang laki laki gagah tinggi besar memakai mantel abu abu. Kodasih menyipitkan matanya mencoba melihat wajahnya, namun hujan terlalu deras. Kodasih hanya yakin laki laki itu menatapnya.
Dan tiba tiba...
DDUUUUEEEERRRR
Suara petir sangat keras, mengagetkan Kodasih. Hujan pun turun semakin lebat. Angin bertiup kencang. Cepat cepat Kodasih menutup daun jendela kayu jati yang tingginya dua meter itu.
“Siapa laki laki itu, tidak mungkin Tuan Menir jalan kaki.” Gumam Kodasih sambil bersedekap.
Tubuh Kodasih yang terbalut baju kebaya warna hijau nan tipis halus terasa semakin dingin.
“Nyi hari sudah gelap, mungkin Tuan hari ini tidak datang, karena kereta besinya mogok.” Suara parau seorang perempuan setengah baya. Tubuhnya yang agak gemuk dililit kain batik dari perut hingga bawah betis , dan kain kemben motif jumputan menutup dadanya. Bahu nya dibiarkan terbuka. Tidak merasa dingin karena sudah terbiasa.
Di tangan perempuan itu membawa lampu minyak gantung yang akan dipasang di teras.
“Iya Mbok, coba kamu lihat aku baru saja melihat laki laki di luar. Apa itu Tuan Menir.” Ucap Kodasih lalu dia duduk di kursi kayu jati berukir yang ada di ruang depan itu.
“Ooo mungkin benar kereta besi nya mogok Nyi, dan dia berjalan kaki ke sini. Nanti saya buatkan wedang jahe, Nyi..” ucap Mbok Piyah dan segera melangkah keluar untuk memasang lampu gantung di teras.
Mbok Piyah dan orang orang menyebut kereta besi pada mobil yang sering dipakai oleh Tuan Menir.
Saat sudah sampai di teras. Mbok Piyah menatap ke arah jalan masuk. Dia tidak melihat sosok siapa siapa, selain pohon pohon dan air hujan yang mengguyur begitu deras.
“Tidak ada siapa siapa.” Gumam Mbok Piyah dan segera memasang lampu gantung.
Namun tiba tiba hidung Mbok Piyah mencium aroma cerutu milik Tuan Menir. Aroma cerutu khas yang hanya dimiliki oleh Tuan Menir.
“Kok bau cerutu Tuan Menir ya..” gumam Mbok Piyah sambil menoleh noleh, namun tetap saja tidak melihat sosok Tuan Menir.
“Apa Tuan Menir di teritisan samping membersihkan sepatu yang terkena lumpur.” Gumam Mbok Piyah di dalam hati, menduga duga.
“Tuan... Tuan.. langsung masuk saja, tak apa nanti lantai saya bersihkan kalau kotor karena lumpur.” Teriak Mbok Piyah..
Akan tetapi Mbok Piyah tidak mendengar jawaban dari suara Tuan Menir. Justru angin yang bertiup semakin kencang. Lampu minyak gantung di teras semakin bergoyang goyang.
Kedua mata Mbok Piyah melotot dan jantung berdebar debar kala kedua matanya tiba tiba melihat ada jejak lumpur sepatu laki-laki di lantai teras, lantai ubin berwarna kelabu yang berkilau.
Mbok Piyah cepat cepat membalikkan tubuhnya, dan berlari masuk ke dalam rumah.
BRAAKKK
JJEEDDDEERR
Mbok Piyah menutup pintu dengan tergesa gesa. Nafas masih memburu, tangan yang gemetar cepat cepat mengunci pintu.
“Ada apa Mbok, kok macam dikejar setan saja?” ucap Kodasih masih duduk di kursi menunggu Tuan Menir.
“Nyi, mungkin laki laki di luar yang Nyi lihat tadi hantu. Saya tidak melihat orang di luar. Tapi tiba tiba tercium asap cerutu Tuan Menir.. Dan... hiii..”
“Dan apa?” saut Kodasih sambil melebar kedua matanya menatap Mbok Piyah yang wajahnya tampak pucat.
“Di lantai tegel teras yang tadi bersih, tiba tiba ada bekas jejak sepatu berlumpur.. hiii... takut saya Nyi...” Ucap Mbok Piyah begidik ngeri.
“Halah pasti itu ulah Pak Karto bojomu Mbok..” ucap Kodasih sambil tersenyum miring dan mengibaskan tangannya di depan wajah nya sendiri.
“Mana mungkin Nyi, suami saya di belakang.”
“Bisa saja keluar lewat pintu belakang melipir di teritisan. Dan jejak kaki berlumpur sudah ada sejak tadi, kamu saja tidak lihat.” Ucap Kodasih lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.
“Mana mungkin bapake memakai sepatu dan berani menghisap cerutu Tuan Menir..” gumam Mbok Piyah dan segera berlari ke belakang.
🌸🌸🌸
Kodasih membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur besar. Tempat tidur kayu jati berukir, dan kasur berisi kapok randu tertutup kain sprai putih halus, berbordir benang warna biru.
Air mata Kodasih meleleh, merasakan rindu yang begitu hebat pada Tuan Menir..
“Begini nasib menjadi gundik. Aku menunggu sudah berhari hari. Tapi karena hujan saja Tuan tidak datang..”
Hidung Kodasih pun kini mencium aroma asap cerutu Tuan Menir.
“Aku begitu merindu Tuan Menir, sampai hidungku mencium aroma cerutu Tuan. Apa Pak Karto mengambil cerutu Tuan..” gumam Kodasih. Kepala menoleh noleh dan hidung nya mengendus endus aroma asap cerutu.
Waktu pun terus bergulir, malam pun semakin larut. Kodasih pun akhirnya terlelap dengan hati yang berselimut rindu..
Namun beberapa saat kemudian di dalam kamar Kodasih yang temaram cahayanya, hadir sosok laki laki gagah..
Laki laki itu melangkah pelan pelan tanpa bersuara, mendekati Kodasih yang terbaring.
Dan...
CUP
Diciumnya kening Kodasih dengan sangat lembut namun tersirat hasrat..
Kodasih yang merasa ada benda dingin menempel di keningnya terbangun..
“Tuan...” gumam Kodasih yang masih memejamkan kedua matanya.
Hening sejenak. Suara desir angin malam menyusup masuk, menyelinap dari celah kayu jendela tua, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Menggoyangkan tirai tipis seperti bisikan rahasia malam.
“Tuan Menir...” ucap lirih Kodasih
“Hmmm..” Gumam suara berat nan lirih, nyaris tak terdengar, seperti takut memecah keheningan malam yang rapuh.
Kodasih membuka matanya perlahan, dan dalam cahaya lampu minyak yang redup, ia melihat wajah tuannya, Tuan Hendrik Van Der Vliet alias Tuan Menir.
Tatapan mata yang dingin namun menyimpan gejolak yang tak bisa ditebak. Wajah lelaki Belanda itu tampak lelah, namun matanya memancarkan sesuatu yang lain, entah rindu, entah luka yang tak pernah sembuh.
“Tuan baru datang?” tanya Kodasih pelan, seraya mencoba bangkit, menyandarkan tubuh pada bantal besar di belakangnya.
Tuan Menir tetap diam, lalu duduk di tepi tempat tidur. Dia masih mengenakan jas warna putih yang sedikit kusut. Tangannya mengusap rambut Kodasih dengan lembut, seperti ingin meyakinkan dirinya bahwa perempuan itu sungguh bisa dipegangnya.
Kodasih merasakan telapak tangan Tuan Menir yang sungguh dingin. Dia menoleh menatap wajah Tuan Menir yang terlihat sangat pucat, bibir nya membiru dan jas putihnya ada banyak noda tanah basah.
“Tuan kedinginan? Tuan kehujanan?” tanya Kodasih masih terus menatap wajah Tuan Menir yang pucat pasi.
Tuan Menir hanya mengangguk pelan dan tidak mengucapkan kata kata.. pandangan matanya sangat tajam ke arah Kodasih..
“Apa Tuan mau wedang jahe atau bajigur, untuk menghangatkan tubuh Tuan?”
Tuan Menir hanya menggeleng gelengkan kepala nya. Tangan Tuan Menir membuka kancing jas putihnya yang kusut.
Kodasih tersenyum tipis , dia tertunduk malu, karena tahu apa yang akan dilakukan oleh Tuan Menir nya. Dan apa yang harus dia lakukan.
Tuan Menir tetap diam.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang pucat, hanya napasnya yang terdengar makin berat, seperti tertahan di dada. Matanya tak beranjak dari wajah Kodasih, menelusuri tiap lekuk ekspresi perempuan itu yang kini gelisah dalam diam.
Jas putih kusut Tuan Menir telah terlepas dan jatuh begitu saja di atas lantai kamar yang remang remang.
Kodasih yang masih terbaring di atas tempat tidur, menarik selimutnya hingga leher.
Sorot mata Tuan Menir telah memerintahkan nya. Bukan dengan suara, bukan pula dengan isyarat tangan, tapi dengan tatapan yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan.
Dada Kodasih di balik selimut mulai naik turun. Kedua tangannya memegang erat ujung selimut.
Kodasih menatap Tuan Menir yang kini duduk setengah bersandar. Di sinar lampu redup, wajah tuannya tampak asing namun akrab , ada luka di sana, ada rindu yang tak diberi nama.
Tuan Menir mengangkat tangannya perlahan, menyentuh dagu Kodasih, diangkat sedikit dengan lembut. Lalu Tuan Menir mendekatkan wajahnya..
“Tuan, tubuh Tuan sangat dingin. Apa Tuan sakit?” ucap lirih Kodasih yang merasakan tangan, wajah juga hembusan nafas Tuan Menir teramat sangat dingin.
Tuan Menir hanya menggeleng geleng kepala, lalu dicium bibir Kodasih lembut namun penuh gairah..
“Kenapa Tuan sangat dingin sekali..” gumam Kodasih di dalam hati saat merasakan bibir dan juga lidah Tuan Menir sedingin es batu..
Kodasih terdiam. Matanya memejam saat ciuman itu mendarat di mulut nya, lambat, seolah waktu berhenti di antara desir angin malam dan gemetar lampu-lampu minyak yang tergantung di teras rumah tuan besar itu. Tapi dinginnya.. ya, dinginnya seperti mengalir dari jiwa Tuan Menir sendiri. Bukan hanya dingin tubuh, tapi seperti kehampaan yang mencengkeram.
Ketika ciuman itu usai, Tuan Menir tetap diam. Ia hanya menatapnya, mata kelabu kehijauan yang seolah bukan milik dunia ini. Tatapannya dalam, namun terasa begitu jauh… terlalu jauh.
Kodasih menelan ludah, tangannya bergerak refleks menyentuh dada Tuan Menir, mencari denyut yang meyakinkan. Tapi tidak ada. Hanya napas dingin yang mengembus dari tubuhnya.
“Tuan… apakah ini nyata?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Tuan Menir masih tak menjawab. Ia hanya menyentuh pipi Kodasih, jemari panjang dan pucat membelai seperti kabut menyentuh pagi.
Perlahan, ia meraih ujung selimut yang masih tergenggam di tangan Kodasih. Tanpa sepatah kata, ia masuk ke dalam selimut tebal yang cukup untuk menyelubungi dua tubuh insan yang berbeda itu, beda kasta, beda benua, dan dari entah beda berapa batas lainnya.
Mereka menyatu dalam keheningan. Tak ada kata, hanya desah napas… yang dingin.
🌸🌸🌸
Keesokan pagi nya, setelah subuh, dua pemuda pribumi berlari lari kecil menyusuri jalan berlumpur. Rumput rumput dan pohon pohon kopi masih basah oleh sisa hujan semalam. Embun menggantung di ujung daun, dan kabut tipis menggeliat di antara batang-batang kayu.
“Kang, apa berita itu sudah pasti?” tanya pemuda yang lebih kecil. Tubuhnya pendek, wajahnya masih sangat muda. Usianya kira-kira baru empat belas tahun.
“Sudah pasti, Jo. Aku dengar langsung dari Pak Wiro, pemimpin pasukan rakyat,” jawab Kang Pono, pemuda yang lebih dewasa. Tubuhnya tinggi dan tegap. Tatapannya tajam, tapi ada gelisah yang tak bisa ia sembunyikan.
“Aku harus segera memberi tahu Kodasih. Meskipun dia punya radio transistor, tapi belum ada siaran resmi di radio tentang ini.” Ucap Kang Pono lagi.
Arjo menarik napas, lalu dengan nada bercanda berkata, “Apa Kang Pono masih mencintai Nyi Kodasih? Sudahlah, Kang, cari perempuan lain saja. Masih banyak yang gres, Kang...”
Kang Pono tersenyum getir. “Kamu masih kecil, Arjo. Belum tahu tentang perasaan hati.”
Langkah mereka makin cepat. Tujuan mereka jelas: Loji Besar di ujung perkebunan. Rumah megah milik Tuan Menir yang selama ini menjadi simbol kekuasaan dan ketakutan.
Kini loji itu senyap.
Kabar itu sudah berembus ke desa-desa: Tuan Menir, si pemilik tanah sekaligus perwakilan pemerintahan kolonial, tewas dihukum mati oleh orang orang pribumi di kota Semarang.
Sesaat kemudian, mereka sudah berdiri di halaman loji yang luas. Tanahnya masih basah dan licin. Jantung kedua pemuda itu berdegup kencang, seolah menggetarkan udara pagi yang dingin.
“Kang, kalau berita yang kamu bawa itu salah… nyawamu bisa jadi taruhan,” bisik Arjo pelan, nyaris tak terdengar.
Kang Pono menyentuh dadanya. Detak jantungnya liar. “Aku tahu, Jo. Tapi ini... ini sepertinya benar.”
Pintu loji megah itu tiba-tiba terbuka. Muncul sosok Mbok Piyah, pembantu tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di rumah itu. Tangannya membawa ember berisi air dan sebuah sapu pel.
Mata Mbok Piyah melebar. Ia berhenti, menatap dua pemuda itu dengan curiga dan heran.
“Pono? Arjo? Kalian pagi-pagi begini sudah ke sini? Mau minta sumbangan? Apa ada penduduk yang mau mati kelaparan?”
Kang Pono mendekat beberapa langkah. Napasnya masih terengah. “Mbok... kami bawa kabar penting. Di mana Nyi Kodasih?”
Mbok Piyah memicingkan mata. “Nyi Kodasih belum bangun. Kabar penting apa? Perasaan ku kok tidak enak.”
Kang Pono mengangguk pelan. “Firasat itu benar, Mbok... Tuan Menir... dia sudah mati.”
Mbok Piyah menjatuhkan sapu dan embernya. Air tumpah membasahi lantai teras. Wajahnya pucat seketika.
Akan tetapi tiba tiba mereka bertiga dikagetkan oleh suara keras dari dalam loji itu....
"Tuan! Tuan!" Teriak Kodasih.
Suara Kodasih memecah kesunyian pagi itu, panik dan nyaring, menggema di lorong panjang rumah besar bergaya kolonial itu.
"Tuan, di mana sekarang?" teriaknya lagi, sambil tergopoh gopoh keluar dari kamar.
Ia belum sempat merapikan diri. Rambut panjang nya hanya digelung asal saja. Kain batiknya longgar, belum terlilit rapi dengan setagen. Ujung kain hanya diselipkan terburu-buru di dada. Kebaya lusuhnya pun belum terkancing sempurna, terbuka oleh gerakannya yang tergesa.
"Mbok Piyah! Pak Karto!" panggilnya nyaring.
Mbok Piyah, yang sejak tadi berdiri gemetar di teras, sontak menoleh. Matanya nanar, tubuhnya lunglai, seolah tak kuat menopang beban pikiran.
"Itu… Nyi Kodasih sudah bangun," gumamnya , lalu buru-buru masuk ke dalam rumah.
Langkah Mbok Piyah terburu, namun tak mantap. Lantai yang licin karena tumpahan air dari ember nyaris membuatnya tergelincir.
"Awas, Mbok!" teriak Pono dan Arjo dari halaman loji, membuat Mbok Piyah terhuyung huyung menahan keseimbangan.
Ia menarik napas panjang dan melangkah lebih hati-hati menuju dalam, mengabaikan napasnya yang mulai tersengal.
"Nyi… Nyi Kodasih… apa sudah dengar beritanya?" suaranya parau, namun menggema di ruangan besar itu.
Kodasih kini berdiri di depan pintu ruang kerja Tuan Menir. Ia menoleh pelan ke arah suara Mbok Piyah. Matanya sipit menatap, seakan mencoba menembus kegaduhan yang mendadak menyelimuti pagi.
"Berita apa?" tanyanya dengan suara lantang, penuh tekanan, seolah siap mendengar sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Mbok Piyah segera melangkah mendekati Kodasih.
Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dan matanya tampak sembab. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Berita apa? Apa kamu tahu di mana Tuan Menir berada?" tanya Kodasih cepat, suaranya menuntut. Tatapannya menusuk, tak sabar menunggu jawaban.
Mbok Piyah mengatupkan bibirnya, lalu menunduk. Tangannya yang keriput menggenggam ujung kainnya sendiri, berusaha meredakan gemetar.
"Itu, Nyi..." suaranya nyaris tak terdengar. "Kata Pono... kata Pono, Tuan Menir… dihukum mati..."
Kodasih terdiam. Kedua matanya membesar, seolah hendak meloncat keluar. Jantungnya berdebar begitu keras, sampai ia merasa dadanya sakit.
"Apa?! Di mana? Kapan? Mana mungkin?! Tadi malam Tuan tidur bersamaku! Apa tadi pagi? Sebelum subuh?!" Kodasih memberondong pertanyaan tanpa memberi jeda, suaranya meninggi, nyaris histeris.
Mbok Piyah menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng lemah.
"Saya tidak tahu, Nyi. Itu... itu Pono masih di halaman. Nyi bisa tanya langsung sama dia..."
Mata Kodasih menyipit. Napasnya memburu.
"Pono..." desisnya. "Dia pasti yang menyebarkan fitnah. Atau jangan jangan... dia dan teman temannya yang membunuh Tuan!"
Nada suaranya kini penuh amarah, tetapi ada ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Ia tahu benar: Kang Pono pernah memendam rasa padanya, jauh sebelum ia menjadi gundik Tuan Menir.
Tanpa berkata lagi, Kodasih menyingkap kainnya, melangkah cepat ke arah pintu depan, dadanya bergemuruh. Matanya mencari sosok Pono.
Sementara itu, Pono berdiri kaku di halaman loji, bersama Arjo. Keduanya tampak gelisah. Begitu melihat Kodasih mendekat dengan sorot mata membakar, mereka saling pandang.
"Kang Pono!" teriak Kodasih. Suaranya tajam. "Kau bilang apa tadi pada Mbok Piyah? Mana Tuan?!"
Pono menegakkan tubuhnya. Wajahnya tampak lebih tua pagi ini, seperti habis menanggung beban berat.
"Maaf, Nyi... Saya tidak berniat menyampaikan begitu saja. Tapi berita itu... dari orang-orang kota. Belanda sudah menyerah. Dan para penghianat dari pihak kolonial... dihukum mati. Termasuk Tuan Menir..."
"Tidak! Aku tidak percaya! Tuan pasti..."
"Tuan ditangkap pasukan rakyat , saat keluar kota Semarang. Mereka bilang dia terlibat penyiksaan tahanan. Kata Pak Wiro, dia dieksekusi di Semarang , kemarin sore."
“Kalau Nyi Kodasih tidak percaya bisa mencari berita di radio. Maaf .. saya memberi tahu kabar ini agar Nyi bersiap siap.. lebih baik Nyi pergi dari sini demi keselamatan Nyi.”
Kodasih menatap Pono lama. Napasnya terhenti sesaat.
"Tidak... tidak mungkin..." bisiknya. "Dia bilang... dia akan bawa aku pergi dari sini. Ke Batavia. Dia janji..."
Lututnya lemas. Dunia seperti memutar lebih lambat. Ia nyaris terjatuh jika Mbok Piyah tidak segera menahan tubuhnya.
“Sabar, Nyi... kita coba dengarkan berita di radio dulu, untuk kepastiannya,” Mbok Piyah berkata lembut sambil merangkul tubuh Kodasih yang gemetar.
“Tidak mungkin, Mbok... kalau dia dihukum mati kemarin sore,” jawab Kodasih dengan suara bergetar, air mata mulai membanjir di pipinya. “Tadi malam dia datang, dan tidur di sampingku... hu... hu... hu...” Ia terisak tersedu sedu, tenggelam dalam pelukan hangat Mbok Piyah.
“Aku bangun pagi ini, Tuan Menir sudah tidak ada. Mungkin dia sedang di ruang kerjanya... hu... hu...”
Mbok Piyah menghela napas, mencoba menenangkan Nyi Kodasih. “Sabar, Nyi. Kita harus cari berita yang benar. Tapi tadi saya baru saja membersihkan ruang kerja Tuan Menir, dan tidak ada beliau di sana.” Suaranya serius, sedikit gemetar.
Mbok Piyah menggandeng Kodasih dengan penuh perhatian, menuntunnya perlahan menuju kamar. Ia yakin, sosok Tuan Menir tidak mungkin ada di ruang kerja, karena baru saja selesai membersihkan ruangan itu sebelum mengepel teras.
Langkah mereka pelan, hati Mbok Piyah berdebar-debar tak menentu. Setibanya di depan pintu kamar Kodasih, Mbok Piyah membuka pintu dengan hati-hati. Hidungnya menghirup aroma cerutu khas Tuan Menir yang masih samar tercium di udara.
Matanya melebar saat melihat tempat tidur yang luas dan acak acakan, seolah baru saja ditinggalkan dengan terburu buru.
Kodasih berjalan lunglai menuju kursi jati berukir di sudut kamar. Ia duduk dengan lemas, menunduk lalu meraih tombol radio transistor di atas meja kecil di dekatnya.
Sementara itu, Mbok Piyah melangkah menuju tempat tidur, berniat merapikan selimut dan sprai putih yang berantakan.
Namun, saat tangannya menyentuh selimut itu, kedua matanya membulat lebar, jantungnya berdegup sangat kencang.
Ada sesuatu di bawah selimut yang membuat napas Mbok Piyah tercekat...
Mbok Piyah yang belum bisa berkata kata menoleh ke arah Kodasih. Tampak Kodasih masih memutar mutar tombol dan memutar mutar antena panjang radio transistor untuk mencari frekuensi yang jelas. Karena lokasi rumahnya di perbukitan agak susah untuk menangkap siaran.
“Nyi lihat ini...” suara parau Mbok Piyah kemudian.
Kodasih pun menoleh dan melihat ke arah tempat tidurnya. Kedua matanya pun langsung membulat, tubuh lemasnya semakin gemetar..
....
Ada apa ya di bawah selimut?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!