Terdengar suara musik menggema di sebuah mobil, para cewek akan pergi bertamasya ke dekat danau.
Tapi tiba-tiba musik berhenti dan di ganti dengan pembawa berita bahwa hari ini akak terjadi penomena alam dan para remaja jangan pergi keluar rumah.
"Penomena alam apa sih ?" tanya Selena sedang menyetir.
"Ya paling hujan angin, badai, atau hujan es kan." jawab Elara santai..
"Internet mati." timpal Mira..
"Serius ?! Eh tahu gak ? orang tuaku pernah menghilang saat ada penomena alam seperti ini. " ucap Selena
"Terus?" tanya Mira dan Elara.
"Pulang-pulang bawa anak dan suami . " jawab Selena .
Mira dan Elara saling tatap tak percaya..
"Heh, gak usah dipikirin itu hanya cerita dongeng." jawab Selena yang membuat wajah teman-temannya itu terkejut
"Sialan, seharusnya dari tadi gak di dengerin." kesal Elara.
"Eh, tapi beneran sih aku pernah denger tentang cerita, bahwa dunia kita itu bersatu dengan dimensi lain " jelas Mira
"bersatu gimana ?" tanya Selena..
"Seperti dongengmu itu , manusia biasa menikah dengan dimensi lain. Klan Luminara dan manusia biasa menikah dan itu sudah lama, mungkin di antara kita ada cuma kita saja yang gak kepo." jelas Mira..
"gak usah cerita aneh-aneh mira." ucap Elara gak percaya
"emang orang tua lo gak cerita tentang itu ?" tanya Mira
"gak , mana mungkin mereka cerita orang ketemu saja jarang." jelas Elara
"Eh, mira ,tapi pernah gak di ceritain tentang klan iblis ? Penguasa klan yang memiliki tingkat paling tinggi, bahkan gak ada yang berani berurusan dengannya ." jelas Selena sambil nyetir..
"Ya ,aku pernah dengar dan bahkan dia punya keabadian hingga saat ini masih hidup ,mungkin ada umur 200 tahunan." timpal Mira..
"Denger cerita kaya gini dimana sih ?" tanya elara ,
"orang tua kita lah ." jawab selena dan Mira.
Ciitttt...
suara ban mobil berdecit, selena memberhentikan mobilnya tiba-tiba dan melihat sebuah kecelakaan mobil beruntut di depan.
"putar balik selene !" titah Mira
selena mencoha untuk memutar balik tapi ternyata ada mobil yang menghalangi juga.
"apa itu ?" terlihat sebuah gumpalan hitam yang membuat para mobil itu menghilang,
"apa itu portal ke dimensi lain ?" pikir Mira.
selena langsung membuka pintu dan di ikuti yang lain..
"ayo pergi !" ajak selena..
mereka bertiga berlari untuk pergi tapi tubuhnya malah ketarik ..
arggghhhh..
teriak mereka dan menghilang begitu saja..
*
Tubuh mereka terhempas keras ke tanah. Daun-daun kering beterbangan, aroma hutan lembap langsung menusuk hidung.
Elara mengerang, mencoba mengangkat tubuhnya yang terasa sakit. "Sakit sekali... di mana kita?" suaranya serak, penuh kebingungan.
Di sampingnya, Mira membuka mata dengan wajah kusut. "Ini... kaya mimpi!" ucapnya, matanya masih setengah terpejam.
Namun Elara mendesah kesal. "Mira, minggir!" titahnya keras. Rupanya tubuh Mira menindih badannya.
"Ouhh, maaf... di mana Selena?" tanya Mira buru-buru sambil bergeser.
Elara akhirnya bisa bangkit. Ia menyapu pandangan ke sekeliling ,pepohonan menjulang tinggi, cahaya rembulan menembus celah dedaunan. Tidak ada tanda-tanda mobil, jalan raya, atau dunia yang mereka kenal.
"Apa dia sudah pergi?" tanya Elara pelan, suaranya penuh keraguan.
Tiba-tiba, cahaya putih menyilaukan muncul di depan mereka. Dari dalamnya, sosok Selena muncul... namun tidak sendirian. Ada orang-orang asing berdiri di sampingnya, dengan jubah aneh dan aura misterius.
"Selamat datang, para remaja bandel!" sapa seorang pria dengan nada ramah, namun setiap katanya menusuk telinga, seolah mengandung ejekan.
"Di... mana ini?" tanya seorang cowok remaja yang juga terlempar ke tempat itu. Wajahnya pucat, jelas sama bingungnya.
Pria tadi melangkah maju, berdiri di samping Selena. Senyumnya tipis, penuh makna. "Kalian berada di tempat yang seharusnya. Perkenalkan, dia adalah putri dari sebuah klan Luminara... Selena Ardan."
Dunia seolah berhenti berputar bagi Mira dan Elara. Mereka saling tatap, sulit percaya.
"Klan Luminara? Selena? Apa benar?" tanya Mira dengan suara tercekat, menoleh ke Elara.
Elara menelan ludah, berbisik lirih. "Ini negeri dongeng?"
Mira mendekat, nada suaranya tegang. "Sepertinya... Selena memang sudah tahu."
Udara di sekitar mereka bergetar, dan cahaya putih itu makin menyilaukan. Perlahan, hutan di sekeliling mereka berubah. Pohon-pohon tinggi itu berputar, dedaunan luruh, lalu berganti dengan bangunan menjulang megah, dindingnya dari batu hitam berkilau, menara-menara tinggi seolah menusuk langit.
Di depan berdiri sebuah gerbang raksasa, ukirannya berlapis cahaya biru keperakan. Dari dalam, suara lonceng berdentang panjang, bergema sampai ke dada.
Selena melangkah lebih dulu, wajahnya tenang, seolah sudah sangat mengenal tempat itu.
"Selamat datang buat kalian semua... penghuni baru Asrama Akademi Klan Luminara dan Veyra," ucap pria yang berdiri di sampingnya. Nada suaranya penuh wibawa, seperti seorang pemimpin.
Para remaja, termasuk Mira dan Elara, hanya bisa menatap takjub sekaligus takut.
Mereka melewati gerbang, dan pemandangan di dalamnya membuat mereka terdiam.
Lapangan luas terbentang, dengan rumput berwarna hijau bercahaya. Di kejauhan, air mancur menjulang, airnya tidak jatuh ke bawah, melainkan melayang ke udara dan membentuk simbol-simbol aneh yang berkilau.
Asrama terbagi dua sisi:
Sayap Kiri dipenuhi cahaya hangat, bangunan putih keemasan dengan jendela besar dan hiasan seperti kristal. Itu adalah wilayah Luminara.
Sayap Kanan diselimuti kabut tipis, bangunan hitam berornamen merah, seolah berdenyut dengan energi. Itu adalah wilayah Veyra.
Di antara keduanya, sebuah aula utama berdiri megah, dengan kubah raksasa yang bercahaya bagai langit malam bertabur bintang.
“Ini... gila banget,” bisik Mira, matanya berbinar campur takut.
“Kayak... negeri dongeng beneran,” tambah Elara, wajahnya masih pucat.
Di sekeliling mereka, remaja-remaja lain muncul dari cahaya yang sama, beberapa masih meringis kesakitan, ada juga yang langsung kagum melihat bangunan itu. Mereka semua tampak sebaya, seolah-olah memang dipanggil ke tempat ini secara bersamaan.
Pria itu kembali bicara, suaranya menggelegar tanpa perlu berteriak:
“Kalian yang terpilih... tidak akan lagi menjadi manusia biasa. Mulai hari ini, kalian adalah bagian dari sejarah dua klan besar. Pelajari, pahami, atau... hancur ditelan tempat ini.”
Aura dingin menyapu mereka. Mira dan Elara saling meremas tangan, sementara Selena berdiri tegak, pandangannya lurus ke depan, seolah sudah siap menghadapi semuanya.
Langkah-langkah mereka bergema ketika akhirnya sampai di depan aula utama. Pintu raksasa terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan yang begitu luas. Langit-langitnya bukan dinding, melainkan hamparan bintang yang berputar perlahan, seolah mereka sedang berdiri di bawah alam semesta.
Di tengah aula, berdiri sebuah kursi takhta besar, namun kosong. Di sampingnya, sebuah meja panjang penuh gulungan perkamen.
Pria yang membawa mereka ke sini berdiri tegak, lalu membuka gulungan tersebut. Suaranya berat, bergema ke seluruh ruangan:
“Aturan Akademi Klan Luminara dan Veyra.”
Hening seketika. Semua remaja yang hadir menegakkan tubuhnya.
Kalian terikat pada dua klan besar.
Tidak ada jalan pulang, kecuali akademi yang mengizinkan.
Belajar adalah kewajiban.
Siapa pun yang gagal dalam ujian tahunan akan dikeluarkan dan tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada mereka setelah itu.
Kekuatan tidak boleh dipakai sembarangan.
Pertarungan antar murid hanya diperbolehkan di arena resmi. Pelanggar akan dihukum di hadapan seluruh akademi.
Rahasia akademi tidak boleh bocor.
Barang siapa mencoba melarikan diri atau menghubungi dunia luar... akan lenyap bersama ingatannya.
Kalian akan dipisahkan.
Sebagian ditempatkan di sayap Luminara, sebagian lagi di sayap Veyra. Pemisahan ini bukan pilihan, melainkan takdir yang sudah ditentukan sejak kalian dipanggil.
Setelah membaca aturan itu, pria tersebut menggulung kembali perkamen, lalu menatap mereka dengan mata tajam berkilau.
“Mulai hari ini, kalian bukan lagi anak-anak biasa. Di tempat ini, kalian akan menemukan siapa diri kalian sebenarnya... atau hancur karena tidak mampu menanggung beban warisan yang kalian bawa.”
Seketika, para remaja mulai berbisik panik. Beberapa terlihat gemetar, ada yang hampir menangis.
Mira menelan ludah, suaranya bergetar. “El... kita gak bisa pulang.”
Elara memandang ke arah Selena dengan wajah campur aduk, marah, bingung, dan takut. Selena hanya diam, namun sorot matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya: sebuah rahasia yang berat.
Ketegangan di aula semakin pekat. Pria itu baru saja menggulung perkamen aturan, ketika seorang remaja cowok dengan suara bergetar mengangkat tangan.
“T-tunggu... kalau Luminara dan Veyra punya asrama masing-masing, lalu bagaimana dengan Klan Iblis? Apa ada aturan khusus untuk mereka?”
Semua kepala langsung menoleh. Suasana yang tadinya riuh oleh bisikan, kini berubah jadi hening mencekam. Bahkan udara terasa menurun suhunya.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk berdiri. “Ah... pertanyaan bagus.”
Ia menoleh ke arah jendela besar aula. Dari sana, terlihat di kejauhan berdiri sebuah bangunan hitam pekat, menjulang paling tinggi di antara semua asrama. Dindingnya berlapis batu obsidian, puncaknya menembus kabut langit. Di sekelilingnya, api biru berkobar tanpa henti, namun tidak pernah padam.
“Itulah Asrama Klan Iblis,” ucapnya lirih, tapi penuh penekanan.
“Megah, jauh, dan tinggi... karena mereka memang berada di atas segalanya. Tidak ada yang berani menentang mereka.”
Para remaja menatap bangunan itu dengan wajah pucat. Aura gelap dari tempat itu seolah bisa dirasakan meski hanya dipandang dari jauh.
Pria itu kembali menatap murid-murid. Matanya menyipit.
“Larangan terbesar dalam akademi ini... jangan pernah mengganggu urusan Klan Iblis. Jangan menantang mereka, jangan mencampuri masalah mereka, dan jangan pernah memasuki asrama mereka tanpa izin. Sekali melanggar ,hidup kalian tidak akan lagi menjadi milik kalian.”
Suara beratnya menggema, menusuk ke dada semua yang mendengarnya.
Mira langsung merinding. Ia menoleh ke Elara dengan wajah takut. “Klan iblis? Itu... yang katanya penguasanya hidup lebih dari dua ratus tahun?”
Elara menunduk, suaranya tercekat. “Ya... dan kita ada di sekolah yang sama dengan mereka... dengan kakek tua ."
Sementara itu, Selena berdiri tenang, wajahnya sulit dibaca. Hanya matanya yang berkilau samar ,seolah ia tahu lebih banyak tentang Klan Iblis daripada yang lain walau pertama kali kesini tapi selena sudah diberikan ingatan yang mungkin hanya dia yang tahu.
***
Mira dan Elara akhirnya tiba di Asrama Veyra. Dindingnya gelap dihiasi ukiran merah menyala, suasananya dingin namun elegan. Mereka masih gemetar karena peristiwa sebelumnya, tapi untungnya aturan akademi memperbolehkan memilih teman sekamar sendiri. Satu kamar berisi empat orang.
Ketika pintu kamar terbuka, dua gadis menyambut mereka.
"Hai, kalian baru di sini?" tanya seorang gadis berambut pirang panjang, ramah tapi tegas.
"Ya, kita baru... kesasar ke sini," jawab Elara jujur, masih merasa aneh dengan semua yang terjadi.
"Selamat datang di dunia fantasi, dunia yang akan membuat kalian berubah... dan betah di sini," ucap Jesika, gadis lain dengan senyum manis tapi matanya penuh rasa ingin tahu.
Mira mengedip, masih kagok. "Kalian udah lama di sini?"
"Sudah dua tahunan," jawab Maria santai, sambil duduk di ranjangnya.
Elara penasaran. "Boleh aku bertanya-tanya tentang semuanya?"
Jesika tersenyum dan melambai agar mereka duduk mengitari meja kecil di tengah kamar. "Aku tahu kalian pasti banyak pertanyaan. Kita akan jawab... tentang siapa mereka."
Lalu ia mulai menjelaskan, dengan nada agak sinis tapi tetap bersemangat.
"Selena Ardan adalah anak dari ketua Luminara dulu, Joshep Ardan dan Vera Ardan. Mereka pasangan dari klan Luminara dan manusia biasa. Sedangkan pria yang di samping Putri Selena tadi adalah Marco Valdes ,itu tunangannya lebih tepatnya ynh dijodohkan dengan selena ardan. Pria lain yang berdiri di sana adalah Nicky Alveron, si jomblo ganteng yang terlalu mempesona untuk didekati. Dan perempuan yang di sampingnya lagi, Jennifer Caelina, si centil yang sok cantik."
Jesika menghela napas, jelas ada rasa tidak suka, meski wajahnya tetap bahagia bisa membocorkan gosip.
Mira menelan ludah. "Apa... Selena pernah ke sini sebelumnya?"
Maria yang menjawab, "Dia baru ke sini hari ini. Karena memang saat umur 19 tahun, kita akan ditarik ke sini. Itu perjanjian yang sudah dibuat orang tua mereka."
"Maksudnya?" Elara mengernyit.
Jesika menghela napas panjang, lalu menjelaskan, "Sebelum menikah, orang tua diberi pilihan: tinggal di sini atau di dunia kalian. Mereka boleh menikah dengan manusia biasa, tapi sebagian ingatannya dihapus , mungkin hanya ingat samar saja supaya tidak merasa kehilangan ketika anaknya ditarik ke sini."
Mira dan Elara saling tatap, wajah mereka sulit percaya.
"Terus kita? Orang tua kita... apa juga dari sini?" tanya Elara bingung.
"Ya, mungkin... tapi kalian tidak tahu," jawab Maria datar.
Elara mendengus kesal. "Bagaimana kita hidup di sini? Pakaian? Makanan? Sekolah? Arggghh, aku sudah malas untuk bersekolah lagi!"
"Ya, aku capek dengan mata pelajaran yang bikin kepala mau pecah," timpal Mira, ikut mengeluh.
Jesika mendengus geli. "Heh, ada yang mau tahu tentang pangeran klan iblis?" bisiknya.
Mira dan Elara langsung serempak, "Hah, pangeran klan iblis?"
Maria menyikut Jesika. "Itu mah panggilan dia sendiri... pangeran."
Jesika terkekeh. "Dia jomblo udah 200 tahun, tapi wajahnya masih seperti umur 20 tahunan. Dan ya, dia belum menikah."
Elara spontan nyeletuk, "Emang ada yang mau nikah sama dia?"
Mira langsung menjitak kepalanya. "Heh, kalau ganteng, aku juga mau."
"Ishhhh, sialan! Kepala gue!" Elara meringis sambil mengusap kepalanya.
Jesika mendekat, berbisik serius. "Kalau bisa, aku juga mau. Tapi klan iblis itu harus menikah sesama klan. Dan katanya, kalau sudah terikat dengan mereka, gak akan bisa jadi milik orang lain. Mereka cuma punya satu pasangan seumur hidup, dan... mereka hyper, obsesif, serta posesif."
Elara tercengang. "Ada yang kayak gitu di sini?"
Mira nyeletuk, "Mungkin udah upgrade, lagian kan mereka juga normal."
"Tahu dari mana kalian?" Elara mencibir.
Maria mengangkat bahu. "Dengar dari orang lain. Gosipnya mereka sering keluar masuk dunia kita juga."
"Ouhh..." Elara manggut-manggut.
Mira menatapnya. "Kamu ngerti?"
"Aku lapar!" jawab Elara sambil cengir.
Mira langsung mendengus. "Si doyan makan."
Maria tertawa kecil. "Aku akan ajak kalian jalan-jalan dekat akademi. Di sana banyak makanan, tenang saja, aku punya banyak uang."
"Ayo, Aku suka gratisan !" seru Elara dan Mira senang.
Mereka pun berjalan keluar. Jalan setapak menuju akademi dipenuhi lampu-lampu kristal biru yang berkilau. Akademi itu berdiri megah di tengah, dengan menara tinggi mengarah ke langit. Dari kejauhan, bayangan gelap asrama klan iblis terlihat menjulang lebih tinggi, angkuh dan mencekam.
“Kalian tahu rupa pangeran klan iblis itu?” tanya Mira penasaran.
Maria menggeleng. “Ada yang tahu, tapi... gak bisa menggambarkannya.”
“Kenapa?” tanya Mira.
“Mungkin gak mau diekspos, mungkin mau jadi diri sendiri, atau... introvert,” celetuk Elara asal.
“Ishhh, jawaban lo ngawur terus,” Mira manyun.
Tak lama, aroma makanan membuat Elara bersorak. “Eh, Jesika, boleh beli itu?”
“Pergilah!” titah Jesika.
Elara langsung berlari, mengambil makanan pedas kesukaannya. “Ka, aku mau satu ya!”
Namun tiba-tiba seseorang mendorongnya ke belakang.
“Gak ada kata antri di sini!” bentak Elara kesal.
Mendadak, langit mendung. Angin dingin berhembus, cahaya di sekitar meredup. Semua orang terdiam, lalu mulai berbisik ketakutan:
“Pangeran Klan Iblis... dia turun...”
Suara petir mengguntur. Seisi pasar kecil itu hening.
“Lebarkan mata, siapa tahu kita bisa kenal dia,” bisik seorang gadis.
“Heh, wajahnya aja kita gak pernah lihat jelas,” bisik yang lain.
Elara cuek. Ia malah masuk ke kedai, mengambil makanannya, dan berjalan sambil mengunyah. “Aku terlalu lapar!”
Tiba-tiba, suara lantang terdengar: “Minggir!”
Seorang pria berjalan dengan langkah angkuh. Rambut hitamnya panjang tergerai, matanya merah menyala seperti bara. Seluruh kerumunan menunduk, aura kekuatannya begitu menekan.
“Siapa dia?” tanya Mira pelan.
Maria berbisik, “Brian Zevlor Arcturus, salah satu dari Klan Iblis...”
Elara masih asyik makan. “Ternyata makanan disini enak juga."
Ucapannya terdengar jelas, membuat Brian berhenti tepat di depannya.
“Kamu baru di sini?” suaranya dingin menusuk.
Elara tidak menjawab, masih sibuk mengunyah.
“Heh!” bentak Brian, aura hitamnya menyelimuti sekitar.
Elara baru menelan makanannya dan berseru puas, “Akhirnya kenyang juga!”
“Ada apa?” tanyanya polos.
Jesika buru-buru maju. “Maaf, Tuan Brian, mereka berdua anak baru.”
Brian menatap tajam. “Jaga ucapanmu.”
Mira dan Elara buru-buru menunduk dan menurut, walau Elara gak tahu apa salahnya “Baik...”
Brian melangkah pergi, kerumunan kembali bernafas lega.
Namun Elara yang sedikit bandel dan konyol langsung berlari lagi, kali ini menuju pohon yang berbuah lebat. “Aku akan ke sana!”
“Hati-hati!” teriak Mira.
“Dia perempuan tapi kayak cowok,” komentar Jesika.
“Udah biasa,” timpal Mira pasrah.
Elara dengan wajah puas masih duduk di dahan pohon sambil menggigit jambu merah segar. Angin sore berembus, membuat rambutnya berkibar.
“Betah rasanya tinggal di sini!” ucapnya lantang sambil tertawa kecil.
Namun pandangannya terhenti. Di bawah pohon besar itu, terbaring seorang pria dengan pakaian hitam pekat, matanya terpejam, wajahnya tenang namun dingin ,seolah waktu tidak bisa menyentuhnya.
“Siapa dia...?” gumam Elara sambil memicingkan mata. Ia mengulurkan tangan hendak memetik buah lagi, tapi tiba-tiba..
Crak!
Dahannya patah.
“Arrrghhhhh!!!” teriak Elara panik.
Namun anehnya, ia tidak langsung menghantam tanah. Tubuhnya berhenti di udara, seperti ada sesuatu yang menahannya. Elara membuka mata dengan wajah pucat, napasnya terengah.
“Ap-apa aku sudah pindah alam lagi?!” desisnya panik.
Barulah ia sadar. Kedua mata dingin pria itu terbuka, menatap lurus ke arahnya. Aura gelap menyelubungi tubuhnya, membuat bulu kuduk Elara berdiri.
“Elaraaa!!” teriak Mira dari kejauhan, wajahnya panik.
Pria itu menatap tajam ke arah Elara yang masih melayang di udara. Dalam sekejap, ia melepaskan genggaman energinya. Tubuh Elara jatuh namun bukan ke tanah.
Bruk!
Elara mendarat tepat di tubuh pria itu, wajah mereka begitu dekat. Bibir Elara tanpa sengaja menyentuh bibir pria itu.
Waktu seolah berhenti.
Suasana mendadak berubah. Langit yang tadinya cerah meredup, awan gelap menggumpal di atas akademi. Angin berhembus kencang, dan kilatan petir membelah langit.
“Gyaaaahhh!!!” teriak para murid di sekitar yang melihatnya.
“Elara... kamu gila apa?!” Mira menutup wajahnya dengan kedua tangan, antara malu dan takut.
Pria itu membuka mata lebar, tatapan dinginnya menusuk, auranya membara. Elara menegang, tubuhnya kaku di atasnya.
“Kenapa... suasananya jadi kayak gini?!” gumam Maria ketakutan.
Jesika berbisik sambil menelan ludah. “Klan Iblis... mereka pasti sedang dalam keadaan tegang. Itu pertanda amarahnya terpicu.”
Dari arah lain, cahaya keemasan menyilaukan muncul. Murid-murid Luminara yang sedang berlatih di lapangan ikut menoleh. Beberapa dari mereka langsung siaga, menengadahkan tangan seolah bersiap melawan energi gelap yang merambat.
“Tidak mungkin...” ucap salah satu murid Luminara dengan wajah pucat. “Apa... itu pangeran Klan Iblis?”
Tatapan semua orang kini terarah pada Elara dan pria yang masih berbaring dengan dirinya di atas tubuhnya.
Elara masih membeku di atas tubuh pria itu, wajahnya memerah, jantungnya berdetak tak karuan.
Arsen Noctyra membuka matanya penuh, tatapan merahnya menyala dingin. Suara petir menggelegar, aura hitam meledak ke segala arah. Semua orang yang menonton terpaku, gemetar, bahkan ada yang jatuh berlutut.
“Elaraaa!!!” teriak Mira panik.
Namun tepat ketika sorotan mata semua orang tertuju pada mereka berdua ,Arsen menggerakkan tangannya pelan, seperti membelai udara. Sekejap, cahaya hitam pekat berkilat dari matanya, lalu menyebar ke kerumunan.
Wuss!
Angin kencang berhembus. Semua orang menutup mata, terhuyung, dan… begitu mereka kembali membuka mata, ekspresi mereka kosong sejenak. Wajah-wajah yang tadi panik dan terkejut kini terlihat biasa saja, seolah tidak pernah ada insiden barusan.
Maria mengerjap bingung, “Hah? Aku ngapain tadi?”
Jesika menggeleng pelan, “Entahlah… rasanya aku baru kehilangan ingatan sepersekian detik…”
Mira menatap sekeliling bingung, “Kalian tadi..” ia berhenti, lalu menggeleng, lupa apa yang ingin ia katakan.
Hanya Elara yang terdiam kaku, kedua tangannya masih menggenggam dada Arsen, wajahnya memanas karena sadar bahwa orang yang di depannya itu sangat berbahaya.
Arsen menatapnya tajam, bibirnya bergerak tanpa suara, namun Elara dapat membaca kata-katanya..
“Kau… milikku.”
Elara terperanjat, tubuhnya kaku, wajahnya pucat bercampur merah. Namun sebelum ia bisa bicara, Arsen menegakkan tubuhnya, menurunkan Elara berdiri di tanah.
Suasana kembali normal, seolah tidak ada apapun yang terjadi. Orang-orang melanjutkan aktivitasnya, bercakap ringan, tertawa kecil, sama sekali tak menyadari petir yang tadi membelah langit.
Tapi di menara akademi, para murid Luminara terdiam serius.
Selena Ardan menatap langit kelam yang baru saja reda, wajahnya muram. “Itu... bukan badai biasa.”
Marco Valdes menelan ludah, “Energi Noctyra. Hanya mereka yang bisa mengacaukan keseimbangan langit seperti itu.”
Selena menggenggam erat liontin di lehernya. Tatapannya jatuh pada arah akademi, tepat ke tempat Elara berada. “Apa yang sebenarnya terjadi, apa Elara berurusan dengan klan iblis ?” bisiknya.
Sementara itu, Elara masih berdiri terpaku. Suara hatinya berisik.
Kenapa mereka seperti orang linglung ? Apa Dia yang membuatnya seperti itu ? Dan... apa maksudnya dia bilang aku miliknya?!
Arsen sudah berjalan menjauh, tak menoleh sedikit pun. Aura dinginnya masih tertinggal, membuat bulu kuduk Elara meremang.
**
Fajar baru saja merekah. Dentuman lonceng bergema dari menara akademi, suara berat dan dalam yang membuat semua penghuni asrama terbangun.
“Elaraaa, bangun! Kita disuruh kumpul pagi ini,” keluh Mira sambil menarik selimut Elara.
Elara menggeliat malas, wajahnya menempel di bantal. “Ughhh, kenapa sih semua sekolah di dunia manapun selalu suka bangunin pagi-pagi… Aku belum siap jadi murid teladan.”
Mira menghela napas, sambil mengikat rambutnya cepat. “Kamu itu… masih sempet ngelantur.”
Dengan ogah-ogahan, Elara akhirnya duduk. Wajahnya kusut, rambut acak-acakan. Tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya ,seperti kilatan aneh, seolah pikirannya sedang memutar ulang kejadian kemarin.
Kenangan itu masih segar. Tatapan Arsen, suara beratnya yang berbisik ‘kau milikku’…
Ia memeluk kepalanya sebentar, berusaha menepis bayangan itu, tapi justru semakin jelas.
“Eh, Elara. Kamu ngapain bengong gitu? Jangan-jangan mimpi buruk?” goda Mira.
Elara hanya nyengir paksa. “Ya… semacam itu lah.”
"Mereka memang tidak mengingatnya ? tapi untunglah daripada jadi bahan gosip." pikir Elara..
*
Setelah semua murid berkumpul, mereka berbaris menuju akademi. Bangunannya menjulang megah, dengan menara hitam-putih menjulang tinggi dan jendela kaca besar yang berkilau diterpa cahaya pagi. Jalan setapak dipenuhi ukiran kuno bercahaya samar, seperti selalu hidup.
“Wow…” Mira mendongak. “Gila, ini sekolah apa istana sih?”
Elara menambahkan sambil menahan kantuk, “Sekolah penyiksa jiwa.”
Mira menjitaknya ringan. “Kamu tuh nggak bisa kagum dulu sebentar?”
Setelah mereka sampai di halaman utama, para pengawas membagi kelompok untuk tur pengenalan. Mereka diperkenalkan ke ruang belajar, perpustakaan kuno dengan buku-buku berdebu yang bersinar sendiri, arena latihan yang luas, hingga aula sihir yang berisi simbol magis bercahaya di lantainya.
Tapi ada satu bangunan tinggi di ujung timur, dikelilingi pagar besi hitam dan kabut tebal.
“Perhatian,” suara pengawas bergema. “Tempat itu adalah wilayah terlarang. Tidak seorang pun boleh masuk ke sana. Bahkan murid dari klan tertinggi pun tidak diperbolehkan, kecuali atas izin langsung para tetua akademi.”
Mata Elara membesar. “Tempat kayak gitu biasanya justru paling seru.”
Mira langsung menyikutnya. “Heh! Jangan mulai lagi. Kamu tuh hobi nyari masalah.”
Di tengah perjalanan, seseorang bergabung dengan mereka. Selena berjalan elegan, rambutnya berkilau terkena sinar matahari.
“Hei.” Suaranya tenang, agak kaku.
Mira melambaikan tangan ceria. “Selenaaa! Kamu juga ikut tur ini?”
“Ya.” jawab Selena singkat, tetap menjaga jarak.
Elara mendengus pelan. “Ih, gays banget. Sekarang sudah jadi seorang putri sedikit anggun. Kemarin-kemarin masih gila ."
Mira menoleh "Heh, bukannya lo yang gila."
“Sesama gila gak usah teriak ,sayang !" ucap Elara
"Aku masih sama seperti biasa ,hanya sedikit normal ." jawab Selena santai.
"Emang kemarin Lo gak normal ?" tanya Elara uang yang mendapati jitakan dari Mira.
"Ishhh, kebiasaan !" Elara mendengus kesal sambil mengusap kepalanya.
Mereka bertiga berjalan bersama, Mira terus berceloteh riang, Elara sesekali menyahut dengan candaan sarkas, sementara Selena hanya memberi jawaban pendek tapi tetap menanggapi.
Mereka memang sahabat dan sekarang mereka pergi ke dimensi lain pun tetap bertiga, mungkin ini yang dinamakan sahabat sejati, sehati, sejiwa dan sefrekuensi.
Dan di atas menara timur yang terlarang itu sepasang mata merah mengawasi dari balik kabut.
Arsen Noctyra, masih terdiam, memandang ke arah mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!