Namaku Bima. Tujuh belas tahun yang lalu, aku mati.
Tentu saja, kematian itu tidak melibatkan tabrakan motor atau keracunan makanan. Kematian pertamaku jauh lebih megah, diwarnai oleh lautan api surgawi dan diiringi oleh retaknya cakrawala. Aku tewas dalam sebuah perang yang akan membuat sejarah dunia manusia tampak seperti pertengkaran anak-anak di taman bermain. Saat itu, aku adalah seorang dewa. Salah satu yang terkuat.
Sekarang? Aku adalah siswa kelas sebelas di SMA Pelita Harapan, dan satu-satunya perang yang kuhadapi adalah melawan kantuk saat guru ekonomi menjelaskan kurva penawaran dan permintaan untuk ketiga kalinya. Ironis, bukan?
"Bim, woi, Bim," bisikan dari samping membuyarkan lamunanku. Rio, teman sebangku yang entah bagaimana bisa tahan dengan sifat diamku, menyikut lenganku. "Lo ngelamun lagi? Ntar disuruh maju, mampus kita."
Aku mengerjap, memfokuskan kembali pandanganku pada grafik warna-warni di papan tulis digital. "Santai," jawabku pelan. "Permintaan naik, harga ikut naik. Selesai." Sesederhana itu. Tapi manusia suka sekali membuat hal-hal simpel menjadi rumit.
Rio terkekeh. "Kalau aja ujiannya sesimpel itu."
Aku tidak menjawab. Aku hanya ingin hari ini cepat berakhir. Di sini, di dalam penjara bernama SMA Pelita Harapan, aku mencoba membangun sebuah surga kecil. Surga yang terbuat dari keheningan, anonimitas, dan ketidakpedulian. Aku sudah lelah berperang. Aku sudah muak dengan kekuasaan. Di kehidupan kedua ini, aku hanya ingin merasakan satu hal yang tidak pernah kumiliki sebagai dewa: kedamaian.
Teeeeet!
Bel istirahat meraung seperti sangkakala pembebasan. Aku menghela napas lega. Setidaknya, satu pertempuran kecil telah usai.
"Kantin, yuk! Laper gila," ajak Rio.
Aku mengangguk. Kantin adalah medan perang sosial yang paling kubenci, tapi perut manusianis ini punya kebutuhannya sendiri. Sebuah kelemahan yang menggelikan.
Kantin sekolah ini lebih mirip food court di mal mewah. Dan seperti kerajaan mana pun, tempat ini punya penguasanya sendiri. Di meja terbaik di tengah ruangan, di singgasananya, duduklah Adhitama dan para pengikutnya. Aku bisa merasakan mereka—percikan energi kecil yang sombong, seperti kunang-kunang yang berlagak menjadi bintang. Mereka adalah manusia yang tersentuh oleh kekuatan, mungkin dari energi sisa yang bocor dari tanah tempat sekolah ini berdiri. Kekuatan yang baru lahir, mentah, dan digunakan untuk hal paling primitif: menindas.
Aku berusaha mengabaikan mereka, sama seperti aku berusaha mengabaikan semua gema dari masa laluku. Aku dan Rio mengambil nampan nasi goreng kami dan mencari meja di sudut terjauh, benteng pertahanan terakhirku. Aku hanya ingin makan dengan tenang.
Tapi takdir, tampaknya, benci melihatku tenang.
Seorang anak kelas sepuluh berjalan terburu-buru melewati meja Adhitama. Aku melihatnya—sebuah jentikan jari dari Adhitama, sebuah dorongan telekinetik yang hampir tak terlihat. Anak itu tersandung, dan semangkuk kuah soto tumpah, mengotori sepatu mahal sang penguasa kantin.
Hening. Pertunjukan akan dimulai.
Aku sudah hafal skenarionya. Anak itu akan tergagap meminta maaf. Adhitama akan menikmati ketakutannya, mempermalukannya di depan semua orang, dan menegaskan kembali dominasinya. Itu adalah pola yang sama yang pernah kulihat ribuan kali, dalam skala yang jauh lebih besar. Para tiran selalu sama, entah mereka dewa atau hanya bocah SMA yang baru bisa menggeser sendok dengan pikiran.
"M-maaf, Kak. Sumpah, nggak sengaja," kata anak itu, wajahnya pucat.
Adhitama tersenyum, senyum seekor ular. "Nggak sengaja, ya?" Lalu, dorongan energi kedua membuat anak itu jatuh terduduk, menumpahkan seluruh isi nampannya. Tawa meledak dari meja Adhitama.
Rio di sebelahku mendesis, "Keterlaluan."
Aku mengepalkan tangan. Bukan urusanku, kataku pada diri sendiri. Jangan ikut campur. Damai, Bima. Ingat? Damai.
Tapi kemudian Adhitama mengucapkan kalimat yang meruntuhkan seluruh pertahananku. "Bersihin pakai lidahmu," katanya, menunjuk sepatunya. "Mungkin setelah itu aku akan maafin kamu."
Cukup.
Aku tidak tahu kapan tepatnya aku berdiri. Tahu-tahu, aku sudah berada di antara Adhitama dan korbannya. Aku bahkan tidak perlu menatapnya. Aku hanya menatap anak yang ketakutan itu.
"Bawa dia pergi," kataku pada Rio, yang menatapku seolah aku baru saja menumbuhkan kepala kedua.
Adhitama jelas tidak senang pestanya diganggu. "Oh, lihat ini. Pahlawan kesiangan. Kamu siapa mau ikut campur?" Ia mendorong bahuku. Dorongan itu dialiri energi, cukup untuk membuat pria dewasa terpental.
Bagiku, itu terasa seperti embusan napas di hadapan badai. Aku tidak bergerak seinci pun.
Wajah Adhitama berubah. Kepercayaan dirinya retak. "Aku bilang, minggir," desisnya, mendorong lagi, lebih kuat. Sia-sia.
Marah karena dipermalukan, ia melupakan segalanya dan melayangkan pukulan. Tinju yang diselimuti energi itu melesat cepat. Sangat cepat untuk ukuran manusia.
Tapi aku bukan manusia. Tidak sepenuhnya.
Bagiku, pukulannya bergerak selambat daun jatuh. Aku mengangkat tangan dan menangkap pergelangan tangannya.
Dan di dalam genggamanku, kekuatan kecilnya yang sombong itu hancur menjadi debu.
Ekspresi Adhitama tak ternilai. Matanya melebar, bukan karena sakit, tapi karena kaget dan ngeri. Ia menatapku seolah baru saja melihat hantu. Ia merasakan apa yang coba kusembunyikan. Kekuatan yang berbeda. Kekuatan yang kuno, berat, dan absolut. Ia merasakan gema dari dewa perang di dalam tubuh seorang anak SMA.
Ia merasakan... rasa takut yang sesungguhnya.
"Aku bilang," kataku, suaraku nyaris tak terdengar, tapi menggema di antara kami berdua. "Sudah. Cukup."
Aku melepaskannya. Ia tersandung mundur, teror terpancar jelas di wajahnya. Para pengikutnya membeku. Seluruh kantin membisu.
Aku berbalik dan berjalan pergi. Kedamaianku sudah pecah. Surga kecilku sudah terbakar. Aku tahu ini adalah awal dari sesuatu yang tidak kuinginkan. Aku telah menunjukkan diriku. Aku telah menyalakan suar di tengah kegelapan.
Dan sekarang, sesuatu dalam kegelapan itu telah melihat cahayaku.
Keesokan harinya, seperti dugaanku, Adhitama dan gengnya menghindariku seperti wabah. Tapi bisik-bisik di koridor terasa lebih kencang. Aku mencoba mengabaikannya. Aku hanya perlu bertahan sampai bel pulang berbunyi.
Saat aku hendak melangkah keluar gerbang sekolah, seorang gadis dari OSIS menghentikanku.
"Permisi," katanya. "Kamu Bima, kan?"
Aku mengangguk.
"Kamu dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Sekarang juga."
Aku menatap gedung utama sekolah yang menjulang. Di salah satu jendela di lantai atas, aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikanku. Aku menghela napas.
Tampaknya, permainan baru saja dimulai.
Ruang Kepala Sekolah berada di lantai paling atas gedung utama, sebuah tempat yang terasa terisolasi dari hiruk pikuk seluruh sekolah. Saat aku berjalan menyusuri koridor yang sepi, langkah kakiku sendiri terdengar terlalu keras. Aku tidak suka ini. Perhatian adalah hal terakhir yang kuinginkan, dan dipanggil ke ruangan ini adalah bentuk perhatian paling puncak.
Pintunya terbuat dari kayu jati yang berat. Aku mengetuk dua kali.
"Masuk," sebuah suara tenang menjawab dari dalam.
Aku mendorong pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu luas dan rapi. Jauh dari kesan kantor sekolah yang penuh tumpukan berkas. Hanya ada meja mahoni besar, rak buku yang tertata sempurna, dan jendela raksasa yang menyajikan pemandangan kota dari ketinggian. Di balik meja itu, duduk seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya. Pak Tirtayasa. Kepala Sekolah.
Senyumnya ramah, tapi tidak sampai ke matanya. Matanya tajam, mengamatiku seolah aku adalah spesimen menarik di bawah mikroskop. Dia menunjuk kursi di depan mejanya.
"Silakan duduk, Bima."
Aku duduk. Aku tidak mengatakan apa-apa. Dalam situasi seperti ini, pihak yang lebih dulu bicara biasanya akan menunjukkan kartunya lebih dulu. Aku sudah melewati ribuan negosiasi dan interogasi. Aturannya selalu sama.
Pak Tirtayasa menautkan jari-jarinya di atas meja. "Kamu tahu kenapa saya panggil ke sini?"
"Saya tidak yakin, Pak," jawabku, menjaga suaraku tetap datar.
"Saya dengar ada sedikit keributan di kantin kemarin," katanya, nadanya santai, seolah sedang membahas cuaca. "Melibatkan Adhitama dan teman-temannya."
"Hanya salah paham kecil, Pak. Sudah selesai," kataku.
"Oh, saya tidak ragu itu sudah selesai," balasnya, dan senyumnya sedikit melebar. "Adhitama bukan anak yang pendendam. Tapi saya lebih tertarik pada bagaimana itu selesai. Menurut laporan beberapa siswa, kamu menghentikan pukulan Adhitama dengan satu tangan. Tanpa bergerak sama sekali. Itu cukup mengesankan untuk anak seusiamu."
Ini jebakan. Dia sedang mengujiku. Dia ingin melihat reaksiku. Aku mengangkat bahu sedikit, mencoba terlihat biasa saja.
"Mungkin Adhitama tidak memukul sekuat itu, Pak."
Pak Tirtayasa tertawa kecil. Tawa yang tidak terdengar tulus. "Mungkin saja. Tapi itu membawa saya ke topik lain. Bima, saya sudah melihat nilaimu. Rata-rata. Tidak menonjol, tapi tidak buruk. Kamu tidak ikut ekstrakurikuler apa pun. Di kelas, kamu lebih banyak diam. Kamu seperti berusaha keras untuk tidak terlihat."
Jantung versi manusiaku berdebar sedikit lebih cepat. Dia melihat polanya.
"Saya hanya ingin fokus belajar, Pak," jawabku, menggunakan alasan paling klise yang bisa kupikirkan.
"Fokus itu bagus," katanya, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Tapi Pelita Harapan bukan sekolah untuk siswa rata-rata. Kami mencari bakat. Kami mencari potensi yang tersembunyi. Dan saya rasa, kamu punya potensi itu, Bima. Potensi yang sangat besar."
Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Lalu, dia mengajukan pertanyaan yang membuatku sadar bahwa ini bukan lagi percakapan biasa.
"Menurutmu, apa itu kekuatan, Bima?"
Aku diam. Pertanyaan ini terlalu aneh untuk datang dari seorang kepala sekolah. Ini bukan lagi interogasi tentang perkelahian di kantin. Ini adalah tes.
"Kekuatan untuk apa, Pak?" aku balik bertanya.
"Kekuatan secara umum. Kekuatan untuk mengubah keadaan. Kekuatan untuk memimpin. Kekuatan untuk memastikan segalanya berjalan sesuai keinginanmu," jelasnya. Matanya bersinar dengan intensitas yang aneh.
"Saya tidak pernah memikirkannya," jawabku bohong. Aku menghabiskan ribuan tahun memikirkannya.
"Kalau begitu, coba pikirkan sekarang," desaknya. "Lihat Adhitama. Dia punya sedikit kekuatan, dan dia menggunakannya untuk hal-hal sepele. Menindas adik kelas. Pamer. Dia seperti anak kecil yang diberi pistol mainan. Tapi bayangkan jika kekuatan itu ada di tangan orang yang tepat. Orang yang punya visi. Orang yang dewasa."
Sekarang aku mengerti. Dia bukan hanya tahu tentang siswa berkekuatan. Dia yang mengaturnya. Adhitama dan gengnya bukan anomali. Mereka adalah bagian dari sebuah sistem.
"Saya tidak tahu harus berkata apa, Pak."
"Tidak perlu berkata apa-apa." Pak Tirtayasa bersandar kembali ke kursinya, senyumnya kembali normal, seolah percakapan aneh tadi tidak pernah terjadi. "Saya hanya ingin mengenal siswa-siswa saya lebih baik. Terutama mereka yang punya 'bakat' istimewa."
Dia sengaja menekankan kata 'bakat'. Sebuah kode.
"Kami punya program khusus di sini untuk siswa seperti itu. Program pengembangan potensi. Untuk memastikan bakat mereka tidak terbuang sia-sia untuk hal-hal seperti keributan di kantin."
Ini dia. Perekrutan. Tawaran yang tidak bisa kutolak.
"Saya akan memikirkannya, Pak," kataku, sebuah jawaban netral untuk mengakhiri percakapan ini.
"Bagus." Pak Tirtayasa berdiri, menandakan pertemuan selesai. "Pintu saya selalu terbuka, Bima. Jika kamu merasa ingin melakukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar menjadi siswa rata-rata, kamu tahu di mana harus mencari saya."
Aku mengangguk, berdiri, dan berjalan keluar dari ruangan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Pintu kayu itu tertutup di belakangku, dan aku bisa merasakan tatapan Pak Tirtayasa masih menembus punggungku.
Aku berjalan menyusuri koridor, kali ini dengan pikiran yang berkecamuk.
Ini bukan lagi tentang Adhitama. Ini bukan lagi tentang geng sekolah. Aku baru saja bertemu dengan sang dalang. Dan dia tidak hanya tahu aku punya kekuatan, dia juga menginginkanku untuk bergabung dengannya.
Kedamaian yang kucari terasa semakin jauh. Masalah ini jauh lebih besar dari yang pernah kubayangkan.
Aku keluar dari gedung utama dengan langkah cepat, hampir seperti melarikan diri. Udara sore yang hangat terasa menyesakkan. Pikiranku berputar, mencoba memproses percakapan tadi. Ini bukan lagi sekadar masalah geng sekolah. Aku telah masuk ke dalam sarang laba-laba, dan si empunya sarang baru saja menyapaku secara pribadi.
Pak Tirtayasa. Sang Kepala Sekolah. Dalang dari semua ini. Dia tidak hanya tahu tentang kekuatan, dia mengultivasinya. "Program pengembangan potensi," katanya. Aku lebih suka menyebutnya program perekrutan tentara anak-anak.
"Woi, Bim!" Suara Rio membuatku tersentak. Dia berlari kecil menyusulku, tasnya terayun-ayun di bahu. "Gue cariin dari tadi. Lo dipanggil Kepsek ngapain, sih? Muka lo tegang banget."
Aku terus berjalan menuju gerbang sekolah. "Bukan apa-apa. Cuma bahas nilai."
Rio mensejajari langkahku, menatapku dengan curiga. "Bahas nilai kok mukanya kayak habis diinterogasi polisi? Lo nggak bikin masalah, kan?"
"Justru itu," gumamku lebih pada diri sendiri. "Masalahnya yang datang sendiri."
"Hah? Maksud lo?"
Aku menggeleng. "Lupain. Cuma hari yang aneh."
Aku tidak bisa menceritakan ini pada Rio. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa kepala sekolah kami adalah pemimpin sebuah kultus berkekuatan super dan aku adalah dewa perang yang sedang mencoba pensiun? Dia akan menganggapku gila. Persahabatan kami mungkin satu-satunya hal normal yang kumiliki saat ini, dan aku tidak mau merusaknya.
Kami berjalan keluar dari gerbang sekolah dalam diam. Aku bisa merasakan Rio masih memperhatikanku, tapi dia cukup bijak untuk tidak bertanya lebih jauh. Kami berjalan menyusuri trotoar yang mulai ramai oleh siswa lain yang pulang. Biasanya, keramaian ini membuatku merasa aman, anonim. Tapi hari ini, rasanya berbeda. Aku merasa setiap pasang mata tertuju padaku.
Paranoia. Salah satu efek samping dari kehidupan lamaku.
"Lo mau langsung balik?" tanya Rio, mencoba memecah keheningan. "Mampir main PS dulu di tempat biasa, yuk? Biar agak santai."
Aku hampir menyetujuinya. Godaan untuk lari dari masalah dan menenggelamkan diri dalam permainan video sangat besar. Tapi aku tahu itu sia-sia. Aku tidak bisa lari dari ini.
Saat aku hendak menjawab, sebuah sensasi aneh menjalari tulang punggungku. Sensasi yang kukenal baik.
Aku sedang diawasi.
Bukan tatapan biasa dari sesama pejalan kaki. Ini adalah tatapan yang terfokus, tajam, dan memiliki tujuan. Aku memperlambat langkah, mataku memindai sekeliling dengan cepat namun tetap terlihat santai. Kerumunan siswa, pedagang kaki lima, mobil yang lalu lalang. Tidak ada yang aneh.
"Bim? Kenapa?" tanya Rio.
"Nggak," kataku pelan. "Kayaknya ada yang..."
Dan kemudian, serangan itu datang.
Bukan serangan fisik. Jauh lebih halus dari itu. Dunia di sekitarku tiba-tiba terasa sunyi. Suara klakson mobil, obrolan siswa, semuanya meredup menjadi bisikan lirih. Kepalaku terasa seperti ditekan oleh sesuatu yang tak terlihat. Ini bukan telekinesis seperti milik Adhitama. Ini adalah serangan mental. Seseorang sedang mencoba masuk ke dalam pikiranku.
Gambaran-gambaran asing melintas di benakku dengan cepat. Api. Pedang yang patah. Langit berwarna merah darah.
Ingatan dari kehidupan lamaku.
Seseorang sedang mencoba memancing reaksiku, mencoba mengorek siapa aku sebenarnya. Ini adalah ujian lanjutan dari Pak Tirtayasa. Dia tidak akan menunggu jawabanku. Dia akan mengambilnya dengan paksa.
Cukup, desisku dalam hati.
Tanpa mengubah ekspresi wajahku, aku memfokuskan sebagian kecil dari kesadaranku. Aku membangun sebuah dinding di dalam pikiranku. Dinding mental yang terbuat dari es dan baja, sesuatu yang biasa kubangun untuk menahan serangan mental dari dewa-dewa ilusi di perang dulu.
Tekanan di kepalaku langsung lenyap. Dunia kembali normal. Suara-suara kembali terdengar. Serangan itu hanya berlangsung selama tiga detik, tapi bagiku rasanya seperti selamanya.
"Bim! Lo kenapa pucet banget?" Suara Rio terdengar cemas.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Cuma pusing dikit."
Mataku kembali memindai kerumunan, kali ini dengan tujuan yang lebih jelas. Aku mencari sumbernya. Siapa pun yang melakukan itu pasti ada di dekat sini. Dan aku menemukannya.
Di seberang jalan, bersandar di dinding sebuah toko buku, berdiri seorang gadis. Aku mengenalnya. Sari. Siswa dari kelas sebelah. Dia pendiam, tidak punya banyak teman, dan selalu membawa buku sketsa ke mana-mana. Dia adalah tipe orang yang tidak akan pernah kamu perhatikan. Tipe orang yang sempurna untuk menjadi mata-mata.
Saat mata kami bertemu, hanya untuk sepersekian detik, aku melihat kepanikan di matanya. Dia tidak menyangka aku bisa mendeteksinya, apalagi menahan serangannya. Dia langsung membuang muka, memasukkan buku sketsanya ke dalam tas, dan berjalan cepat ke arah yang berlawanan, menghilang di tikungan.
Jadi begitu permainannya. Pak Tirtayasa mengirim pengamatnya.
Rio mengikuti arah pandanganku. "Liatin siapa, sih?"
"Bukan siapa-siapa," jawabku. Tapi sekarang aku tahu. Aku tidak bisa lagi berpura-pura menjadi siswa biasa. Aku tidak bisa lagi diam dan menunggu. Mereka sudah menyatakan perang, meskipun tanpa suara.
"Rio," kataku, suaraku kini terdengar lebih mantap. "Kayaknya gue nggak bisa main PS hari ini."
"Oh, ya udah. Nggak pa-pa," katanya, terdengar sedikit kecewa.
Aku menatap kembali ke arah Sari menghilang. Kemudian aku menatap gedung sekolah di kejauhan, tempat sang dalang duduk di ruang paling atasnya.
Tawaran Pak Tirtayasa bukanlah sebuah pilihan. Itu adalah ultimatum. Bergabung, atau dianggap sebagai musuh. Dan aku tahu apa yang biasa mereka lakukan terhadap musuh.
Baiklah, batinku. Jika mereka ingin bermain, akan kuberikan mereka permainan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!