NovelToon NovelToon

Fitnah Kejam Mantan Suami

Bunga Adelia

"Ma, Pa ... Aku menyukai seseorang," Bunga Adelia, atau biasa di panggil Bunga membuka suara.

Sekarang, mereka lagi menyantap makan malam.

"Benarkah?" tanya Vivi Victoria dengan mata berbinar.

Vivi merupakan orang tua angkat Bunga.

Ya, Vivi dan suaminya yang bernama Andrian Alexander memutuskan mengadopsi seorang anak, ketika dokter menyatakan jika rahim Vivi bermasalah.

Dan karena hal itulah, Vivi di nyatakan tidak bisa hamil, apalagi melahirkan.

Semula Vivi, menyuruh suaminya atau Andrian untuk menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, Andrian menolak mentah-mentah perintah istrinya.

Bukan karena tak sayang ataupun cinta. Melainkan, karena cinta yang terlalu besar lah, Andrian tidak sanggup membuat Vivi terluka. Ia gak mau, wanita yang di cintainya menangis diatas kebahagiannya.

Dan karena itulah, keduanya memutuskan mengadopsi Bunga.

Bunga di adopsi langsung dari kedua orang tuanya yang kurang mampu.

Flashback ...

Saat itu, mereka yang lagi melakukan perjalanan keluar kota, di bawah derasnya hujan. Mata Vivi tak sengaja melihat orang yang lagi kesusahan.

Vivi melihat, seorang bapak yang mendorong sepeda motor bututnya dengan kedua balita yang duduk anteng di atasnya. Sedangkan seorang ibu, memengangi perutnya, dan tangannya sebelahnya di pengangi oleh seorang anak remaja lainnya.

"Ibu, bapak ... Maaf, mau kemana? Kenapa gak berteduh dulu?" tanya Vivi membuka jendela mobilnya.

"Ini, istri saya mau melahirkan bu ... Dan sekarang, sepeda motor saya mogok," sahut lelaki yang badannya sudah basah kuyup.

"Mas," Vivi melirik suaminya yang berada di sampingnya.

Seolah paham, maksud dari sang istri. Andrian mengangguk-anggukan kepalanya.

"Naik, pak, bu ..." ujar Vivi membuka pintu mobilnya.

Dia menyuruh Andrian untuk duduk di depan, di samping sopir.

Terpaksa, Andrian menuruti keinginan istrinya.

"Gak usah malu-malu, naik aja ... Sepeda motornya di titip di warung dulu, nanti biar orang saya yang antar ke bengkel," papar Vivi lagi, melihat keraguan di mata itu.

Karena tidak ada pilihan lain, sang suami menuntun istrinya untuk duduk di samping Vivi, sedangkan ia dan ketiga anaknya yang lain, duduk di barisan belakang Vivi.

Tak lupa, anak yang pertama juga menenteng tas yang udah di lapisi plastik untuk di bawa masuk.

"Mang, ke klinik terdekat ya," perintah Vivi.

"Ja-jangan ... Ke rumah sakit aja, kami ada bpjs kok," larang ibu hamil, di samping Vivi.

Tentu saja, lelaki yang di panggil mamang itu, tidak menghiraukan larangan dari ibu tersebut. Karena baginya, apa yang dikatakan Vivi merupakan perintah.

Pasangan suami istri itu, ragu untuk turun kala mobil berhenti di klinik yang menurut mereka sangat mewah.

Tentu saja, ketakutan utama mereka ialah tidak punya uang yang cukup.

"Biar kami yang bayar," ujar Vivi seraya memegangi perut wanita itu.

Karena melihat penampilan Vivi dan Andrian yang bukan dari kalangan orang sembarangan. Pihak rumah sakit, langsung menerima keluarga pasien dengan baik.

Mereka bahkan, menyuruh wanita itu untuk segera mengantikan bajunya ke baju pasien.

"Sayang, mas mau ambil baju ganti untuk si bapak dulu ya," ujar Andrian, kasihan menatap si bapak dengan pakaiannya yang sudah basah.

Kebetulan, si mamang lagi ke toilet. Alhasil, Andrian mengambilnya sendiri.

Baru setelahnya, dia menyuruh bapak tadi untuk mengganti pakaian, untuk menemani sang istri berjuang.

"Mas, bentar ya ... Kata bidan tadi, udah pembukaan lengkap, aku mau menunggunya, mau lihat," mohon Vivi menatap Andrian penuh harap.

"Tapi, kamu butuh istirahat sayang," Andrian mengelus kepala istrinya.

"Mengerti lah," sekarang mata Vivi malah berkaca-kaca.

Andrian menghela napas, kemudian mengangguk setuju.

Vivi, Andrian dan ketiga anak yang tadi menunggu di kursi tunggu, yang telah disediakan.

Tentu saja, ketiganya sudah berganti pakaian.

Pakaian yang di beli oleh mamang, atas perintah nyonya-nya.

Satu jam kemudian, suara tangis bayi terdengar begitu keras dari ruang persalinan.

Vivi langsung berdiri, tubuhnya gemetar, ikut merasa bahagia. Padahal, yang melahirkan wanita lain, serta tidak punya ikatan darah dengannya. Namun, kebahagian juga ikut dirasakannya.

"Bu, istri saya mau ketemu, maaf merepotkan," suaminya keluar hanya untuk memanggil Vivi.

Andrian mengangguk, membiarkan Vivi masuk ke dalam.

Tadi, dalam perjalanan ke klinik. Vivi, sempat minta izin untuk mengelus perut itu. Tak hanya itu, Vivi juga ingin merasakan bagaimana rasanya menggendong bayi merah, yang baru lahir.

Begitu masuk, mata Vivi menatap pemandangan yang begitu menyesakan dadanya. Disana, terlihat, bayi merah itu, sedang mencari-cari sumber kehidupan.

Reflek, Vivi memegangi payudaranya.

"Aku iri ..." batin Vivi.

"Bu, terima kasih karena telah menolong kami. Mungkin, jika tidak ada ibu, aku bisa melahirkan di jalanan," ungkap wanita itu, dengan lemah. "Tolong, berikannya nama, karena dengan begitu, aku akan selalu mengingat kebaikan anda,"

Vivi menerima bayi, yang di serahkan untuknya. Kembali tubuh itu bergetar. Karena bisa merasakan, sesuatu yang mustahil terjadi padanya.

"Bunga, aku beri namanya Bunga. Bunga Adelia," ujar Vivi dengan suara yang bergetar.

Setelah mendengar nama anaknya, wanita yang di ketahui bernama Reni itu, tubuhnya bergetar hebat.

Perawat yang ada disana, langsung menyuruh Vivi dan suami dari Reni untuk keluar.

Masih dengan mengendong bunga, Vivi menatap pintu yang tertutup itu dengan hati berdebar.

Apalagi, beberapa orang lainnya yang berprofesi sebagai dokter juga ikut masuk sambil berlari. Bahkan, suami Reni tidak sempat menanyakan tentang apa yang terjadi disana.

Satu jam kemudian, dokter keluar dengan wajah lesu. Dia mengatakan sesuatu yang membuat suami Reni dan anaknya yang remaja berteriak histeris.

Reni dinyatakan meninggal dunia, setelah pendarahan hebat.

"Ini salah ku, salah ku ... Aku yang gagal jadi suami, aku gagal," racau suami Reni memukul-mukuli dadanya.

Andrian yang melihat itu, memeluk suami Reni, agar lelaki itu menghentikan kelakuannya.

Sekarang, tak hanya suami Reni dan anak pertamanya yang menangis. Tapi, ketiga anak lainnya juga melakukan hal yang sama. Bahkan, bayi yang masih dalam gendongan Vivi ikut merasakan kesedihan yang mendalam.

Seolah-olah tahu, jika dunianya telah tiada. Wanita, yang belum sempat di panggilnya sudah lebih dulu, meninggalkannya untuk selamanya.

Vivi menimbang-nimbang Bunga dalam gendongannya. Dia juga merangkul kedua balita, dengan tangan sebelahnya.

"Reni, maafkan aku ... Maafkan aku, yang telah gagal menjagamu, maafkan aku," suami Reni tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri.

Andrian menyuruh sopirnya, untuk mengurus segala sesuatu termasuk bayaran agar mayat segera bisa di bawa pulang.

Vivi membawa masuk anak-anak Reni ke dalam.

Disana, wajah Reni masih seperti tadi, sama seperti senyuman yang di lihat Vivi untuk terakhir kalinya. Begitu tenang, dan indah.

Bedanya, wajah dan tubuh itu terlihat sangat pucat.

Bertamu

Di rumah sederhana, yang hanya berdindingkan papan serta beralaskan tanah. Suasana duka masih sangat terasa.

Vivi dan Andrian, kembali mengunjungi rumah duka setelah tiga hari kepergian Reni.

Hari ini, padahal sudah seharusnya mereka kembali ke kota asalnya. Akan tetapi, Vivi keukeh ingin mengunjungi rumah almarhumah Reni lagi.

Dia merasakan, ada sesuatu yang membuatnya harus kembali kesana.

Dan benar saja, keluarga Reni menolak kehadiran Bunga. Dia dinilai sebagai anak pembawa sial.

Karena kehadiran atau melahirkan Bunga lah, Reni meninggal dunia.

Padahal, sebelum-sebelumnya saat melahirkan ke tiga anak-anak yang lain, Reni tidak mengalami masalah kesehatan sedikit pun.

Bahkan, mereka semua mengusulkan suami Reni untuk menitipkannya di panti asuhan.

Tentu saja suami Reni yang semula menolak persepsi mereka mulai goyah. Dia mulai membenarkan apa yang keluarga Reni katakan.

Mendengar itu, Vivi menyela, dia meminta izin untuk merawat Bunga. Menjadikan Bunga sebagai anaknya.

Karena semua keluarga dan kerabat Reni tahu siapa Vivi. Mereka langsung menyetujui hal itu. Akan tetapi mereka mengajukan syarat, yang membuat siapapun terkejut.

"Untuk mengantikan anak ku yang telah tiada, kami minta tebusan senilai satu miliyar," ungkap ibu Reni.

Andrian, yang melihat tatapan memohon dari Vivi langsung menyetujuinya.

Akan tetapi, dia harus membuat persyaratan terlebih dahulu. Untuk tidak pernah mengusik ataupun mengambil Bunga lagi, suatu saat nanti.

Andrian juga menambahkan, jika ayah Bunga bersedia mengakui Bunga sebagai anak kandungnya sendiri, serta mau menjadi wali nikah Bunga, suatu hari nanti.

Tak butuh waktu lama, seseorang atas perintah Andrian, datang dengan membawakan surat-surat yang Andrian perlukan. Disana, tercatat beberapa poin penting. Serta jumlah uang yang di keluarkan Andrian untuk mengadopsi Bunga.

Andrian juga mengumpulkan beberapa perangkat serta ketua rt serta rw setempat, sebagai saksi dari kedua belah pihak.

"Uang satu miliyar ada di koper ini, kalo gak percaya, silahkan kalian hitung," perintah Andrian.

Ibu dari almarhum Reni, mengambil koper yang berisi uang. Dia langsung mengeluarkan uang yang telah tersusun rapi, untuk di hitung bersama keluarganya.

"Ingat ya pak, jika kamu masih hidup, kamu hanya datang padaku, saat aku memanggilmu sebagai wali, di pernikahannya. Dan foto copy ktp mu akan aku simpan, untuk selamanya," tutur Andrian lagi, setelah menyimpan semua berkas-berkas.

Tak lupa, Andrian, juga memfoto mereka semua, sebagai bukti, jika suatu saat di perlukan.

Flashback off ...

"Siapa lelaki yang beruntung itu?" tanya Andrian penasaran.

Bagaimana tidak, selama ini Bunga tak pernah sekalipun menunjukkan jika ia dekat, ataupun suka dengan lawan jenis.

Dan baik Vivi maupun Andrian sudah berulang kali, mencoba memperkenalkan Bunga dengan beberapa kolega ataupun rekan bisnis.

Akan tetapi, Bunga selalu menolak, dia beralasan tidak ingin menikah karena takut bertemu orang tua yang telah membuangnya.

Iya, Bunga tahu, jika ia anak angkat. Karena saat umur enam belas tahun. Vivi dan Andrian mengatakan hal yang sejujur-jujurnya.

Karena mereka, tidak mau Bunga tahu dari orang lain. Itulah, yang menjadi pertimbangan keduanya.

"Rangga pa, Rangga Pradipta ..." sahut Bunga dengan lirih.

Andrian dan Vivi saling pandang. Mereka mengenal pemuda itu. Pemuda yang sejak beberapa tahun lalu, sering ke rumahnya untuk sekedar menjadi pengganti pak Surya, atau ayahnya Rangga, yang berprofesi sebagai sopir keluarga.

"Kalian keberatan?" tanya Bunga, karena baik Andrian atau Vivi sama-sama tidak memberi tanggapan.

"Tentu saja tidak, tapi bagaimana bisa? Rangga hanya seorang sopir," tanya Andrian.

"Ma, pa ..." Bunga menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tak percaya.

"Tapi, kami hanya ingin yang terbaik untukmu Bunga. Kamu seorang sekretaris di perusahaan papa. Apa gak terlalu jomblang?" tanya Vivi hati-hati.

Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya.

"Tapi aku jadi sekertaris, juga gara-gara kalian kan? Andai kalian tidak mengambil ku, mungkin aku udah gak ada di dunia ini," ungkap Bunga.

"Baiklah, suruh Rangga menghadap papa," putus Andrian.

...****************...

Seminggu telah berlalu, malam ini Rangga bersama kedua orang tuanya, datang ke rumah Andrian.

Mereka sepakat akan membicarakan tentang rencana pernikahan yang berlangsung.

Setelah makan malam selesai. Kini, dua keluarga sedang berada di ruang tamu, dengan aneka suguhan yang telah di hidangkan oleh art.

"Jadi, apa yang bisa kamu berikan untuk Bunga?" tanya Andrian membuka suara.

"A-aku akan berusaha memberikan segalanya, untuknya," sahut Rangga mantap.

Andrian menyipitkan matanya, kala mendengar jawaban Rangga.

"Terus, apa alasannya, aku harus merestui kalian?" tanya Andrian lagi.

Vivi melototi Andrian yang berada tepat di sampingnya. Dia gak mau, jika Rangga ataupun kedua orang tuanya, merasa tak nyaman.

"Karena kami saling mencintai, dan aku yakin bisa membahagiakan Bunga," ungkap Rangga seraya menggenggam tangan Bunga.

Andrian menatap Rangga dan Bunga secara bergantian.

Entah kenapa, dia masih kurang sreg dengan Rangga. Namun, tatapan penuh harap dari Bunga merubah penilaiannya.

Toh ini pilihan Bunga, dan sudah pasti Bunga tahu mana yang terbaik untuk hidupnya.

Akhirnya kedua keluarga sepakat jika acara pernikahan mereka akan berlangsung dalam kurung waktu tiga bulan dari sekarang.

Dan itu waktu yang cukup, untuk Andrian menemui orang tua kandung Bunga untuk memberitahu kan, kabar bahagia itu.

Seminggu kemudian, setelah informasi yang diinginkannya di dapatkan. Andrian mengambil cuti dari perusahaannya. Dia dan Vivi berencana ingin menemui orang tua ataupun keluarga Bunga.

Dan bagaimana dengan Bunga sendiri? Tentu saja, gadis itu menolak. Dia belum siap, belum siap melihat wajah orang-orang yang hendak membuangnya dulu.

Butuh waktu beberapa jam, setelah pesawat mereka mendarat. Akhirnya, Andrian dan Vivi tiba di rumah Bambang, atu orang tua Bunga.

Begitu Bambang, bertatap muka dengan Andrian dan Vivi. Dia langsung bisa mengenali mereka.

Selain wajah mereka tak banyak berubah. Selama ini, Bambang juga merasa di hantui oleh rasa bersalah, semenjak anak bungsunya di bawa pergi.

"Kalian kemari? Di-dimana Bunga? Apa, dia ada di luar?" Bambang celingukan.

Rindu, kata yang tak pantas di ucapkan.

Namun, itulah kebenarannya. Dia sungguh teramat rindu dengan anak yang bahkan tidak pernah tahu bagaimana rupanya.

"Bunga tidak ikut pak, kami kesini hanya ingin memintamu untuk memenuhi tanggung-jawab terakhirmu," Andrian menjeda ucapannya.

"Dia mau menikah? Putriku sudah dewasa?" tanya lelaki yang mungkin umurnya sudah mendekati kepala tujuh.

"Nanti, saat mendekati hari h tiba. Akan ada orang yang menjemput anda, dan keluarga anda," tambah Vivi.

"Bisa aku lihat, wajah adikku?" tanya anak pertama Bambang.

Andrian dan Vivi saling pandang.

"Maafkan kami, tapi Bunga melarang kami memperlihatkannya. Biar nanti, kalian lihat sendiri ya," balas Vivi lembut.

Lelaki yang udah mempunyai dua orang anak itu, tersenyum getir.

Sesungguhnya dia pernah merantau ke beberapa kota, berharap bisa bertemu Andrian ataupun Vivi. Tapi, usahanya gagal. Tak pernah membuahkan hasil apapun. Apalagi, dia tidak mempunyai informasi apapun selain nama depan Andrian saja.

Bahkan, nama Vivi saja, tidak tercantum dalam surat yang pernah di tanda tangani oleh ayahnya beberapa tahun lalu.

Bertemu

Besok, sebelum hari h. Sebuah mobil van mewah terlihat berhenti di depan rumah Bambang.

Lelaki yang sebelumnya udah di beritahu lewat ponsel oleh orang suruhan Andrian, telah bersiap-siap jauh-jauh hari, untuk menantikan hari yang bahagia ini.

Tak hanya Bambang saja di sana. Ke tiga anaknya yang lain juga berada di sana. Mereka memutuskan untuk ikut bersama. Guna melihat adik bungsu mereka.

Adik, hanya di dengar dari kisah-kisah, ataupun cerita dari ayah dan abang mereka.

"Kita harus nunggu mobil satu lagi, karena mobil ini gak muat, untuk menampung semuanya," ujar sopir kala mengetahui berapa orang yang ikut ke tempat tujuan.

Total, ada sekitar dua puluh dua orang yang ingin ikut menyaksikan pernikahan Bunga.

Termasuk, kakak dari Bambang. Perempuan yang dulu paling menentang tentang kehadiran Bunga di dunia ini.

Tak lupa, wanita itu juga mengajak anak menantunya untuk ikut serta. Mengungat, kapan lagi, bisa naik pesawat secara gratis.

Dan sekarang, dia juga malah penasaran tentang kehidupan Bunga. Perempuan yang tak pernah menyentuh apa itu, kemiskinan.

Iya, karena pada kenyataanya, uang satu miliyar yang di serahkan Andrian tidak cukup, bagi mereka yang mempunyai sifat-sifat tamak.

Dan selain penasaran tentang Bunga, perempuan itu juga penasaran tentang, bagaimana rasanya jalan-jalan ke kota, dan melihat rumah Bunga.

Apakah, sama seperti yang di benaknya. Rumah-rumah mewah, seperti yang di lihat di televisi.

Sekitar enam jam kemudian, mereka tiba di sebuah hotel bintang lima untuk mereka beristirahat. Dan di hotel itu juga, acara pernikahan Bunga yang di rayakan secara meriah.

Mengingat, Andrian seorang pengusaha mabel. Yang dimana, keluarga dan kolega-koleganya begitu banyak.

Bambang menatap hotel dengan tatapan penuh kekaguman. Begitu juga yang lainnya.

Ini pertama kalinya mereka memasuki hotel yang interiornya sangat mewah. Bahkan, lobinya saja, bisa menampung banyak orang.

Begitu namanya disebut. Resepsionis langsung bertanya pada Bambang, tentang berapa kamar yang inginkan. Karena sebelumnya Andrian telah berpesan pada mereka untuk melayani Bambang dan keluarga dengan sebaik mungkin.

"Dua aja," lirih Bambang.

Resepsionis mengernyit, karena jumlah orang yang berada di sofa tersebut, terlalu banyak untuk dua kamar.

"Satu laki-laki dan satu perempuan, sedangkan anak-anak, bisa tidur dengan emaknya masing-masing," papar Deni, anak pertama Bambang menjelaskan.

Resepsionis tersenyum, "Bisa sebutkan, berapa jumlah kartu keluarga? Karena pak Andrian dan bu Vivi telah berpesan pada kami untuk melayani kalian sebaik mungkin," ungkap perempuan itu dengan ramah.

"Tujuh, tapi kami cukup pesan dua kamar aja," sahut Deni keukeh dengan pendiriannya.

Sebelumnya mereka semua sudah sepakat untuk tidur bersama. Karena mereka tidak punya cukup uang, untuk di habiskan dalam semalam.

"Ini, kamar untuk kalian. Ada di lantai dua belas, dengan nomor kamar yang berurutan," resepsionis menyerahkan key cards pada Deni serta Bambang. "Dan semuanya gratis, karena pak Andrian udah membookingnya," jelas resepsionisnya lagi.

Deni menerima key cards yang di serahkan padanya. Petugas hotel juga ikut membawakan barang-barang mereka, ke lantai yang di tuju.

Tanpa mereka tahu, Bunga juga berada di lantai yang sama. Begitu juga dengan Andrian serta istrinya.

Tiba di lantai yang di maksud, masing-masing kepala keluarga di berikan satu kartu oleh Bambang, mereka masuk ke kamar sesuai nomor yang tertera disana.

Dan begitu sebagian orang masuk ke kamar masing-masing. Pengawal langsung memanggil Bambang, dia mengatakan jika kedatangannya telah di tunggu oleh Andrian.

Semula, Andrian memang hendak turun, menyambut langsung kedatangan Bambang. Namun, saat mengetahui jika banyak keluarga yang ikut, Andrian mengurungkan niatnya. Dia gak mau, kehadirannya malah membuat kehebohan.

Karena merasa gugup, Bambang mengajak Deni untuk ikut menemaninya.

Tentu saja, Deni mau. Karena inilah, momen yang di tunggu-tunggunya semenjak dua puluh delapan tahun yang lalu.

Tak di sangka, ternyata pengawal membawa Bambang dan Deni, ke kamar tepat di sebelah kamar yang di huni oleh Bambang.

Begitu pintu terbuka, Bambang dan Deni di persilahkan masuk ke dalam. Sedangkan, lelaki yang mengantarkan mereka, langsung kembali menutup kembali pintu itu. Meninggalkan mereka berdua disana.

"Pa, ma ..." seorang gadis yang baru saja selesai melakukan perawatan tubuhnya keluar masih dengan menggenakan kimono.

Dan tanpa sadar Bambang menjatuhkan air matanya. Dia tahu, itu Bunga. Bunga Adelia, anak bungsu, yang dilahirkan oleh almarhumah istrinya.

Wajah itu, wajah yang gak bisa di lupakan oleh Bambang, walaupun telah bertahun-tahun yang lalu.

Bunga, dia mewarisi semua kecantikan almarhumah istrinya. Bedanya, wajah Bunga tidak ada tahi lalat kecil, di sudut matanya.

Lainnya, dia persis seperti Reni.

Reni, saat pertama kali di lihatnya, yang sedang mengejar lembu, beberapa tahun yang lalu.

"Kalian," suara Bunga bergetar.

Bunga tahu itu keluarga kandungnya.

Apalagi, dua lelaki di hadapannya sedang menangis. Terbukti dengan isakan kecil yang terdengar.

"Ma, pa ..." panggil Bunga lagi.

Andrian dan Vivi sengaja menyuruh Bambang untuk ke kamar Bunga. Mereka ingin memberikan sedikit waktu untuk Bambang, melihat keadaan anaknya.

Dan sekarang, Andrian dan Vivi memilih untuk ke kamar mereka, yang berada di depan kamar Bunga.

"Bunga, Bunga Adelia ..." lirih Bambang, sembari maju selangkah.

Bunga pun, memilih mendekat. Karena sejak ia tahu, jika ia merupakan anak angkat. Dia telah mempersiapkan hal ini.

Bertemu dengan keluarga kandungnya.

Tapi, jujur. Ini terlalu menyesakkan. Dan inilah, saatnya dia akan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang alasan di balik, kenapa dia berada di tangan orang tua angkatnya.

Karena Andrian dan Vivi masih menutupi kebenaran tentang hal ini.

"Kenapa?" tanya Bunga lirih.

Bambang yang tadi, melangkah mendekati Bunga langsung menghentikan kakinya.

Pertanyaan Bunga, mengembalikan kesadarannya. Kesadaran betapa bodoh dan berdosanya dia sebagai orang tua.

"Apa salah ku?" tanya Bunga lagi.

Jangankan Bambang, Deni saja merasa bersalah dengan pertanyaan adiknya.

Seharusnya, dulu dia bisa mempertahankan Bunga. Seharusnya dia bisa menjadi pelindung untuk adik-adiknya. Tapi apa? Dia bahkan tidak bisa bertemu ataupun mendapatkan informasi apapun tentang Bunga.

"Maafkan ayah, maafkan lelaki tua, yang bodoh ini nak. Maafkan ayah," Bambang menjatuhkan tubuhnya. Dia berlutut memohon ampun pada Bunga.

Deni pun, ikut melakukan hal yang sama. Dia terisak, seraya merangkul ayahnya.

"Maafkan abang, maafkan abang yang tidak bisa mempertahankanmu nak, maafkan abang ..." mohon Deni, menangkup kedua tangannya.

"Katakan sejujurnya, kenapa? Kenapa kalian membuangku? Kenapa?" Bunga berteriak. Dia merasakan sesak di dadanya.

Padahal, sebelumnya dia sudah di wanti-wanti oleh Vivi dan Andrian, untuk tetap menghormati ayah kandungnya. Dan Vivi juga berulang kali menjelaskan, jika Bunga merupakan anak yang diambil secara sah. Bukan anak buangan, yang di ambil di panti asuhan, ataupun di temukan di jalanan.

Akan tetapi, nasehat Vivi menghilang begitu saja. Rasa emosi lebih dominan di hatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!