Seorang pria sedang menjalankan mobilnya dengan tenang. Ia melewati kawasan yang belum pernah ia lewati sebelumnya. Jalanan ini merupakan daerah sepi penduduk, yang salah satu tanah luasnya rencananya akan ia rekonstruksi menjadi pusat perbelanjaan.
Namun naas, mobil hitam mewah itu sedikit oleng. Ia merasakan hentakan di roda belakang, disusul bunyi kasar yang membuat alisnya berkerut. Mobil dipelankan, sebelum akhirnya berhenti di pinggir jalan.
Dengan kesal, pria itu keluar. Melepas kaca mata hitamnya, lalu menggantungkannya di kerah kemeja putih yang rapi meski kini ternodai sedikit debu jalanan. Tubuh tegapnya berjongkok, tangan kokohnya menyentuh ban yang kempes, terlihat paku kecil yang masih tertancap di sana.
Damian Evans mengembuskan napas panjang, separuh menahan jengkel. Dialah CEO Evans Corporation, pria berusia 44 tahun yang biasanya duduk di kursi kulit nyaman di lantai teratas gedung pencakar langit, kini malah berdiri sendirian di tengah daerah sepi yang bahkan sulit menemukan bengkel.
Ia berdiri tegak, pandangan matanya menyapu sekitar. Sunyi. Jalanan panjang, sawah terbuka, dan beberapa rumah tua berjajar di kejauhan. Tidak ada lalu-lalang kendaraan, sehingga tidak ada pertolongan instan.
Damian mendesah pelan, “Sial,” gumamnya rendah.
Untuk sesaat, ia merasa seperti orang biasa, bukan miliarder dengan nama besar.
Tidak lama, suara deru mesin mobil mendekat dari arah berlawanan. Damian yang sejak tadi berdiri di samping sedan hitamnya, menoleh cepat. Sebuah mobil berwarna abu metalik melaju pelan, lalu berhenti tidak jauh dari tempatnya.
Pintu sopir terbuka, dan keluarlah seorang wanita. Setelan kantoran hitam-putih membalut tubuhnya dengan elegan, rambut panjang bergelombang terurai lembut di bahunya, dan sepasang sepatu hak tinggi berkilat mengetuk aspal saat ia melangkah. Makeup-nya tipis, namun cukup untuk menonjolkan kecantikan alaminya.
Damian terdiam sejenak, nyaris lupa pada ban mobilnya yang kempes. Ia terbiasa bertemu wanita karier berkelas dalam rapat direksi maupun pesta koktail, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Di tengah jalan sepi, sosok itu justru tampak lebih menonjol, seperti pemandangan asing yang sulit diabaikan.
Wanita itu menutup pintu mobilnya, lalu berjalan mendekat.
“Nona,” sapa Damian sopan.
“Iya, Om.” Balas wanita itu tanpa ragu, matanya bergantian menatap wajah Damian dan sedan hitam yang ban belakangnya sudah kempes.
Damian terdiam sepersekian detik, lalu terkekeh pendek, tidak percaya dengan panggilan itu. Tapi ia segera menyadari bahwa wanita dihadapannya ini jelas jauh lebih muda darinya.
“Om?” Damian mengulang dengan senyum samar.
Elena menaikkan alis, menatapnya seolah ia tidak terlalu mempersoalkan hal kecil itu.
“Apa Om perlu bantuan?” tanyanya sambil menunjuk mobil mewah yang terparkir dengan ban kempes.
Damian menoleh sekilas, lalu mengangguk, “Ban mobilku tertancap paku. Dan aku tidak membawa ban cadangan. Apakah di sekitar sini ada bengkel?”
Elena menghela napas, “Sebentar.”
Ia berjalan menuju mobilnya untuk mengambil ponsel. Setelah itu, ia kembali menghadap Damian, dengan tangan yang sibuk menari-nari diatas layar. Kemudian menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Bisa ke jalan arah selatan? Ada mobil mogok. Ban belakangnya pecah. Tolong bawa alat, ya.”
Sementara Elena berbicara, Damian memperhatikannya lebih dekat. Ada sesuatu yang menarik dari wanita itu. Cara berdiri, gerak tubuh, dan ketegasannya saat berbicara lewat telepon, semuanya menyiratkan aura percaya diri yang jarang ia temui.
“Temanku montir kecil-kecilan,” ucap Elena setelah menutup telepon, “Rumahnya tidak jauh. Sebentar lagi datang.”
Damian menyilangkan tangan, matanya menyipit, “Kau sungguh memanggilkan bantuan untukku?”
Elena menatapnya lekat, sedikit heran dengan pertanyaannya, “Kalau tidak, Om mau apa? Dorong mobil sebesar itu sampai kota? Atau menunggu sampai ban itu hancur total?”
Jawaban lugas itu menusuk, tapi justru membuat Damian tertawa kecil. Ia sudah terbiasa mendengar orang berbicara dengan penuh kehati-hatian di hadapannya. Semua menjaga kata, semua penuh hormat. Namun wanita ini? Santai, seolah ia hanyalah pria biasa yang terjebak di jalanan.
“Baiklah, nona. Sepertinya aku berutang padamu,” ucap Damian, kali ini lebih tenang.
Elena menyunggingkan senyum tipis, “Nanti saja, Om. Setelah mobil itu bisa jalan lagi.”
Untuk pertama kalinya sejak lama, Damian Evans, seorang CEO yang dihormati sekaligus ditakuti, merasa benar-benar terdiam. Lalu, tanpa bisa menahan diri, ia tertawa kecil. Bukan tawa kesal, melainkan tawa kagum.
Wanita ini… jelas berbeda.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit dalam keheningan, suara mesin terdengar mendekat dari kejauhan. Sebuah mobil pick up berhenti di sisi jalan. Dari dalamnya turun seorang pria dengan wajah kelelahan. Pandangannya sempat jatuh pada Elena, lalu bergeser ke arah Damian.
“Mana ban yang kempes, Pak?” tanya montir itu, Theo.
Damian mendekat, menunjuk ke arah ban belakang yang masih terbenam paku, sembari menjelaskan singkat masalahnya. Theo mengangguk paham, lalu berjalan ke bak pick up untuk mengambil peralatan. Suara logam beradu terdengar, menandai ia mulai bersiap bekerja.
Sementara itu, Damian menoleh. Pandangannya jatuh pada Elena yang masih berdiri di bawah pohon, mencoba berteduh seadanya. Rambut panjang bergelombangnya tampak melekat di sisi wajah karena keringat, dan tangan mungilnya tidak henti-hentinya mengibas-ngibas udara panas yang tidak kunjung reda.
Ada sesuatu yang menohok di dada Damian saat melihatnya begitu. Tanpa berpikir panjang, ia membuka pintu mobil, dan mengambil sebotol air mineral, lalu melangkah ke arahnya.
Elena mengangkat wajah begitu bayangan Damian menghampirinya. Sedikit terkejut saat botol bening itu terulur ke arahnya.
“Minumlah,” ucap Damian, suaranya dalam namun tenang.
Sejenak Elena terdiam, alisnya terangkat setengah bingung. Namun tatapan pria itu begitu tulus, membuatnya tidak kuasa menolak. Ia pun mengangguk pelan, meraih botol dari tangannya.
Segera setelah meneguk beberapa kali, kesejukan air itu seolah menyalakan kembali energinya. Bibir Elena melengkung tipis, lalu ia menatap Damian.
“Terima kasih, Om.”
Damian balas tersenyum, lalu mengangguk singkat.
“Kau dalam perjalanan ke mana dengan pakaian seperti itu?” tanya Damian, matanya sekilas meneliti setelan formal Elena yang rapi meski sudah sedikit kusut karena panas.
Elena tersenyum singkat, lalu menjawab dengan nada ringan, “Pergi wawancara dengan salah satu perusahaan tempatku melamar pekerjaan.”
Damian terdiam sesaat. Tatapannya berubah, ada rasa bersalah yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Pergilah sekarang,” ucapnya cepat, hampir seperti perintah.
Namun Elena hanya melirik jam tangan di pergelangan kirinya, lalu menghela napas.
“Sudahlah, Om. Sudah terlambat.”
Damian menunduk sejenak, lalu menatapnya lagi, “Maafkan aku, karena menolongku, kau harus kehilangan kesempatan yang begitu berharga.” Nada suaranya terdengar tulus, ia sangat menyesali kejadian yang baru saja terjadi.
Elena menggeleng pelan, tatapannya lembut, “Tidak apa-apa, Om. Aku membantumu dengan ikhlas. Pasti ada cara lain untuk mendapatkan pekerjaan baru.”
Sejenak Damian terdiam. Lalu, dengan gerakan mantap, ia merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah kartu nama. Ia memberikannya pada Elena.
“Ini kartu namaku. Kau boleh mengajukan lamaran ke perusahaanku.”
Elena menerimanya, matanya segera membaca tulisan yang tercetak rapi di kartu itu. Bibirnya terbuka sedikit, nyaris tidak percaya.
“Damian Evans… CEO Evans Corporation?” Tatapannya langsung terangkat, menatap Damian penuh keterkejutan.
Damian terkekeh kecil, “Kenapa? Kau terlihat seperti baru saja memenangkan lotre.”
Elena menggeleng cepat, meski wajahnya jelas masih menunjukkan rasa tidak percaya, “Tidak. Hanya saja, aku tidak menyangka orang yang kutemui hari ini ternyata seseorang yang penting.”
Damian mengangkat bahunya santai, “Tidak masalah. Aku pun tidak pernah menyangka akan bertemu seseorang sepertimu di sini.”
Elena menahan senyum, “Saat aku mencari beberapa perusahaan untuk melamar, setahuku Evans Corporation tidak membuka lowongan. Lalu ini apa maksudnya?” Ia menunjukkan kartu nama itu lagi, matanya masih ragu.
Damian berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis, “Mungkin… ini sebagai ganti karena kau sudah menolongku.”
“Eh, tapi apakah boleh seperti itu, Om?” Elena masih tidak percaya, alisnya bertaut.
Damian terkekeh, nada suaranya tenang tapi penuh wibawa, “Aku kan bosnya. Aku berhak mengatur semuanya.”
Elena akhirnya tidak kuasa menahan senyum. Ia menunduk singkat, lalu memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celananya dengan hati-hati, seolah benda itu lebih berharga dari sekadar selembar kertas.
“Baiklah, Om. Akan kupikirkan baik-baik.”
Damian mengangguk pelan, matanya menatap Elena lebih lama dari seharusnya, “Aku menunggu kabar baik darimu.”
“Lalu apa yang Om lakukan di tempat seperti ini?” tanya Elena, rasa ingin tahunya muncul setelah beberapa menit mereka berbicara.
Damian meliriknya sekilas, lalu menjawab tenang, “Aku sedang melakukan observasi akhir pada salah satu tanah luas di sekitar sini.”
Mulut Elena membulat kecil, matanya berbinar, “Ah… maksud Om tanah luas di ujung jalan panjang ini?”
Damian mengangguk mantap, “Ya, benar.”
Elena menoleh sebentar ke arah jalan yang ia maksud, seakan membayangkan apa yang akan terjadi, “Aku memang pernah mendengar kabar bahwa kawasan ini akan dijadikan area modern. Ternyata perusahaan Om yang menanganinya.”
“Benar,” Damian tersenyum tipis, suaranya terdengar penuh keyakinan, “Sebuah pusat perbelanjaan akan dibangun di sana. Setelah mendapat persetujuan dari penduduk sekitar, pembangunannya akan segera dimulai.”
Elena mengangguk-angguk, wajahnya menampilkan ketertarikan, “Itu ide yang bagus, Om. Tentu tidak ada yang menolak. Daerah ini memang sepi, pusat perbelanjaan bisa membawa banyak perubahan.”
“Rumahmu di sekitar sini?” Damian akhirnya bertanya, matanya menelusuri sekeliling jalan sepi itu.
Elena membalikkan badan, lalu menunjuk ke arah deretan rumah sederhana yang terpisah oleh hamparan sawah luas.
“Di sana, Om. Bangunan lantai satu warna hijau muda, yang paling kiri sendiri.”
Damian menyipitkan mata, berusaha menangkap objek kecil di kejauhan. Ia melihat samar bentuk rumah yang ditunjuk Elena, tapi tetap ada keraguan di benaknya. Wanita ini berpakaian rapi, berkelas, ditambah mobil yang ia kendarai, semua itu lebih mencerminkan kehidupan kota dibandingkan kawasan sunyi ini.
“Itu rumahku,” ucap Elena lagi, menurunkan telunjuknya.
Namun, kening Damian berkerut samar. Ada ekspresi tidak percaya yang sulit ia sembunyikan. Elena menangkap ekspresi itu, lalu menarik napas panjang, seolah sudah terbiasa dengan respon semacam ini.
“Om bukan orang pertama yang tidak percaya dengan keadaanku.”
Damian cepat-cepat menggeleng, “Aku tidak bermaksud begitu.”
“Aku jujur, Om.” Suara Elena terdengar tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya, “Itu memang rumahku. Tepatnya rumah mendiang kakekku. Setelah kakek meninggal, beberapa tanah peninggalannya aku jual, untuk biaya kuliah, dan membeli mobil itu. Supaya aku bisa lebih mudah beraktivitas di kota.”
Damian terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan, “Lalu orang tuamu?” tanyanya hati-hati.
Elena menggeleng, pandangannya kosong sesaat, “Aku bahkan tidak mengingat wajah mereka. Ibuku meninggal saat melahirkanku, sementara ayahku... entah kemana, dia pergi sejak aku masih bayi.”
Kata-kata itu membuat Damian tercekat. Tatapannya berubah sendu, penuh iba. Ia bukan pria yang mudah tergerak, namun cerita singkat itu membuat dadanya terasa berat.
Elena menyadari keheningan itu. Ia buru-buru tersenyum ceria, seolah ingin menghapus rasa kasihan yang mungkin muncul.
“Maaf, Om. Aku malah menceritakan hal seperti ini pada orang yang baru kutemui.”
Damian menatapnya dalam, lalu menggeleng perlahan, “Tidak apa. Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu.” Suaranya rendah, tulus.
Elena tetap tersenyum, kali ini lebih lembut, “Aku sudah berdamai dengan keadaanku. Jadi, tidak ada lagi yang perlu ditangisi.”
Damian hanya bisa membalas dengan senyum tipis. Pandangannya melembut saat menatap Elena.
Suara dentingan logam terakhir terdengar, disusul Theo yang menepuk tangannya seolah membersihkan sisa debu.
“Sudah, Pak. Mobilnya bisa dipakai lagi,” ucapnya sambil berdiri tegak.
Damian menoleh, memberi anggukan singkat, “Terima kasih.”
Pria itu hanya tersenyum lalu membereskan peralatannya kembali ke pick up.
“Akhirnya selesai juga,” ucap Elena, yang diangguki Damian.
Damian pun mendekat ke arah Theo yang tengah berdiri di belakang bak pick up. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan dompet kulit, lalu menarik beberapa lembar uang.
“Ini untuk biayanya,” ucap Damian.
Theo berhenti bergerak, menatap uang yang terulur ke arahnya. Namun sebelum ia sempat meraih, suara langkah ringan terdengar. Elena sudah mendekat dari bawah pohon, wajahnya sedikit serius.
“Tidak perlu, Om,” ucapnya cepat.
Theo refleks menarik kembali tangannya. Ia melirik Elena yang menatapnya penuh makna, semacam peringatan agar tidak menerima.
“Theo sudah kukenal sejak kecil, bahkan rumah kami bersebelahan. Tidak usah membayarnya, Om,” lanjut Elena.
Damian mengernyit sedikit, “Tidak. Dia sudah bekerja keras, aku harus mengganti keringatnya.”
“Tapi sungguh, tidak perlu, Om. Benarkan, Theo?” Elena menoleh pada Theo, matanya jelas memberi kode.
Theo terkekeh kikuk, lalu mengangguk, “I-iya, tidak perlu, Pak. Anggap saja bantuan kecil dari saya.”
Damian menatap keduanya, lalu perlahan memasukkan kembali uang itu ke dalam dompetnya. Ia tersenyum samar, tapi nada suaranya tetap hangat.
“Baiklah. Terima kasih banyak. Kalian memang orang yang sangat baik. Kalau begitu, aku harus melanjutkan pekerjaanku.”
“Iya, Om,” sahut Elena lembut.
Damian mengangguk singkat. Ia berbalik, melangkah menuju mobilnya, lalu membuka pintu sopir. Namun, sebelum masuk, ia menoleh kembali. Pandangannya jatuh pada Elena.
“Aku lupa bertanya. Siapa namamu?” tanya Damian.
Elena sempat terkejut dengan pertanyaan itu. Ia pun tersenyum kecil.
“Elena.”
“Elena?” Damian mengulang pelan, seakan ingin mengingatnya dengan benar.
Elena mengangguk, “Iya.”
Damian tersenyum hangat, “Senang mengenalmu,” ucapnya ramah, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil.
Mesin kembali menyala, roda berputar pelan meninggalkan jalanan sepi itu. Elena berdiri tegak, senyum samar masih tertinggal di wajahnya saat memperhatikan mobil Damian yang semakin menjauh.
Theo menutup bak pick up dengan bunyi nyaring, lalu melirik Elena dengan wajah jengah.
“Hampir saja aku mendapat rejeki nomplok, tapi semuanya sirna begitu saja.”
Elena menoleh menatap Theo. Dari sorot matanya terlihat kalau ia sama sekali tidak terkejut dengan keluhan itu. Perlahan, ia merogoh saku kemeja dan menarik beberapa lembar uang. Ia mengulurkannya dengan santai.
“Ini untukmu. Lebih banyak dari yang dia tawarkan, kan?”
Mata Theo langsung berbinar, raut kesalnya lenyap seketika. Ia cepat-cepat meraih uang itu, menggenggamnya dengan senyum lebar.
“Kalau begini, tentu aku tidak akan kesal padamu.” Ia tertawa kecil, lalu menyelipkan uang itu ke dalam saku celananya.
Namun, sesaat kemudian Theo menatap Elena dengan ragu, “Tapi… aku tidak mengerti denganmu. Kenapa tiba-tiba kau berpakaian seperti ini? Dan lagi, kenapa tadi kau menyuruhku menabur paku di jalan ini?”
Elena menatap lurus ke arah jalan, tepat ke mobil Damian yang kini hanya tinggal titik kecil di kejauhan. Senyumnya samar, tapi ada kilatan dingin di balik matanya.
“Tentu saja untuk menjebaknya," batin Elena.
"Hei, kenapa kau malah diam?"
Elena akhirnya menoleh pada Theo, wajahnya serius, “Tidak apa. Tapi kau harus melupakan masalah ini. Kau paham?”
Theo mengangkat tangan, gerakannya seperti sedang bersumpah, “Tentu, Tuan Putri."
Elena tersenyum tipis, “Baiklah. Aku pulang dulu.”
Ia pun masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, lalu melaju perlahan meninggalkan Theo yang masih berdiri di tepi jalan.
“Permainan baru saja dimulai,” lirih Elena dengan seringaian licik, sambil memutar kemudi.
Damian sampai di rumahnya tepat saat langit senja mulai menumpahkan warna jingga keemasan di balik pepohonan tinggi yang mengelilingi mansion itu. Mobil hitamnya berhenti di pelataran luas dengan air mancur megah di tengahnya. Sementara itu, beberapa mobil mewah lain juga terparkir dengan rapi.
Ia turun dengan langkah berwibawa, jasnya masih rapi meski hari hampir usai. Kepala pelayan rumahnya, Jane, sudah menunggu di depan pintu masuk. Wanita setengah baya itu menunduk hormat.
“Tuan, selamat datang.”
Damian hanya mengangguk tipis, sebelum akhirnya melangkah masuk. Aroma bunga dari taman bercampur dengan wangi kayu mahal dari interior rumah, seolah menegaskan betapa megahnya bangunan itu. Jane mengikuti dari belakang dalam diam, seakan sudah terbiasa dengan kebisuan tuannya.
Saat tiba di depan tangga, Damian berhenti. Matanya meneliti seisi rumah, mencari keberadaan seseorang.
“Anak itu belum pulang?” tanyanya dengan suara berat.
Jane menunduk dalam, “Belum, Tuan.”
Wajah Damian mengeras, rahangnya mengatup, “Ck. Sulit sekali mengaturnya!”
“Saya akan segera menghubungi Tuan Muda,” tawar Jane cepat.
Damian mengangkat tangan, “Tidak perlu. Aku akan memblokir semua kartunya. Dia akan pulang sendiri.”
Jane terdiam, menunduk patuh, “Baik, Tuan.”
Tanpa menunggu lagi, Damian menaiki tangga dengan langkah yang membawa beban pikiran berat.
Sementara itu, di tempat lain, Elena sedang duduk di depan cermin minimalis kamarnya. Rambut panjangnya yang masih basah ia keringkan perlahan dengan handuk putih. Gerakan tangannya tenang, namun dalam benaknya ia sibuk memikirkan langkah selanjutnya. Ingatannya kembali memutar saat pertemuannya dengan Damian siang tadi.
Tentu saja hal itu bukan karena kebetulan, karena memang ia sendiri yang merencanakan semuanya. Paku-paku di jalan, Theo yang berpura-pura menolong, dan kepercayaan diri yang terlatih. Semua itu adalah bagian dari skenario yang ia buat.
Elena menatap bayangannya sendiri di cermin, lalu menarik sudut bibirnya, membentuk senyum tipis. Damian Evans, pria itu ternyata benar-benar mudah percaya pada orang asing.
Kata-katanya siang tadi sebagian jujur dan sebagian lagi bohong. Ia tentu berbohong tentang wawancara kerja, karena ia sama sekali belum melamar pekerjaan di mana pun sejak lulus dari perguruan tinggi. Tapi soal keluarganya, itu nyata. Ia memang sendiri. Tidak ada ayah, tidak ada ibu, dan tidak ada pelukan keluarga yang menanti. Yang tersisa hanyalah rumah sederhana peninggalan kakeknya. Dan karena harta warisan kakeknya yang tidak seberapa itu, ia mampu bertahan sampai hari ini.
Elena menghela napas panjang. Dari balik tatapan matanya di cermin, terlihat jelas ada dua sosok dalam dirinya. Remaja rapuh yang dulu dihina, dan wanita baru yang kini siap memainkan perannya.
Elena berdiri dari kursi di depan meja rias, menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu beranjak. Kakinya melangkah tenang menyusuri koridor pendek hingga berhenti di depan sebuah pintu kayu polos di samping kamarnya. Di atas meja kecil tergeletak sebuah kunci perak, yang sudah berkali-kali ia genggam dalam ritual rahasia ini.
Dengan satu tarikan napas, ia memutarnya di lubang kunci. Pintu berderit pelan, dan aroma khas kertas, tinta, serta debu lama langsung menyergap indra penciumannya. Cahaya redup lampu meja menyapu ruangan yang tidak luas itu, memperlihatkan dinding penuh kertas, foto, peta, catatan, hingga potongan berita koran yang tersusun kacau namun terhubung benang merah.
Inilah markas kecilnya. Tempat rahasia di mana dendamnya berakar, tumbuh, dan dirawat. Semua informasi tentang keluarga Evans tersimpan di sini. Dari artikel mengenai kesuksesan Evans Corporation, foto Damian dalam berbagai acara bisnis, hingga potret Sean Evans setelah lulus SMA yang tersenyum angkuh di samping ayahnya. Senyum yang selalu menghantui tidur malam Elena.
Matanya berkilat dingin saat jarinya menyusuri garis benang merah yang menghubungkan foto Sean dengan Damian.
“Semuanya akan berjalan sesuai rencana,” gumamnya lirih.
Di ruangan inilah Elena kembali mengingat, sejak lulus SMA, ia sudah mulai mengumpulkan informasi. Dan sekarang, saat semua kepingan mulai terhubung, langkah pertama sudah ia jalankan siang tadi, yakni bertemu Damian Evans.
Beberapa hari sebelum pertemuan tadi, Elena sudah lebih dulu mendengar kabar. Sebagai lulusan bisnis, ia terbiasa mengikuti arus informasi di sekitarnya, apalagi terkait perkembangan kawasan tempat tinggalnya. Isu mengenai pembangunan sebuah pusat perbelanjaan modern mulai beredar, yang berhasil membuatnya penasaran. Ia mendatangi pemilik tanah di ujung jalan panjang itu, berpura-pura sebagai warga yang ingin tahu lebih banyak.
Dan di sanalah ia mendapat kepastian, bahwa Evans Corporation yang akan mengelolanya. Bahkan kata pemiliknya, CEO-nya sendiri yang akan datang hari ini untuk melakukan observasi.
Elena tentu tersenyum penuh kepuasan. Damian Evans merupakan nama yang sudah lama ada dalam catatannya. Ayah dari pria yang menghancurkan masa remajanya. Dan sekarang, tanpa ia perlu mengundang, targetnya datang sendiri ke tempatnya.
Ia bahkan sengaja menyiapkan diri, memilih pakaian kantor terbaik, merapikan rambut panjangnya, dan memastikan tampilan dirinya berkelas. Cukup untuk membuat pria berusia matang itu tidak melepaskan pandangan darinya. Semua hal disusun rapi, karena ia tahu, kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.
Dan ketika akhirnya Damian benar-benar menawarinya kesempatan melamar pekerjaan di perusahaannya, Elena nyaris tidak bisa menahan senyum kemenangannya. Dunia benar-benar menyiapkan panggung untuknya.
Di hadapan papan penuh catatan itu, Elena berdiri lama. Matanya menatap lurus ke arah foto Sean yang terpampang di tengah, dengan senyum congkak khasnya. Hatinya kembali berdenyut getir, teringat luka-luka lama yang ia simpan rapat.
Ia tahu betul, kesombongan Sean lahir dari latar belakangnya. Dari kemewahan, perusahaan bernilai miliaran, dan dari nama besar ayahnya. Sean tidak akan pernah menjadi pengganggu yang arogan seandainya Damian bukan ayahnya. Cara Damian membesarkan anaknya, kekayaan yang diwariskan begitu saja, membuat Sean merasa dirinya kebal hukum, bebas merundung siapa pun tanpa konsekuensi.
Elena menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak hangat.
“Hanya ayahmu sendiri yang bisa menghancurkan kecongkakanmu, Sean.”
Itulah ide gilanya. Balas dendam tidak akan ia tunjukan dengan melukai Sean secara langsung. Tidak. Itu terlalu mudah. Terlalu biasa. Ia ingin sesuatu yang lebih manis dan lebih menyakitkan.
Ia akan mendekati Damian. Membuat pria itu jatuh dalam pesonanya, hingga pria itu tidak bisa melepaskan diri. Lalu, di hadapan Sean, Elena akan berdiri bukan sebagai korban yang dulu ia rundung, melainkan hadir sebagai ibu tirinya. Wanita yang lebih berkuasa, yang bisa menundukkan kepala Sean dengan satu tatapan.
Sebuah senyum puas terbentuk di bibirnya, “Kau akan berlutut di kakiku, Sean. Dan itu akan menjadi kemenangan terindahku.”
Jemarinya kemudian meraih sebuah kartu nama yang sejak tadi tergeletak di sana. Ia menatapnya lama, seolah ingin mengukir nama itu dalam-dalam di pikirannya. Bibirnya melengkung, senyum tipis yang menyimpan terlalu banyak rencana.
Perlahan, ia mengambil pin logam, lalu menempelkan kartu itu tepat di papan dinding, di antara foto Sean yang tersenyum congkak dan artikel lama tentang kejayaan Evans Corporation. Kini, benang merah yang membentang di papan itu menemukan simpul barunya.
Matanya berkilat penuh tekad. Ia tahu, sejak hari ini, permainan sudah dimulai. Dan Damian Evans, tanpa sadar baru saja melangkah masuk ke dalam perangkap yang sudah ia siapkan dengan sabar selama bertahun-tahun.
......................
Bulan sudah menggantung di langit ketika Damian selesai membersihkan diri. Uap tipis masih menempel di kaca kamar mandi yang luas dan berlapis marmer. Ia berdiri di depan cermin besar, gerakan tangannya teratur saat menyikat gigi, kemudian membasuh wajah dengan air dingin.
Pantulan dirinya menatap balik, wajah tegas yang jarang ia beri waktu untuk beristirahat. Cahaya temaram dari lampu tersembunyi di balik cermin menyoroti garis rahangnya yang kaku, seolah mengingatkan betapa berat beban yang harus ia hadapi hari ini. Damian menarik napas panjang, mengusap wajah dengan handuk putih yang tergantung rapi di samping wastafel.
Tangannya menempel di permukaan kaca, mengusapnya perlahan untuk menyingkirkan kabut tipis dari uap kamar mandi. Pandangan matanya menatap wajahnya sendiri dengan jeli, menelusuri setiap garis yang terbentuk dari usia dan beban tanggung jawabnya selama ini. Namun pikirannya tidak bisa lepas dari satu bayangan.
Wanita itu.
Elena.
Tanpa sadar, bibirnya berdenyut menahan senyum yang tiba-tiba muncul. Sudah lama ia tidak merasakan ketertarikan seperti ini pada seorang wanita, dan rasanya aneh sekaligus menyenangkan. Bahkan Damian, yang biasanya rapi dengan logika dan kontrol diri, merasa bingung bagaimana mendeskripsikan perasaan yang tiba-tiba membuncah ini.
Ia menggeleng pelan, berusaha menghempas ingatan itu. Perasaan liar ini salah, wanita itu terlalu muda untuknya.
Dengan langkah mantap, Damian pun meninggalkan kamar mandi. Ia kemudian melangkah masuk ke walk in closet. Ruangan luas itu dipenuhi deretan jas, kemeja, dan sepatu yang tersusun rapi di rak kaca.
Tangan Damian bergerak untuk memilih pakaian santai untuk malam hari. Gerakannya tenang, seolah sudah terbiasa dengan rutinitas ini, sebelum akhirnya ia menarik satu set pakaian yang menurutnya paling nyaman untuk dikenakan.
Baru saja selesai mengenakan pakaiannya, ia dengan cepat menoleh saat mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka secara paksa. Tentu ia tahu siapa pelakunya. Karena itu, ia keluar dengan langkah santai.
Begitu keluar, matanya langsung jatuh pada sosok Sean yang berdiri di dekat pintu dengan ekspresi penuh amarah. Rahang putranya mengeras, matanya menyala penuh tuduhan.
“Jadi ini yang kau lakukan, Ayah?” suara Sean terdengar tajam, nyaris seperti tudingan yang dilemparkan begitu saja tanpa kendali.
Damian tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri tegak, tatapannya tenang meski dalam hatinya ia sudah menduga ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir.
“Kau masuk ke kamar ayahmu tanpa izin, hanya untuk melontarkan kalimat itu?”
“Izin?” Sean menatap ayahnya tajam, “Lalu kenapa Ayah tidak meminta izinku sebelum memblokir kartuku?!”
“Untuk apa aku harus meminta izinmu?” Damian balas dengan nada dingin, “Uang itu milikku. Aku berhak mengaturnya untukmu.”
Rahang Sean menegang, matanya terlihat penuh amarah, “Aku sudah dewasa, Ayah. Aku bisa mengatur semuanya sendiri, bahkan perusahaan sekalipun.”
Alis Damian menaut, jelas tidak percaya dengan omongan putranya, “Kau hanya tahu cara menghambur-hamburkan uang. Lalu sekarang berani bicara ingin mengurus perusahaan? Kau mau menjadikan perusahaanku apa dengan kelakuan seperti itu?”
“Ayah!”
“Apa?!”
Tangan Sean mengepal keras, menahan dorongan emosinya. Sementara Damian menatap lurus padanya.
“Kau tidak pulang selama dua hari. Tentu aku khawatir dengan keadaanmu. Karena itu aku memblokir kartumu, supaya kau ingat rumah. Aku masih ayahmu. Aku masih peduli padamu.”
Tatapan Sean meredup, tapi tidak juga luluh. Ia memilih berbalik, meninggalkan kamar dengan langkah kasar.
“Perbaiki kelakuanmu dulu, jika kau benar-benar ingin menggantikanku,” ucap Damian tajam sebelum pintu benar-benar tertutup.
Sepeninggal Sean, Damian terduduk di tepi ranjang, menahan napas berat. Dadanya terasa sesak, bukan karena lelah fisik, melainkan beban pikiran yang terus menumpuk. Putranya itu, semakin bertambah usia, semakin sulit diatur.
Apakah semua ini salahnya? Apakah kasih sayang yang ia berikan justru melahirkan sifat manja dan arogan? Atau justru ketegasannya selama ini kurang? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menghantam sisi rapuh yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.
Damian menghela napas panjang, lalu bangkit. Ia berjalan ke arah sofa di dekat jendela, lalu menyalakan laptop, mencoba menyingkirkan keruwetan pikirannya. Malam ini ia harus menyiapkan hasil observasi untuk rapat dewan direksi esok hari. Tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan meski hatinya remuk oleh masalah pribadi.
Elena berdiri tegak di depan sebuah gedung pencakar langit. Kepalanya mendongak, meneliti jajaran lantai yang menjulang tinggi seolah sedang menantang langit. Sudah lama ia hanya bisa mengamati bangunan megah ini dari luar, namun baru kali ini ia benar-benar memiliki kesempatan untuk masuk. Perlahan, ia menurunkan pandangan, menarik napas dalam, lalu melangkah menyeberangi zebra cross menuju pelataran gedung.
Langkahnya terdengar mantap, irama ketukan high heels yang ia kenakan bergema pelan. Blus putih yang elegan berpadu dengan celana hitam yang pas di tubuhnya, menegaskan citra wanita yang percaya diri dan berkelas. Dengan lenggak yang terukur, Elena berjalan layaknya model yang membuat setiap mata menoleh ke arahnya.
Ia melewati revolving door yang bergerak otomatis, lalu melangkah masuk dengan anggun. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada di balik dinding kaca, dan benar-benar masuk ke dalam lobi gedung pencakar langit itu.
Udara sejuk langsung menyapu wajahnya, aroma elegan dari pengharum ruangan bercampur samar dengan wangi kopi yang terbawa dari sebuah kafe kecil di sudut. Pandangannya terangkat ke langit-langit tinggi yang megah, di mana lampu kristal bergemerlap, memantulkan cahaya ke lantai marmer mengilap yang nyaris sempurna memantulkan bayangannya sendiri.
Lobi itu dipenuhi suara langkah karyawan bersetelan rapi, beberapa diantara mereka sedang bercakap singkat di telepon, hingga beberapa diantaranya bergerak cepat sambil membawa berkas tebal. Dan semua itu terdengar harmonis di telinganya.
Dengan langkah mantap, Elena mendekati meja resepsionis yang dijaga dua perempuan bersetelan formal. Senyum tipis menghiasi bibirnya, seolah ia sudah terbiasa berada di tempat semewah ini.
“Permisi, saya ingin menanyakan soal lamaran pekerjaan,” ucapnya tenang.
Pegawai resepsionis menatap layar komputer, lalu kembali menoleh padanya dengan ekspresi netral.
“Mohon maaf, Nona. Saat ini perusahaan tidak membuka lowongan pekerjaan.”
Dahi Elena berkerut. Kata-kata itu terasa janggal di telinganya. Bukankah Damian sudah memberinya janji? Bukankah pria itu sendiri yang seolah menyiapkan kursi khusus untuknya? Apa dia lupa?
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, “Saya datang bukan karena lowongan terbuka. CEO perusahaan ini yang secara langsung menawarkan pekerjaan kepada saya,” suaranya ditekankan agar terdengar meyakinkan.
Kedua pegawai resepsionis itu saling bertukar pandang, lalu menatapnya lagi dengan raut skeptis. Senyum sopan masih melekat di wajah mereka, tapi jelas ketidakpercayaan tergambar dari sorot mata.
“Maaf, Nona. Kalau begitu, sebaiknya Anda meninggalkan area lobi. Tanpa janji resmi, kami tidak bisa mengizinkan Anda masuk lebih jauh.”
Elena menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Rasa jengkel bercampur kekecewaan berputar di dadanya. Dengan gerakan elegan, ia meraih ponsel dari tasnya. Jemarinya lincah menggulir kontak hingga menemukan nama Damian di sana.
Beberapa kali Elena menekan tombol panggil, tapi suara dari ponselnya tetap sama yaitu nomor tujuan tidak aktif. Helaan napasnya berubah menjadi hentakan kecil dari hak tinggi sepatunya ke lantai marmer, menyalurkan kekesalan yang sulit ia bendung. Tatapannya sempat melirik sekilas ke arah meja resepsionis. Benar saja, raut wajah mereka jelas menggambarkan dugaan bahwa ia hanya berbohong. Dari cara mereka menatap, Elena tahu mereka ingin segera menyingkirkannya.
Namun ia bukan tipe seseorang yang mundur begitu saja. Ia menegakkan bahunya, lalu memberikan anggukan sopan pada kedua resepsionis itu sebelum akhirnya melangkah menjauh. Dengan langkah penuh percaya diri, ia menuju ke kafe bergaya modern yang berada di sudut lobi.
Ia memesan satu cappuccino, lalu membawa gelasnya menuju meja kaca kecil di dekat jendela besar bangunan itu. Ia duduk dengan anggun, meletakkan tas di kursi samping, dan segera mengetik pesan singkat kepada Damian bahwa ia sedang menunggu pria itu di lobi. Pesan terkirim, lalu ia meletakkan ponselnya di atas meja.
Elena meraih kopinya, dan menyeruputnya perlahan. Sedangkan pandangannya berkeliling, mengamati orang-orang yang sibuk berlalu-lalang di depannya.
......................
Di ruang rapat,
Damian menekan tombol kecil di tangannya, layar presentasi di ujung ruangan perlahan meredup dan akhirnya padam. Sejenak, cahaya alami dari dinding kaca yang menjulang tinggi di sisi kanan ruangan menjadi satu-satunya penerang utama. Ia bersandar ke kursi utamanya, kursi dengan sandaran lebih tinggi daripada yang lain, menandakan posisi dominannya di meja itu.
Tatapannya menyapu tajam ke sekeliling ruangan, dari satu wajah ke wajah lain, seolah ingin menembus isi kepala masing-masing anggota dewan.
“Baiklah,” suaranya dalam dan terukur, “Silakan angkat tangan bagi yang setuju dengan pembangunan ini.”
Namun, alih-alih segera menjawab, beberapa anggota justru saling menoleh, berbisik dengan suara rendah yang menciptakan riuh samar. Suasana rapat yang semula tegang berubah menjadi seperti pasar kecil, penuh gumaman dan spekulasi.
Brak!
Telapak tangan Damian menghantam permukaan meja panjang itu, keras dan tiba-tiba, membuat botol-botol air mineral di depannya bergetar. Semua kepala sontak terangkat, percakapan yang tadi terdengar langsung lenyap.
“Kalian berada di sini untuk mengambil keputusan, bukan untuk bergosip,” ucap Damian dengan suara yang menggelegar.
Keheningan semakin menyelimuti ruangan. Bahkan detak jarum jam di dinding terdengar lebih jelas daripada napas mereka yang tertahan.
“Ekhem.”
Suara berat Alan Bailey memecah ketegangan. Hanya satu dehemannya saja sudah cukup membuat semua orang di meja panjang itu menoleh dengan segan.
Alan menatap Damian dengan pandangan tenang, “Tentu saja kami setuju. Tidak ada yang perlu diperdebatkan. Kalau memang tujuannya untuk keuntungan perusahaan, kami akan mendukung penuh. Benar, bukan?” Ia melirik ke arah para anggota dewan lain.
Seperti tersihir, mereka saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Tidak ada bantahan, tidak ada keraguan.
Damian menatap pemandangan itu dengan senyum tipis. Namun di balik senyumnya, ada rasa getir. Siapa sebenarnya yang mereka dengarkan? Dirinya sebagai CEO, atau Alan, paman dari pihak ibunya, sebagai sosok dewan senior yang dihormati?
“Mereka semua sudah setuju, Damian. Lanjutkan saja pekerjaanmu,” ucap Alan dengan mantap.
Damian merunduk sedikit, tubuhnya condong ke depan, lalu menatap pamannya dengan tajam. Senyum khasnya kembali muncul, kali ini lebih dingin.
“Terima kasih, Paman. Karena kau telah membantuku.”
Alan balas tersenyum lebar, “Tidak masalah.”
Para anggota dewan lain pun ikut tersenyum menyaksikan interaksi keduanya, seolah lega karena ketegangan rapat telah reda.
“Baiklah, rapat dibubarkan,” ujar Damian akhirnya.
Satu per satu kursi berderit, anggota dewan berdiri dan meninggalkan ruangan. Tidak lama, ruang rapat besar itu kembali sepi. Damian mengulurkan tangan, meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan satu tekanan lama, ia menghidupkan perangkat itu. Sudah menjadi kebiasaannya, bahwa saat rapat, ponsel harus mati, demi menjaga fokus penuh.
Namun tidak semua orang keluar. Alan masih duduk tenang di kursinya, seolah menunggu momen ini.
“Damian.”
Damian mendongak, menatap pamannya.
“Kurasa ada hal yang harus kukatakan.”
Damian memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakan Alan melanjutkan.
“Semalam, Sean menghubungiku. Dia mengadu karena kau memblokir kartunya. Dia itu sama seperti cucuku sendiri, dan menurutku… tindakanmu terlalu keras.”
Damian menghela napas panjang, wajahnya tetap tenang meski suaranya terdengar dingin.
“Dia putraku, Paman. Aku tahu cara mendidiknya.”
Alan menunduk, mengangguk singkat, “Kau benar. Aku yang terlalu ikut campur.”
Damian tidak menjawab, hanya kembali menatap ponselnya. Alisnya tiba-tiba berkerut, begitu melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor asing.
“Damian—”
“Sebentar, Paman. Ada pesan penting,” potong Damian sambil membuka satu pesan yang masuk.
Matanya menyipit, ekspresinya berubah sesaat. Ada keterkejutan yang jelas, meski cepat ia sembunyikan agar tidak terbaca Alan.
Damian segera bangkit dari kursinya, “Kalau Paman masih ada yang ingin dibicarakan, kita lanjutkan lain waktu. Aku harus pergi sekarang.”
“Tapi—”
Alan terlambat. Damian sudah melangkah keluar, meninggalkan pintu yang masih bergoyang tertutup di belakangnya.
Alan menghela napas panjang, “Baiklah… lain kali saja,” gumamnya lirih, lalu ikut keluar dari ruangan.
Di lantai dasar, pintu lift terbuka dengan bunyi denting halus. Damian keluar dengan langkah lebar, wajahnya serius. Beberapa karyawan yang berpapasan langsung menunduk memberi hormat, tapi ia sama sekali tidak menggubris mereka. Pandangannya lurus ke depan, fokus pada tujuannya.
Setelah melewati turnstile gate lobby, ia berhenti sejenak. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang mengirimi pesan. Tidak ingin membuang waktu, ia langsung menuju meja resepsionis.
“Ada wanita yang mencariku?”
Pegawai resepsionis dengan cepat berdiri saat melihat atasannya muncul. Mereka saling berpandangan, sebelum salah satunya mengangguk takut.
“Sepertinya ada, Tuan. Dia menunggu di sana.” Jemari pegawai itu menunjuk ke arah kafe di sudut lobi.
Damian tidak menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia segera berbalik, langkahnya mantap menuju kafe. Dan di sana, tepat seperti dugaannya, duduk seorang wanita muda dengan sikap penuh percaya diri.
Wanita itu terlihat begitu tenang ketika memainkan ponselnya. Kakinya disilangkan anggun, sepatu hak tingginya mengayun kecil di udara. Cahaya lampu lobi jatuh di wajahnya, yang membuatnya tampak semakin berkelas.
“Elena?”
Suara berat itu membuat Elena menoleh dari ponselnya. Begitu melihat sosok Damian berdiri beberapa langkah darinya, ia langsung bangkit dengan senyum ramah.
“Om Damian.”
Ada kelegaan yang jelas terpancar dari wajah pria itu, “Kau lama menunggu? Maaf, aku baru selesai rapat.”
Elena cepat-cepat menggeleng, senyumnya masih terpasang, “Tidak, Om. Pengangguran sepertiku tentu punya banyak waktu luang.”
Ucapan ringan itu justru membuat dada Damian sedikit teriris. Ia teringat bagaimana Elena harus kehilangan kesempatan wawancara kemarin hanya karena menolongnya.
“Mari ke ruanganku,” ajaknya.
Namun Elena malah menyilangkan tangan di depan dada, pandangannya penuh curiga, “Om ingin membawaku ke ruangan Om? Sepertinya… itu tidak pantas. Aku hanya ingin melamar pekerjaan. Bukankah seharusnya aku dikenalkan dulu ke bagian HR?”
Damian menghela napas, menahan diri agar tidak terburu-buru, “Tidak, kau berbeda.”
Kening Elena berkerut samar, “Aku berbeda? Apa yang berbeda?”
“Kau masuk lewat jalur undanganku,” jawab Damian, “Aku punya posisi yang cocok untukmu. Mari kita bicarakan di atas.” Ia pun melangkah mendahului.
Elena menurunkan tangannya perlahan. Senyum licik merekah di bibirnya. Dengan gerakan santai, ia meraih tasnya lalu mengikuti Damian. Saat melewati meja resepsionis, ia sempat menunduk sopan, seperti hendak menunjukkan kedekatannya dengan atasan mereka. Bahkan dari sudut matanya, Elena bisa menangkap bisik-bisik kagum yang muncul di belakangnya. Tepat seperti yang ia inginkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!