Langit timur berwarna merah keemasan ketika gong besar istana Samudra Jaya berdentum tiga kali. Dentum itu menandai awal perayaan besar: ulang tahun ke-40 Raja Harjaya, penguasa Samudra Jaya yang terkenal adil dan bijaksana.
Di halaman istana, rakyat berkumpul. Pasar dadakan digelar, musik gamelan bertalu, dan aroma sate serta kue manis memenuhi udara. Dari kejauhan, bendera-bendera kerajaan berkibar, menggambarkan kemakmuran yang dicapai selama masa pemerintahan sang raja.
Namun, di balik keriuhan itu, ada hati yang tidak tenang. Semua rakyat diundang ke halaman istana yang luas merayakan ulang tahun raja. Semua rakyat berpesta dengan gembira karena selama raja Harjaya naik tahta kemakmuran rakyat benar-benar terjamin. Tidak seperti raja yang sebelumnya yang bahkan mempunyai anak perempuan akan dianggap hina dan bahkan tidak jarang juga mereka akan dikubur hidup-hidup sangat kejam memang karena itu Harjaya yang saat itu masih muda memberontak mengalahkan raja tirani itu.
Sejak saat itu Harjaya menjadi pahlawan dan diangkat menjadi raja Samudra Jaya. Raja Harjaya berdiri diatas podium lalu memberikan sambutan untuk rakyatnya. Raja Harjaya berdiri tegak di atas podium berlapis emas. Jubah kebesarannya berwarna merah marun dengan hiasan benang emas, melambangkan keberanian sekaligus wibawa. Suaranya lantang, bergema hingga ke sudut-sudut halaman istana yang dipenuhi rakyat.
“Wahai rakyat Samudra Jaya,” serunya, mengangkat kedua tangan, “hari ini bukan hanya perayaanku, melainkan juga hari kebanggaan kita semua. Empat puluh tahun hidupku kupersembahkan untuk menjaga tanah, laut, dan langit yang menaungi kita. Kalianlah kekuatan sesungguhnya. Tanpa rakyat, tak ada kerajaan yang bisa berdiri.” Sorak-sorai rakyat meledak, tabuhan gamelan berpadu dengan genderang perang, membuat suasana semakin megah.
“Selama aku bernapas,” lanjut Harjaya, matanya berkilat, “tak seorang pun akan merampas kebebasan kalian. Tak ada lagi penindasan, tak ada lagi tirani. Samudra Jaya akan terus berdiri tegak, sekuat samudra yang tak pernah kering.” Rakyat bertepuk tangan, beberapa bahkan menangis terharu. Di antara mereka ada orang tua yang masih ingat betapa kelam masa pemerintahan raja tirani sebelum Harjaya bangkit. Setelah sambutan, gong ditabuh, menandakan hadirnya keluarga kerajaan.
Dari sisi kiri panggung, Permaisuri Dyah Kusumawati melangkah anggun. Ia memakai busana kebesaran berwarna hijau zamrud dengan hiasan emas di kepala. Tatapannya lembut, namun tegas. Seluruh rakyat menghormat karena mereka tahu Dyah Kusumawati adalah sosok bijak yang sering mendampingi Harjaya dalam mengambil keputusan penting.
Menyusul di belakangnya, Putri Dyah Anindya Kudumawardhani, satu-satunya putri kandung Dyah Kusumawati. Ia mengenakan kebaya putih gading dengan selendang biru laut. Kecantikannya memukau, namun lebih dari itu, rakyat menghormati Dyah karena kepandaiannya dalam berdiplomasi dan strategi. Banyak yang berbisik, “Andai kelak ia yang memimpin, Samudra Jaya tetap aman.” Kemudian tampil para selir raja selir Pertama, Dyah Ratnaningrum, yang terkenal berjiwa lembut dan sangat disayangi rakyat kecil karena sering memberi derma. Selir Kedua, Ken Suryawati, berparas cantik namun tatapannya licin, seolah menyimpan rahasia. Ia ibunda Raden Raksa. Selir Ketiga Ken Ratriayudya yang tidak terlalu suka mencampuri urusan orang lain tapi selalu mengamati diam-diam pergerakan orang lain, selir keempat Dyah Candrakirana wanita anggun yang lebih banyak diam, namun diam-diam mendukung Putri Dyah dengan setia.
Di belakang mereka, para pangeran berjalan satu per satu. Sorotan mata rakyat paling banyak tertuju pada dua sosok. Raden Raksa, putra selir kedua. Gagah, berwibawa, namun tatapannya penuh ambisi yang sulit disembunyikan. Banyak bangsawan berbisik bahwa dialah pewaris sejati tahta, meski darah ibunya bukan permaisuri. Raden Arya, kakak tiri Raksa dari selir kedua anak dari selir pertama Lebih pendiam dan tidak terlalu menonjol, tetapi berhati tulus.
Dan berdiri tegak di sisi barisan prajurit, Aruna, panglima muda yang diangkat langsung oleh Raja Harjaya karena keberaniannya di medan perang. Ia mengenakan baju zirah sederhana, namun sorot matanya penuh keteguhan. Tak sedikit gadis rakyat jelata yang berbisik-bisik melihat sosoknya.
Raja Harjaya kemudian menutup sambutannya dengan mengangkat kendi emas berisi air suci.
“Dengan restu leluhur dan doa seluruh rakyat, semoga Samudra Jaya terus jaya!”
Rakyat serentak menjawab, “Hidup Raja Harjaya! Hidup Samudra Jaya!”
Namun, di balik gegap gempita itu, beberapa pasang mata saling berpandangan. Raksa menatap Dyah dengan sinis Ken Suryawati menahan senyum tipis. Aruna menatap Dyah dengan ketulusan yang sulit disembunyikan.
Hari itu, Samudra Jaya tampak damai, tapi benih intrik sudah mulai tumbuh di balik tembok istana.
Dalam Balairung Agung, Raja Harjaya duduk di singgasananya, berwibawa dengan jubah emas berhias ukiran naga laut. Di sampingnya, permaisuri Sri Batari tersenyum anggun, sementara para selir duduk berbaris sesuai tingkatan. Putri Dyah, putri tunggal dari Dyah Kusumawati, tampil dengan kebaya putih gading. Ia dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga kecerdasannya dalam seni strategi dan kepemimpinan. Banyak rakyat diam-diam berharap, kelak Dyah yang akan memimpin mereka. Di sisi lain balairung, tampak dua sosok berbeda. Raden Raksa, putra raja dari selir kedua. Sorot matanya tajam, penuh ambisi yang disembunyikan di balik senyum formal.
Aruna, panglima muda yang gagah, berdiri tegak di barisan depan pasukan kerajaan. Tatapannya selalu tertuju pada Putri Dyah, meski ia tahu hatinya tak berhak berharap. Sementara itu, di dalam istana, Raja Harjaya berjalan perlahan menuju balairung agung. Lantai batu mengkilap, dinding berhias ukiran emas, dan langit-langit menjulang dengan lukisan kisah para leluhur. Begitu beliau masuk, para patih dan punggawa yang sudah menunggu langsung memberi sembah hormat.
“Daulat, Prabu Harjaya!” seru mereka serempak. Patih Agung Nirmala Wisesa, lelaki berusia separuh baya dengan janggut rapi, maju selangkah. Ia menunduk dalam-dalam.
“Paduka, rakyat telah bersuka cita. Perayaan ini menjadi tanda betapa rakyat mencintai raja mereka. Semoga umur paduka panjang, dan Samudra Jaya tetap makmur.” Harjaya tersenyum tipis, matanya menatap penuh kebijaksanaan. “Bukan aku yang membuat mereka makmur, Patih. Rakyat Samudra Jaya kuat karena mereka mau bekerja keras. Tugasku hanyalah menjaga agar tak ada tirani kembali berkuasa.” Di sisi lain, Rakryan Tumenggung Wiranata—kepala pasukan istana—menyembah dengan sikap penuh wibawa. Namun dalam hatinya, ia menaruh iri pada Aruna yang begitu dipercaya mengawal Putri Dyah.
“Paduka, keamanan istana terjaga. Pasukan Bhayangkara siap sedia, tak seorang pun berani mengganggu ketenteraman perayaan ini.” Tak jauh dari situ, Demung Cendhala, pengatur logistik dan perjamuan, menunduk dengan senyum licin. Ia berbisik pada seorang abdi, memastikan hidangan untuk pesta malam nanti berjalan sesuai rencana. Meski tampak setia, banyak yang tahu ia kerap mencari keuntungan pribadi.
Permaisuri Dyah Kusumawati memasuki balairung, disusul oleh Putri Dyah. Sang permaisuri berjalan anggun, sementara Dyah menunduk hormat kepada ayahandanya. Semua mata seketika menoleh, mengagumi keanggunan sang putri.
Namun, dari sudut ruangan, Selir Ken Suryawati menatap pemandangan itu dengan senyum samar. Tangannya meremas halus ujung selendangnya, matanya menyipit penuh perhitungan. Di sampingnya, Raden Raksa berdiri gagah, sorot matanya tajam dan penuh api ambisi. Raja Harjaya mengangkat tangan, menenangkan seluruh yang hadir.
“Hari ini kita bersyukur atas usia yang dianugerahkan Sang Hyang kepada hamba. Tapi ingatlah, masa depan Samudra Jaya bukan di tanganku semata. Ia ada pada kalian semua—para patih, punggawa, dan penerus darah kerajaan.” Ucapan itu membuat balairung hening. Sebagian menunduk dengan hormat, sebagian lain menatap penuh tanda tanya. Tak seorang pun tahu, sambutan itu akan menjadi salah satu yang terakhir dari Raja Harjaya sebelum badai intrik mengguncang istana.
Ketika pesta berlangsung, di sebuah paviliun tersembunyi, para pejabat dan bangsawan berbisik-bisik.
Ada yang memuji kejayaan Raja Harjaya, namun ada pula yang bersekongkol, membicarakan masa depan setelah sang raja wafat.
“Samudra Jaya terlalu besar untuk dipimpin seorang putri,” bisik salah satu bangsawan.
“Raden Raksa lebih pantas… darah prajurit mengalir di nadinya.” Kalimat itu sampai ke telinga Raksa. Ia menunduk, menahan senyum licik. Benih ambisi mulai tumbuh semakin kuat, Ken Suryawati tersenyum menyeringai. Dalam pikirannya berbagai rencana kudeta sudah tersusun dengan rapi.
Di tengah pesta, seekor burung gagak hitam terbang masuk melalui jendela balairung dan hinggap di atas tiang emas. Burung itu menatap tajam ke arah singgasana. Raja Harjaya terdiam sejenak. Ia tahu, dalam kepercayaan kuno, gagak adalah pertanda akan datangnya malapetaka. Permaisuri Dyah Kusumawati menggenggam tangan Raja. Putri Dyah menunduk, mencoba menepis kegelisahan. Sementara Raden Raksa menatap gagak itu… seolah melihat pertanda kemenangan yang kelak menjadi miliknya.
****
Malam telah larut, pesta pun telah usai semua anggota kerajaan dan para abdi dalem membereskan semua bekas pesta ulang tahun Raja mereka.
Raden Raksa kembali ke paviliunnya diikutin beberapa pengawalnya, Lampu-lampu minyak menyala redup, memantulkan cahaya kuning temaram di jalan setapak menuju paviliun milik Raden Raksa. Tempat itu berdiri agak terpisah dari bangunan utama, sebuah bangunan indah berukir naga laut, tetapi suasananya lebih sunyi dan tertutup dibandingkan istana permaisuri atau balairung agung.
Raden Raksa melangkah masuk dengan jubah kebesarannya yang setengah terlepas. Tatapannya murung, meski di bibirnya tersungging senyum tipis yang sulit dibaca. Dua pengikut setianya sudah menunggu di dalam—Sangkara, seorang prajurit yang dulu diselamatkan Raksa dari hukuman mati, serta Jaya Rudra, seorang bangsawan muda yang selalu mendekat pada siapa pun yang ia anggap berpeluang besar naik ke puncak kuasa.
“Baginda tampak letih,” ucap Jaya Rudra sambil menunduk hormat.
“Letih?” Raksa terkekeh pelan, nada suaranya terdengar getir. “Aku bukan letih, Rudra. Aku hanya bosan melihat sandiwara panjang yang dimainkan di balairung tadi.” Sangkara, dengan tubuh tegap dan wajah keras, mendekat selangkah. “Apakah maksud paduka tentang sambutan sang raja?” Raksa duduk di kursi ukiran gading, mengangkat piala perak berisi arak, lalu meneguknya. “Ayahanda bicara seolah masa depan Samudra Jaya ada pada semua orang. Padahal semua tahu… seorang putri tidak pantas memegang kendali negeri sebesar ini. Namun lihatlah, semua mata menatapnya, seakan-akan Dyah Anindya lah cahaya masa depan kerajaan.” Nada suaranya menegang di akhir kalimat. Dari sorot matanya jelas terlihat bara iri dan amarah yang selama ini disembunyikan di balik senyum formal.
Jaya Rudra melirik Sangkara, lalu menunduk dalam-dalam. “Tuan putri memang cerdas, itu diakui semua orang. Tapi hukum alam tak bisa diputarbalikkan. Lelaki yang seharusnya berdiri di singgasana, bukan?” Raksa mengangguk perlahan, menaruh piala perak di meja kayu jati di sampingnya. “Benar. Lelaki… lelaki yang punya keberanian, kekuatan, dan darah raja. Lihatlah aku, darah Harjaya mengalir di nadiku sama derasnya. Hanya karena ibuku bukan permaisuri, kedudukanku dianggap kurang. Padahal, bila aku diberi kesempatan, aku bisa membawa Samudra Jaya jauh melampaui kejayaan hari ini.” Sangkara menunduk hormat, nada suaranya dalam. “Paduka memang yang paling layak. Para prajurit banyak yang diam-diam membicarakan hal itu. Mereka menghormati Aruna, tetapi Aruna hanyalah panglima. Ia bukan darah kerajaan. Sementara Putri Dyah, bagaimanapun pintar dan baiknya, tetap saja seorang wanita. Prajurit hanya mau mengikuti raja yang mereka anggap gagah di medan laga.”
Raden Raksa tersenyum samar, tapi sorot matanya tajam. “Aku tahu. Prajurit haus pemimpin yang bisa mengangkat pedang, bukan sekadar mengangkat pena diplomasi. Dan aku… akan memberi mereka itu.” Jaya Rudra maju selangkah, bersuara lebih pelan, seolah takut dinding paviliun ikut mendengarkan. “Namun jalan menuju singgasana tak akan mudah. Raja Harjaya masih kuat, dan selama permaisuri berdiri di sisinya, Putri Dyah akan selalu mendapat dukungan.” Raksa memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, “Setiap malam aku mendengar bisikan di telingaku. Bisikan itu berkata, ‘Singgasana itu milikmu, Raksa. Ambil, sebelum terlambat.’ Aku tahu jalannya bukan lewat doa, melainkan lewat darah.”
Sangkara menunduk lebih dalam. “Paduka… bila memang itu kehendak Hyang Agung, hamba bersumpah akan menjadi pedang di tangan paduka. Satu kata saja, hamba akan menggerakkan pasukan yang masih setia.” Raksa membuka matanya, menatap Sangkara lekat-lekat. “Sabar, Sangkara. Semua ada waktunya. Seekor elang tak akan menyerang sebelum sayapnya mengembang penuh. Aku harus menunggu momen ketika ayahanda lengah… atau ketika para bangsawan sendiri mulai ragu.”
Jaya Rudra tersenyum tipis, penuh kelicikan. “Dan momen itu akan segera datang. Banyak bangsawan merasa tak nyaman bila seorang putri memimpin kelak. Mereka tak berani mengucapkannya lantang, tapi mereka berbisik di belakang layar. Bila paduka bergerak, mereka akan memilih sisi yang lebih menjanjikan.” Raksa menghela napas panjang, kemudian berdiri. Ia berjalan menuju jendela paviliunnya. Dari sana ia bisa melihat samar bendera-bendera kerajaan yang masih berkibar di halaman istana, diterangi cahaya bulan. “Lihatlah itu. Samudra Jaya berkilau indah malam ini. Semua orang percaya kejayaan ini akan abadi. Namun mereka lupa… di balik setiap kejayaan ada celah yang bisa runtuh kapan saja.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada penuh tekad, “Aku akan menjadi badai yang meruntuhkan keangkuhan itu. Dan dari reruntuhannya, aku akan bangkit sebagai raja sejati.” Sangkara dan Jaya Rudra serempak menunduk dalam-dalam. “Daulat, Paduka.”
Raksa tersenyum dingin. “Simpan sumpah kalian. Malam ini, biarlah dunia tetap percaya bahwa Samudra Jaya aman dalam genggaman Raja Harjaya. Tapi ingatlah, besok, lusa, atau entah kapan, dentang gong akan berbunyi bukan untuk perayaan… melainkan untuk perang.” Di kejauhan, suara angin malam menderu pelan, seakan mengamini kata-kata itu.
Sementara itu, jauh di balairung yang kini sepi, Putri Dyah berdoa dalam diam, memohon perlindungan leluhur atas negeri dan rakyatnya. Ia tak tahu, dalam kegelapan paviliun, seseorang yang seharusnya menjadi saudara seibu sebapak sedang menyiapkan badai yang akan mengguncang takhta ayahandanya.
Malam tiba. Istana Samudra Jaya tertidur dalam damai. Tapi di lorong-lorong gelap, kaki-kaki bersembunyi, bisikan pengkhianatan mulai dirangkai.
Di kamarnya, Putri Dyah berdiri menatap bulan purnama.
“Jika benar takdir menantangku, aku akan berdiri melawan,” bisiknya lirih.
Di sudut lain, Raksa menajamkan pedangnya.
“Samudra Jaya… mahkota itu akan jadi milikku.”
Dan di kejauhan, Aruna menggenggam tombaknya erat.
“Apapun yang terjadi, aku akan melindungimu, Putri.”
Fajar telah menyingsing, tetapi bayangan kelam mulai menyelimuti Samudra Jaya.
Fajar baru saja menyentuh dinding-dinding istana Samudra Jaya ketika suara kokok ayam jantan bercampur dengan denting gamelan dari pendapa. Udara masih segar, namun di balik kesejukan pagi, ada kegelisahan yang menggantung.
Putri Dyah Anindya berdiri di serambi kamarnya, mengenakan kain batik halus berwarna biru laut. Matanya menatap jauh ke ufuk timur, tempat matahari perlahan muncul dari balik samudra. Di dalam hatinya, doa yang ia panjatkan semalam belum reda. Ia tahu, pesta ulang tahun ayahandanya hanyalah permukaan. Di bawahnya, arus deras intrik sudah mulai berputar.
“Gusti putri, sarapan paduka sudah disiapkan di bale dalam,” suara seorang dayang memecah lamunannya.
Dyah menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Wulan. Aku segera menyusul.” Namun sebelum ia melangkah, suara langkah kaki berat terdengar dari arah gerbang dalam. Aruna, panglima muda, datang dengan sikap penuh hormat. Ia mengenakan pakaian perang sederhana, tanpa hiasan, tetapi kehadirannya selalu membawa aura keteguhan.
“Daulat, Gusti Putri,” ucapnya sambil menunduk.
Dyah sedikit terkejut, namun segera menenangkan diri. “Aruna… pagi-pagi sekali kau sudah datang. Ada apa?”
Aruna menatapnya lekat, lalu berkata pelan, “Ampun, Gusti. Hamba hanya ingin memastikan keamanan istana. Semalam, hamba melihat burung gagak yang hinggap di balairung. Itu pertanda tidak baik.”
Dyah terdiam. Bayangan gagak hitam yang muncul di pesta semalam kembali membayang di benaknya. “Aku juga merasakannya, Aruna. Seolah Samudra Jaya sedang menunggu badai.”
Aruna menunduk, tangannya mengepal. “Selama hamba masih bernapas, tidak seorang pun akan menyentuh Gusti Putri. Itu sumpahku.” Dyah terdiam sejenak. Ada kehangatan dalam kata-kata itu, namun sekaligus rasa getir. Ia tahu, sebagai seorang panglima, Aruna hanya bisa melindungi—tidak lebih.
Saat Aruna datang, diam-diam wulan—dayang putri Dyah tersenyum kagum. Aruna bukan hanya sekedar pengawal tapi juga panglima perang kerajaan samudra jaya, namanya sudah terkenal seantero kerajaan bahkan membuat para prajurit iri dengannya karena raja Harjaya mempercayakan keamanan putri Dyah Anindya pada Aruna. Begitu juga di kalangan para dayang istana, nama Aruna maheswara sangat terkenal bahkan menjadi idola bagi para dayang muda.
“Terima kasih atas sumpah setiamu Aruna,” ujar Dyah lirih, matanya tetap menatap ke ufuk yang mulai memerah. Aruna menunduk dalam, tubuh tegapnya berbalut kesederhanaan seorang prajurit, namun wibawanya tak bisa disembunyikan. “Kesetiaan hamba hanyalah kewajiban, Gusti. Tapi ada sesuatu di udara pagi ini yang membuat dada hamba berat. Pertanda itu… bisa jadi bukan sekadar kebetulan.” Dyah menarik napas panjang, seolah berusaha mengusir bayangan yang menyelimuti pikirannya. Namun, sorot matanya tetap penuh kegelisahan. “Kau juga merasakannya? Entah mengapa sejak pesta semalam, aku tak bisa menyingkirkan bayangan akan datangnya kekacauan. Senyum-senyum manis di balairung terasa begitu tipis, seolah menyembunyikan sesuatu yang tajam di baliknya.”
Aruna menatapnya lekat. “Di setiap pesta besar selalu ada yang mencoba menabur api. Dengki mudah bersemayam di hati yang haus kuasa. Hamba hanya khawatir, siapa pun yang berniat buruk, mereka tidak hanya menyasar istana, tetapi juga Gusti Putri.” Dyah terdiam. Hembusan angin pagi menyapu rambutnya yang terurai sebagian. Wulan, dayang setia, masih berdiri di belakang sambil menunduk, pura-pura sibuk merapikan baki perak yang berisi sarapan, meski telinganya tak bisa menolak mendengar percakapan itu.
“Aruna,” suara Dyah merendah, “kau tahu siapa yang paling membuatku was-was? Pandangan itu… semalam aku melihatnya jelas. Pandangan yang penuh dengan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Bukan dari orang asing, tapi dari darah daging sendiri.” Aruna mengangkat wajahnya, mata tajamnya sedikit menyipit. Ia tidak bertanya siapa yang dimaksud, karena dalam hatinya ia tahu, tetapi ia menunggu Putri Dyah mengatakannya sendiri.
“Tatapan itu dingin, penuh curiga, dan… mengandung benci,” lanjut Dyah. “Aku tak mengerti, apakah aku hanya berkhayal? Ataukah memang ada sesuatu yang sedang dipendam, menunggu saatnya pecah?” Aruna menahan napas sejenak, lalu menjawab mantap, “Apapun yang Gusti lihat, jangan pernah menganggapnya sekadar bayangan. Hamba sudah belajar, firasat seorang putri sering lebih tajam daripada mata seribu prajurit. Jika benar ada yang berniat buruk, biarlah hamba yang menjadi tameng pertama.” Dyah menatapnya. Ada rasa lega, namun juga getir. “Aku takut, Aruna. Takut bukan pada pedang atau tombak, tetapi pada mereka yang seharusnya menjadi keluarga. Apa jadinya bila rumah sendiri menyimpan bara yang siap membakar?” Panglima muda itu menghela napas, lalu menunduk hormat. “Bara hanya bisa membakar jika dibiarkan. Tetapi bila dijaga, dijinakkan, dan dihadapi dengan keberanian, ia akan padam. Hamba tidak bisa menjanjikan bahwa jalan Gusti akan selalu tenang, tapi hamba berjanji, tak akan ada badai yang membuat Gusti berdiri sendirian.” Kata-kata itu membuat Dyah terdiam cukup lama. Ia menunduk, menahan gejolak perasaannya. Sejenak ia ingin percaya bahwa dengan adanya Aruna, ia akan baik-baik saja. Namun jauh di dasar hatinya, ia tahu, badai yang disebutnya bukanlah badai yang mudah ditebas dengan pedang. Wulan melangkah maju pelan, mencoba mengalihkan suasana. “Gusti Putri, sarapan akan segera dingin,” ucapnya sopan.
Dyah menoleh, lalu tersenyum samar. “Ya, Wulan. Mari kita kembali.” Ia lalu melangkah masuk, namun sebelum menutup pintu, ia sempat menatap Aruna sekali lagi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—perpaduan antara ketakutan, harapan, dan… kepercayaan penuh. Aruna menunduk, mematri sumpahnya sekali lagi dalam hati. Selama napasnya masih berhembus, tidak ada seorang pun—entah musuh dari luar atau dari dalam—yang akan dibiarkan menyentuh Putri Dyah dan Samudra Jaya.
***
Di sisi lain istana, di paviliunnya yang sepi, Raden Raksa duduk di kursi ukiran naga laut. Wajahnya masih murung, tetapi matanya menyala penuh tekad. Sangkara berdiri di sampingnya, sementara Jaya Rudra sibuk membolak-balik catatan kecil berisi daftar nama bangsawan yang berpotensi mendukung Raksa.
“Paduka,” ucap Rudra pelan, “pagi ini beberapa bangsawan dari wilayah timur datang membawa hadiah untuk Raja. Namun hamba mendengar bisikan… sebagian dari mereka sebenarnya lebih condong kepada paduka.” Raksa mengangguk, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Bagus. Aku tidak butuh banyak… hanya cukup untuk menjatuhkan satu pilar. Setelah itu, seluruh bangunan akan runtuh.”
Sangkara menunduk hormat. “Apa yang harus kami lakukan, Paduka?”
Raksa menatap ke arah jendela, melihat bendera kerajaan yang berkibar diterpa angin pagi. “Bersabarlah. Hari itu akan tiba. Untuk saat ini, biarkan aku bermain dengan topeng manis. Tapi ketika topeng itu jatuh… darah akan mengalir di lantai balairung ini.”Tak lama kemudian dayang paviliuan datang.
“Raden, sarapan raden sudah siap,” Raksa memandang dayang muda yang mengantarkan sarapannya itu, dia berjalan lalu menunduk kemudian mengangkat dagu dayang wanita muda itu dengan kasar.
“Hhmmm...siapa namamu?” tanya Raksa sambil menatap tajam dayang muda itu.
“Ampun raden, nama saya Puspa,” jawabnya tangannya gemetar bahkan seluruh tubuhnya gemetar, tidak ada yang tidak tahu siapa raden Raksa, pangeran samudra jaya yang terkenal suka bermain wanita tapi prestasinya di medan perang tak perlu diragukan lagi mampu mengalahkan banyak musuh walau hanya sendirian. Banyak dayang-dayang muda yang enggan menjadi dayang di paviliun raden Raksa karena sudah banyak dayang-dayang itu yang menjadi permainan raden Raksa bahkan hingga hamil tapi akhirnya dayang itu berakhir ditangan algojo.
“Hhhmmm...berapa umurmu?”
“Ampun raden, enam belas tahun,” jawab Puspa matanya sudah berkaca-kaca, sementara raden Raksa, Sangkara dan Jaya Rudra tertawa. Dayang muda itu paham apa yang akan terjadi selanjutnya, dalam hatinya lebih baik dia mati dari pada harus menjadi pelampiasan nafsu pengeran kejam itu. Raksa melepaskan cengkeramannya dengan kasar membuat Puspa terhuyung, lalu dia pun menuju meja makan.
“Baiklah...ayo kita sarapan Sangkara, Jaya Rudra, kau kembalilah ke tempatmu,” kata Raksa sambil menunjuk ke arah Puspa.
“Ba-baik raden,” ucap Puspa lalu pergi meninggalkan paviliun, di jalan menuju dapur dia menangis lalu mengusap airmatanya dengan kasar. Sampai di dapur dia menumpahkan keluh kesahnya tadi pada dayang utama.
“Nyi Jayem, ampun nyi...mulai besok saya tidak mau mengirim makanan ke paviliuan raden Raksa,” kata Puspa sambil sesenggukan. Nyi Jayem menghampiri Puspa yang masih menangis tersedu.
“Lhoo...ono opo to nduk?” tanya nyi Jayem sambil merangkul Puspa. Dia masih terisak di pelukan Nyi Jayem, dayang utama yang sudah puluhan tahun mengabdi di dapur istana. Matanya sembab, suaranya bergetar saat mencoba menjelaskan.
“Nyi… ampun… hamba tak sanggup lagi. Tatapan raden itu… cara beliau memperlakukan hamba… seakan hamba ini hanya barang.” Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan, tapi suara tangisnya tak juga reda. Beberapa dayang muda yang tengah menyiapkan hidangan lain berhenti bekerja. Arum, Laras, dan Sekar saling pandang, lalu mendekat.
“Apa yang dilakukan padamu, Puspa?” tanya Arum dengan suara pelan, seakan takut ada telinga lain yang mendengar.
Puspa menunduk, menggigit bibir. “Beliau memaksa hamba menatap… mengangkat dagu hamba dengan kasar. Tawanya… bersama orang-orang dekatnya… sungguh membuat hamba merasa hina. Hamba takut… takut nyi… kalau suatu saat hamba tidak kembali dari paviliun itu.”
Laras menutup mulutnya, wajahnya pucat. “Ya Gusti… syukurlah engkau masih bisa kembali, Puspa. Bukan rahasia lagi… sudah banyak dayang yang dikirim ke paviliun itu, lalu… tak pernah lagi kita lihat.” Sekar mengangguk pelan, suaranya lirih tapi penuh rasa getir. “Semua orang tahu bagaimana Raden Raksa memperlakukan dayang. Sungguh jauh berbeda dengan Raden Arya.” Puspa menoleh cepat, matanya masih berkaca-kaca. “Benar, Sekar. Raden Arya bila lewat saja, selalu menunduk hormat. Bila memanggil, tutur katanya halus, seakan kita ini manusia yang pantas dihargai.”
“Betul,” sambung Wulan lirih. “Hamba pernah bertemu beliau di halaman dalam. Beliau menjatuhkan kitabnya, lalu hamba mengambilkan. Bukannya marah, beliau malah tersenyum dan mengucap terima kasih. Seorang pangeran… berterima kasih kepada seorang dayang. Itu… itu hal yang tak pernah hamba bayangkan sebelumnya.” Laras menarik napas panjang, suaranya pelan namun penuh perasaan. “Andai saja… semua pangeran seperti Raden Arya. Lembut, santun, tidak suka menyakiti. Tidak seperti Raksa yang selalu haus kuasa dan…,” ia menahan kata-katanya, khawatir dianggap lancang. Nyi Jayem yang sedari tadi diam, hanya memandangi wajah-wajah muda itu dengan sorot mata penuh keprihatinan. Perlahan ia duduk di bangku kayu, menarik napas dalam, lalu bersuara dengan nada tenang.
“Nduk… aku paham perasaan kalian. Puspa, aku tahu hatimu gemetar. Kau masih sangat muda, baru masuk ke dapur istana, dan sudah menghadapi pandangan yang menakutkan itu. Tapi ingatlah, jangan sekali-kali kau biarkan ketakutan itu membunuh semangatmu.” Ia menatap satu per satu wajah dayang muda itu, lalu melanjutkan.
“Kalian semua ini… bunga di taman istana. Ada yang mekar indah, ada yang masih kuncup. Angin boleh kencang, hujan boleh deras, tapi bunga yang berakar kuat akan tetap tegak berdiri. Raksa boleh saja berlaku semena-mena, tapi kita harus pandai menjaga diri. Jangan sampai langkah kita yang ceroboh justru menyeret kita ke jurang yang sama.”
Puspa menunduk, suaranya serak. “Tapi nyi… bagaimana jika beliau memaksa? Hamba tak tahu harus berbuat apa.”
Nyi Jayem tersenyum tipis, getir, tapi penuh kebijaksanaan. “Ingatlah selalu, Puspa. Di istana ini, lidah lebih tajam daripada pedang. Jangan mudah tergoda oleh rayuan, jangan pula menantang dengan kata-kata kasar. Belajarlah bersiasat dengan diam, dengan cara menghindar. Kalau bisa, selalu bersama kawan. Jangan pernah kau hadapi sendiri.” Wulan mengangguk pelan, matanya berbinar karena menemukan harapan dalam wejangan itu. “Benar, nyi. Kita harus saling menjaga. Kalau salah satu dari kita dipanggil ke paviliun itu… yang lain harus menunggu, memastikan dia kembali dengan selamat.”
“Ya,” sahut Sekar mantap. “Kita ini bukan hanya dayang. Kita adalah saudara di dalam tembok istana. Kalau satu jatuh, yang lain harus menopang.” Nyi Jayem menghela napas, lalu menepuk bahu Puspa dengan lembut. “Begitulah seharusnya. Ingat, nduk… kebaikan akan selalu ada. Lihatlah Raden Arya. Beliau adalah bukti bahwa tidak semua darah bangsawan membawa angkara murka. Jadi jangan kau samakan semua. Yang buruk biarlah buruk sendiri. Kalian tetaplah jadi bunga yang harum, meski ada tangan yang ingin merusak.” Air mata Puspa kembali jatuh, tapi kali ini bukan hanya karena takut—melainkan karena rasa lega. Ia menunduk hormat. “Hamba mengerti, nyi… terima kasih. Hamba akan lebih berhati-hati.” Suasana dapur itu hening sejenak, hanya terdengar suara kayu terbakar di tungku. Namun di hati para dayang muda, tumbuh sebuah tekad baru mereka akan saling menjaga, sekalipun bayang-bayang paviliun Raksa masih menghantui.
***
Sementara itu, Raja Harjaya sendiri tengah duduk di pendapa bersama Patih Agung Nirmala Wisesa. Udara pagi membawa aroma bunga kenanga dari taman istana.
“Patih,” ujar sang raja, “aku tidak bisa menutup mata. Banyak bangsawan mulai membicarakan pewarisku. Mereka menganggap Dyah terlalu lemah karena seorang wanita.”
Patih Nirmala menunduk, suaranya berat. “Ampun, Paduka. Hamba mendengar hal yang sama. Namun rakyat kecil mencintai Gusti Putri. Mereka percaya beliau akan membawa Samudra Jaya ke masa depan.”
Raja Harjaya menghela napas panjang. “Itulah masalahnya, Patih. Rakyat percaya pada Dyah… tapi bangsawan percaya pada Raksa. Dan aku tahu, di balik mata tenangnya, Raksa menyimpan api yang bisa membakar seluruh kerajaan.” Patih Nirmala terdiam. Matanya menatap jauh, seakan mencari jawaban di balik angin pagi.
“Mungkin sebaiknya dalam waktu dekat ini aku akan bertapa meminta petunjuk dari sang hyang agung,”
“Sebaiknya begitu gusti prabu, mengingat ini adalah masa depan kerajaan kita tidak boleh sembarangan dalam mengambil keputusan,”
“Kau benar Nirmala, putriku Dyah memang bijak dalam mengambil keputusan sementara putraku Raksa kuat dalam medan pertempuran, tapi yang pasti semua ingin menjadi yang terbaik untuk Samudra Jaya,”
Pendapa agung istana Samudra Jaya pagi itu dipenuhi sinar matahari yang lembut. Tirai tipis dari kain lurik bergerak perlahan tertiup angin, membawa aroma kenanga yang baru mekar dari taman istana. Raja Harjaya duduk di kursi berukir emas, sementara Patih Agung Nirmala Wisesa bersimpuh di hadapannya. Wajah sang raja tampak murung, matanya menatap kosong ke arah kolam kecil yang airnya beriak pelan.
“Patih,” suara raja pecah dalam keheningan, “aku merasakan bayangan gelap sedang menunggu kerajaan ini.”
Patih Nirmala menunduk hormat. “Hamba pun merasakannya, Gusti Prabu. Angin di balairung bangsawan tidak lagi sejuk. Bisik-bisik mengenai suksesi makin keras terdengar.”
Raja Harjaya menghela napas panjang. “Putriku Dyah memang berhati mulia dan bijak. Rakyat kecil menaruh harapan padanya, karena ia selalu mau mendengar keluh kesah mereka. Namun para bangsawan…” ia terdiam sejenak, matanya mengeras, “…mereka lebih condong pada Raksa. Ia gagah di medan laga, kuat, dan mampu menundukkan musuh. Tapi aku tahu, di balik tatapan matanya, ada bara yang siap membakar siapa saja yang menghalangi.”
Patih Nirmala mengangkat wajahnya, menatap raja dengan hati-hati. “Ampun, Gusti. Raksa memang digdaya. Tetapi seorang raja bukan hanya pemimpin perang, melainkan juga pemimpin jiwa rakyatnya. Jika api itu dibiarkan, Samudra Jaya bisa terbakar dari dalam.”
Raja Harjaya menekankan jemarinya di sandaran kursi. “Itulah yang menjadi kegelisahanku. Seorang raja seharusnya membawa kesejukan, bukan ketakutan. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa kekuatan Raksa dibutuhkan kerajaan, terlebih ketika perbatasan selalu diganggu musuh.”
Patih Nirmala menunduk kembali. Suaranya bergetar pelan, seakan memilih setiap kata dengan hati-hati. “Mungkin sudah saatnya Paduka mencari petunjuk dari Sang Hyang Agung. Hamba percaya, tapa brata Paduka akan membuka jalan yang benar. Karena keputusan mengenai pewaris tidak bisa hanya berdasarkan bisik bangsawan, apalagi sekadar hasrat darah muda.”
Hening sejenak melingkupi pendapa. Hanya suara burung kutilang dari kejauhan yang terdengar. Raja Harjaya memejamkan mata, seakan menyelami ombak pikirannya sendiri.
“Kau benar, Nirmala,” akhirnya ia berkata lirih. “Aku harus bertapa. Tidak ada jalan lain. Samudra Jaya bukan milikku semata, ia adalah titipan para leluhur. Bila aku salah memilih, bukan hanya istana yang runtuh, tapi juga harapan rakyat.”
Patih Nirmala bersuara pelan namun tegas, “Dan hamba akan menjaga kerajaan selama Paduka menempuh tapa. Tidak akan ada celah bagi mereka yang hendak mengusik ketenteraman istana.”
Raja Harjaya menatap patihnya lama, kemudian tersenyum pahit. “Aku mempercayaimu, Nirmala. Kau bukan hanya patih, tapi juga sahabat sejak muda. Kau tahu, Dyah memang lembut, namun ia punya keteguhan hati. Raksa… ia seperti api yang tak bisa dikendalikan. Keduanya sama-sama darahku, sama-sama dagingku. Namun aku tidak bisa menutup mata—api bisa menghanguskan, meski ia membawa cahaya.”
Patih Nirmala menangkupkan tangan di dada. “Gusti, jika diperkenankan hamba berkata, api pun bisa berguna jika diarahkan dengan bijaksana. Mungkin Raksa memang terlahir untuk medan laga, sementara Gusti Putri Dyah… untuk menuntun jiwa rakyat. Barangkali keduanya bisa saling mengisi. Namun tetap, keputusan ada di tangan Paduka, sebab hanya raja yang bisa menimbang seimbangnya tahta dan dharma.”
Raja Harjaya menatap ke arah langit biru yang membentang. Dalam benaknya, bayangan Dyah yang teduh dan Raksa yang membara silih berganti muncul. Suara hatinya bergetar, seakan terdengar bisikan leluhur yang jauh di masa lalu.
“Baiklah,” ujarnya mantap. “Dalam waktu dekat, aku akan menuju pertapaan di puncak Gunung Karang. Di sana aku akan memohon petunjuk Sang Hyang Agung. Semoga aku tidak salah langkah.”
Patih Nirmala menunduk dalam-dalam. “Semoga perjalanan Paduka diberkahi, dan semoga Samudra Jaya tetap berdiri tegak di bawah lindungan para dewa.”
Suasana pendapa kembali hening, namun di balik keheningan itu, awan gelap takdir mulai merapat, menunggu saatnya menutup langit kerajaan.
Hari itu, Samudra Jaya tampak megah dan damai. Pasar kembali ramai, gamelan masih berbunyi, dan rakyat melanjutkan kehidupan sehari-hari. Namun di balik dinding istana, langkah-langkah diam mulai bergerak.
Putri Dyah menatap langit biru.
Raksa menajamkan pedangnya.
Aruna menggenggam tombaknya.
Dan Raja Harjaya mulai merasakan, bayangan kelam telah masuk ke jantung istananya sendiri.
Matahari telah merayap lebih tinggi, menyinari halaman dalam istana Samudra Jaya. Cahaya keemasan memantul di dinding batu putih, sementara langkah-langkah dayang dan abdi dalem berseliweran membawa baki, kendi, dan gulungan kain. Dari luar, istana tampak penuh keteraturan, namun di balik tembok tinggi itu, bayangan intrik semakin memanjang.
Putri Dyah Anindya berjalan perlahan di koridor yang menghubungkan balairung dengan taman kenanga. Wulan berjalan di belakangnya, membawa kipas dari bulu merak. Senyum Dyah tampak lembut, tetapi matanya menyimpan kerisauan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Wulan,” ucapnya lirih, “pernahkah kau merasa… udara di istana ini semakin berat dari hari ke hari?” Dayang muda itu menunduk dalam-dalam, memilih kata dengan hati-hati. “Ampun, Gusti… hamba pun merasakannya. Bisik-bisik tentang suksesi makin sering terdengar di dapur dan bilik-bilik dayang. Nama Raden Raksa disebut lebih banyak daripada nama Gusti sendiri.” Dyah menghela napas, lalu berhenti sejenak. Tatapannya jatuh pada bayangan pohon sawo kecik yang menari di lantai koridor. “Mereka tidak salah jika menilai Raksa gagah di medan perang. Namun apakah kegagahan semata cukup untuk memimpin hati rakyat?”
Sebelum Wulan sempat menjawab, langkah tegap terdengar dari arah berlawanan. Aruna Maheswara muncul, wajahnya teduh meski sorot matanya tetap tajam. Ia segera menunduk memberi hormat.
“Daulat, Gusti Putri. Hamba datang membawa laporan,” ucapnya. Dyah mengangguk, memberi isyarat agar ia bicara.
“Semalam, beberapa prajurit penjaga gerbang barat mendapati sekelompok orang asing mencoba menyusup. Mereka mengaku pedagang, namun tidak membawa barang dagangan. Hamba khawatir, ini bukan sekadar percobaan masuk biasa.”
Dyah menegang. “Apakah mereka berhasil ditangkap?”
“Sebagian, Gusti,” jawab Aruna. “Namun dua orang berhasil melarikan diri. Hamba yakin mereka bukan pedagang, melainkan utusan yang dikirim untuk mengintai. Entah dari kerajaan tetangga… atau justru dari pihak dalam sendiri.” Wulan spontan menutup mulutnya, terkejut. Sementara Dyah menunduk, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Aruna menyentuh tepat pada ketakutannya bahwa ancaman bukan hanya datang dari luar, melainkan juga dari darah sendiri.
“Aruna,” suara Dyah merendah, “aku ingin kau menjaga pengawasan lebih ketat. Jangan ada celah sedikit pun. Bahkan di dalam istana ini sekalipun, aku merasa mata-mata berkeliaran.”
Aruna mengangguk mantap. “Perintah Gusti adalah titah. Hamba akan melipatgandakan penjagaan.”
“Apakah ayahanda sudah mengetahui tentang para pedagang itu?” tanya putri Dyah tanpa mengalihkan pandangannya dari paviliun adik tirinya.
“Ampun gusti, paduka raja sedang membahas mengenai beliau yang tengah ingin bersemedi dengan mahapatih Nirmala Wisesa,” jawab Aruna, putri Dyah menoleh cepat ke arah mengawal setianya itu.
“Semedi? Untuk apa?” tanya Putri Dyah yang mengernyitkan keningnya. Aruna menarik nafas dalam berusaha berhati-hati dalam memberikan jawaban.
“Paduka Raja ingin bersemedi untuk meminta petunjuk pada Sang Hyang Agung tentang siapa yang akan mengemban tugas memimpin Samudra Jaya,” jawab Aruna dengan pelan. Putri Dyah mengembuskan nafasnya, dia tahu memutuskan siapa penerus tahta kerajaan tidak bisa sembarangan karena ini menyangkut masa depan kerajaan.
“Kau benar Aruna, tidak bisa sembarangan keturunan Raja mampu meneruskan memimpin sebuah kerajaan. Jika dia kuat dimedan tempur belum tentu juga dia bisa memimpin rakyatnya. Aku tidak mau rakyatku hidup dalam penderitaan, lalu kapan ayahanda akan pergi bersemedi?”tanya putri Dyah.
“Ampun gusti, hamba belum bisa memastikan,” jawab Aruna. Kapan pun itu putri Dyah hanya ingin pilihan terbaik untuk kerajaannya—Samudra Jaya.
Di paviliun timur, Raden Raksa berdiri di depan cermin besar berbingkai emas. Pakaian perangnya dilepas, digantikan kain sutra tipis yang membungkus tubuh tegapnya. Sangkara menyiapkan sabuk, sementara Jaya Rudra masih memeriksa gulungan catatan.
“Paduka,” ujar Rudra, “dari utusan timur, sudah ada jawaban. Mereka siap mendukung, asal paduka berjanji memberi kedudukan setelah tahta berpindah.”
Raksa menyunggingkan senyum tipis. “Mereka hanya butuh janji, Rudra. Janji itu murah. Tahta jauh lebih berharga.”
Sangkara menunduk dalam. “Lalu bagaimana dengan Gusti Putri Dyah? Rakyat masih menyanjungnya.” Tatapan Raksa berubah dingin. Ia meraih sebilah keris pendek di meja, lalu memutarnya perlahan. “Dyah… ia hanyalah bayangan manis yang disukai rakyat kecil. Namun rakyat selalu mudah digiring. Cukup dengan ketakutan, cukup dengan kekuatan. Mereka akan menunduk.” Ia berhenti, lalu menatap keluar jendela, ke arah taman kenanga di mana Dyah tadi berjalan. “Tapi untuk saat ini… biarkan ia merasa aman. Bayangan tak perlu terburu-buru. Pada waktunya, bayangan akan menelan cahaya.” Dia melempar keris itu kearah papan kayu yang biasa dia pakai untuk berlatih panah lalu tersenyum miring. Tiba-tiba seorang prajurit istana datang dengan tergopoh-gopoh.
“Daulat gusti raden, pedagang yang akan menemui gusti semalam telah tertangkap,”
“Apaaa.....?! Siapa.....siapa yang telah berani menangkap orang-orangku katakan!” bentak Raksa sambil mencengkeram leher prajurit itu.
“A-Ampun ra-raden, prajurit dari panglima Aruna yang telah menangkapnya semalam,” Mendengar nama Aruna, Raksa mengepalkan tangannya. Raksa berdiri tegak, sorot matanya menyala bagaikan api yang siap melalap apa saja. Cengkeramannya di leher sang prajurit membuat wajah lelaki itu pucat pasi, nyaris kehilangan napas. Sangkara buru-buru melangkah maju, menunduk, mencoba menenangkan tuannya.
“Paduka, mohon tenang. Jangan sampai amarah paduka terlihat oleh orang yang tidak seharusnya.” Raksa melepaskan cengkeraman itu dengan kasar, hingga sang prajurit terhuyung jatuh ke lantai. Nafasnya tersengal, namun ia tetap menunduk, tidak berani menatap wajah tuannya.
“Aruna…” Raksa meludah ke tanah, penuh jijik. “Selalu saja dia berdiri di jalanku. Ia sok setia, sok suci, seakan-akan hanya dirinya yang layak menjaga istana ini.” Rudra yang sejak tadi diam, menutup gulungan catatan lalu berkata hati-hati, “Paduka, ini jelas akan menyulitkan. Jika utusan itu diperiksa, bisa jadi jejak pertemuan mereka dengan kita akan tercium.” Kening Raksa berkerut, rahangnya mengeras. “Aruna berani menodongkan tombak ke arahku dari balik bayang-bayang. Ia lupa, darah prajurit seperti dia hanyalah alat. Dan alat, Rudra… bisa patah.”
Sangkara menunduk makin dalam. “Ampun, Paduka. Hamba siap menjalankan apa pun perintah paduka. Jika paduka ingin, orang-orang Aruna bisa dilenyapkan tanpa jejak.” Raksa berjalan mondar-mandir, kain sutra yang melilit pinggangnya berayun mengikuti langkah cepatnya. Sorot matanya tajam, penuh pikiran yang berputar. Ia berhenti di depan jendela, memandang taman kenanga yang tenang seolah tidak tahu ada badai yang mulai menggelegar di dalam paviliun timur.
“Belum saatnya,” katanya pelan tapi penuh tekanan. “Membunuh Aruna secara terang-terangan hanya akan membuat rakyat dan prajurit mengutukku. Dia masih dianggap pahlawan di mata banyak orang. Tidak… aku tidak akan memberi mereka alasan untuk menentangku.”
Rudra mengangguk pelan. “Lalu apa yang hendak paduka lakukan?” Raksa menoleh, senyum miring kembali mengembang di wajahnya. “Bila tidak bisa menebas kepalanya dengan pedang, aku akan menusuk hatinya dengan keraguan. Biarkan dia tersandung oleh kehormatan yang ia banggakan. Prajurit setia itu… akan hancur oleh tangannya sendiri.” Sangkara tersenyum samar, memahami arah pikiran tuannya. Namun sebelum ia sempat menimpali, Raksa kembali menatap prajurit yang masih gemetar di lantai.
“Katakan pada semua orang di luar sana, aku tidak tahu-menahu soal pedagang itu. Jika ada yang bertanya, sebut mereka hanyalah pengembara tanpa izin. Mengerti?”
“A-Ampun, daulat Gusti Raden… hamba mengerti,” jawab si prajurit terbata, lalu segera merangkak mundur keluar ruangan. Keheningan menyelimuti paviliun setelahnya. Hanya suara burung perkutut dari taman yang terdengar samar. Raksa menghela napas panjang, namun matanya tetap menyimpan bara.
“Aruna boleh saja mengira dirinya menang,” gumamnya rendah, seakan berbicara pada bayangan sendiri. “Tapi ia lupa, istana ini bukan hanya tentang pedang dan kesetiaan. Ini tentang kuasa… dan aku, Raksa, akan menuntutnya hingga tak tersisa.” Sangkara dan Rudra saling pandang, sadar betul bahwa badai yang dipendam tuannya hanya menunggu waktu untuk meledak.
****
Menjelang siang, Raja Harjaya memasuki balairung utama untuk mendengarkan laporan para pejabat istana. Suasana tampak wajar, namun sorot mata para bangsawan berbeda-beda—ada yang teduh, ada pula yang penuh perhitungan. Di antara mereka, beberapa bisikan mengalir seperti ular yang menyelinap di rerumputan. Patih Nirmala berdiri di sisi kanan raja, matanya tajam mengamati setiap gerak. Ia tahu, balairung bukan lagi tempat musyawarah, melainkan medan perang yang senyap.
Raja Harjaya membuka suara, “Samudra Jaya berada di persimpangan jalan. Aku ingin semua pejabat mendukung keputusan yang kelak akan kuambil setelah bertapa. Masa depan kerajaan ini bukan hanya milikku, melainkan milik seluruh rakyat.” Beberapa bangsawan menunduk hormat, namun ada pula yang hanya mengangguk seadanya. Dari tempat duduknya, Raksa menatap lurus tanpa berkedip. Senyum samar menghiasi bibirnya, senyum yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengerti—bahwa badai sedang menunggu untuk meledak.
Dan di sudut ruangan, Putri Dyah duduk anggun, wajahnya teduh, namun dalam hatinya doa mengalir deras. Ia tahu, jalannya akan penuh duri. Tapi ia juga tahu, takdir Samudra Jaya sedang menantinya. Bayangan sudah bergerak. Dan permainan baru saja dimulai.
****
Sementara itu di keputren, lebih tepatnya di paviliun milik selir kedua—Ken Suryawati bisik-bisik tentang penangkapan orang-orang dari utusan pendukung raden Raksa sudah sampai ke telinganya, tapi wanita cantik itu masih menanggapinya dengan tenang.
“Gusti apa tidak sebaiknya minta Raden Raksa untuk membebaskan mereka, bisa jadi nanti mereka malah membongkar semuanya,” kata nyi Rengganis dayang utama yang selama puluhan tahun mendampinginya.
“Jangan terburu-buru mbok, kalau utusan-utusan itu dibebaskan pihak istana tentu akan curiga. Biarkan semua berjalan sesuai dengan alurnya,” kata Ken Suryawati tenang. Ken Suryawati duduk bersandar anggun di kursi berukir gading, jemarinya memainkan untaian melati yang baru saja dipetik dari taman keputren. Dari balik tirai sutra tipis, cahaya pagi masuk dan memantulkan kilau lembut pada wajahnya yang masih memancarkan kecantikan meski usianya tak lagi muda.
Nyi Rengganis menunduk, suaranya lirih namun penuh kekhawatiran. “Ampun, Gusti… hamba khawatir jika mereka dipaksa bicara, nama Raden Raksa bisa disebut-sebut. Itu akan membawa bahaya bukan hanya bagi beliau, tapi juga bagi Gusti sendiri.” Ken Suryawati tersenyum tipis, senyum yang sulit ditebak antara keyakinan atau sekadar menyembunyikan kegelisahan. “Mbok Rengganis… dalam permainan besar seperti ini, tak semua bidak bisa diselamatkan. Ada kalanya kita harus merelakan sebagian, demi menjaga jalan bagi yang lebih utama. Raksa sudah cukup cerdik, ia tahu apa yang harus diperbuat.”
“Namun, Gusti…” Nyi Rengganis menunduk makin dalam, “Patih Nirmala bukan orang yang mudah dikelabui. Jika ia mencium gelagat sedikit saja, semua bisa berbalik.” Ken Suryawati berhenti memainkan melati di tangannya, lalu berdiri dan berjalan perlahan ke arah jendela. Dari sana, terlihat bendera Samudra Jaya berkibar, sementara prajurit berlatih tombak di halaman kesatriyan. Matanya tajam, penuh perhitungan.
“Justru itu, Mbok,” ucapnya pelan. “Patih Nirmala terlalu sibuk menjaga Putri Dyah. Baginya, Dyah adalah cahaya yang harus terus dipelihara. Maka biarlah matanya tertutup oleh cahaya itu, sementara bayangan Raksa tumbuh dalam diam.” Nyi Rengganis menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Gusti selalu berpikir jauh… namun hamba takut, jika cahaya dan bayangan itu bertemu, siapa yang akan terbakar?” Ken Suryawati menoleh, tatapannya dingin namun anggun. “Biarlah api menentukan, Mbok. Aku hanya menyiapkan minyaknya.” Ia kembali duduk, kali ini lebih tegak, lalu memandang melati yang tadi hampir hancur di tangannya. “Dan ingatlah… bunga yang paling harum, selalu lahir dari tanah yang pernah menelan darah.” Di luar paviliun, terdengar sayup-sayup gamelan bertalu. Kehidupan istana berjalan seperti biasa, namun di balik tembok tinggi keputren, bisikan-bisikan kecil mulai menyalakan bara yang kelak akan membakar Samudra Jaya.
***
Di dalam taman kaputren, permaisuri Dyah kusumawati tengah berjalan-jalan berdua dengan raja Harjaya mereka bersantai sambil membahas keputusan suaminya untuk bertapa brata. Angin sore berhembus lembut membawa harum bunga tanjung yang sedang mekar. Permaisuri Dyah Kusumawati melangkah perlahan di sisi Raja Harjaya. Kedua insan agung itu tampak tenang, seolah-olah hiruk pikuk dunia luar tidak pernah menyentuh hati mereka. Padahal, di balik ketenangan itu, banyak perkara yang sedang bergolak dalam istana. Dyah Kusumawati menoleh pelan ke arah suaminya. “Kanda,” ucapnya lembut, suaranya seperti desir air di telaga, “benarkah tekad kakanda untuk menempuh tapa brata sudah bulat? Apakah tak ada jalan lain selain bertapa memohon petunjuk?”
Raja Harjaya menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke arah langit sore yang memerah. “Dinda, jalan ini bukan sekadar pilihan. Kerajaan Samudra Jaya sedang berada di persimpangan. Dua putra mahkota, dua darah yang sama-sama mengalir dari tubuhku, tetapi arah mereka begitu berbeda. Bila aku salah memilih, bukan hanya tahta yang goyah, melainkan seluruh kerajaan bisa runtuh.” Permaisuri menundukkan wajahnya, jemarinya menggenggam ujung selendang sutranya dengan sedikit gelisah. “Namun, apakah kakanda yakin para dewa akan memberi tanda yang jelas? Terkadang petunjuk yang datang hanya berupa isyarat samar. Bila tafsirnya keliru, apa yang akan terjadi pada negeri ini?”
Raja tersenyum tipis, ada ketegasan dalam tatapannya. “Karena itu aku harus benar-benar membersihkan diri. Hanya dengan hati yang beninglah petunjuk itu bisa terbaca. Aku percaya, selama niatku tulus demi rakyat Samudra Jaya, para leluhur dan Sang Hyang Jagatnata tidak akan membiarkan kerajaan ini jatuh ke tangan yang salah.” Hening sejenak menyelubungi keduanya. Hanya gemericik air pancuran di tengah taman yang terdengar. Dyah Kusumawati akhirnya menghela napas, mencoba menerima kebulatan tekad suaminya.
“Baiklah, kanda. Jika itu jalan yang kakanda tempuh, hamba hanya bisa mendukung dengan doa. Namun…,” suara permaisuri merendah, ada keraguan yang terselip, “bagaimana dengan kabar orang asing yang berhasil ditangkap oleh prajurit Aruna? Apakah tidak sebaiknya perkara itu juga kakanda timbang sebelum kakanda berangkat bertapa?” Mata Raja Harjaya menyipit, sorotnya berubah serius. “Aku sudah mendengar laporan itu. Orang asing itu mengaku hanya seorang pengelana, tetapi caranya menyusup begitu mencurigakan. Di negeri sebesar Samudra Jaya, tidak ada satu pun langkah yang lepas dari pengamatan. Aku yakin kedatangannya bukan kebetulan.”
Dyah Kusumawati menatap penuh rasa ingin tahu. “Apakah kakanda sudah menanyakan maksud dan tujuan sesungguhnya?”
“Sudah,” jawab Raja dengan nada berat. “Namun lidahnya pandai berkelit. Dia bicara seperti orang yang tahu banyak tentang istana ini, seakan-akan sudah lama mengamati. Itu yang membuatku resah. Bisa jadi dia utusan dari kerajaan seberang, atau barangkali hanya bidak yang dikirim untuk menguji kewaspadaan kita.” Permaisuri menggigit bibirnya, ada ketakutan yang sulit ia sembunyikan. “Jika benar demikian, bukankah ini bisa menjadi tanda bahwa musuh sedang mengintai? Lalu, bagaimana dengan keselamatan kakanda bila meninggalkan istana dalam keadaan genting?” Raja Harjaya berhenti melangkah. Ia menatap permaisurinya dalam-dalam, seakan ingin menenangkan batin yang sedang bergolak. “Dinda, justru inilah ujian. Jika aku terus berada di istana, bayang-bayang itu akan semakin menjerat. Tetapi bila aku menyingkir sejenak, memohon petunjuk kepada alam, aku akan kembali dengan mata yang lebih jernih. Aku tak bisa memutuskan pewaris tahta hanya dengan mendengar bisik-bisik atau laporan prajurit. Aku butuh jawaban yang lebih tinggi.” Dyah Kusumawati terdiam, namun di dalam hatinya ada perasaan campur aduk kagum atas keteguhan sang suami, tapi juga takut akan badai yang mungkin datang ketika raja meninggalkan istana.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “izinkan hamba menjaga keputren dan seluruh permaisuri serta selir selama kakanda berdiam diri dalam tapa. Hamba tak ingin ada kekacauan yang membuat kakanda kehilangan ketenangan.”
Raja Harjaya mengangguk mantap. “Aku percaya kepadamu, dinda. Keputren ada dalam tanganmu, dan aku yakin engkau bisa menjaga keseimbangan. Aku hanya berharap, jangan sampai ada api yang membesar dari bara yang kecil. Karena sesungguhnya, bahaya terbesar justru sering lahir dari dalam, bukan dari luar.” Ucapan itu menggema di hati Dyah Kusumawati. Ia tahu maksud sang raja—tentang persaingan halus di antara para selir, juga bisik-bisik yang sudah mulai terdengar di lorong-lorong istana. Mereka melanjutkan langkah di antara bunga-bunga, sementara mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Suasana seakan damai, tetapi di baliknya, badai besar sedang bersiap menguji Samudra Jaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!