"Mas Sastra," suara Maharani begitu lembut nan menggoda memanggil halus nama suaminya, bersamaan dengan tubuh rampingnya yang naik keatas pangkuan Sastrawira.
Tangan Maha bergerilya menyentuh halus dada bidang Sastra dari balik kaos polosnya yang berwarna putih, "Mas mau aku pijitin tidak? Supaya kerjanya semakin semangat besok." Katanya mengedipkan sebelah mata, sedangkan tangannya mulai meraba-raba dada bidang Sastrawira yang terbentuk atletis, kemudian beralih pada otot-otot tangannya dan mulai memijatnya begitu lembut.
"Aku sedang berusaha jadi istri impianmu loh, yang manis, halus tutur katanya, lembut dan anggun. Istri nurut, suami kan tambah cinta," Maha mulai menjalankan aksinya, bibir berpoleskan gincu merah yang merona itu mulai menciumi leher Sastra hingga meninggalkan jejak lipstik yang jelas tertinggal disana.
"Saya suka kamu apa adanya." Bertepatan dengan tangan Maharani yang menyentuh jakun pria itu, Sastrawira baru membuka suara.
"CK! Lo tuh banyak protesnya ya Sas, seharusnya lo muji istrinya dong, 'sayang... Kamu benar-benar istri idamanku.' gue berharap denger perkataan lo kaya gitu, ini malah protes." Maha mendengus sebal, namun ia kembali melanjutkan aksinya.
"Enak gak pijatan aku Mas?" Maha memulai kembali.
Sastra menatap netra cokelat Maharani dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan tubuhnya terdiam di sofa panjang, hanya terasa getaran aneh saat Maha bergerak dengan ria diatas tubuhnya.
"Bukannya kamu besok ada ujian matematika, kenapa gak belajar?" Pertanyaan Sastra berhasil membuat Maharani memberhentikan aksi menggoda suami yang penuh dengan ketenangan ini.
"Gue gak perlu belajar, palingan besok tinggal nyontek, gampang kan?"
Sastra menghela nafas sejenak kemudian menurunkan Maharani dari atas pangkuannya, dia menarik lembut tangan istrinya dan melangkah bersama Maha yang mengikuti dari belakang.
"Berhasil nih!" Maha membatin kesenangan, akhirnya bisa diajarkan Sastra tanpa harus memohon pada pria menyebalkan yang disebut suami ini.
Didudukannya Maha diatas kursi belajar, kedua tangannya diletakan diatas meja dengan satu tangan kanan memegang pena dan tangan kirinya memegang buku paket matematika yang sudah tergeletak diatas meja. Sastra menarik kursi lain dan duduk disebelah Maha.
"Halaman mana yang perlu dipelajari?" Tanya Sastra fokus pada buku yang Maha pegang.
"Ini, delapan puluh sembilan."
Sastra mulai membaca sub judul yang tertera pada halaman delapan puluh sembilan, sementara Maha diam-diam mencuri pandang ke arah suaminya yang begitu serius. Wajah Sastra yang tegas dan tenang membuat Maha terdiam. Bukan karena kagum, tetapi karena dia merasa puas—Sastra terlihat begitu mudah dibodohi oleh rencana kadalnya.
"Ini tentang integral. Kamu sudah mengerti konsep dasarnya?" tanya Sastra, menatap Maha dengan penuh perhatian.
Maha mengangguk kecil, meskipun dalam hatinya dia tahu hanya sedikit yang dia pahami. Namun, dia tidak ingin merusak momen ini dengan mengakui ketidaktahuannya.
Sastra kemudian mulai menjelaskan konsep integral dengan suara yang tenang dan jelas. Tangan besarnya sesekali menggambar diagram di buku latihan Maha untuk mempermudah penjelasannya. Namun, pikiran Maha terus melayang, lebih fokus pada gerakan tangan Sastra dan suaranya yang lembut—semua itu justru membuatnya semakin mengantuk.
"Saya tahu ini bisa terasa sulit, tapi kalau kamu bisa pahami dasarnya, sisanya akan jadi lebih mudah," ujar Sastra setelah selesai memberikan penjelasan.
Maha jelas-jelas tidak mendengarkan. Gadis itu sudah tertidur dengan tangannya yang bertumpu pada meja, menyangga dagunya yang kini terkulai lemah.
Sastra tahu bahwa Maha selalu sulit fokus, terutama pada hal-hal yang tidak menarik minatnya. Namun, melihatnya tertidur saat dia sedang berusaha mengajarkan sesuatu membuat Sastra tersenyum tipis. Ada sisi Maha yang begitu lugu dan polos, meskipun di balik itu, Sastra menyadari betapa cerdiknya Maha dalam menggunakan pesonanya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Sastra menghela nafas pelan, hampir tak terdengar, seolah tengah mengeluhkan perilaku sang istri yang seringkali dipandang sebelah mata oleh anggota keluarga nya yang lain karena kesembronoan nya. Meski begitu, Sastra tidak pernah merasa diperlakukan semena-mena oleh Maharani.
"Bangun, Tuan Putri. Setidaknya belajar sedikit supaya pengetahuanmu untuk ujian besok tidak terlalu nol," ujar Sastra lembut sambil membangunkan istrinya.
Maha terkejut dan langsung tersentak bangun. "Sastra edan!" serunya spontan, mengungkapkan apa yang benar-benar ada di dalam hatinya.
Dia mencebik kesal, tak suka tidurnya diganggu, apalagi sampai membuat jantungnya berdetak kencang seperti ini. "Bisa gak sih lo gak usah ngagetin gue? Gue jantungan! Lo enak jadi duda, ya gue mati penasaran karena belum bercerai dari lo!" Maha menggerutu, menatap Sastra dengan mata tajam, meski di balik kemarahan itu tersirat batinnya yang memohon agar ucapannya tak sampai keatas langit.
Sastra tidak banyak merespon dia hanya menjentikkan jarinya pada buku paket matematika milik Maharani. "Kamu sengaja cari perhatian ingin saya ajari, tapi kamu malah tidur seperti tadi? I can't help much, Maha."
Maha mendelik tajam, kalau bukan karena usahanya cosplay jadi istri lemah lembut untuk membuat om-om ini dapat membantunya, ogah banget Maha melakukan hal-hal seperti itu.
"Siapa suruh lo punya otak encer? Ya gue manfaatin lah, rugi kalau gak gue ambil." Batinnya berdrama lagi, ia terkikik didalam hatinya.
"Kok lo kayak yang gak niat mau bantu gue sih? Kalau emang gak, yaudah sana aja, pintu kamarnya tinggal di buka terus lo keluar dari sini, gampang kok."
Tidak ada untungnya berdebat dengan Maha karena hanya akan membuat perempuan ini bermain-main dengan waktu yang semakin bergerak menuju malam yang semakin larut.
"Saya jelaskan secara spesifik, kamu perhatikan dengan baik-baik, saya tidak akan mengulangi lebih dari dua kali, kamu mengerti?" Spontan Sastra menjitak kepala Maha sehalus mungkin dengan pena yang ia pegang.
"Iya, gue ngerti, peraturan lo gak boleh lebih dari dua kali. Tapi kalau kerjaan gue salah ya di koreksi."
"Good girl."
Maha mulai fokus belajar, secepat itu langsung memahami cara Sastra menjelaskan dan memberikan contoh penyelesaian. Walaupun saat di coba ternyata matematika tetap masuk kedalam daftar mata pelajaran yang paling tidak Maha sukai.
"Shit! It's so hard!" Umpat Maharani begitu kesal, tiba-tiba otaknya tidak sinkron dan Maha mulai tidak sabaran.
Sastra mengambil pena kembali, memberikan cara penyelesaian secepat kilat hingga membuat Maha tercengang. "Gue akui kalau otak lo itu encer. Kalau bisa gue mau pinjem otak lo buat besok aja boleh dong Mas..."
Sastra menarik sebelah alisnya, ingin tahu jawaban dari Maha, karena itu ia bertanya, "bagaimana caranya?"
Maha tersenyum miring, "gini caranya," Maha mengambil cutter yang berada di dalam tempat alat-alat tulis nya dan mengayunkan kearah kepala Sastra, berharap laki-laki itu akan meresponnya dengan marah, namun bukan Sastrawira Hardjosoemarto jika tidak setenang itu menghadapi kegilaan dari tingkah bar-bar Maharani.
"Boleh, tapi itu tandanya kita berdua akan mati bersama." Seolah kendali ada di tangan Sastra, Maha justru dibuat dongkol olehnya.
"Sia-sia dong gue ngelakuin semua ini," ujarnya membatin sarkastik, Maha kembali menatap buku di hadapannya. "Gak ada gunanya ngomong banyak sama lo. Okey, tunggu gue nyelesain tiga soal ini terus lo nilai dan sekali lagi, kasih gue koreksi kalau salah."
Sastra mengangguk, mereka hening beberapa saat sampai akhirnya Maha selesai menyelesaikan tiga soal itu dalam waktu lima belas menit yang dimana satu soal dia habiskan sebanyak lima menit.
"Semuanya sudah benar, tapi kamu harus gunakan waktu lebih efektif lagi. Kalau bisa tiga menit untuk satu soal,"
Maha melotot, laki-laki ini sepertinya memang sengaja ingin memerintahnya. "Gak usah banyak nuntut sama gue, lo itu perlu ngajarin gue doang."
Sastra bangun dari duduknya, menatap Maha dengan tatapan datar. "Setelah ini langsung tidur, jangan main handphone terus." Sastra segera berkelok menuju pintu, keluar dari kamar Maha tanpa menoleh lagi. Maha mendengus sebal, "gak akan semudah itu lo merintah gue, dasar om-om patriarki!"
Keesokan paginya, Maha kembali bangun pukul lima subuh untuk melaksanakan agenda rutinnya bersama Sastra, yaitu sholat berjamaah. Pada awalnya, Maha merasa terpaksa, namun seiring waktu, dia mulai terbiasa dan batinnya benar-benar menjadi tenang.
Namun, bukan Maharani namanya jika tidak membuat Sastra semakin ilfeel padanya. Pagi itu, suasana di ruang makan yang awalnya tenang berubah menjadi heboh karena suara Maha yang mendominasi.
"Duh, Mas, aku nggak sengaja sungguhan. Sini aku bersihkan," kata Maha panik sambil mengambil tisu di atas meja. Dia segera membersihkan kemeja kerja Sastra yang terkena tumpahan selai roti, tetapi bukannya bersih, kemejanya justru semakin kotor.
Sastra hanya menghela napas sejenak, kemudian pergi tanpa menghiraukan Maha yang sekali lagi gagal membuatnya bereaksi sentimental.
"Gue nggak akan nyerah, Sas. Sampai gue berhasil buat lo takluk untuk tanda tangani surat cerai kita!" ujar Maha, penuh tekad.
"Kita putus Maha!" Seru pacar ke delapan belas Maharani Lestari Wirastama yang tiba-tiba memutuskan hubungan mereka dengan sepihak, tanpa adanya sebab yang jelas. Percekcokan pun nol besar, tapi tiba-tiba meminta putus.
"Jelasin Gak! Atau gue siram muka lo pake kuah bakso, mau?!" Ancam Maha pada laki-laki bernama Dafa yang saat ini tengah gelisah akan sesuatu.
"Maaf Maha, tapi gue gak bisa—kabur..." Pekik Dafa melarikan diri dari amukan Maha, para siswa Cendana Maharaja menyaksikan momen itu dengan tatapan sinis, ada diantara mereka yang mulai mencemooh Maha hingga timbulah pertengkaran sengit dengan saling jambak-menjambak rambut dan melempar mangkuk berisi kuah bakso, yang ujung-ujungnya masuk kedalam ruangan BK.
Maharani merasa dirinya selalu sial dalam hal yang berbau percintaan, walaupun dia sudah terbiasa dengan perasaan ini—ditinggalkan, ditolak, dan diputuskan tetapi Maharani juga ingin mendapatkan hubungan yang langgeng.
"Kalau gini terus bisa-bisa gue jadi jomblo ngenes seumur hidup. Sial! Kenapa sih? Apa gue jelek dan kurang menarik ya sampe banyak cowok yang nolak gue? Ah masa sih, orang gue cantik nan seksi begini juga. Awas aja ya mantan-mantan gue yang berani-beraninya udah mutusin gue, nanti gue pamerin cowok yang bener-bener bisa cinta dan setia sama gue, liat aja!" Ucap Maha pada angin yang berhembus tetapi akhirnya dia berteriak kencang juga.
"ARGHHH!!"
Maha mengerang kesal, saking dongkolnya dia sampai menendang botol air mineral yang sudah kosong dengan keras, yang malah mengenai kepala licin tidak berambut guru matematikanya, pak Bima.
"MAHARANI!!" Pekik pak Bima keras, Maha segera kabur dari sana.
Nafasnya terengah-engah, sial hari ini dirinya. Sudah diputuskan laki-laki berengsek, eh hampir kena amukan guru matematikanya pula.
"Arghhh!!"
"Najong banget sial!" Maha mengepalkan tangannya dengan kuat, mood-nya hari ini benar-benar berantakan parah.
DUARR!!
"Ketemu!!" Teriak Keana dengan suara lantang dan mengejutkan, jantung Maha yang kembali dibuat berjoget ria.
Maharani memutar bola matanya malas, "Bisa gak sih gausah rusuh kalau datang Kea! Bikin orang jantungan aja."
"Hehe," Keana malah terkekeh pelan. "Gue suka liat muka kaget lo Maha, lucu."
Maha protes banyak. "Suka sih suka, gue jantungan kan gak bercanda Kea!"
Keana tertawa lepas, "amit-amit lah Maha. Gue nyariin lo, eh akhirnya ketemu disini. Anak-anak udah nunggu di rooftop, gak sabar pengen megang uang hasil taruhan lo yang gagal lagi."
Maha merengut kesal, semua teman-teman nya memang tidak beres otak pikirannya. "Jahat banget lo semua, fuck!" Maha menjentikkan jari tengahnya kesal, Keana malah tertawa ngakak.
"Masih banyak cowok diluar sana Maha, lo cantik plus aduhai begini masa sih kagak ada yang setia. Ditunggu aja ya Maha, gue doain lo dapet cowok spek malaikat, Perfect lah pokoknya."
Maha menghela nafas panjang. "Pastilah, gue pasti coba lagi, mau berapapun itu gue jabanin."
Mereka berdua tersenyum lebar, langkah kakinya Bergerak menuju rooftop sekolah. Semuanya menunggu kabar kekalahan Maharani.
"Iya gue kalah lagi, puas kalian?"
"Banget!!" Seru empat sahabat Maharani. Risa yang paling senang karena dia tahu Maha memang tidak cocok dengan Dafa, pria yang modelnya kayak ulat keket.
"Di kelas dua belas ini, banyakin lagi masa-masa indahnya. Kayak lo Maha, gaskeunn semangat cari yang setia, hempaskan cowok-cowok tidak berguna seperti delapan belas mantan Lo yang wakanda itu." Seru Nadin, si paling tidak suka sahabatnya dibeginikan terus laki-laki.
Maharani malah memikirkan hal yang aneh, kemudian dia menceritakan pada sahabatnya. "Gue rasa ada seseorang yang gak mau gue bahagia punya doi deh. Sosok misterius itu masih gue liat tau, kayaknya dia cowok."
Keana mengangguk setuju, dia juga sempat melihat sosok misterius yang dikatakan Maha.
"Hati-hati Maha, takutnya dia pakai ilmu magis, kita kan gak tau." Keana mulai dengan asumsi anehnya, tapi perkataannya ada benarnya juga.
"Banyak berdoa aja kali, yakin sama yang diatas." Hani menambahi, menenangkan Maha yang mulai resah.
•••
Setelah aktifitas yang cukup melelahkan di sekolahnya, Maha segera pulang. Langkahnya cukup malas masuk kedalam rumah namun suara bariton seseorang yang sangat familiar membuat Maha terdiam diambang pintu.
"Tolong jaga putri saya nak Sastra, saya harap nak Sastra dapat membimbing Maharani menjadi istri yang berbakti."
DEG!!
Maharani berdiri mematung di ambang pintu. Kalimat terakhir yang baru saja didengarnya seperti petir di siang bolong, menyambar hingga membuat tubuhnya kaku. "Istri yang berbakti?" Pikirnya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi didalam sana?
Dengan langkah yang tertahan, Maha melangkah masuk ke ruang tamu. Di sana, duduklah ayahnya dengan ekspresi serius, berbincang dengan seorang pria tinggi, berkulit sawo matang, berwajah dingin, namun sangat tampan. Pria itu adalah Raden Sastawira Atmajaya Hardjosoemarto, putra tertua dari pasangan keluarga Hardjosoemarto, lebih tepatnya anak dari teman bisnis Papanya.
"Papa..." Maha berbisik, suaranya nyaris tak keluar. "Apa maksudnya tadi?"
Ayahnya, Wirastama, menatapnya dengan tenang, namun di balik tatapan itu ada sedikit rasa bersalah yang Maha tangkap. "Maha, duduklah dulu, Papa akan jelaskan semuanya."
Namun Maha tidak ingin duduk. Dia merasa tidak nyaman, perasaan cemas mulai merayap ke seluruh tubuhnya. "Jelaskan apa, Pa? Kenapa Papa bilang begitu? Kenapa ada cowok itu di sini?"
Sastawira, tetap diam namun matanya menatap lekat sosok wanita yang sudah ia peristri lima bulan lalu.
Wirastama akhirnya menarik nafas panjang dan mulai berbicara, "Maha, Papa tahu ini mendadak, dan mungkin kamu marah. Tapi ini keputusan keluarga. Keluarga kita dan keluarga Hardjosoemarto sudah lama memiliki kesepakatan ini. Untuk menjaga kehormatan keluarga, kalian sudah dijodohkan, kamu... sudah Papa nikahkan dengan Nak Sastrawira, lima bulan lalu."
Maha menatapnya dengan tatapan terbelalak, seolah tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Menikah? Papa?! Maha gak pernah menikah sama siapapun! Apa-apaan ini?!"
Wirastama menundukkan kepalanya, merasa berat harus menjelaskan situasi yang sudah ia sembunyikan selama ini. "Papa tahu, Maha. Kamu pasti syok. Tapi pernikahan ini dilakukan demi menjaga kehormatan keluarga. Kamu tidak ada di sana saat pernikahan berlangsung karena kami sengaja melangsungkannya secara tertutup. Semua sudah diatur oleh keluarga."
Maha tersentak mundur, menatap Wirastama dengan pandangan terluka. "Bagaimana bisa, Pa? Kenapa Papa melakukan ini tanpa bilang ke Maha? Ini hidup Maha, bukan permainan keluarga."
Sastrawira, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan suaranya yang tenang. "Maha, saya tahu ini sulit diterima. Tapi pernikahan kita sudah sah. Saya akan menghargai ruang yang kamu butuhkan."
Maha memandang Sastrawira dengan tatapan tajam. "Gue gak pernah setuju dengan ini! Gue gak pernah tanda tangan apapun, dan gue gak akan pernah terima lo sebagai suami gue!"
Sastrawira mengangguk, tetap tenang meskipun Maha sudah meledak dengan amarah. "Saya mengerti kalau kamu butuh waktu, Maha."
Maha mengepalkan tangannya, merasa marah dan bingung. "Papa udah jahat, merusak hidup Maha kayak gini! Maha gak akan pernah terima ini, gak peduli apa pun yang Papa atau cowok itu katakan!"
Wirastama mencoba mendekati anaknya dengan tatapan penuh harap, tapi Maha sudah lebih dulu berbalik dan lari ke kamarnya. Air mata yang ia tahan akhirnya mengalir deras begitu pintu kamarnya tertutup.
Di dalam kamar, Maha merasa dunianya runtuh. Bagaimana bisa ini terjadi? Bagaimana bisa hidupnya yang bebas sekarang dikendalikan oleh keputusan keluarga yang ia sendiri tak pernah tahu?
Sastrawira tetap duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dibanting Maha. Pak Wirastama menghela napas panjang, memandangi Sastrawira dengan perasaan tak enak. "Nak Sastra, beri dia waktu. Maha butuh waktu untuk menerima ini."
Sastrawira hanya mengangguk pelan. "Saya paham, Pak. Saya tidak akan memaksa. Saya akan tunggu sampai Maha siap."
"Sial banget hidup gue, arghhh..." Maha membanting gelas yang sebelumnya berada diatas nakas, Wirastama yang mendengar itu segera menggedor pintu putri bungsunya.
"Maha, buka tidak pintunya?!" Pekik Wirastama dengan keras, takut putrinya melakukan hal nekat yang tidak-tidak.
"Pak, biar saya saja yang dobrak." Ucap Sastrawira mulai ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar Maha. Wirastama mengangguk, membiarkan Sastra mendobrak pintu kamar putrinya.
BRAK!!
Pintu didobrak dengan kencang, membuat Maha terlonjak kaget didalam kamarnya, dia langsung menyusut air matanya dengan kasar.
"Bang*at!! Apa-apaan sih lo?!" Pekik keras Maha melihat pintu kamarnya dirudapaksa oleh laki-laki itu.
Wirastama segera masuk kedalam dan melihat pecahan gelas berserakan dilantai.
"Bi!!" Panggil Wirastama pada asisten rumah tangganya. Bi Lastri segera datang dan membersihkan pecahan gelas dibantu oleh Sastra.
"Tuan, tidak usah," ujar bi Lastri tak enak, apalagi mengetahui laki-laki tampan di hadapannya itu adalah putra tertua Hardjosoemarto.
"Tidak apa-apa Bi, saya bantu."
Wirastama mengeraskan rahangnya, tatapannya tajam menatap Maha. "Kamu apa-apaan sih Maha? Kalau marah sama Papa gak gini caranya!"
"Maha berhak marah Pa, anak perempuan mana yang nggak ngamuk kalau hak nya direnggut seperti ini? Papa kenapa sih dari dulu selalu aja mojokin Maha? mungkin...kalau Mama masih hidup Maha gak semenderita ini!" Pekik Maha akhirnya tumpah unek-unek nya, tetapi dia tidak sedikitpun memperlihatkan air matanya, bagi Maha pantang memperlihatkan kesedihan didepan laki-laki, mereka semua hanya menganggap wanita sebagai makhluk cengeng yang mudah dimanipulasi.
"MAHA!!" Wirastama tak kalah berang mendengar nada tinggi putri bungsunya, Maha memang anak yang sangat sulit diatur.
Sastrawira yang melihat pertengkaran anak dan bapak semakin sengit akhirnya membantu meredakan, tak ingin situasi semakin panas.
"Pak Wirastama tenanglah Pak, kita biarkan Maha mencari ketenangan terlebih dahu—"
"Karena lo sialan," tunjuk Maha pada Sastrawira, "gue benci banget sama lo. Diantara jutaan cewek di berbagai belahan dunia, kenapa harus gue sih?! Lo tuh bisa cari yang lebih dari gue, yang sepadan sama lo dan keluarga ningrat lo itu."
Maha mendengus dingin, "Lo itu gak beda jauh sama om-om pedo, tau gak sih?!"
"Astaghfirullah Maha!!" Hampir saja Wirastama melayangkan tangannya memukul wajah Maha jika tidak ditahan oleh Sastrawira.
Sastra kembali membuka sura. "Maha, saya akan beri kamu ruang dan waktu. Saya tidak akan menuntut apapun dari kamu, tapi tolong pikirkan ini baik-baik. Kita bisa bicarakan ini nanti, saat kamu sudah lebih tenang."
Maha mendengus kesal, matanya masih menatap Sastrawira penuh kebencian. "Gue gak butuh waktu untuk mikir. Jawaban gue tetap sama. Gue gak akan pernah setuju sama pernikahan ini, dan gue gak akan pernah terima lo sebagai suami gue, titik."
Sastrawira mengangguk paham. "Baik, Maha. Saya mengerti."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sastrawira meninggalkan kamar Maha, diikuti oleh Pak Wirastama yang masih terlihat gelisah. Setelah mereka keluar, Maha terduduk di pinggir tempat tidurnya, merasa kelelahan setelah semua emosi yang baru saja ia keluarkan.
"HUFT!!"
"Mama, nggak adil ya, laki-laki selalu ingin berada di depan dengan segala kuasanya," gumam Maha pada angin yang berhembus dari jendelanya yang terbuka. "Karena itu, Maha ingin menaklukkan laki-laki. Bukan karena Maha haus akan cinta dan perhatiannya, tapi... Maha cuma ingin mencari laki-laki yang nggak seenaknya terhadap perempuan. Hah!" Maha mendengus lelah. "Kayaknya sulit deh, seribu satu. Ada juga... malah belok, arghh... sialan!"
Maha mengingat salah satu mantannya yang terlihat sempurna di awal, namun setelah kedoknya terbuka, Maha jadi ilfeel. "Selingkuh sama cewek sih normal, tapi kalau selingkuhnya sama... batang lagi, ngeri deh!" Pikirannya merinding setiap kali ia mengingatnya.
"Amit-amit ish!! Bisa berabe kalau terus lanjut waktu itu." Katanya dengan tubuh yang tiba-tiba merinding parah.
Maha menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu. "Nggak, nggak, nggak! Sekarang bukan waktunya mikirin itu." Wajah Sastrawira tiba-tiba muncul dalam pikirannya, membuat Maha semakin kesal. "Sastrawira Atmajaya Hardjosoemarto," ucapnya pelan, namun dengan penuh kekesalan. Tangannya mengepal erat, menahan perasaan yang menggelora di dalam dirinya.
Maha bangkit dari tempat tidur menuju meja belajarnya yang jarang sekali terjamah olehnya, lalu dia mulai membuka internet untuk mencari lebih detail tentang profil dan latar keluarga Hardjosoemarto.
"Buset si Sastrawira namanya nongol paling atas di pencarian, dih... ni orang se-famous apa sih?"
KLIK!
Raden Sastrawira Atmajaya Hardjosoemarto, putra pertama dari keluarga Hardjosoemarto. Usianya saat ini tiga puluh dua tahun, sudah sukses sebagai pengusaha muda di usia dua puluh tujuh tahun dalam bisnisnya, yang terfokus pada teknologi dan infrastruktur.
Sastrawira adalah pendiri sekaligus CEO dari AtmajayaTek, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi dan pengembangan aplikasi digital. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu inovator terdepan dalam industri teknologi, khususnya dalam pengembangan solusi berbasis AI dan big data untuk sektor bisnis. Sastrawira memiliki visi untuk menjadikan AtmajayaTek sebagai pionir dalam menciptakan teknologi yang dapat mempercepat transformasi digital di Indonesia dan wilayah Asia Tenggara.
Selain AtmajayaTek, Sastrawira juga terlibat dalam proyek-proyek besar infrastruktur melalui Hardjosoemarto Group, perusahaan utama keluarga yang bergerak di bidang properti dan pembangunan. Di bawah kepemimpinannya, Hardjosoemarto Group telah memperluas portofolio mereka dengan mengakuisisi sejumlah properti strategis di kota-kota besar dan mengembangkan proyek-proyek pembangunan yang bernilai miliaran rupiah.
Bisnis-bisnis ini menjadikan Sastrawira tidak dikenal hanya sebagai pengusaha sukses tetapi juga sebagai salah satu tokoh muda yang paling berpengaruh di kalangan elit. Di balik kesuksesannya, Sastrawira dikenal sebagai sosok yang ambisius, tenang, dan berdisiplin tinggi—sifat-sifat yang sering membuatnya sulit didekati, namun juga dihormati oleh mereka yang bekerja bersamanya.
Maha duduk termenung di pinggir tempat tidurnya, kepalanya mulai ngebul memikirkan Sastrawira yang memang setajir dan sekuat itu citra namanya.
Maha mendesah panjang dan menggeleng keras, mencoba menepis pikirannya. "No! Gue akui dia memang unggul dalam hal ini, tapi... nggak sesuai sama aslinya yang ternyata edan," gumam Maha dongkol sekali. "Masa bisa-bisanya dia mau nikah sama anak usia tujuh belas tahun otw delapan belas sih? Najis. Sastrwira, lo dasar om-om pedo!"
Baginya, Sastrawira adalah simbol dari kekuatan patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
TIN...
TIN...
Suara klakson memekikkan telinga Maha, kesal dengan gangguan dari mahluk bernama Sastrawira Atmajaya Hardjosoemarto yang terus mengikutinya dari rumah sampai Maha sekarang ini tengah berada di depan jalan raya.
Maha terpaksa harus naik angkutan umum karena papanya tidak memberi akses transportasi pribadi dan sialnya, Sastrawira sudah berada di rumahnya sejak pukul lima pagi. Membangunkan Maha untuk sholat subuh yang jarang sekali ia kerjakan, sampai menunggu Maha bersiap-siap, katanya mau mengantarkan istrinya berangkat ke sekolah.
Maha berjalan cepat, berharap bisa menghilangkan jejak dari Sastra, tapi suara klakson mobilnya yang mewah terus membuntutinya di sepanjang jalan. Setiap kali Maha melirik ke samping, dia bisa melihat Sastra duduk di balik kemudi dengan wajah yang tenang, seolah-olah tidak ada yang salah dengan situasi ini.
"Ngeselin banget sih om-om pedo ini, udah tau ditolak mentah-mentah sama gue tetep aja ngintilin kayak bebek!" Maha menggerutu sambil mempercepat langkahnya, namun suara klakson itu semakin keras seakan-akan, Sastra sengaja ingin membuatnya kesal.
Beberapa pejalan kaki mulai melirik mereka dengan tatapan heran, tapi Sastrawira tampak tidak peduli. Dia tetap mengikuti Maha, seolah tidak ada yang bisa menghentikannya. Maha menggertakkan giginya, merasakan darahnya mendidih.
"Sastra, gue serius nih!" Maha berteriak kesal, membalikkan badan dan menghadapi laki-laki itu yang kini sudah berhenti di sampingnya, "atau gue teriak lo penguntit, mau?!"
Sastra turun dari mobilnya, mengenakan setelan rapi yang tampak kontras dengan seragam sekolah Maha yang sederhana, namun aura dompet tebal nya sangat kentara sekali. Dengan langkah tenang, dia mendekat, membuat Maha semakin geram.
"Saya bisa jelaskan kalau kamu istri saya," jawab Sastra dengan suara yang tenang, seolah-olah dia tidak terpengaruh oleh ancaman Maha.
"Ishhh... ngeselin banget sih lo Sastra! Najong banget! Udah deh jangan buat gue tambah pusing. Lo pergi dari sini atau gue teriak nih? lagian orang-orang gak bakal percaya kalo lo suami gue, anak SMA yang harusnya fokus belajar malah milih nikah sama om-om. Mikir dong Sastawira!"
Sastra menyugar rambutnya kebelakang, namun ditangkap sok cari perhatian oleh Maha. "Dih... merinding gue!" Batin Maha merasa horor melihat tingkat paripurna ketampanan laki-laki itu. Maha tidak munafik, Sastrawira Atmajaya Hardjosoemarto memang memiliki paras dan proporsi tubuh yang hampir sempurna.
"Jam enam lewat empat puluh lima, tetap kekeuh ingin naik angkutan umum saja, Heum? Yakin gak telat?"
Maha melihat jam tangannya, matanya membelakak besar. Duh, kalau gini caranya dia tidak punya waktu lagi menunggu, maka dari itu, Maha langsung memberhentikan seorang ojek online yang kebetulan tengah melintas santai. Sastra tertegun melihat itu, ia kira Maha akan masuk kedalam mobilnya.
"Pak...Pak..." Panggil Maha keras, si bapak ojol menoleh cepat dan memberhentikan motornya ditepian.
"Iya dek ada apa?"
"Jadi gini pak, saya mau berangkat kesekolah tapi angkutan umum kok lama banget ya, gak nongol-nongol? Nah... kebenaran ada bapak lewat, boleh gak saya langsung ngojek aja tanpa aplikasi, udah mepet soalnya ini pak, nanti ongkosnya saya tambah deh pak."
Bapak Ojol itu langsung merubah raut wajahnya dengan senyuman yang mengembang, "boleh dek boleh, kalau begitu mau diantar ke sekolah mana dek?"
"Sekolah Cendana Maharaja ya pak,"
Sastra mengangkat alisnya, terkejut melihat Maha yang lebih memilih ojek online ketimbang naik mobil bersamanya.
Bapak Ojol itu pun mengangguk dengan sigap, dan Maha segera naik ke atas motor. Namun, sebelum ojek itu melaju, Sastra mendekat dengan langkah cepat. "Maha, saya bisa mengantar kamu lebih cepat dari ini," kata Sastra dengan nada sedikit tegas, mencoba menawarkan dirinya sebagai solusi yang lebih praktis.
Maha hanya mendengus dan melirik Sastrawira dari sudut matanya. "Lebih cepat? Iya, lebih cepat bikin gue pusing. Udah, sana pulang aja, lo. Gak perlu repot-repot nganter gue."
"Pak, kita berangkat sekarang!" seru Maha tanpa menghiraukan Sastra lagi.
Si bapak ojol menyalakan motornya, dan dalam hitungan detik, mereka sudah meluncur meninggalkan Sastra yang berdiri terdiam di pinggir jalan. Sastra hanya bisa menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada punggung Maha yang semakin menjauh.
Lima belas menit kemudian, Maha tiba di depan gerbang sekolah. Tanpa membuang waktu, dia segera turun dari ojek dan membayar ongkosnya sambil mengucapkan terima kasih singkat pada si bapak ojol.
Dengan cepat, Maha melangkah masuk ke dalam area sekolah. Perasaannya campur aduk—kesal karena Sastrawira, tapi juga lega karena berhasil tiba di sekolah tanpa harus bersamanya.
Maha menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pagi yang seharusnya tenang malah jadi ribet gara-gara Sastra. "Ini baru hari pertama setelah kejadian itu, dan dia udah bikin hidup gue repot," gumamnya kesal sambil berjalan menuju kelas.
Masuk ke dalam kelas, Maha langsung disambut oleh sahabatnya, Keana, yang duduk di bangku paling depan. Keana mengangkat alis, memperhatikan wajah Maha yang tampak kusut.
"Tumben banget datang-datang muka lo kusut banget, Maha? Ada apa sih?" tanya Keana dengan nada penasaran.
Maha menghempaskan tasnya ke atas meja, kemudian menghela napas panjang sebelum menjawab, "siapa lagi kalau bukan si om-om ngeselin itu. Dia ngikutin gue dari rumah sampai sini! Beneran deh, gue pusing sama Sastrawira." Maha tanpa sadar keceplosan menyebut nama laki-laki itu.
Keana tampak bingung, alisnya berkerut, "Sastrawira? Siapa Sastrawira, Maha? Jangan-jangan pacar baru lo ya?"
Maha tersentak, menyadari dia sudah keceplosan. "Eh, bukan! Maksud gue... Sastawira itu...," Maha berpikir cepat mencari alasan, "Dia cuma tetangga baru yang super kepo, makanya gue kesel banget. Gak ada apa-apa kok, Kea."
Keana menyipitkan mata, jelas belum puas dengan jawaban Maha. Dia memang sangat jago membaca raut wajah sahabatnya itu. "Jangan bohong deh, Maha. Jangan-jangan om-om itu pacar baru lo ya?" Keana menggoda dengan nada setengah serius.
Maha menggeleng cepat, berusaha terlihat santai meski hatinya berdegup kencang. "Apaan sih, Kea. Mana mungkin gue punya pacar om-om? Itu cuma tetangga iseng yang suka gangguin gue. Lo gak perlu mikir yang aneh-aneh."
Keana menatap Maha sejenak, lalu mengangkat bahu dengan santai. "Ya gak apa-apa kali lo pacaran sama om-om, Maha. Kalau yang seumuran pada berengsek, gaskeun aja sama yang berumur. Bener gak, Maha?" Ujung-ujungnya Keana menggoda dengan senyum jahilnya, berharap bisa mendapatkan reaksi yang lebih seru dari sahabatnya.
Maha mengerutkan keningnya, setengah terganggu dan geli dengan godaan Keana. "Ish, Kea! Gak ada om-om. Lagian siapa juga yang mau pacaran sama om-om?" balas Maha, mencoba menepis godaan temannya sambil menyembunyikan rasa gugup yang muncul.
Keana tertawa kecil, lalu menepuk pundak Maha dengan ringan. "Santai aja kali," bisiknya sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Maha, "kalau iya juga gak apa-apa."
"KEANA!!" Maha langsung memprotes, wajahnya memerah karena jengkel dan malu sekaligus. Namun, Keana hanya tertawa terbahak-bahak.
•••
Setengah hari penuh dengan aktivitas di sekolah, Maharani merasa lelah dan ingin segera pulang. Setengah jam pelajaran terakhir usai, Maha akan pulang bersama Keana, nebeng motornya. Sebelum menuju parkiran, Maha memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu.
Setelah selesai, dia segera menuju parkiran sekolah dengan harapan bisa cepat pulang dan beristirahat di rumah. Namun, saat tiba di parkiran, dia tidak menemukan Keana di antara deretan motor yang terparkir. Ketika Maha sedang mencari-cari, tiba-tiba terdengar suara yang familiar dari arah gerbang.
"MAHA!!" Keana berteriak keras, suaranya memecah keheningan parkiran dan menarik perhatian beberapa siswa yang melihatnya dengan tatapan heran.
Maha mengerutkan keningnya, bingung melihat Keana yang terengah-engah sambil berlari mendekat. "Keana, ngapain lo dari gerbang? Gue udah nunggu di sini," ujar Maha dengan nada kebingungan.
Keana berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. "Pa—pacar lo, Maha! Lo bohong sama gue, lo sebenarnya udah punya pacar baru, kan?"
Maha semakin bingung, "Hah? Maksud lo apa, Kea? Sumpah, gue gak ngerti!"
Keana menarik tangan Maha dengan cepat, hampir membuatnya tersandung. "Ayok ikut gue, cepetan!" desaknya dengan nada tak sabar.
Maha terpaksa mengikuti, meskipun pikirannya masih penuh dengan kebingungan. "Kea, gue gak ngerti, serius deh! Mau dibawa ke mana gue?"
Keana tidak menjawab, hanya terus menariknya menuju gerbang sekolah. Setelah beberapa langkah, mereka tiba di sana, dan Maha langsung mengerti apa yang dimaksud Keana. Di depan gerbang, berdiri sosok Sastrawira yang tampak tenang sambil bersandar pada mobil Lamborghini mewahnya. Mata Maha langsung membelalak lebar.
"Kenapa dia ada di sini?!" Maha berbisik panik, mencoba menarik tangannya dari genggaman Keana. "Fix! Dia sengaja mau caper!" Batinnya kesal, andai tidak ada Keana disampingnya sudah Maha maki-maki pria itu.
"Kok Lo gak bilang sama gue sih, kalau pacar lo cakep banget?" Keana berbisik kembali, nadanya terdengar seperti seorang teman yang sedang sangat terkesan.
"Apasih Kea, Gue udah bilang, dia bukan pacar gue! Udah ah, gue gak mau ketemu dia!" Maha berusaha mundur, tapi Keana malah mendorongnya maju.
"Oh jadi Sastrawira yang lo maksud pagi itu, cowok ganteng ini ya," Keana berbisik lagi, suaranya dipenuhi dengan nada menggoda.
Maha hanya bisa menatap Keana dengan tatapan memohon, berharap sahabatnya itu berhenti membuat situasi ini semakin menyebalkan. Namun, Keana hanya tersenyum lebar, puas dengan reaksinya.
Sastrawira yang mendengar bisikan Keana, mengangkat alisnya. "Kamu cerita tentang saya, Maha?" tanyanya dengan nada santai, namun terdengar penuh dengan keisengan bagai Maha.
Maha menggertakkan giginya, merasa semakin kesal. "Gak, lo jangan GR. Ini semua salah paham," jawabnya cepat, berusaha untuk tidak terlihat gugup.
Keana terkikik pelan, menikmati momen ini terlalu banyak. "Udah lah, Maha, ngaku aja. Cowok lo aja ngaku dia pacar lo."
"Apa?" Maha terkejut, menatap Keana dengan mata membesar. "Gue udah bilang, dia bukan pacar gue! Dia cuma tetangga yang nyebelin."
"Terserahlah kalau lo mau bohongin gue, Maha. Sekarang kan udah ada yang jemput, jadi... have fun ya!" Keana tertawa sambil melangkah pergi.
Maha berusaha menyusul Keana, tapi tangannya ditarik oleh Sastra. "Eh, lo mau apa?" tanya Maha dengan nada bingung sekaligus tak nyaman.
"Pulang sama saya," jawab Sastra singkat.
Maha segera melepaskan genggaman tangan Sastra dengan kasar. "Gak mau. Lo gak usah rese bisa gak sih?!" Ujarnya sarkastik lalu pergi dari hadapannya.
Sastra tetap berdiri tenang. "Papa kamu juga yang minta," Sastra menahan langkah Maha yang mulai menjauh.
Maha berbalik menatap Sastra dengan frustrasi, "bodo amat!"
Sastra menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam mobil, kemudian segera melaju untuk mengejar Maha.
TIN... TIN...
Suara klakson yang terus dibunyikan oleh Sastra menarik perhatian orang-orang di sekitar, membuat Maha semakin merasa kesal dan malu. Dia mempercepat langkahnya, berharap bisa segera lepas dari situasi yang memalukan ini. Takut dikira jadi simpanan om-om tajir.
"Udah dibilangin, gue gak mau pulang sama lo, Sastra!" teriak Maha dengan frustrasi, tetap bersikeras menolak tawaran laki-laki itu.
Namun, Sastra tidak menyerah. Dia terus mengikuti Maha dengan mobilnya, membuat Maha berhenti di tepi jalan untuk menunggu angkutan umum. Sayangnya, setiap angkutan yang lewat selalu penuh sesak, meninggalkan Maha tanpa pilihan.
Maha mencoba memesan ojek online sebagai alternatif, tetapi saat dia memeriksa ponselnya, layar ponsel itu tiba-tiba mati. Baterainya habis.
"Ah, sial..." gumamnya dengan kesal, merasa benar-benar terjebak dalam situasi menyebalkan ini.
Maharani tidak gentar begitupun dengan Sastrawira. Dia menunggu selama lima belas menit, berharap ada transportasi yang bisa membawanya pulang. Namun, seolah hari ini memang hari sialnya, tak satu pun angkutan umum yang lewat dengan kondisi lenggang, dan yang ada selalu penuh sesak. Maha mulai merasa frustrasi, ditambah dengan teriknya matahari yang semakin membakar kulitnya.
Akhirnya, setelah merasa tak ada pilihan lain, Maha menghela napas panjang dan dengan sangat terpaksa mendekati mobil Sastrawira.
"Fine, gue ikut lo," ujar Maha dengan nada enggan, sambil melirik Sastra dengan tatapan tajam.
Sastra hanya tersenyum tipis, yang lagi-lagi ditangkap Maha sebagai ekspresi puas karena akhirnya berhasil membuat Maha menyerah. "Good girl, masuklah," katanya sambil membuka pintu mobil untuknya.
Namun, alih-alih masuk lewat pintu yang dibukakan Sastra, Maha justru memilih membuka pintu penumpang di sisi lain. Dengan sikap keras kepala, dia memasuki mobil dari sisi yang berlawanan, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak sudi berdekatan dengannya.
Sastra menutup pintu yang sudah dibukanya, lalu menghela napas lagi sebelum berjalan mengitari mobil dan masuk ke dalam tempat kemudi. "Baiklah, kita pulang istriku."
Maha melipat tangan di depan dada, mendengus sebal mendengar kata 'istriku' yang keluar dari mulut Sastra. "Jangan panggil gue gitu," balasnya tajam.
Sastra hanya tersenyum tipis sambil menyalakan mesin mobil. "Terserah kamu mau bilang apa, tapi kenyataannya kamu tetap istri saya," ucapnya santai, seakan sengaja memancing emosi Maha.
"Dasar cowok gila!" seru Maha dengan kesal.
Sastrawira menatapnya sekilas dari balik kaca spion, kembali tersenyum tipis. "Lebih tepatnya, suami gila, Maha," balasnya, menambahkan sedikit bumbu keusilan yang semakin membuat Maha dongkol.
Maha menoleh keluar jendela, berusaha mengabaikan Sastra dan fokus pada jalanan yang mulai dilalui mobil mereka. Namun, di dalam hati, rasa jengkel dan frustrasinya semakin memuncak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!