"Apa yang kau lakukan, bod*h ? Kenapa berada di dalam ruangan ku". Teriak Aldric di depan Naora. Serpihan gelas sudah bertebaran diatas lantai karena perbuatan Aldric.
"Bukankah kau yang meminta ku membangunkan mu tadi. Apa kau lupa, Al ?" Jawab Naora dengan pelan.
"Sial". Umpatnya sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Ia seketika membalikkan tubuh Naora dan menelungkupkannya diatas meja kerjanya.
Ia mengangkat dress yang dikenakan Naora dan segera melakukan penyatuan tanpa pemanasan apalagi cinta.
Aldric melakukannya dengan sangat kasar. Tidak ada sentuhan lembut dan rayuan yang manja. Ia hanya ingin mendapatkan kepuasan nya dan menyakiti fisik Naora saja.
Air mata Naora mengalir tanpa suara. Dua tahun ia diperlakukan layaknya jalang yang tidak berharga. Padahal ia adalah seorang istri yang sah.
"Aaahhh.." Suara Aldric tertahan bersamaan dengan hentakan terakhir yang begitu menyakitkan untuk Naora. Tapi tetap, tidak ada suara yang terdengar.
Aldric segera memakai lagi celananya. "Bereskan semua kekacauan ini". Perintah nya kemudian meninggalkan Naora sendiri dalam ruang kerjanya.
Mendengar pintu tertutup dengan keras, pecah sudah tangis Naora. Ia membenarkan lagi dress-nya yang berantakan. Kemudian segera menghapus air matanya yang terasa sia-sia.
'Sampai kapan kau perlakukan aku seperti ini, Al ?'. Tangis nya dalam hati. Ia enggan menampakkan tangisannya di setiap sudut mansion ini. Semua tempat tidak luput dari kamera pengawas. Kecuali kamar mandi.
Naora menyalakan lampu menggunakan remot kontrol. Kemudian berjongkok membersihkan pecahan kaca. Ia harus benar-benar teliti agar tidak sampai meninggalkan serpihannya walaupun sedikit jika tidak ingin mendapatkan hukuman dari Aldric.
Setelah selesai membersihkan lantai, Naora juga membereskan berkas-berkas yang berserakan diatas meja.
Saat dirasa semuanya sudah beres, ia keluar dari ruangan menuju kamarnya. Berharap tidak bertemu dengan Aldric.
"Naora.." Baru saja ia menutup pintu, suara Aldric terdengar menggema di dalam mansion.
'Ada apa lagi ini'. Pikirnya.
Aldric menghampiri Naora dan menampar wajahnya dengan keras. Naora tidak bereaksi apa-apa. Ia hanya terkejut. Pukulan seperti ini sudah sering ia dapatkan.
Telinganya berdenging karena tamparan itu. Ia juga merasa disudut bibirnya mengeluarkan darah. Tapi tangannya tidak berniat menyentuhnya.
Mulut Naora masih terkunci. Hanya tatapan matanya yang yang bicara. Seolah bertanya 'apa salahku ?'.
"Aku menyuruhmu membuat puding buah. Tapi kenapa kau membuat puding stroberi, bod*h ! Apa kau lupa jika Almire alergi dengan buah stroberi ?". Sekali lagi Aldric berteriak dengan suara yang sangat keras.
'Jadi dia menyuruhku membuat puding untuk selingkuhan nya ?' Sebenarnya ada nyeri dalam hati Naora melihat itu. Demi selingkuhan nya, Aldric memukul istrinya sendiri.
"Aku tidak tau jika puding itu untuk orang lain. Ku pikir itu untukmu". Jawab Naora datar. Tidak ada tangisan dan permohonannya seperti dulu-dulu. Naora lebih pendiam dan menerima apa yang ditakdirkan untuk nya.
"Kau punya mulut, kan ? Kenapa tidak bertanya lebih dulu ?" Aldric mencengkram kedua pipi Naora hingga Naora meringis kesakitan. Tapi tetap saja tidak ada kata memohon darinya.
Darah dibibir Naora mengenai tangan Aldric. Aldric menarik tangannya kembali dan membersihkan tangannya dengan gaun Naora.
"Menjijikkan". Cibirnya dengan tatapan tajam.
"Pergi dan buatkan puding buah yang lain. Jika kau salah lagi aku akan menghukum mu". Kata Aldric segera meninggalkan Naora sendirian.
Sepeninggal Aldric, setetes air mata jatuh dari mata jernihnya nya. Menyisakan rasa pedih yang entah sampai kapan akan hilang.
'Hati, bertahanlah'. Ucapnya pada dirinya sendiri.
Naora mengambil tisu dan membersihkan darah disudut bibirnya. Perasaan takut pada Aldric tiba-tiba menguar begitu saja . Meskipun rasa sakit dan pedih masih ia rasakan. Tapi mendengar kata hukuman, ia sudah biasa saja.
Naora masuk ke dapur. Disana ada beberapa pelayan yang menyiapkan makan siang.
"Nyonya, ada sesuatu yang bisa kami bantu ?" Tanya seorang pelayan di bagian memasak.
"Tidak perlu. Aku hanya ingin membuat puding". Jawab Naora sambil tersenyum. Tapi semua pelayan yang melihat itu ingin menangis rasanya. Pipi Naora terlihat lebam. Luka di sudut bibirnya juga terlihat. Juga bekas cengkeram di kedua pipinya.
Mereka pura-pura tidak tau dan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Mereka tidak ingin menampakkan rasa kasihannya pada Naora sebab akan melukai wanita itu.
"Nyonya, aku membuat makanan dari kampung halaman ku. Kau harus mencobanya". Kata salah pelayan bernama Maria.
"Benarkah ? Baiklah aku akan mencobanya nanti". Jawab Naora tersenyum.
Ia melanjutkan aktivitasnya lagi sementara pelayan menyiapkan makan siang diatas meja makan yang terpisah dari dapur.
"Apa makan siang sudah selesai ?" Tanya seorang wanita yang Naora ketahui siapa.
"Sudah, Nona. Kami baru saja akan memberitahu". Jawab seorang pelayan.
"Terlalu lama. Apa saja kerja kalian". Kata Almire dengan sinis.
"Naora, apa kau sudah selesai membuat puding untukku ?" Almire mendekati Naora yang masih mencetak puding.
"Kau bisu ya ? Tidak bisa bicara ?" Kata Almire mengatai Naora dengan senyum di bibirnya. Tapi Naora tidak juga bergeming. Ia sama sekali tidak menganggap keberadaan Almire.
"Sialan kau.." Almire ingin memukul Naora tapi ia mendengar suara Aldric.
"Aw, apa yang kau lakukan padaku ?" Teriaknya dengan keras. Benar saja tidak lama kemudian datanglah Aldric dengan terburu-buru. Beberapa pelayan ada yang mengikutinya tapi hanya di pintu dapur tidak berani masuk.
"Ada apa, sayang ?" Tanya Aldric mendekati Almire. Naora hanya memasang wajah datar melihat kedekatan mereka berdua. Lagi-lagi ia tidak menganggap keberadaan dua orang di dekatnya.
"Tadi aku hanya bertanya puding apa yang dibuat oleh Naora. Tapi dia marah dan mendorong ku. Pundakku sakit sekali, Al". Kata Almire sambil memeluk Aldric.
Wajah Aldric menggelap. Ia menatap Naora yang sama sekali tidak melihat kearahnya.
"Apa yang kau lakukan, Naora ? Kenapa menyakiti Almire ?". Bentak Aldric.
Naora menatap mata Aldric. Mata itu tidak menampakkan rasa takut sama sekali. Aldric juga bisa melihat bekas tamparan dan mengkeraman nya tadi.
"Kau sudah mengenalku selama dua tahun, Al. Apa kau percaya dengan apa yang dia katakan ?". Kata Naora tenang.
"Apa kau menuduhku berbohong pada kekasihku sendiri ?" Almire menangis menjadi-jadi.
Tanpa kata lagi, Aldric melempar puding yang masih panas itu ke tubuh Naora. Bahkan uap nya masih terlihat saat tumpah.
"Aw.." Naora terkejut bukan main. Tubuhnya terasa panas. Pelayan yang melihat itu segera menolong Naora dan membawanya ke kamar mandi.
"Berhenti. Jangan ada yang menolongnya atau kalian akan kuhukum". Kata Aldric dingin seperti biasanya.
"Pergilah, aku tidak apa-apa". Naora menyuruh dua orang pelayan yang membantunya untuk pergi.
"Tapi, Nyonya.." Salah satu pelayan itu sudah meneteskan air mata karena tidak tega.
"Kalau kau menyayangiku, kau mau mendengarku. Pergilah. Jangan menambah masalah. Aku tidak akan mati". Kata Naora tersenyum.
Tanpa kata lagi dua orang pelayan itu pergi meninggalkan Naora bersama dengan Aldric yang menatapnya tajam dan Almire yang tersenyum puas.
...
Assalamualaikum Kak.. Selamat pagi... Minta tolong dukung karya ini ya. Makasih🙏
Naora diam sambil melihat kearah Aldric dan Almire yang menatapnya dengan tanpa perasaan.
"Kau sungguh tidak berguna". Kata Aldric meninggalkan dapur sambil menggandeng Almire.
Naora masih diam. Tatapannya sayu. Tidak ada sesuatu yang bisa menggambarkan betapa remuk hatinya saat ini. Untuk kesekian kalinya selama tiga bulan ini Aldric benar-benar merendahkan nya di depan wanita lain.
Meskipun Aldric tidak pernah sekalipun memperlakukan Naora dengan baik, tapi ia sangat mencintai Aldric. Baginya, Aldric adalah tempatnya pulang. Walau rumah itu bagaikan neraka.
Selalu ada saja penyiksaan atau hinaan yang Naora dapatkan setiap harinya. Apalagi jika bisnis Aldric mengalami masalah. Pasti Naora yang dijadikan pelampiasan amarahnya.
Tapi sejak tiga bulan yang lalu, tepatnya saat Aldric pertama kali membawa Almire ke dalam mansionnya. Saat itulah Naora menyadari, cinta untuk Aldric sudah menguap entah kemana.
Hampir dua tahun ia mencoba bertahan dan bersabar. Berharap Aldric akan melihat kearahnya dan membalas cintanya.
Naora menarik nafasnya dengan perlahan. Rasa nyeri mulai menjalar ke hatinya. Ia berjalan menuju toilet di dekat dapur. Mengguyur tubuhnya yang terasa melepuh.
Guyuran air di shower bercampur menjadi satu dengan air mata. Seberapa berusaha nya ia untuk tidak menangis, tapi ia tidak bisa. Ia juga seorang wanita yang butuh pelampiasan.
Dirabanya punggungnya yang masih terdapat bekas operasi satu bulan yang lalu. Operasi yang harus ditanggungnya akibat ulah Aldric dan Almire juga.
Teringat saat itu, Almire menjerit keras saat berada di balkon. Ia dengan sengaja menangis ketakutan dan mengundang kedatangan Aldric yang tidak tau apa-apa. Almire mengatakan jika Naora sengaja ingin mendorongnya dan kini ia sangat takut.
Tanpa memberi kesempatan Naora untuk menjelaskan, Aldric segera mendorong Naora sampai tubuhnya melayang melewati pagar pembatas.
Saat itu, Noara sudah berpikir bahwa dirinya akan tiada. Namun harapan nya belum dikabulkan Tuhan. Ia terbangun di Rumah Sakit dalam keadaaan sakit luar biasa di seluruh tubuhnya setelah efek biusnya habis pasca operasi di punggungnya. Ia mengalami patah tulang belakang dan harus menjalani operasi untuk memulihkan nya.
"Aku ingin bebas". Ucapnya dalam tangis yang tertahan.
Tok tok tok
Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Suara seorang wanita mengatakan bahwa ia membawa handuk untuk Naora.
"Terimakasih". Ucap Naora setelah kepala pelayan itu membantu mengeringkan tubuhnya.
Kepala pelayan yang berusia setengah baya itu tidak menjawab apa-apa. Ia hanya diam. Matanya berkaca-kaca melihat tubuh Naora yang sangat mengenaskan.
"Bibi kenapa menangis ?" Tanya Naora.
"Jika kau ingin pergi, Bibi akan membantumu". Kata Bibi Ashley dengan suara lirih.
"Itu berarti, Bibi harus siap menerima kemarahan Aldric nantinya".
"Tidak apa-apa. Bibi hanya hidup sebatang kara dan sudah tua. Jika Tuan Aldric memb*nuh Bibi tidak masalah. Tapi kau masih muda. Masa depanmu masih panjang. Apa kau akan menjalani hidup seperti ini selamanya ?". Berkali-kali Bibi Ashley mengatakan siap membantu Naora pergi. Tapi Naora selalu menolak.
Ia tau seberapa kejamnya Aldric dalam memberikan hukuman kepada orang yang mengkhianatinya. Ia tidak mau karena kebebasan harus mengorbankan nyawa orang lain.
Naora sudah sering kali mencoba melarikan diri. Tapi selalu berakhir dengan hukuman yang menyakitkan. Dicambuk, dikurung dalam ruangan pendingin, dibiarkan berada diluar saat salju turun. Bahkan Naora pernah dihukum dengan cara dimasukkan ke dalam kolam yang terdapat buaya yang kelaparan.
Tidak terbayang betapa besar rasa takut dan trauma yang Aldric berikan.
Naora juga pernah mencoba mengakhiri hidupnya sendiri akibat tidak sanggup menanggung rasa sakit ini. Ia pernah mencoba mengir*s pergelangan nadinya sendiri satu tahun setelah pernikahannya.
Ia juga pernah menenggelamkan diri di dalam bathtub. Tapi tetap saja ia selamat. Entah mengapa maut sepertinya enggan mendekatinya.
"Aku tidak apa-apa Bi. Aku senang, setidaknya masih ada yang mengkhawatirkan ku". Kata Naora mencoba tersenyum.
Bibi Ashley bukannya membalas senyum Naora, ia malah menangis sesenggukan. Ia mencium kening Naora dan mengelusnya. Masih terdapat bekas jahitan akibat pukulan Aldric dengan guci beberapa waktu ini.
"Apa ini masih sakit ?" Tanya Bibis Ashley.
Naora menggeleng. "Sudah tidak. Hanya terasa sedikit gatal".
"Bagaimana dengan punggung mu ? Apa masih sering nyeri ?"
"Terkadang. Tapi tidak apa-apa. Seiring waktu semua luka ini akan hilang. Itupun jika Aldric tidak menciptakan yang baru lagi". Tatapan Naora benar-benar menggambarkan keputusasaan.
Ia benar-benar terbelenggu. Tidak bisa berlari jauh hanya untuk mencari pertolongan.
"Ayo, biar ku antar kau kembali ke kamar". Bibi Ashley menuntun Naora yang sudah memakai handuk kimono. Ia menuju kamar yang selama dua tahun ini Naora tempati.
Kamar yang bagus. Memang agak jauh dari kamar milik Aldric. Awalnya, Aldric sengaja menempatkan Naora di kamar pelayan. Tapi kemudian ia berubah pikiran.
Aldric memberi Naora kamar yang bagus agar jika ia mendatangi Naora bisa segera melepaskan hasrat nya dan tidak perlu membawa Naora ke kamarnya sendiri.
"Beristirahatlah. Bibi akan mengambilkan makanan untukmu. Jangan lupa, oleskan salep ini pada lukamu". Kata Bibism Ashley penuh perhatian.
"Baik Bibi. Terimakasih".
Setelah kepergian Bibi Ashley, Naora merebahkan dirinya diatas ranjang. Matanya terasa berat. Tubuhnya terasa lelah.
Tapi yang mengalami luka paling parah adalah hatinya yang seolah tidak merasakan apa-apa.
Ia pejamkan mata indahnya. Sangat nyaman sebelum sayup-sayup suara terdengar di telinganya dan semakin jelas.
Brukk
Tubuh Naora terlempar dengan keras dari atas ranjang. Ia segera membuka matanya. Tampak Aldric yang duduk diatas ranjang dengan sebuah rokok yang mengepulkan asapnya.
"Ada apa, Al ?" Naora bangkit dan bertanya tanpa rasa takut. Sepertinya kejadian beberapa waktu yang lalu saat Aldric menyiramnya dengan puding panas benar-benar tidak mempengaruhinya.
"Malam ini ikutlah denganku. Rias wajahmu secantik mungkin. Jangan permalukan aku". Kata Aldric sambil melempar paperbag ke wajah Naora.
Naora menangkap paperbag itu. Ternyata isinya sebuah gaun dan kotak perhiasan. Seperti biasanya, mungkin Aldric akan mengajaknya menghadiri pesta atau jamuan bersama rekannya.
Naora memang memiliki wajah yang cantik. Kharisma nya begitu kuat dan memikat. Entah kebetulan atau hanya hoki, saat Aldric mengajak Naora ia selalu memenangkan kerja sama bersama klien.
Seandainya Aldric menyayangi nya, maka ia akan sangat bahagia mendapatkan barang-barang bagus dan mewah seperti itu. Tapi apalah artinya kemewahan yang bersanding dengan rasa sakit setiap waktu.
Jika bisa, Naora ingin menukar sebuah kebebasan dengan kemewahan yang diterimanya selama menjadi istri Aldric. Ia rela hidup serba kekurangan asalkan tenang.
Aldric menatap Naora yang akhir-akhir ini tidak menunjukkan kesedihannya. Biasanya wanita itu akan meraung-raung dan memohon belas kasihnya. Tapi sejak kedatangan mantan kekasihnya yang sekarang menjadi selingkuhannya, Naora seperti bukan Naora yang dikenalnya.
"Sandiwara apa yang sedang kau mainkan ? Dimana air mata buayamu yang kau gunakan sebagai senjata ? Apa sudah habis ?" Aldric mendekati Naora dan menjambak rambut panjangnya.
Naora meringis kesakitan. Wajahnya tidak bisa dibohongi jika ia memang merasakan sakit. Tapi memang tidak ada lagi suaranya untuk meminta dilepaskan. Seolah ia membiarkan dirinya disakiti oleh Aldric.
..
Hai teman-teman, othor minta tolong dukungannya ya. Jangan bosan-bosan kasih like, komen dan subscribe karya ini😘😘
"Apa kau tidak punya mulut sekarang ? Apa kau bisu ?" Teriak Aldric karena sedari tadi ia tidak mendengar suara Naora. Seperti ada yang kurang jika Naora tidak bersuara saat ia disiksa.
"Memangnya, jika aku bersuara apa kau akan melepaskan ku ?" Tanya Naora. Mendengar ucapan Naora bertambah marah lah Aldric. Ia mendorong Naora kearah ranjang dan kembali melakukan penyatuan seperti tadi.
"Mendesah lah Naora. Keluarkan sara indahmu. Untuk apa kau menutup mulut mu ?" Bisik Aldric di telinga Naora.
Ia menjilat dan menyesal leher Naora di tengah penyatuan itu. Naora merasakan sakit yang luar biasa. Ia merasa sangat kotor mendapatkan perlakuan menjijikkan dari Aldric seperti ini.
Sepanjang penyatuan itu, Naora hanya memejamkan matanya. Air mata mengalir di kedua matanya yang membuat Aldric tertawa puas.
"Walaupun aku meniduri mu, jangan harap karena aku suka. Aku hanya ingin melihatmu tidak berdaya". Kata Aldric semakin menyayat hati Naora.
'Lanjutkanlah Al, lanjutkan sampai kau puas. Jika aku sudah menjadi mayat kau tidak akan bisa melakukan ini lagi'. Hati Naora menjerit keras.
Aldric menikmati penyatuan itu. Walaupun mulutnya mengatakan tidak suka, tapi kenyataannya ia begitu memuja tubuh Naora. Tangannya tidak tinggal diam. Ia mencengkram leher Naora hingga meninggalkan bekas merah kebiruan.
"Bersihkan dirimu". Kata Aldric saat ia selesai mengeluarkan cairan kenikmatan diatas perut Naora.
Naora segera berlari ke kamar mandi menggunakan handuk kimono yang dipakainya tadi. Ia tidak ingin melihat wajah Aldric saat ini.
Aldric mengatur nafasnya yang berantakan. Ia masih meresapi sisa-sisa kenikmatan.
"Naora..." Kata Aldric menatap langit-langit.
Aldric memejamkan matanya yang terasa berat sesudah percintaan mereka.
Naora keluar dari kamar mandi dan melihat Aldric yang masih berada diatas ranjang. Ia melangkah dengan perlahan agar tidak membangunkannya.
Naora berganti baju kemudian keluar dari kamar. Tujuannya adalah dapur. Ia ingin mengisi perutnya yang kosong sejak tadi.
"Naora, aku tadi ingin ke kamar mu. Tapi aku melihat Tuan Aldric lebih dulu masuk. Jadi aku kembali lagi". Kata Bibi Ashley.
Naora hanya mengangguk dengan wajah pucat. Tanpa bertanya, Bibi Ashley sudah tau apa yang terjadi.
"Duduklah. Bibi akan mengambilkan mu makanan". Bibi Ashley menuntun Naora duduk di meja dapur.
Sejak dulu, Naora makan bersama dengan para pelayan. Ia tidak diperkenankan makan di meja makan bersama dengan Aldric.
"Ini makanlah sup ini. Habiskan semuanya". Bibi Ashley menyajikan semangkuk sup yang masih mengepulkan asap. Tanpa banyak bicara Naora mengambil sendok dan memakannya. Tangannya gemetar sebab belum makan sejak siang.
"Setelah ini Aldric akan mengajakku keluar". Naora bercerita.
"Berhati-hatilah". Itulah pesan Bibi Ashley tiap kali Naora berpamitan ingin keluar bersama Aldric.
"Selalu bawalah pisau kecil yang ku berikan padamu". Bisik Bibi Ashley. Naora menganggukkan kepalanya.
"Nyonya, Tuan mengatakan agar Nyonya segera bersiap". Asisten Aldric yang bernama Henry datang memberitahu.
"Iya". Balas Noara.
"Bibi aku pergi dulu". Kata Naora. Bibi Ashley hanya memandang Naora dengan mata yang berair. Ia tidak tega melihat Naora yang berjalan seperti kesakitan. Apalagi lehernya yang terdapat bekas cengkeraman baru.
"Entah mengapa aku merasakan sesuatu buruk akan menimpanya. Tuhan, lindungilah dia". Doa Bibi Ashley.
Naora dengan cepat bersiap. Ia mengenakan gaun hitam yang diberikan oleh Aldric tadi.
Gaun hitam panjang dengan belahan dada yang rendah itu benar-benar membuat penampilan Naora sangat sempurna. Ditambah lagi satu set perhiasan berlian yang melengkapi penampilannya.
Ia mengenakan sepatu hak tinggi transparan dari brand ternama. Tidak lupa sebuah tas tangan kecil dengar harga yang fantastis.
Naora merias wajahnya dengan natural. Tidak terlalu menor tapi benar-benar menunjukkan aura cantiknya.
Ia akan membuka pintu kamarnya tapi rupanya Aldric lebih dulu membukanya dari luar. Untuk sesaat, Aldric menatap Naora dengan tatapan kagum. Hatinya berdesir tapi segera ia alihkan pandangan itu.
Aldric menggunakan setelan jas warna senada dengan gaun Naora lengkap dengan dasi kupu-kupu.
"Lama sekali". Omelnya.
Naora tidak menjawab. Ia hanya diam dan melihat Aldric.
"Cepatlah. Jangan membuang waktuku". Aldric menarik tangan Naora dan membawanya menuju mobil.
'Apa selingkuhannya sudah pergi ?' Gumam Naora yang tidak melihat keberadaan Almire.
"Disana jangan bicara jika tidak ku suruh". Kata Aldric tegas.
"Iya". Jawab Naora.
Mereka berangkat dengan diantar oleh Henry. Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh pembicaraan antara Henry dan Aldric mengenai bisnis yang tidak dimengerti oleh Naora.
"Jika sudah sampai, jaga sikap dan pandanganmu. Jangan melakukan sesuatu yang akan mempermalukan ku. Jangan sampai karena ulahmu, aku mengalami kerugian". Kata Aldric.
Naora menjawabnya dengan anggukan kepala. Ia mengerti. Sudah sering kali Aldric mengatakan itu.
Padahal jika pergi ke pesta Naora selalu mengikuti kemanapun Aldric pergi. Ia bahkan tidak mengambil makanan atau minuman sedikit pun sebelum Aldric menyuruhnya.
Mereka sudah tiba di dekat danau buatan. Pesta diadakan di luar ruangan. Banyak sekali orang-orang penting yang datang. Mereka kebanyakan membawa pasangan mereka.
Di tempat seperti inilah banyak sekali orang yang mencari kenalan untuk melakukan kerja sama. Termasuk Aldric.
Henry menunggu di mobil. Ia tidak ikut bergabung dengan Aldric.
Naora melangkahkan kaki jenjangnya mengikuti langkah Aldric. Mau tidak mau Aldric harus menggandeng tangan Naora dan menampakkan kemesraan mereka di depan banyak orang.
Naora melihat tangannya yang digenggam oleh Aldric kemudian melihat kearah Aldric.
'Andai saja aku bisa dicintai olehmu, maka tidak ada lagi yang kuinginkan di dunia ini selain menghabiskan sisa usiaku denganmu, Aldric'. Batin Naora.
Tapi nyatanya, hal itu tidaklah menjadi kenyataan. Suaminya yang tampan itu tidak lebih seperti iblis yang memberikan neraka untuknya sejak hari pertama pernikahan.
"Tuan Aldric, senang bertemu denganmu". Seorang pria menyapa Aldric dan mengulurkan tangannya.
Tapi Aldric hanya menatap sekilas tanpa berniat membalasnya. "Aku tidak tertarik menjalin kerjasama denganmu. Pergilah dan jangan melihat istriku dengan tatapan seperti itu". Kata Aldric penuh penekanan. Aura menakutkan menguar dari pancaran matanya.
Jika dulu, Naora melihat Aldric seperti ini mungkin akan merasakan jatuh cinta lagi dan lagi. Tapi kali ini ia merasa biasa saja.
Pria yang menyapa Aldric tersenyum remeh kemudian meninggalkan mereka dengan tatapan mata yang tidak lepas dari Naora.
"Kau senang dipuja oleh banyak pria ?" Bisik Aldric di telinga Naora.
Naora menggeleng. Tidak berminat menjawab yang nanti ujung-ujungnya akan disalahkan juga.
"Kau sangat jelek. Ingat itu. Tanamkan di otakmu". Kata Aldric lagi. Sekali lagi, Naora hanya mengangguk tanpa senyum dan suara.
Tanpa mereka berdua sadari, gerak-gerik keduanya menarik perhatian seorang pria yang sudah menatap mereka sejak pertama kali tiba.
Pria itu tersenyum dengan misterius. Tatapan tajamnya mengarah kearah Aldric. Dan Aldric merasakan tatapan itu.
Pandangan mereka beradu. Sorot mata tajam keduanya begitu menakutkan. Tidak ada yang berani mengganggu dua orang yang sedang saling perang melalui tatapan mata itu.
..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!