Liora duduk di tepi ranjang, memegangi bantal hingga jemarinya memutih. Malam itu udara desa sangat dingin meski jendela tertutup rapat. Angin tetap merayap lewat celah kecil, membawa aroma tanah lembap yang menempel di hidungnya. Jantungnya berdegup terlalu keras, seperti palu yang menghantam dada dari dalam.
Tiga hari lagi, katanya. Tiga hari lagi ia akan menjadi pengantin.
Namun bukan pengantin seperti gadis-gadis lain yang bermimpi mengenakan gaun putih dan bersanding dengan pria tampan. Pernikahan yang menunggu Liora adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan dalam mimpi paling buruk sekalipun.
Bahkan sejak mendengar kabar itu, ia tak bisa berhenti bertanya-tanya dalam hati, Mengapa aku?
Dua hari lalu, rumah keluarga Ratna, ibu tirinya, berubah menjadi panggung drama yang menegangkan.
Liora sedang di kamar, berbaring sambil menatap layar ponselnya. Ia berusaha tak peduli pada obrolan keluarga di ruang tengah. Baginya, keberadaan Ratna dan Serena, anak perempuan Ratna, hanyalah beban. Sejak kecil ia tidak pernah benar-benar akur dengan ibu tirinya itu, apalagi dengan Serena yang selalu merasa dirinya lebih istimewa.
Namun malam itu, suara tangisan keras memecah keheningan. Tangisan yang begitu pilu hingga membuat Liora merinding. Tak lama kemudian, dentuman keras terdengar, seperti guci jatuh dan pecah berkeping-keping.
Liora tersentak bangun. Jantungnya berdebar panik, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Ia buru-buru membuka pintu kamar dan melangkah ke ruang tengah.
Yang ia lihat membuat napasnya tercekat.
Serena berdiri di tengah ruangan, wajahnya basah oleh air mata, matanya merah, dan tangannya memegang sebuah pisau dapur. Pecahan guci antik dan gelas berhamburan di lantai, memantulkan cahaya lampu seperti pecahan bintang.
“Aku tidak mau menikah! Jangan paksa aku!” teriak Serena histeris. Suaranya memecah telinga, seolah ada ribuan jarum menancap bersamaan.
Ratna, ibunya, berusaha menenangkan dengan suara lembut, tapi wajahnya pucat pasi. “Sayang, tolong letakkan pisaunya. Jangan lakukan ini.”
“Aku lebih baik mati daripada menikah dengan dia!” Serena meraung lagi. Tangannya yang memegang pisau bergetar, ujungnya menempel di pergelangan tangan.
Liora berdiri mematung. Baginya, Serena sedang berakting. Gadis itu memang pandai membuat orang lain khawatir. Sejak kecil, ia terbiasa berpura-pura sakit atau menangis hanya untuk mendapat perhatian.
Namun kali ini, Liora sedikit merinding. Serena benar-benar tampak nekat.
Nyai Sasmita, nenek dari pihak Ratna, ikut angkat bicara. Suaranya bergetar, menua tapi penuh tekanan. “Letakkan, cucuku. Jangan seperti ini. Kalau kau bunuh diri, apa jadinya keluarga kita?”
Serena menatap Nyai dengan mata membelalak. “Janji! Kalian semua janji tidak akan menikahkan aku! Kalau tidak, aku akan lakukan sekarang juga!”
Ratna menangis tersedu. “Ya, sayang. Kami janji. Kamu tidak akan menikah. Letakkan pisaunya, tolong.”
Darma, ayah Liora, berdiri di sudut ruangan. Raut wajahnya tegang, keringat membasahi pelipis meski udara malam dingin. Ia jarang terlihat takut, tapi malam itu, ekspresinya menyerupai orang yang kehilangan kendali.
“Janji!” Serena berteriak lagi.
“Ya, kami janji. Demi Tuhan, kami tidak akan menikahkanmu,” ucap Nyai Sasmita mantap.
Perlahan, tangan Serena yang gemetar menurunkan pisau dari kulitnya. Dan secepat kilat, Darma maju dan merebut benda itu. Semua orang menarik napas lega, dan Ratna langsung memeluk putrinya erat-erat.
Liora hanya menggeleng pelan. Dalam hatinya, ia ingin tertawa. Kalau ini film, Serena pasti menang piala Oscar. Aktingnya terlalu meyakinkan.
Namun, siapa sangka drama malam itu hanyalah awal dari bencana bagi dirinya sendiri.
Keesokan malamnya, setelah makan malam selesai, Liora memilih mengurung diri di kamar. Ia benci duduk bersama keluarga tirinya. Rasanya hanya buang waktu mendengarkan percakapan mereka yang tak penting.
Namun pintu kamarnya diketuk. Mbok Kinasih, asisten rumah tangga tua yang sudah lama mengabdi, menyembul di pintu. “Non Liora, diminta ke ruang tengah. Semua sudah menunggu.”
Liora mengerutkan dahi. “Siapa yang manggil?”
“Bibi tidak tahu. Tapi nyonya dan tuan bilang semua harus kumpul.”
Liora menghela napas berat. Dengan enggan, ia meletakkan ponselnya di kasur, lalu melangkah keluar.
Begitu tiba di ruang tengah, ia melihat Nyai Sasmita, Ratna, Serena, dan ayahnya sudah duduk melingkar. Wajah mereka tegang, seperti hendak menyampaikan sesuatu yang berat.
Hati Liora langsung berdesir. Ia bisa merasakan firasat buruk menyelusup ke dadanya.
“Liora, duduklah,” kata Ratna dengan suara halus.
Liora duduk di sofa panjang, menatap satu per satu wajah mereka. Tak ada yang mau bicara lebih dulu. Suasana mencekam.
“Ada apa? Kenapa semua kumpul begini?” tanya Liora, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
Nyai Sasmita akhirnya membuka suara. “Liora, kami ingin membicarakan hal penting. Sesuatu yang menyangkut keluarga besar kita.”
Liora mengernyit. “Maksudnya apa?”
Ratna menatap putri tirinya itu dengan raut penuh beban. “Kamu harus menikah.”
Liora terbelalak. “Apa? Menikah?”
Serena tersenyum tipis, seolah sudah menebak reaksinya. “Ya, kau akan menggantikanku. Karena aku menolak.”
Kata-kata itu menghantam kepala Liora seperti palu godam. Ia berdiri refleks, wajahnya merah padam. “Kalian gila! Hanya karena Serena tidak mau, aku yang dijadikan tumbal?”
“Liora, jaga ucapanmu!” bentak Darma, ayahnya.
Liora menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Ayah… aku ini anakmu. Kenapa harus aku?”
Darma menarik napas dalam-dalam. “Turuti saja. Ini demi keluarga.”
“Demi keluarga siapa? Aku bahkan bukan keluarga mereka!” Liora menunjuk Ratna dan Serena. “Ratna hanya ibu tiri, Serena bukan saudaraku! Kenapa aku yang harus menggantikan?”
Ratna menunduk, tak berani menatap. Nyai Sasmita menggeleng perlahan.
“Kalau kau menolak,” suara Darma dingin, “kau jangan pernah memanggilku ayah lagi. Kau bukan anakku.”
Ucapan itu menghujam hati Liora lebih tajam daripada pisau. Air matanya jatuh.
Ia merasa seperti ditelanjangi, dirobek dari tempat yang seharusnya paling aman. Ayah yang selama ini ia banggakan, yang ia percaya akan melindunginya, ternyata memilih mengorbankannya demi menjaga ketenangan keluarga tiri.
Serena menatapnya dengan tatapan mengejek. “Anggap saja ini takdirmu, Liora. Kau akan menikah… dengan seseorang yang sudah dipilih untukmu.”
“Seseorang yang di pilih untukku? Jangan membuat lelucon tidak lucu Serena, itu adalah pernikahanmu, bukan aku!" suara Liora bergetar.
"Tapi, sayangnya, kini kau yang harus mengantikan aku." Kata Serena.
"Aku tidak mau." Ucap Liora.
"Kau tidak dengar apa yang ayah barusan katakan? Kalau kamu menolak, ayah tidak akan menganggapmu anak lagi." Ujar Serena mengingatkan akan ucapan Darma tadi.
"Siapa pria itu?" Tanya Liora akhirnya, dia ingin tahu, siapa pria yang menjadi calon Serena yang membuat dia harus mengantikan Serena. Dan, kenapa Serena menolak pernikahan itu.
Tak ada yang menjawab. Ratna hanya menunduk. Nyai Sasmita menghela napas panjang. Darma memalingkan wajah.
Liora berdiri gemetar. “Kenapa kalian diam? Siapa orang itu?”
Hening.
Dan dalam keheningan itu, Liora merasakan bulu kuduknya meremang. Seakan ada rahasia besar yang sengaja disembunyikan darinya.
Liora berdiri kaku di depan cermin tua yang besar, bingkainya terbuat dari kayu jati hitam yang retak di sana-sini, seolah siap runtuh setiap saat. Pantulan dirinya menatap balik, usia yang baru menginjak 20 tahun, bukan merayakan ulang tahun, melainkan menjadi boneka hidup yang dipaksa berdandan. Gaun merah menyala membalut tubuhnya, warnanya terlalu mencolok, seperti genangan darah segar yang menempel di kulit. Bedak tebal memutihkan wajahnya hingga menyerupai mayat yang baru ditarik dari liang. Bibirnya dipulas merah menyala, terlalu tajam, terlalu kaku.
Ia menghela napas panjang, berat, seolah paru-parunya menolak menerima udara malam.
Cantik?
Tidak. Ia bahkan tak bisa mengenali dirinya sendiri. Lebih mirip badut pesta ulang tahun daripada pengantin.
“Kasihan sekali kau, Liora,” bisiknya pada bayangan yang menatap balik.
Air mata menumpuk di sudut matanya, namun ia buru-buru menyekanya. Malam ini, ia dilarang terlihat lemah. Setiap kelemahan akan dijadikan bahan tertawaan oleh Serena, saudara tiri yang selama ini membuat hidupnya seperti di neraka.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan keras membuat Liora terloncat kecil.
“Eh, udah siap atau belum?” suara Serena terdengar dari balik pintu, penuh nada mengejek.
Liora menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. “Sebentar lagi,” jawabnya singkat.
Pintu dibuka kasar, tanpa menunggu izin. Serena melangkah masuk dengan gaun tidur tipis, rambutnya tergerai acak. Matanya menyapu Liora dari atas sampai bawah, lalu sekejap kemudian tawa keras meledak.
“Hahahaha! Astaga, kau serius? Kau lebih cocok jadi badut keliling ketimbang pengantin!”
Liora menggenggam ujung gaunnya erat, menahan amarah. “Mau aku terlihat seperti apa pun, itu bukan urusanmu.”
Serena mendekat, wajahnya menempel di telinga Liora, suaranya berbisik tapi penuh racun. “Yang jelas, hanya kau yang akan dinikahkan malam ini. Aku? Aku bebas. Aku selamat.”
Liora menahan diri untuk tidak menampar wajahnya. Dadanya berdegup keras. Ia memilih melangkah keluar, meninggalkan Serena yang masih tertawa terbahak-bahak.
Ruang tengah rumah sudah dipenuhi orang. Lilin-lilin diletakkan di meja, cahaya temaramnya membuat bayangan wajah mereka bergerak-gerak, semakin menyeramkan. Nyai Sasmita duduk di kursi besar, tongkat hitamnya bersandar di lutut. Wajah keriputnya penuh wibawa, matanya tajam, seolah mampu menembus jiwa. Ratna berdiri di sampingnya, tersenyum miring, seperti menahan tawa melihat penampilan Liora. Serena duduk bersila di lantai, puas melihat kakaknya berjalan seperti boneka rusak.
Darma hanya duduk di sudut, wajahnya suram, tapi ia tetap diam. Diam yang lebih menyakitkan daripada makian.
“Kamu sudah siap?” suara Nyai Sasmita berat, menusuk telinga.
“Sudah.” Jawaban Liora pendek, hambar.
Ratna terkikik kecil. “Kenapa cemberut begitu? Seharusnya kau bahagia. Malam ini kau akan jadi… ratu.” Nada suaranya penuh sindiran.
Liora menunduk, menahan tangis yang hampir pecah.
Nyai Sasmita mengetuk tongkatnya ke lantai. Tok! Tok! Suara itu bergema. “Sebentar lagi tengah malam. Kita harus ke tempat itu sekarang. Kau harus sudah berada di dalam sebelum jam dua belas.”
Liora mengangkat wajah. “Tempat itu? Tempat apa?”
Tak ada jawaban. Ratna hanya tersenyum samar. Serena menahan tawa. Darma tetap membisu.
Hati Liora menciut. Ia ingin bertanya lagi, tapi tatapan tajam Nyai Sasmita membuatnya bungkam.
Tanpa protes, rombongan bergerak keluar rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jalan desa diterangi lilin yang ditancapkan di tanah. Bayangan api bergerak-gerak, menari di wajah orang-orang desa yang sudah berkumpul di sisi jalan.
Bisikan-bisikan terdengar dari kerumunan.
“Itu dia, pengantin, pengganti…”
“Dia bukan darah asli desa ini. Apa dia akan diterima?”
“Kalau ditolak, celaka bagi kita semua…”
Liora menunduk. Setiap bisikan menusuk jantungnya, membuat langkahnya makin berat.
Setelah perjalanan panjang, mereka sampai di depan sebuah rumah tua di pinggir hutan. Rumah itu sudah lama tak ditinggali. Kayunya lapuk, jendelanya berderit pelan tertiup angin. Atapnya hampir roboh, namun malam ini rumah itu dipenuhi ribuan lilin yang menyala, seakan sengaja memanggil sesuatu yang tak terlihat.
Liora menelan ludah. Rumah itu terlihat seperti langsung keluar dari film horor. Bulunya meremang, tubuhnya menggigil.
Ia menoleh pada ayahnya, berbisik lirih. “Kenapa kita ke sini, Ayah?”
Darma tetap diam, matanya menghindar. Ratna menepuk bahu Liora dengan senyum tipis. “Kau akan tahu sebentar lagi.”
Serena mendekat, berbisik dengan nada puas. “Semoga kau kuat melihat calon suamimu.”
Liora bergetar. “Siapa dia?”
Serena hanya tersenyum tanpa menjawab.
Nyai Sasmita menghentikan langkah, berdiri tegak dengan tongkatnya. “Kau harus masuk sendirian.”
Liora terperangah. “Sendiri? Untuk apa?”
“Iya. Cepat! Waktu hampir habis!” suara Nyai Sasmita menggelegar.
Liora menoleh sekali lagi pada ayahnya. “Ayah…” suaranya lirih, penuh harap.
Namun Darma tidak menjawab. Ia bahkan memalingkan wajah, seolah tak mau mengakui darah dagingnya sendiri.
Air mata Liora jatuh, membasahi pipinya. Ia menggertakkan gigi, lalu dengan langkah gemetar ia maju, mendekati pintu kayu tua. Pintu itu berderit pelan saat disentuh, seperti mengeluh, seperti mengundang.
Dengan nafas tercekat, ia melangkah masuk.
Di dalam, kegelapan menyambut. Ruangan berdebu, bau kayu lapuk dan tanah lembap menusuk hidungnya. Lilin-lilin kecil menyala di beberapa sudut, namun sinarnya redup, tak cukup untuk menyingkirkan bayangan.
TING! TING! TING!
Liora terloncat. Suara jam dinding emas berdentang, nyaring memecah keheningan. Jarumnya menunjuk tepat jam dua belas.
Saat itu juga, angin kencang bertiup, membuat semua lilin padam serentak. Kegelapan pekat menelan ruangan.
Tiba-tiba terdengar Lioran gamelan lirih, menyerupai nyanyian arwah, menggaung dari kegelapan. Pintu kayu di dalam ruangan berderak perlahan, seolah ada sesuatu yang memaksanya terbuka.
Liora meraba-raba, tangannya menyentuh udara kosong. “Kenapa harus mati lilin sekarang sih?!” suaranya bergetar ketakutan, bulunya meremang.
Lalu kakinya tersandung sesuatu, ia jatuh menabrak tubuh keras.
“Aduh!” Liora meringis. Ia mendongak dan matanya membelalak.
Di depannya, sosok berdiri. Tinggi, berambut panjang terurai, wajahnya samar dalam kegelapan. Lilin-lilin yang padam tiba-tiba menyala lagi satu per satu, seperti ada tangan gaib yang menyalakan. Cahaya itu memperlihatkan sosok tersebut lebih jelas.
Seorang laki-laki berwajah pucat, mata hitam pekat bagai jurang tak berdasar, rambut panjang dikuncir menjuntai sampai pinggang. Pakaian hitam pekat membalut tubuhnya.
Liora membeku. “Ka… kamu… siapa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Sosok itu tersenyum tipis. “Aku penghuni alam gaib... Dan, aku suamimu..”
Liora tercekik napasnya. “Su… suami? Penghuni alam gaib? Kau hantu? Ti....tidak mungkin!"
Pria itu hanya menatapnya, matanya berkilat aneh. Liora ingin berteriak, tapi suaranya lenyap. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya berkunang. Dunia terasa berputar.
BRUKK!
Tubuhnya ambruk ke lantai. Gelap.
Saat kesadarannya memudar, samar-samar ia merasakan tubuhnya diangkat. Ia tak tahu apakah itu nyata atau hanya mimpi.
“Asmodai, penguasa kegelapan, terimalah pengantinmu…”
Suara itu bergetar, bercampur dengan bunyi gong kecil yang entah dari mana asalnya.
Liora ingin bangkit, ingin melarikan diri, tapi tubuhnya kaku, seolah diikat tak kasat mata.
Pria tua itu akhirnya berhenti membaca, lalu menunduk hormat pada sosok berambut panjang itu. “Dia telah menjadi istri Anda, Yang Mulia.”
Sosok itu menatap Liora. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang sulit ditebak, antara ancaman dan takdir.
Liora hanya bisa menangis tanpa suara, terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan.
Malam itu, garis hidupnya berubah selamanya.
*****
Udara lembap menusuk setiap celah paru-paru, seolah dunia baru itu tidak mengenal matahari. Dinding-dinding batu hitam menjulang, dihiasi ukiran yang tampak hidup, merayap seperti akar yang menggeliat di kegelapan. Obor yang menyala di sepanjang lorong hanya memberi cahaya merah redup, menebar bayangan panjang yang menari dengan angin dingin.
Di tengah aula besar, seorang gadis terbaring di atas ranjang berhias ukiran naga hitam. Rambutnya yang hitam panjang terurai kusut, wajahnya pucat, bibirnya kering. Dialah Liora, pengantin paksa yang dipersembahkan keluarganya. Jiwanya belum sepenuhnya sadar, tubuhnya masih berada di ambang antara dunia manusia dan kerajaan arwah.
Liora terbangun perlahan. Pandangannya buram, dadanya naik-turun seperti orang yang baru saja terseret keluar dari kuburan. Nafasnya terputus-putus, dan tubuhnya terasa seperti ditindih batu besar. Ia tidak segera mengerti di mana dirinya berada.
Langit-langit di atasnya berukir relief aneh, sosok setengah manusia dengan wajah cacat, bersayap gelap, dan mulut yang menganga menelan sesuatu. Lampu-lampu kristal hitam menggantung dari rantai panjang, menyala dengan api hijau kebiruan yang tidak seharusnya ada di dunia manusia.
Di kanan dan kirinya berdiri dua wanita. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menatapnya seolah sedang mengawasi seekor binatang yang bisa melompat kapan saja. Tatapan mereka dingin, mata mereka terlalu tajam untuk sekadar pelayan.
“Dia sudah sadar?” Suara berat seorang wanita tua terdengar.
Sosok itu memasuki ruangan, Nyonya Veyra, kepala dayang. Bajunya merah maroon gelap, renda hitam membalut leher dan pergelangan tangannya. Kulitnya pucat, matanya bagaikan batu obsidian, dan langkahnya tidak menimbulkan suara di lantai marmer hitam.
“Belum sepenuhnya, Nyonya Veyra,” jawab salah satu dayang dengan suara bergetar.
Liora mencoba bangkit, tapi seluruh sendi tubuhnya sakit seakan ditusuk jarum. Napasnya memburu, dan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan menyergapnya.
Di sisi lain istana, pada singgasana yang menjulang seperti tulang belulang naga, Azrakel duduk. Api hitam berputar di sekitar kursinya, dan udara di ruang itu seperti terus bergetar. Ia mengenakan topeng hitam yang menutup sebagian besar wajahnya, hanya menyisakan sepasang mata, mata merah berkilat yang memantulkan cahaya darah.
“Apakah dia sudah sadar, Veyra?” suaranya berat, rendah, dan menindih udara.
“Belum, Yang Mulia,” jawab Nyonya Veyra, menunduk dengan hormat.
“Biarkan ia menyesap ketakutannya lebih lama. Rasa gentar itu akan mengikatnya pada tempat ini.”
Suasana di ruang takhta begitu mencekam. Bayangan di dinding bergerak sendiri, meski tidak ada yang lewat. Dari jauh, terdengar bisikan-bisikan, seperti seribu suara hampa yang meratap dari dasar jurang.
Gosip mulai menyebar di istana. Dayang, prajurit, hingga penasihat berbisik tentang selir baru Raja Azrakel. Katanya ia manusia. Ada yang bertanya-tanya apakah wajahnya melebihi selir lain, ada yang berspekulasi ia hanya pion untuk ritual kelam. Tidak ada yang berani membandingkannya dengan selir pertama, karena selir pertama dikenal sebagai wanita tercantik di seluruh Azzarkh.
Ketika masuk, langkahnya membawa aroma bunga bercampur dupa. Rambut hitamnya panjang, mahkota hitam berhiaskan safir gelap bertengger di kepalanya. Senyumannya indah sekaligus menyeramkan.
“Apakah selir keenam sudah sadar, Yang Mulia?” tanyanya lembut.
“Belum. Veyra melaporkan ia masih terikat dalam pusingnya,” jawab Azrakel singkat.
“Mungkin tubuhnya sedang beradaptasi dengan atmosfer istana ini. Manusia selalu rapuh ketika pertama kali menginjakkan kaki di bawah sini.”
Liora yang tadi masih setengah sadar, kini tersentak bangun. Ingatan tentang ritual di rumah tua kembali menabrak kesadarannya, asap dupa, mantera yang dipaksa diucapkan, perasaan jiwanya ditarik paksa dari tubuh. Ia menjerit.
“Aaarghhh!”
Vaelis, dayang bergaun hijau zamrud, berlari mendekat. “Nona, tenanglah!”
“Siapa kalian?!” Liora meronta, suaranya melengking.
“Kami dayang istana, ditugaskan menjaga Anda,” jawab Dreya dengan suara datar. Jubah hitam berlapis peraknya berkilat samar ketika ia bergerak.
Liora terdiam sejenak, menatap dinding-dinding ruangan. Ukiran kepala iblis menghiasi pilar-pilar, sementara tirai beludru hitam bergoyang meski tidak ada angin. Aroma logam, darah kering, meresap di udara. Ia merasa bukan berada di dunia manusia.
“Ini… di mana?” tanyanya, suaranya kecil tapi gemetar.
“Di Azzarkh, kediaman Yang Mulia,” sahut Vaelis.
“Azzarkh? Siapa yang mulia itu?" Tanya Liora, tanda tanya penuh di dalam kepalanya.
"Ini di alam antara hidup dan mati. Yang Mulia, dia adalah penguasa alam ini." jawab Dreya.
Liora menelan ludah, dadanya sesak. “Apa? Dunia orang mati?”
Liora membatu, pikirannya melayang. Jadi... Dia di nikahkan dengan hantu oleh keluarga itu. Dan, ayahnya juga menyerahkan dirinya dengan sukarela.
Liora ingin bertanya lebih jauh, namun pintu terbuka. Nyonya Veyra masuk, membawa sebuah cangkir hitam berisi ramuan kental berasap.
“Baguslah kau sudah sadar.” Ia duduk di tepi kasur, menyerahkan cangkir itu. “Minumlah. Ini akan meredakan sakit dan pusingmu.”
Liora menatap cairan pekat itu dengan curiga. Asapnya berwarna hijau, baunya pahit seperti akar busuk.
“Bagaimana kalau ini racun?” batinnya.
Namun tatapan Nyonya Veyra dingin tapi tak jahat. Akhirnya, ia meneguk ramuan itu. Rasa getir menyiksa lidahnya, membuat tenggorokannya terbakar, tapi perlahan nyeri di tubuhnya mereda.
“Ramuannya… benar-benar mujarab,” gumam Liora lemah.
Nyonya Veyra tersenyum samar, lalu berkata, “Kau kini berada di bawah kekuasaan Raja Azrakel. Kau bukan lagi manusia biasa. Kau adalah selir yang mulia.”
Liora tersentak. “Aku? Menikah dengan… hantu dan aku juga menjadi hantu, apakah aku sudah mati?”
“Bukan hantu. Raja kita bukan sekadar arwah gentayangan. Ia penguasa kegelapan, pengikat jiwa, pengendali bayangan. Dan, kau, kau belum mati.”
Liora terdiam. Pikirannya berputar, menolak, tapi logika tak menemukan jalan keluar. Dia menikah dengan hantu, tapi dia tidak mati. Sungguh di luar logikanya.
Setelah itu, Nyonya Veyra memperkenalkan kedua dayang.
“Ini Vaelis, dayangmu yang ramah. Dan ini Dreya, dayang sekaligus pengawal pribadimu. Mereka berdua akan selalu ada di sisimu.”
Vaelis membungkuk, gaunnya yang hijau berkilauan. Dreya hanya menunduk sedikit, ekspresinya dingin tanpa senyum.
Liora semakin bingung. Mereka semua memperlakukannya bak seorang putri, tapi perasaan di dalam dadanya hanyalah teror.
Tiba-tiba, suara berat menggema dari luar:
“Raja tiba!”
Pintu besar berukir tengkorak terbuka. Udara dingin masuk, lilin-lilin padam seketika. Langkah kaki berat terdengar mendekat.
Vaelis dan Dreya segera menunduk, kaku seperti patung. Nyonya Veyra juga merendahkan diri.
Liora menatap, jantungnya berdetak cepat. Sosok tinggi itu masuk, Azrakel. Tubuhnya diselimuti jubah hitam panjang, dan wajahnya tertutup topeng pekat dengan ukiran retakan. Dari balik celah mata topeng, cahaya merah menyala, menembus jiwa.
Setiap langkahnya mengeluarkan suara rantai yang bergeser. Ruangan tiba-tiba dipenuhi desiran angin dingin, seolah-olah ribuan roh ikut masuk bersama sang raja.
Liora hanya bisa terdiam, terjebak di antara rasa takut dan tak percaya. Sementara aula besar itu dipenuhi keheningan mencekam, seolah seluruh Kerajaan Azzarkh menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi pada pengantin manusia yang baru saja menjadi milik Raja Azrakel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!