Apa yang Telah Terjadi Sejauh Ini
"Wabah Zombi"... untuk sementara, mari kita sebut begitu.
Hari itu, saya sedang duduk di teras rumah, menatap kebun sambil menghisap rokok, tenggelam dalam pikiran seperti biasanya. Musim hujan hampir tiba, udara mulai terasa panas dan lembap.
Seingat saya, kejadian itu terjadi tepat setelah makan siang, mungkin bahkan belum pukul satu siang. Saya tidak ingat apa yang sedang saya pikirkan, dan tampaknya itu bukan hal penting.
Menjadi pengangguran berarti punya lebih banyak waktu daripada yang bisa dimanfaatkan. Ya, saya menganggur. Saat itu usia saya di awal tiga puluhan… dan sampai sekarang pun, masih sama.
Alasannya sederhana: saya dipecat setelah memukuli Bos perusahaan tempat saya bekerja.
Tunggu dulu, ini bukan sepenuhnya salah saya. Bukan berarti saya sengaja melakukan kekerasan terhadap seorang pria tua berminyak demi kesenangan pribadi. Saya tidak punya fetish aneh seperti itu.
Kejadian itu terjadi saat pesta penyambutan karyawan baru di perusahaan. Sebenarnya, saya tidak ingin ikut pesta minum yang membosankan dan tidak dibayar, tapi sebagai orang dewasa yang bekerja dan sebagai orang yang terlalu lemah untuk berkata “tidak”, saya tetap datang.
Seperti biasa, saya tertawa seadanya, mengangguk pada cerita-cerita basi bos, menyeruput teh melati encer, dan dengan sabar menunggu waktu berlalu. Saya memang perokok, tapi saya buruk dalam hal minum alkohol. Singkatnya, itu hanyalah pesta biasa.
Saat pesta mencapai puncak, sesi pertama berakhir. Mereka yang ingin lanjut ke pesta kedua dipersilakan, sementara saya memilih untuk pulang. Saya bersiap, lalu menunggu ojek online di depan parkiran berbayar yang letaknya agak jauh dari warung makan.
Saat itulah saya mendengar suara ribut seperti orang bertengkar.
Saya melongok ke arah gang yang menuju kawasan penginapan murah. Di sana, Bos perusahaan bertubuh gemuk mirip musang sedang memegang lengan seorang karyawan wanita muda.
Gadis itu adalah karyawan baru yang baru saja lulus kuliah, orang yang tadi sore disambut di pesta penyambutan. Saya tidak terlalu mengingat wajahnya sekarang, tapi waktu itu saya pikir dia cantik dan manis. Melihat cara Bos perusahaan bersikap lengket selama pesta, saya menduga dia sudah menandainya sebagai “favorit”.
Meski sudah menikah, dia terkenal masih sangat aktif. Dan, tidak heran, dia termasuk dalam daftar sepuluh orang yang paling saya benci di dunia.
Semakin gadis itu memohon dengan suara tegang, “Hentikan, lepaskan,” semakin Bos itu tampak bersemangat. Dengan cadel mabuknya, dia melontarkan kata-kata menjijikkan seperti, “Cuma sebentar! Cuma sebentar!”
Singkatnya: seorang CEO mabuk berat sedang mencoba menyeret seorang karyawan muda yang enggan ke penginapan murah.
Jujur saja, malam itu suasana hati saya sudah buruk. Pesta minum yang biasanya berakhir pukul delapan, molor hingga pukul sembilan karena Bos bersikeras memperpanjangnya, kemungkinan agar bisa “merayunya” di momen yang tepat.
Biasanya, jam segitu saya sudah di rumah, mandi, main game, atau menonton film. Tapi kali ini, waktu santai saya dirampas oleh seekor “musang” yang hendak melakukan kejahatan tepat di depan mata saya.
Alkohol membuat pikiran saya tumpul, dan entah kenapa, saya sampai pada satu kesimpulan: Saya harus menghentikannya.
Tanpa pikir panjang, saya berlari dan menendang punggung Bos Musang dengan teknik “tendangan jatuh” yang indah.
Semua langsung kacau. Bos itu terpental ke depan dan jatuh. Saya menungganginya, mencabuti sedikit rambutnya yang tersisa, lalu berulang kali menyikut punggungnya sambil berteriak dan tertawa seperti orang gila.
Di hadapan gadis yang melongo kaget, saya menendang pantat besar Bos seperti menendang bola sepak. Rupanya, jauh di dalam hati, saya menyimpan tumpukan rasa kesal terhadapnya.
Di tengah keramaian pusat kota Jakarta, duet tangisan dan jeritan itu tetap terdengar mencolok. Tak lama, dua polisi yang sedang berpatroli langsung menghampiri dan menangkap saya.
Akhirnya saya dipecat. Tepatnya, dipaksa “mengundurkan diri secara sukarela”.
Belakangan saya tahu, gadis itu mati-matian memberi kesaksian pada polisi tentang kelakuan Bos perusahaan dan bagaimana saya menolongnya. Tapi saat itu saya tidak tahu apa-apa, karena masih dikurung di pos polisi.
Saya meminta maaf pada petugas atas keributan yang terjadi. Dan ketika mulai sadar sepenuhnya, pikiran saya hanya, “Waduh, sekarang aku harus bagaimana? Yah… setidaknya rasanya lega.”
Tampaknya kejadian itu sampai juga ke telinga perusahaan induk. Hasilnya, si Musang dicopot dari jabatan Bos dan diturunkan ke posisi tak penting.
Beberapa hari kemudian, seorang karyawan senior dari perusahaan induk datang menemui saya. Dengan nada datar tapi penuh maksud, dia menjelaskan situasinya.
“Ini hal yang wajar. Perusahaan tidak akan menuntut Anda, jadi sebaiknya Anda terima saja pesangon plus uang tutup mulut dengan tenang.”
Setelah apa yang saya lakukan, kembali bekerja di perusahaan itu jelas mustahil. Lagipula, saya memang tidak punya niat untuk kembali. Jadi, saya menerima tawaran itu, lalu resmi bergabung dengan “kelas pengangguran.”
Ngomong-ngomong, pesangon yang saya terima cukup besar. Sepertinya perusahaan induk benar-benar ingin menutup mulut saya dengan cara apa pun.
Dan begitulah, akhirnya saya menjalani hari-hari sebagai pengangguran… dalam keadaan linglung, tanpa arah, dan tanpa jadwal.
Malam itu, aku pikir masalah terbesarku hanyalah status pengangguran dan rasa bosan yang menempel seperti kelembapan awal musim hujan. Tapi saat aku kembali duduk di teras, rokok di tangan mulai terasa hambar. Ada sesuatu di udara bau besi dan amis yang menusuk hidung, samar, tapi cukup untuk membuatku menoleh.
Di kejauhan, di ujung jalan sepi yang biasanya hanya dilalui ibu-ibu bersepeda, aku melihat seseorang berjalan tertatih. Langkahnya aneh terlalu lambat, terlalu berat, seperti lututnya patah tapi dia tak peduli. Aku mengerjap, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya orang mabuk yang tersesat dari warung makan.
Tapi lalu aku mendengar suara itu.
Bukan suara teriakan, bukan juga sapaan.
Itu… geraman. Rendah. Basah. Seperti ada sesuatu yang berusaha berbicara tapi tenggorokannya penuh darah.
Orang itu atau apapun dia berhenti di bawah lampu jalan. Cahaya oranye redup memantulkan kilau aneh di matanya. Mata yang… mati, tapi menatap balik ke arahku.
Rokokku jatuh.
Di detik itu, dunia di sekitarku terasa menyempit. Jalan yang sepi, udara lembap, suara serangga malam semuanya lenyap. Yang tersisa hanya tatapan kosong itu… dan suara langkah-langkah berat lain yang mulai terdengar dari arah gang.
Dua… tiga… tidak, empat sosok keluar dari kegelapan. Pakaian mereka compang-camping, kulit pucat, dan gerakan mereka seperti boneka rusak. Salah satu mulutnya masih berlumuran sesuatu yang terlihat… segar.
Aku tidak tahu siapa atau apa mereka, tapi satu hal pasti:
Pengangguranku baru saja berubah dari masalah ke selamat-tidaknya aku besok pagi.
Dan entah kenapa, aku punya firasat bahwa ini… baru permulaan.
Tentang Hari Itu…
Hmm, sampai mana tadi aku bercerita?
Ah, ya, begitulah akhirnya aku menjadi pengangguran.
Yang tersisa setelah semua keributan itu hanyalah uang pesangon yang lumayan besar, ditambah tabungan yang hampir tidak tersentuh berkat kerja keras bertahun-tahun. Jumlahnya cukup untuk membuatku bisa hidup sendirian selama beberapa tahun ke depan tanpa khawatir.
Begitu keluar dari mess perusahaan, aku memutuskan untuk kembali tinggal bersama orang tuaku. Sempat terlintas untuk hidup sendiri, tapi aku ingin segera pergi sejauh mungkin dari Jakarta. Rasanya akan sangat memalukan jika sampai berpapasan dengan mantan rekan kerja di jalan. Apalagi, aku pasti sudah menjadi musuh bebuyutan geng si Bos Musang menyebalkan itu. Kalau sampai mereka memancing keributan, bukan tidak mungkin polisi harus turun tangan lagi.
Bukan berarti aku suka cari masalah, tapi kalau ada yang mulai memukul lebih dulu… ya, aku tidak akan tinggal diam.
Akhirnya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku pulang ke kampung halaman, sebuah kota kecil di Banyuwangi. Niatku sederhana: istirahat sebentar, lalu mulai mencari pekerjaan baru. Aku punya kualifikasi yang cukup, dan di atas kertas, status “mengundurkan diri” membuatku tampak baik-baik saja. Harusnya tak ada masalah.
Ibu memang sering memarahi karena aku berhenti kerja, tapi anehnya ia memujiku karena “menyelamatkan seorang wanita” (padahal sebenarnya, aku tidak merasa melakukan itu). Ayah, yang sama santainya denganku, justru senang karena sekarang ia punya teman memancing dan sopir pribadi.
Adik perempuanku, yang sudah bekerja dan tinggal terpisah, hanya bisa menghela napas panjang. Tapi ia tetap memintaku menjaga orang tua, katanya ini kesempatan bagus untuk membalas budi.
Sekarang, setelah menjadi pengangguran… entah kenapa aku malah jadi sibuk.
Jujur saja, keinginanku hanya satu: berbaring seharian, malas-malasan. Tapi rupanya itu mustahil.
Meski aku rutin memberi uang untuk biaya rumah, tetap saja status “pengangguran” mengundang komentar miring. Jadi, untuk meredam gosip, aku mulai rajin keluar rumah membersihkan halaman, ngobrol dengan tetangga, bahkan kadang membantu belanja untuk mereka.
Aku juga ikut kegiatan bersih-bersih selokan yang diadakan RT, dan pernah memasang jaring anti-burung di tempat sampah umum.
Berkat semua itu, citraku di mata warga pun berubah. Aku yang dulu dikenal sebagai:
> “Anak Pak/Bu Surya yang menganggur, entah kerja apa”
kini mendapat gelar baru:
> “Putra Pak/Bu Surya yang rajin, ramah, dan sedang cuti kerja”
Naik kasta sosial seperti ini ternyata bukan hal mudah di dunia yang penuh prasangka ini.
Dua bulan berlalu tanpa insiden berarti. Aku berhasil membangun reputasi cukup baik di lingkungan, meski masih ada segelintir orang yang sinis.
Sementara itu, kabar besar datang dari keluarga: adik perempuanku akhirnya menikah dengan rekan kerjanya seorang pria muda tampan yang diam-diam sudah lama ia kencani.
Aku pernah bertemu beberapa kali dengannya. Orangnya sopan, ramah, dan yang paling penting: tidak pernah menyinggung status pengangguranku. Rasanya menyenangkan bisa berdiri di hadapan adik yang keras kepala itu tanpa merasa kalah.
Semoga saja mereka bisa hidup bahagia selamanya…
Setelah pernikahan, adik perempuanku dan suaminya berangkat bulan madu selama dua minggu ke beberapa pulau di Bali dan Lombok.
Sebagai bonus, mereka bahkan mengajak orang tua masing-masing ikut serta.
Sempat terlintas di kepalaku: Memangnya pantas menghamburkan uang sebanyak itu untuk pesta pernikahan dan bulan madu sekaligus?
Tapi, gaji mereka berdua tinggi jujur saja, sepertinya jauh di atas gaji yang pernah kudapat ketika masih di perusahaan.
Dunia memang tidak adil.
Setelah itu, hari-hariku di rumah orang tua berjalan santai.
Ya, aku masih harus berinteraksi dengan tetangga, tapi di dalam rumah, aku bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan pendapat orang lain.
Pagi-pagi bisa sarapan sambil masih pakai sarung.
Di meja besar ruang tamu, aku bisa merakit model plastik sepuasnya.
Bisa main game sambil memesan pecel lele, atau menonton tumpukan DVD yang belum sempat kutonton.
Tidur saat mengantuk, bangun saat mau, semuanya terserah aku.
Indah.
Momen-momen seperti itu membuatku sadar, keluarga memang hal yang baik.
Kalau aku hidup sendiri di kota ini, kemungkinan besar aku sudah terjebak dalam pola malas yang sama… tapi tanpa orang tua yang kadang memaksaku bergerak.
Sehari berlalu, lalu dua hari, lalu seminggu.
Hari itu datang begitu saja, tanpa peringatan.
Aku sedang duduk di teras, rokok terselip di jari, pikiran melayang entah ke mana.
Lalu, di tengah keheningan siang itu, telingaku menangkap suara aneh mirip suara binatang.
Jam sudah lewat tengah hari. Lingkungan terasa sunyi; sebagian besar penduduk sedang bekerja atau berbelanja.
Bahkan para lansia, yang biasanya duduk santai di teras rumah, hari ini keluar menghadiri acara lokal sepertinya perayaan Hari Lansia.
Anehnya, di daerah ini hampir tidak ada anjing, apalagi kucing.
Jadi, suara itu terasa janggal.
Aku sempat berpikir, Mungkin cuma anjing liar atau semacamnya…
Tapi sebelum aku sempat memutuskan, suara itu terdengar lagi.
Kali ini lebih jelas.
Dan entah kenapa, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
Aku membeku.
Diam.
Apa-apaan itu? Anjing? Tapi… tidak ada anjing yang melolong seperti kiamat begini.
“Uuuuuuuuuuuuu! Uuuuuuuuuuuuuuu!!!”
Suara itu… lebih mirip teriakan orang gila daripada gonggongan hewan. Dan kali ini, terdengar jauh lebih dekat. Tepat di depan rumah tetangga.
Tetangga sebelah…
Sejujurnya, satu-satunya orang di lingkungan ini yang tidak kukenal baik, dan juga satu-satunya yang selalu menolak mengakui keberadaanku sebagai pengangguran, adalah pria yang tinggal di rumah sebelah.
Entah dia guru SMA atau apa, tapi setiap kali kami berpapasan, dia pasti dengan kasar menyuruhku “cari kerja” atau “jangan cuma keluyuran.”
Seolah keberadaanku saja sudah cukup mengganggu pernapasannya.
Anehnya, istri dan putrinya yang masih SMA justru ramah. Jadi… kenapa cuma si pria tua itu yang seperti macan kelaparan?
Pernah rasanya ingin sekali menarik kerah bajunya dan bilang, “Saya bukan muridmu, Pak!”
Tapi ya… demi menjaga hubungan bertetangga, aku hanya bisa menepisnya dengan tawa hambar, “Maaf, maaf, hahaha…”
Begitulah. Hidup sebagai pengangguran itu sudah cukup membuatku stres tanpa tambahan ceramah gratis darinya.
Tapi… bukankah dia seharusnya sedang bekerja sekarang?
Kalau kupikir-pikir, suara tadi memang mirip suaranya hanya saja penuh rasa sakit dan panik.
Mungkin dia pulang lebih awal karena sakit mendadak… lalu jatuh di depan pintu sambil menjerit.
Ya, mungkin saja. Dia memang terlihat seperti orang dengan tekanan darah tinggi… dan sifat yang gampang meledak.
Sejujurnya, aku akan sangat senang jika semua ini hanyalah keluhan tetangga yang berakhir cepat, tapi… inilah pahitnya hidup bertetangga bahkan saat tidak suka, tetap saja harus peduli.
Dengan rasa iba yang entah kenapa terasa seperti kewajiban seorang pendekar, aku memutuskan untuk memanggil ambulans.
Aku kenakan sandal rumah, melangkah keluar, dan mencari sumber teriakan itu.
Ada.
Dia.
Pak Suryo berjongkok di depan rumahnya, menggedor-gedor gerbang sambil berteriak seperti orang kehilangan akal.
“Um… Pak Suryo, Anda baik-baik saja?” tanyaku dari jarak aman.
Tiba-tiba, semua erangan itu berhenti. Sunyi.
“Hah? Pak Suryo, ini aku, Bima… tetangga sebelah. Apa Anda merasa tidak enak badan?”
Rasa gelisah mulai merayap. Aku memanggil lagi.
Dan saat itu dia mendadak berdiri, melompat seperti pegas, lalu menoleh ke arahku.
Pemandangan yang kulihat berikutnya… aku tahu akan menghantui sisa hidupku.
Kulitnya putih pucat, tidak alami seperti mayat yang baru saja diangkat dari air.
Bajunya compang-camping, robek di banyak tempat.
Tubuhnya berlumuran cairan merah tua yang menempel lengket di kain dan kulit.
Mata kanannya menonjol keluar, berdenyut seperti hendak terlepas.
Lengan kirinya jelas patah, menggantung pada sudut yang mustahil.
Dan dari sudut mulutnya, air liur bercampur darah terus menetes, membasahi dagunya.
Dari sudut pandang mana pun, pria itu… bukan lagi manusia.
Kalau ini film, aku tahu persis genrenya.
Bukan drama keluarga. Bukan dokumenter.
Ini murni film zombie jenis tontonan yang biasanya kutonton sambil makan keripik, bukan sambil jadi pemeran utamanya.
“Uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!”
Belum sempat aku menata pikiran, lelaki tua itu tiba-tiba melesat ke arahku.
Bukan lari… tapi menukik seperti binatang kelaparan.
Jauh dari gerakan orang paruh baya, ini lebih mirip atlet sprint minus kesehatan dan kewarasan.
Rumah orang tuaku berjarak sekitar 20 meter dari rumahnya. Dengan kecepatan seperti itu, aku punya… mungkin tiga detik.
Otakku tahu harus lari.
Tapi tubuhku menolak perintah.
Kakiku menempel ke tanah, seolah sedang ikut audisi jadi patung.
Tenggorokanku kering, kata-kata macet di ujung lidah.
Serius? Ini aku?
Si pengangguran yang bisa menghabiskan berjam-jam main game bertema kiamat, sekarang malah AFK di dunia nyata?
Astaga… ternyata aku memang tipe karakter bodoh di film bencana yang selalu kita hujat sambil teriak,
“Kenapa nggak lari sih, bego?!”
Orang tua itu semakin dekat.
Kurang dari sepuluh meter sekarang.
Mata kirinya satu-satunya yang tidak menonjol keluar akhirnya terlihat jelas.
Merah.
Bukan sekadar merah darah… tapi merah menyala, seperti lampu peringatan yang tak pernah berkedip.
Dan itu bukan cuma pupilnya seluruh bola matanya terbakar warna itu.
Lima meter.
Giginya tampak. Bukan karena tersenyum, tapi siap menggigit.
Air liur memercik setiap ia menggeram.
Satu meter.
Tangan kanannya yang masih utuh mengulur ke arah wajahku.
Otakku berkata, “Lari.”
Tapi tubuhku… malah memilih sesuatu yang jauh lebih gila.
Aku—
…menghentak kakiku, melancarkan tendangan depan lurus ke arah ulu hatinya.
Ada sensasi aneh di telapak kakiku.
Bukan rasa sakit, tapi seperti menekan spons keras yang tiba-tiba pecah di dalam.
Sial. Bidikannya meleset.
Bukan ulu hati, tapi tepat di dada.
Dan perasaan “tak terlukiskan” itu?
Yeah… aku cukup yakin itu suara tulang rusuk yang patah.
Tubuhnya terpental ke belakang, terhempas ke tanah, lalu jatuh terlentang dengan dentuman tumpul.
Setelah menyiapkan diri untuk mati, aku memilih melawan daripada lari.
Dia masih bergerak, meski aku tahu tubuhnya sudah rusak parah. Entah bagaimana, refleks lamaku dari latihan silat muncul begitu saja. Tubuh memang punya ingatan sendiri.
Aku sempat melirik ke bawah oh iya, aku masih pakai sandal rumah.
Lalu pertanyaan konyol melintas di kepalaku: Apakah ini benar-benar zombie?
Mayat hidup yang bangkit, menggigit, dan menulari orang lain?
Tapi memikirkannya sekarang tak akan memberi jawaban. Yang penting adalah kenyataan di depanku: pria ini berusaha memakanku. Membunuhku.
Dan aku tidak mau dimakan. Tidak mau dibunuh.
Kalau begitu…
Satu-satunya pilihan,
…adalah membunuhnya!
Menurutku cara berpikir ini memang aneh… tapi aku tak punya pilihan lain.
Tidak peduli seberapa banyak orang bicara soal kemanusiaan, semua itu tidak berguna kalau kau sedang dimakan hidup-hidup.
Kalaupun aku salah, dan pria tua ini bukan zombie, faktanya tetap sama dia berusaha menggigitku. Kami bahkan tidak bisa berkomunikasi seperti manusia normal.
Ah, tapi setidaknya aku akan memanggilnya. Kalau nanti kasus ini sampai ke pengadilan, aku bisa bilang ini murni pembelaan diri.
> “Pak Suryo, tolong berhenti,” ucapku datar.
“Aaaahhh! Uuuuuuhhh!”
“Ya, ya, aku mengerti, sialan!”
Balasannya hanya teriakan… lalu dia kembali berlari ke arahku.
Tendangan sebelumnya jelas tidak cukup. Memukul juga bukan pilihan risikonya terlalu besar kalau sampai tergigit. Kalau memang penyakitnya menular lewat air liur, itu bisa jadi akhir hidupku.
Senjata. Aku butuh senjata.
Dia kembali mendekat, dan aku mengangkat kaki, melancarkan tendangan depan kedua.
Kali ini, tubuhnya terhuyung lalu roboh.
Melihat dari caranya tak berusaha menghindar, dia bahkan tampak lebih bodoh dari binatang.
Aku segera berbalik, berlari ke taman rumah orang tuaku, lalu membuka gudang kecil di sana.
Di dalamnya, berderet peralatan berkebun milik ibu, dan alat-alat pertukangan milik ayah.
Aku meraih tongkat kayu panjang entah untuk apa aslinya dan membalikkan badan.
Begitu berputar, aku langsung mengayunkannya sekuat tenaga.
“Bugh!”
Kayu itu menghantam tepat di kepala pria tua itu. Dia terhuyung, lalu jatuh terduduk.
Namun hanya beberapa detik kemudian, tubuhnya kembali bergerak.
Sejak saat itu, semuanya menjadi pengulangan yang absurd.
Pria itu berdiri.
Aku memukul kepalanya.
Dia roboh.
Dia bangkit lagi.
Aku kembali menghantamnya.
Siklus konyol yang seakan tak pernah berakhir. Rutinitas paling sia-sia di dunia.
Aku tak tahu sudah berapa kali mengulanginya.
Yang jelas, pada akhirnya tubuhnya yang sudah tak lagi menyerupai manusia itu terjerembab di taman, jatuh dengan suara berat.
Wajahnya remuk begitu parah hingga sulit mengenali di mana letak matanya, hidungnya, atau mulutnya.
Tubuhnya hanya berkedut sekali… lalu diam selamanya.
Aku pun jatuh terduduk di tanah, napas terengah-engah.
Kedua tanganku terasa berat seperti timah, sementara tongkat kayu di genggaman kini berlumur darah merah pekat.
Itu adalah pertama kalinya aku benar-benar menggunakan kekerasan untuk membunuh berbeda dengan semua bentrokan sebelumnya, bahkan yang pernah kulakukan pada mantan Bos ku dulu.
Ini pembunuhan pertama.
Dan yang membuatnya lebih berat… korban itu adalah tetanggaku sendiri.
Semangatku yang semula terbakar dan penuh adrenalin mulai mereda. Yang tersisa hanyalah rasa lelah, bercampur sedikit rasa bersalah yang menekan di dada.
Bukan penyesalan penuh… tapi seperti ada beban yang menempel dan sulit dilepaskan.
Dengan tangan gemetar, aku merogoh saku dada, menemukan rokok terakhirku yang tersisa.
Kutarik sebatang, menyalakannya, lalu mengisapnya dalam-dalam.
Batuk pertama menyergap, persis seperti saat pertama kali aku belajar merokok dulu. Tapi aku menahan, memaksa paru-paruku menerima asap itu, lalu menghembuskannya keras-keras.
Nikmat.
Nikmat yang merayap pelan ke seluruh tubuhku, membungkus saraf-saraf yang tegang.
Entah kenapa, aku yakin, aku tak akan pernah lagi merasakan kepuasan sesederhana ini di masa depan.
“Ugh… tinggal tiga batang lagi…” gumamku lirih, menatap kotak rokok yang nyaris kosong.
Begitulah… hari pertamaku di Wabah Zombie.
Sudah Tiga Hari Berlalu
Sudah tiga hari berlalu sejak aku menghajar Pak Suryo sampai mati lelaki tua yang berubah menjadi sesuatu yang mirip zombi.
Sejak itu, aku nyaris tak keluar rumah. Semua pintu dan jendela terkunci rapat, tirai tertutup, dan malam-malam kuhabiskan di rumah yang gelap gulita, terbungkus selimut seolah bisa melindungi dari segala hal di luar sana.
Makan? Aku hanya mengambil apa pun yang tersisa di kulkas, menjejalkannya ke perut, lalu kembali tidur. Begitu terus, berulang-ulang.
Televisi tak pernah menyala. Aku bahkan menahan diri untuk tidak membuat suara sekecil apa pun takut kalau-kalau tanah di kebun tiba-tiba bergejolak dan Pak Suryo yang sudah terkubur itu bangkit lagi.
Di dalam rumah yang membuat waktu terasa mati tak ada tanda siang atau malam aku mulai menyadari sesuatu yang mengejutkan.
Bukan karena “tetangga sudah kubunuh” itu sendiri…
Tapi karena rasa bersalahku ternyata… hanya sedikit.
Saat kejadian itu, aku memang sepenuhnya tenggelam dalam naluri bertahan hidup.
Jika aku ragu sedetik saja, mungkin justru aku yang tergeletak tak bernyawa di taman.
Lagi pula, saat itu, Pak Suryo sudah bukan manusia dia benar-benar seperti zombi.
Namun, apa itu berarti aku bisa begitu saja memaafkan diriku?
Bisa membunuh seseorang, lalu hanya merasa bersalah selevel dengan… mencuri sepeda bekas di pinggir jalan?
Aku bahkan tak pernah mencuri seumur hidup.
Jadi… apa ini berarti aku orang yang berhati dingin?
Mungkin aku memang lebih cepat tanggap daripada karakter bodoh di film-film panik… tapi entah kenapa, alur pikirku belakangan ini terasa seperti… penjahat.
Ya, penjahat yang biasanya mati mendadak di klimaks cerita.
Sepertinya aku kembali terjebak dalam lingkaran kebencian terhadap diri sendiri persis seperti yang kualami selama tiga hari terakhir.
Tapi… tunggu.
Bukankah ada sesuatu yang jauh lebih penting?
“Rokokku habis…! Sial, aku sudah tiga hari nggak merokok!”
Begitu kesadaran itu menghantam, semua hal lain langsung menguap.
Rasa bersalah terhadap lelaki tua yang kubunuh? Hilang.
Bayangan wajahnya yang berlumuran darah? Lenyap.
Yang tersisa hanyalah pikiran tunggal: aku butuh rokok.
Lucunya, kalau Pak Suryo itu ternyata orang baik, mungkin aku masih akan gelisah.
Tapi kenyataannya? Dia selalu menjadi tetangga yang menyebalkan.
Setiap hari mengoceh soal aku yang “nganggur, nganggur, dan nganggur” seakan hidupku hanya itu.
Apapun yang kukatakan selalu ia tafsirkan secara negatif.
Bahkan pernah, tanpa basa-basi, dia bilang aku pasti kekurangan uang.
Ketika kujawab kalau aku punya tabungan dan semuanya baik-baik saja, dia malah marah.
Benar-benar tipe orang yang kalau kau beri roti, dia akan mengeluh rotinya kurang hangat.
Aku mulai kesal sendiri.
Kenapa aku harus menyiksa diri dengan rasa bersalah terhadap pria setengah baya yang bahkan semasa hidupnya sudah begitu menyebalkan?
Pertama-tama, kemungkinan besar lelaki tua itu sudah kehilangan kesadaran diri saat menyerangku.
Mungkin.
Tentu saja.
Itu lebih mirip binatang buas yang menerkam mangsanya.
Aku hanya ragu karena wujudnya masih terlihat seperti manusia.
Kalau dipikir-pikir, yang kulakukan adalah mengakhiri hidup seorang pria yang sudah kehilangan jati diri, terjebak dalam kondisi liar, sebelum ia sempat melukai orang lain yang tak berdaya.
Bukankah itu… bukannya aksi seorang penjahat, melainkan langkah seorang pahlawan yang membawa semangat keadilan?
…Astaga, aku nggak tahan!
Seumur hidupku aku nggak pernah bertahan nggak merokok selama ini, pikiranku benar-benar mulai kacau!
Aku membuang waktuku yang seharusnya dipakai untuk mengisap nikotin demi merenungi hal yang bahkan tak bisa disebut pertobatan untuk orang tua itu.
Sialan!
Nggak ada gunanya terlalu dipikirkan!
Aneh? Ya, memang.
Tapi kalau memang nggak ada cara lain, ya sudahlah!
Mari kita sederhanakan semuanya:
Apa yang ingin aku lakukan? → Merokok!
Apa yang tidak ingin aku lakukan? → Mati!
Jadi apa yang harus aku lakukan? → Bertahan hidup!
Sampai kapan? → Entahlah! Sampai aku bosan!
Yessss! Selesai!
Itu keputusan yang brilian, menurutku.
Kalau aku mau mati, aku bisa melakukannya kapan saja melompat dari atap rumah, atau bahkan mengolesi tubuhku dengan minyak goreng lalu menerjunkan diri ke tengah gerombolan zombi.
Sulit membayangkan Pak Suryo adalah satu-satunya zombi di dunia.
Kalau memang cuma dia, pasti sejak awal sudah ditangkap polisi, dibasmi TNI, atau ditembak mati, dan selesai. Tamat.
Aku memang nggak dalam kondisi mental yang stabil untuk memikirkan semua ini sekarang.
Tapi kalau suatu hari aku benar-benar putus asa, opsi itu selalu ada di laci pikiran.
Sekarang setelah kebijakan sementaraku diputuskan, rasanya jauh lebih lega.
Lucu juga, ya sesuatu seperti zombi beneran muncul di hadapanku, dan aku malah menemukan ketenangan.
Mungkin hidup memang lebih mudah kalau kau sedikit gila.
Filosofiku sederhana:
Hidup sampai bosan. Itu saja.
Malam itu, rumah terasa seperti kuburan pribadi.
Sunyi. Gelap. Hanya bunyi detak jam yang terdengar, dan bahkan itu pun terdengar seperti penghinaan menghitung detik demi detik hidupku yang entah mengarah ke mana.
Aku duduk di lantai, bersandar pada tembok, rokok terakhir sudah lama habis, dan satu-satunya yang menemaniku hanyalah pikiran aneh yang datang silih berganti.
Kadang aku merasa seperti tokoh utama di film bertema kiamat tapi versi murahan yang syutingnya gagal didanai di tengah jalan.
Di luar, entah ada berapa lagi Pak Suryo-Suryo lain yang berkeliaran.
Aku belum mendengar jeritan atau suara tembakan, tapi bukan berarti dunia aman. Bisa saja semuanya sudah selesai, dan aku cuma orang bodoh yang belum membaca berita terakhir.
Atau… mungkin ini baru permulaan.
Sialnya, aku tidak tahu mana yang lebih buruk: dunia yang hancur total, atau dunia yang tetap berjalan normal tapi aku yang mulai gila.
Lampu dapur berkedip sebentar. Listrik? Bahan bakar terakhir peradaban ini? Aku tidak tahu. Dan aku juga tidak mau tahu.
Yang jelas, kalau listrik padam, aku akan sendirian di kegelapan, bersama pikiran yang makin liar, dan dada yang makin sesak memikirkan rokok.
Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tapi telingaku terus mencari-cari suara gesekan di luar, langkah kaki di jalan, atau tarikan napas yang bukan milikku.
Tidak ada.
Sejenak, aku berpikir… mungkin aku bisa tetap bertahan di sini.
Kunci pintu, tutup jendela, makan seadanya, dan tunggu semua ini berakhir.
Tapi kemudian, pikiran itu datang: rokok.
Tiga hari tanpa rokok sudah cukup membuatku seperti tahanan yang menandai hari di dinding dengan kuku.
Besok… atau mungkin lusa… aku harus keluar. Entah itu untuk merokok atau sekadar memastikan aku masih hidup di dunia yang sama.
Dan kalau aku keluar… siapa tahu apa yang akan kutemui?
Mungkin aku akan menemukan jawaban tentang berapa banyak zombi di luar sana, atau apakah semua ini cuma halusinasi dari nikotin yang meronta.
Atau mungkin, aku malah nggak akan kembali.
Tapi itu urusan nanti.
Untuk malam ini, aku hanya perlu bertahan.
Hidup sampai bosan.
Besok… kita lihat saja siapa yang bosan duluan. Aku, atau dunia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!