NovelToon NovelToon

Doa Kutukan Dari Istriku

Bab 1

Wajah Vandra berubah pucat pasi ketika pintu lift terbuka. Napasnya seakan berhenti di tenggorokan saat melihat sosok yang sama sekali tak ingin ditemuinya di momen seperti ini. Zara berdiri di sana, tegak, dengan tatapan tajam penuh amarah yang menusuk langsung ke jantungnya. Tangannya menggenggam ponsel, terarah tepat padanya, seakan itu senjata paling mematikan di dunia.

“Sayang, ada apa?” suara Erika lirih, penuh tanda tanya. Ia menoleh ke arah Vandra, bingung melihat kekasih gelapnya mendadak kaku, berdiri bagai patung.

Namun jawaban tak kunjung datang. Yang terdengar justru teriakan lantang yang menggema hingga ke lobi hotel.

“Wow! Apakah kalian ingin tahu pasangan selingkuh paling spektakuler tahun ini? Dialah Vandra Dwipangga dan Erika Maharani!”

Suara Zara meledak seperti bom yang menghancurkan suasana. Beberapa orang di lobi langsung menoleh. Langkah mereka terhenti, pandangan mereka tertuju pada pasangan yang berdiri di ambang lift. Ada rasa ingin tahu, ada juga sorot jijik yang muncul seiring bisik-bisik cepat menyebar.

Muka Erika seketika merah padam. Darahnya serasa naik ke kepala, jantungnya berdegup panik. Dengan gemetar, ia menyembunyikan wajahnya di punggung Vandra, berharap bisa menghilang ditelan lantai marmer dingin.

“Zara, apa-apaan kamu!” bentak Vandra dengan suara pecah, tangannya terulur hendak merebut ponsel dari adiknya. Ia tahu betul rekaman itu bisa menghancurkan seluruh hidupnya.

Namun Zara hanya tersenyum mengejek, senyum penuh kemenangan yang bercampur sakit hati. “Aku sedang merekam perselingkuhan kalian buat jadi barang bukti. Bagus, kan?”

Tatapannya menyala-nyala, seperti bara yang tak bisa dipadamkan. Seandainya saja tadi kedua orang tuanya tidak menahan lewat telepon, menyuruhnya bersabar, mungkin saat ini Zara sudah menampar Erika sampai wajahnya lebam, menjambak rambutnya, atau bahkan mencakar kakaknya sendiri. Amarah di dadanya begitu penuh hingga seakan-akan tubuhnya bergetar menahannya. Dan karena tak bisa menyalurkan lewat tangan, ia melampiaskan lewat mulut, lewat kata-kata yang menyayat dan sorot mata yang menusuk.

Orang-orang mulai berkumpul, sebagian mengangkat ponsel, ikut merekam. Kamera-kamera kecil itu terasa bagai ribuan mata yang menghakimi.

Melihat semua itu, Zara malah makin senang. Biarlah dunia tahu. Biarlah aib ini terkuak, supaya Kakaknya dan perempuan itu tidak bisa lagi bersembunyi di balik topeng manis.

“Siapa yang selingkuh. Kita kebetulan saja bertemu di lift,” ucap Vandra dengan suara gemetar, mencoba mengelak.

“Kakak kira aku ini bodoh?!” bentak Zara, nadanya pecah oleh luka. “Sejak kalian turun dari mobil dan masuk ke hotel ini, aku lihat semuanya. Aku juga sudah melaporkan ke Mama. Makanya Mama nelepon Kakak buat pulang, kan?”

Vandra terdiam. Kata-kata Zara menamparnya keras. Dia shock, tubuhnya terasa kaku, bibirnya bergetar namun tak ada suara yang keluar. Bagaimana bisa adiknya sendiri tahu semua gerak-geriknya?

Zara mendengus, tawanya getir. “Satu jam yang lalu Mama minta Kakak segera datang ke rumah. Katanya lagi di pinggiran kota dan otw. Rupanya? Di hotel, ya. Dengan wanita ini. Padahal cuma butuh lima belas menit untuk pulang!”

Vandra tak bisa membalas. Di kepalanya terputar kembali panggilan telepon dari Mama. Peringatan itu ia abaikan. Demi memuaskan nafsu bersama Erika, ia berbohong—mengatakan dirinya berada jauh. Kini kebohongan itu menjerat lehernya sendiri.

“Kakak pikir aku tidak tahu? Kalau saja pihak hotel mau kasih tahu nomor kamarnya, sudah dari tadi aku labrak kalian di ranjang!” seru Zara, suaranya meninggi.

Sekeliling mereka semakin riuh.

“Rupanya pasangan selingkuh,” ucap seorang wanita paruh baya dengan nada jijik.

“Sampai melakukan zina lagi,” timpal wanita muda, wajahnya berkerut seakan melihat sesuatu yang kotor.

“Sudah selingkuh, zina, pembohong pula sama ibunya,” ujar seorang gadis muda. Tatapannya penuh kebencian, terarah ke Vandra dan Erika seolah keduanya sampah.

“Mereka pantas dapat sanksi sosial. Biar tahu rasa!” seru seorang pria paruh baya, suaranya lantang membuat beberapa orang mengangguk setuju.

Suasana lobi hotel berubah menjadi ruang pengadilan dadakan. Sorotan mata adalah hakim, bisik-bisik adalah vonis. Dan rekaman-rekaman ponsel adalah palu godam yang siap menjatuhkan hukuman sosial seumur hidup.

Vandra menunduk, wajahnya merah padam, campuran malu dan takut. Erika hanya bisa menunduk dalam-dalam, hatinya berteriak ingin berlari sejauh mungkin dari tempat itu. Mereka berdua terbakar dalam sorakan dan cemooh.

Tak sanggup menahan lagi, mereka bergegas menuju mobil.

Namun langkah itu terhenti. Zara tiba-tiba menarik tangan Erika keras-keras ketika perempuan itu hendak membuka pintu depan.

“Eits, tunggu! Mau apa kamu?!” suara Zara lantang, membuat beberapa pasang mata kembali menoleh.

“Zara, biarkan Erika naik!” Suara Vandra parau, penuh desakan.

Zara menatap Erika dengan pandangan penuh benci. “Di belakang! Enak saja duduk di depan, seolah-olah kau yang punya tempat di sini. Ingat, Kak. Ini mobil punya Mbak Alya. Istrimu!”

Kalimat itu menampar keras, menusuk sampai ke hati. Erika terdiam, wajahnya kaku, lalu perlahan duduk di kursi belakang dengan ekspresi masam. Ia merasa dipermalukan, namun tak bisa melawan.

Dalam hati, Erika menyesal. Ia tak pernah menyangka perselingkuhan yang selama ini ia nikmati bersama Vandra akan ketahuan seburuk ini di hadapan orang banyak, diarak seperti tontonan murahan.

Di kursi depan, Vandra menggenggam kemudi dengan tangan bergetar. Sorakan orang-orang masih menggema di telinganya, menusuk lebih dalam dari belati. Kata-kata mereka akan terus menghantuinya dan yang paling menyakitkan, bayangan wajah Alya muncul begitu jelas di kepalanya. Wajah penuh kesetiaan, penuh kasih sayang, yang kini pasti sudah hancur berkeping-keping.

Rumah sederhana bercat putih itu berdiri kokoh di tengah halaman luas. Dari luar, bangunan itu tampak damai, tenang, seperti tempat di mana cinta keluarga seharusnya bernaung. Namun, bagi Vandra dan Erika, setiap langkah mendekat ke sana terasa seperti berjalan menuju jurang gelap yang siap menelan mereka hidup-hidup.

Jantung Vandra berdegup kencang, peluh dingin membasahi pelipisnya, sementara Erika menyeret kakinya seperti tahanan yang digiring ke meja pengadilan.

Begitu pintu kayu dibuka, hawa dingin menyergap, bukan sekadar dari pendingin ruangan, melainkan dari tatapan tajam yang menghantam mereka seperti ribuan panah. Semua mata langsung menoleh, menatap tanpa belas kasihan.

Di ruang tamu, Papa Indera duduk kaku dengan wajah kelam, sorot matanya menusuk tajam seakan bisa menembus ke dasar hati. Mama Vany menunduk, namun wajahnya memerah menahan tangis.

Alya, sang istri sah, duduk di kursi seberang. Tubuhnya bergetar halus, tangannya terkepal di pangkuan. Air matanya menggenang, tapi ia tetap berusaha tegar, meski jelas sekali hatinya diremas hingga berdarah.

Di samping Alya ada Pak Lukman dan Bu Laila—mertua Vandra—menatap penuh kekecewaan. Wajah mereka yang biasanya penuh senyuman, kini dingin. Seakan tersirat, bagaimana mungkin menantu yang dulu mereka banggakan tega menghancurkan putri mereka?

Langkah Vandra terhenti di ambang pintu. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat. Erika berdiri di sampingnya, gemetaran. Tubuhnya kaku, seakan tak mampu menahan tatapan benci yang menusuknya. Seumur hidupnya, ia tak pernah merasa sehina ini.

“Duduk!” Suara berat Papa Indera meledak, keras, tak memberi ruang untuk membantah.

Dengan langkah berat, Vandra berjalan menuju sofa. Ia menunduk, tak berani menatap siapa pun. Bahkan untuk melihat Alya saja, ia tak sanggup. Erika menempel erat di sisinya, mencari perlindungan. Namun, justru kebersamaan itu membuat tatapan semua orang semakin menusuk. Bagi mereka, pemandangan itu adalah pengkhianatan yang ditampilkan tanpa malu.

Hati Alya serasa ditusuk sembilu ketika melihat wanita lain duduk begitu dekat dengan suaminya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh setitik, membasahi pipinya. Lelaki yang selama ini ia cintai, ia hormati, dan ia layani dengan sepenuh hati, kini duduk di hadapannya bersama perempuan lain. Luka itu terlalu dalam untuk bisa digambarkan dengan kata-kata.

“Vandra!” Mama Vany akhirnya bersuara. Suaranya serak, matanya memerah menahan air mata. “Apa benar kalau kamu sudah lama selingkuh dengan wanita itu?”

Sebelum Vandra sempat menjawab, Zara yang sejak tadi berdiri menyilangkan tangan, langsung menyambar. Bibirnya melengkung dengan senyum sinis.

“Namanya Erika, Ma. Dulu dia sangat terkenal di kampus, loh! Senior dengan gelar ‘ayam kampus’. Cantik, iya. Body semok, dada montok, itu yang bikin banyak dosen klepek-klepek.”

“A-ayam kampus?!” seru semua orang hampir bersamaan.

Zara semakin beringas. “Pas aku baru masuk kuliah, dia udah tingkat empat. Kalau nggak percaya, tanya Amara! Dia pernah lihat langsung Erika sedang di @#$ dosennya, di kampus.”

Wajah Erika memerah, separuh malu, separuh marah. Napasnya memburu, tangannya mengepal. Kenapa masa lalu yang sudah lama ingin ia kubur justru diungkap di depan banyak orang, di depan keluarga kekasihnya?

“Diam dulu, Zara. Biarkan Mas Vandra bicara,” suara Alya akhirnya terdengar. Suaranya bergetar, penuh luka, tapi juga tegas. Ia berusaha kuat meski dadanya seperti diremuk.

“Ki-ta hanya ber-te-man, Ma,” ujar Vandra tergagap, suaranya goyah. Kata-kata itu terdengar seperti dusta yang bahkan ia sendiri tak percaya.

“Tidak usah berbohong, Mas. Jawab saja jujur!” balas Alya, kali ini nadanya lebih tegas. Matanya basah, tetapi sorotnya menusuk. Ia bukan lagi Alya yang lemah lembut, melainkan istri yang hatinya terbakar pengkhianatan.

“Kita rekan kerja, Kak. Kebetulan perusahaan kita ada kerja sama,” ucap Erika pelan, suaranya parau. Ia mencoba mencari alasan, namun wajahnya jelas memperlihatkan rasa takut dan tak berdaya.

Alya tersenyum getir dan sinis, senyum yang tak pernah ditunjukkannya sebelumnya. “Kerja sama? Di hari Minggu? Di kamar hotel berdua?” Nadanya tajam. “Aku tahu betul perusahaan tempat Mas Vandra. Tidak pernah ada lembur di hari Minggu. Kalau perusahaanmu lembur di akhir pekan, Erika, ya, aneh sekali.”

Kata-kata Alya itu bagai cambuk. Semua mata menatap Erika, membuatnya semakin terpojok.

Vandra tercekat. Ia melihat perubahan besar dalam diri istrinya. Alya yang biasanya lembut, sabar, dan jarang marah kini bicara dengan nada penuh sindiran. Itu membuat Vandra semakin tersudut.

“Kerja itu cuma alasan,” celetuk Zara tiba-tiba, tanpa ampun. “Sebenarnya kalian di hotel itu buat @#$ an, kan?! Makanya Kak Vandra keramas sebelum ke luar kamar hotel!”

Ruangan mendadak hening. Semua orang menoleh dengan tatapan kaget, sementara wajah Alya semakin pucat. Tubuhnya gemetar, dan akhirnya ia tak sanggup lagi menahan tangis. Air matanya jatuh bercucuran. Bu Laila yang duduk di sampingnya segera meraih putrinya, memeluk erat tubuhnya yang rapuh. Wanita paruh baya itu ikut menangis, merasakan betapa pedihnya luka yang dialami anaknya.

Vandra dan Erika saling berpandangan. Mata Erika berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan tangis. Berkali-kali Zara mempermalukannya, menelanjangi masa lalu dan hubungan terlarang mereka tanpa ampun.

“Diam kau, Zara!” akhirnya Vandra bersuara, mencoba membela. “Sekarang Erika sudah bertaubat dan berhijrah!”

Zara tertawa keras, tawanya getir, penuh ejekan. “Taubat? Hijrah? Kalau benar, dia nggak akan tidur denganmu! Orang yang bertaubat nggak akan zina!”

“Kita tidak berzina!” teriak Vandra spontan, suaranya pecah.

***

Assalammualaikum, semua. Kali ini aku buat cerita yang serius, bukan komedi romantis. Cerita ini dulu aku buat sekitar tahun 2023, tapi baru bisa di upload kali ini. Kisah Alya dan Vandra ini banyak terjadi di masyarakat kita. Kebetulan juga salah satunya orang yang aku kenal. Kita bisa ambil pelajaran dari kisah hidup orang. Ambil sisi baiknya dan jangan tiru sisi jelek atau buruknya.

Bab 2

Wajah Alya menegang mendengar ucapan Vandra. Suara melengkingnya pecah di ruang tamu yang hening, “Maksudmu apa, Mas?”

Tatapannya menusuk, penuh tanda tanya sekaligus ketakutan yang mencabik. Vandra tercekat, bibirnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar. Dia menatap lantai, seolah mencari jawaban di sela-sela keramik.

Erika yang sejak tadi hanya menunduk, tiba-tiba melirik ke arah Vandra. Napasnya berat, namun kata-kata meluncur tanpa jeda.

“Kita sudah menikah siri.”

“APA?!” pekik semua orang serentak, membuat ruangan bergetar oleh gema keterkejutan.

Dunia Alya runtuh seketika. Tubuhnya goyah, kedua kakinya bagai melayang, tak sanggup menopang beban kenyataan. Nyawanya serasa tercabut sebagian, membuatnya sulit bernapas.

Cinta yang selama ini dia rawat dengan pengorbanan dan doa, dalam satu detik berubah menjadi bara kebencian yang tak terpadamkan. “Tega kamu, Mas!” teriak Alya dengan suara pecah, penuh luka.

Pak Lukman buru-buru meraih bahu Alya, Bu Laila mendekap tubuh putrinya erat-erat. Mereka bisa merasakan getaran sakit di tubuh Alya, seolah denyut nadi gadis itu bergetar karena hancur.

Di waktu bersamaan, Zara menerima telepon. Dia menempelkan ponsel ke telinga dengan ekspresi murka.

“Ya, ada apa?” tanyanya cepat.

Dari seberang sana, suara Amara terdengar lantang. “Bajing an kakakmu itu, Zara! Dia sudah menikah siri sama si pelakor tiga hari yang lalu, setelah digerebek warga! Aku akan suruh Mbak Alya gugat dia!”

Zara langsung berdiri. “Apa?! Tiga hari lalu?!” Suaranya nyaring, membuat semua orang menoleh.

Mama Vany masih terperangah, wajahnya pucat. “Mana buktinya kalau kalian sudah menikah siri?” tanyanya dengan nada penuh ketidakpercayaan, meski hatinya sudah goyah.

Erika merogoh ponselnya dengan tangan gemetar. Ia membuka folder rahasia yang selama ini disembunyikan. Di layar terpampang video, Vandra duduk bersila di depannya seorang penghulu, suara ijab kabul terdengar jelas. Beberapa warga menjadi saksi, wajah mereka tampak gusar.

Papa Indera menutup mulut dengan tangan, tak percaya mata dan telinganya sendiri. Mama Vany menatap nanar, tubuhnya goyah seperti hendak roboh.

Pak Lukman mengambil ponsel itu, jemarinya bergetar. Matanya panas saat menatap wajah menantunya yang sedang melafalkan janji di depan penghulu. Dia ingin melempar benda itu, tetapi Alya menahan tangannya. Dengan sisa tenaga, Alya merebut ponsel itu. Tatapannya hampa, tapi genggaman tangannya erat.

“Pa, Ma.” Zara bersuara lantang, matanya berkilat. “Mereka menikah baru tiga hari lalu! Itu pun karena digerebek warga. Kak Vandra sering datang ke rumah Erika siang hari, saat jam istirahat. Mereka ketahuan lagi @#$—an sama orang depan rumahnya yang kebetulan terlihat dari jendela. Makanya mereka dinikahkan, kalau enggak mereka bakal diarak keliling komplek!”

Semua orang terperangah. Napas Alya tercekat.

“Gila kamu, Mas!” teriak Alya, matanya merah basah. “Tiga hari yang lalu kamu bilang lembur! Kamu bilang ada pekerjaan mendesak sampai harus menginap di kantor. Nyatanya? Kamu malam pengantinan sama gundikmu itu!”

Kata-kata Alya menampar keras hati Vandra. Namun, ia tetap diam karena semua yang keluar dari mulut Alya adalah kebenaran. Malam itu ia benar-benar tidur dengan Erika, malam penuh birahi setelah ijab kabul yang diliputi rasa malu.

Alya terisak, suaranya pecah. “Padahal waktu itu Axel sakit! Anak kita demam tinggi, sampai kejang-kejang! Aku panik, sendirian di rumah, tanpa kendaraan karena mobil kamu bawa. Aku telepon, aku menangis, tapi kamu tak datang. Ternyata kamu sibuk bercumbu dengan dia!”

Pak Lukman mengepalkan tangan, nadinya menonjol. Wajahnya merah padam, ingin sekali dia menghajar menantunya. Namun, Bu Laila memeluk lengannya erat, berusaha menahannya.

“Laki-laki bajingan seperti dia pantasnya masuk penjara!” Zara berseru lantang. “Mbak, laporkan saja! Biar dia tahu rasa!”

Alya menatap layar ponsel di tangannya dengan mata membelalak. Jemarinya gemetar, napasnya memburu. Semula ia hanya ingin memastikan kebenaran ucapan Erika, tetapi ternyata layar itu menampilkan sesuatu yang lebih kejam dari sekadar bukti pernikahan siri.

Video itu berisi dirinya—suaminya—Vandra, bersama wanita itu, Erika. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Puluhan, bahkan ratusan file berjejer rapi di folder rahasia.

Satu per satu ia buka, seolah tubuhnya bergerak sendiri tanpa kendali. Dan setiap detik rekaman yang diputar, hatinya seperti dihantam palu besar. Suara tawa Vandra yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini terdengar menjijikkan ketika bercampur desah syahwat bersama wanita lain. Senyum mesra yang dulu hanya untuknya, kini ia saksikan diberikan kepada orang yang merebut rumah tangganya.

Tubuh Alya bergetar hebat, tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. “Astaghfirullah, Ya Allah, tega sekali kalian!” suaranya melengking, penuh rasa terhina. “Biadab! Rupanya sejak enam bulan lalu kalian tidur bersama, bahkan kalian merekam semua itu seakan bangga dengan dosa kalian!”

Mata Alya melebar. Napasnya terhenti. Ia menggulir layar, jantungnya serasa dicengkeram. Ada puluhan, bahkan ratusan video. Wajah Vandra dan Erika ada di dalamnya, bersentuhan, berpelukan, bercumbu, berhubungan layaknya pasangan sah.

Air mata Alya mengucur deras, seakan tidak ada habisnya. Wanita berjilbab bunga itu memegang kepalanya. Denyut sakit menyerang, kepalanya berat, tubuhnya lemah. Dia merasa seperti berada di jurang paling dalam. Cinta yang ia jaga, keluarga yang ia lindungi, semuanya hancur dalam sekejap.

Vandra terdiam. Tidak ada pembelaan. Tidak ada kalimat pembenaran. Semua bukti terpampang jelas. Setiap detik rekaman itu seperti menelanjangi harga dirinya di depan keluarga.

Erika, di sisi lain, merunduk. Wajahnya pucat pasi, tangan dingin, matanya berkaca-kaca. Namun, ia terlalu takut untuk bersuara. Setiap tatapan dari orang-orang di ruangan itu menancap seperti belati, membuatnya semakin ciut.

Alya terhuyung, hampir terjatuh, jika tidak segera dipeluk Bu Laila. “Sakit… hatiku sakit, Bu…” lirihnya di antara tangis. “Aku tidak sanggup lagi melihat ini…”

Dengan sisa tenaga, Alya mengirim seluruh video itu ke email pribadinya. Bukan karena ia ingin menyimpannya, tapi sebagai bukti kelak jika Vandra berani menyangkal. Ia tahu, setelah ini, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Perlahan Alya mengangkat kepala. Mata basah, wajah pucat, namun sorot matanya tajam penuh kebencian. Tatapannya menghujam langsung ke arah Vandra dan Erika.

Alya terus menangis. Suaranya melengking, nyaring, memecah ruangan. “Kalian kejam! Kalian bukan hanya menghancurkan rumah tanggaku, tapi juga kehormatanku! Apa salahku, Mas? Apa aku kurang baik? Kurang setia? Kurang melayani?”

Tak ada jawaban dari mulut Vandra. Dia hanya diam dan bagi Alya itu lebih menyakitkan daripada seribu pisau.

“Kalian bukan hanya merampas suamiku.” Suara Alya lirih tapi menusuk, “kalian juga merampas kehormatanku, harga diriku, bahkan masa depan anak-anakku. Aku tidak akan pernah lupa, Mas. Tidak akan pernah.”

Vandra terdiam membisu, sementara Erika menunduk semakin dalam, menahan air mata.

Suasana hening. Hanya suara isak Alya dan tangisan lirih Bu Laila yang terdengar, seolah seluruh dunia berhenti menyaksikan kehancuran seorang istri yang dikhianati.

Bab 3

Suasana ruang tamu itu semakin mencekam. Tidak ada suara selain detak jam dinding dan napas terengah Alya yang berusaha keras menahan tangis.

Vandra menunduk, tangannya saling menggenggam erat, keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Erika duduk kaku di sebelahnya, wajah pucatnya semakin menegang karena tatapan tajam dari semua orang.

Papa Indera mencondongkan tubuhnya, suara beratnya keluar pelan tapi mengandung amarah yang menekan.

“Vandra ....” Papa Indera menatap tajam putra sulungnya itu. “Sejak kapan kau mengkhianati rumah tanggamu? Sejak kapan kau berani menjilat ludah sendiri setelah berjanji di hadapan Tuhan akan menjaga Alya?”

Vandra tercekat. Bibirnya bergetar, tapi suara seolah tertelan.

Pak Lukman, mertua sekaligus sosok yang dulu sangat dihormatinya, menghentak meja dengan telapak tangan. “Jawab, Vandra! Jangan diam seperti pengecut! Kau tega mempermainkan anakku, hah? Enam bulan lalu dia baru melahirkan, tubuhnya masih lemah, tapi kau sibuk bercinta dengan perempuan ini!” Jari telunjuknya menuding Erika dengan penuh kebencian.

Vandra mana berani bilang kalau dirinya dan Erika sudah selingkuh sekitar sembilan bulan yang lalu. Lebih tepatnya setelah bertemu di acara malam tahun baru. Saat itu Alya sedang hamil besar.

Erika sontak terisak. “Pak, aku … aku—”

“Diam!” bentak Bu Laila, mata berkaca-kaca, wajahnya penuh luka. “Jangan sekali pun kau panggil aku dengan nada memelas itu. Gara-gara kau, rumah tangga anakku hancur!”

Mama Vany ikut bersuara, tangisnya pecah. “Vandra, apa salah Mama membesarkanmu? Apa kurang doa kami? Apa kurang kasih sayang kami, sampai kau tega mempermalukan keluarga besar di depan orang banyak?”

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk dada Vandra. Ia menunduk lebih dalam, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, keheningan yang menekan memaksanya untuk berbicara.

“A-ku … aku khilaf, Pa … Ma … aku tidak bermaksud menghancurkan rumah tangga ini.”

Alya menoleh cepat, matanya basah tapi berkilat dengan luka mendalam. “Tidak bermaksud? Mas, hubungan enam bulan penuh perselingkuhan bukan lagi khilaf. Itu pilihan!”

Pak Lukman berdiri, tubuhnya bergetar menahan emosi. “Aku malu, Vandra! Aku malu punya menantu laki-laki seperti kau! Dulu aku serahkan Alya padamu karena kupercaya kau bisa jadi imam yang baik. "Tapi, ternyata kau hanya pria rendah yang lebih memilih nafsu daripada tanggung jawab!”

Erika mencoba membela, suaranya parau. “Jangan salahkan Mas Vandra sepenuhnya. Aku hanya ingin menemaninya. Dia sering merasa tertekan.”

“Ter-te-kan?!” Papa Indera membentak keras hingga Erika tersentak. “Kalau kau lelaki sejati, Vandra, kau akan cari solusi, bukan pelarian! Dan kau, Erika ....” Mata Papa Indera menyipit penuh jijik. “Apa kau bangga merusak rumah tangga orang lain? Kau tidak tahu malu duduk di sini setelah semua bukti terungkap?”

Zara, yang sejak tadi menahan diri, menyambar dengan tawa getir. “Tentu saja bangga, Pa! Lihat saja, masih berani nempel di samping Kak Vandra, seakan dia yang lebih pantas dibandingkan dengan Mbak Alya. Dasar pelakor murahan!”

Disindir seperti itu, Erika langsung menggeser sedikit menjauh dari Vandra. Dia merasa tertekan berada di sana.

“Zara, cukup!” Mama Vany menahan, tetapi suaranya goyah. “Kemarahanmu benar, tapi biarkan ayahnya yang bicara.”

Bu Laila kembali menatap Vandra, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku tahu Alya bukan istri sempurna. Tapi dia berusaha, Nak. Dia rela berhenti dari pekerjaannya yang mapan demi posisi kamu biar bisa bekerja di perusahaan, demi menjaga rumah tangga kalian. Dia bahkan rela tubuhnya remuk melahirkan cucuku demi keluarga ini. Dan kau balas dengan apa? Dengan tidur bersama perempuan lain?”

Alya terisak, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah tanpa bisa lagi ditahan. Mereka yang mendengar ikut merasa tersayat hatinya.

Vandra yang melihat itu ingin menyentuh bahu Alya. Dia juga ingin berkata maaf, tetapi tatapan Pak Lukman yang seperti api menahannya.

“Jangan berani kau sentuh Alya!” bentak mertuanya dengan suara bergetar. “Mulai detik ini, aku tidak akan membiarkanmu menyakiti anakku lagi!”

Keheningan jatuh kembali. Suara tangisan Alya memenuhi ruangan, bercampur dengan isak Bu Laila dan napas berat Papa Indera. Vandra duduk mematung, hatinya dirobek-robek rasa bersalah, tetapi bibirnya tetap kelu.

Erika hanya bisa tertunduk malu, kedua tangannya meremas rok panjangnya. Ia sadar, kehadirannya hanya memperkeruh luka. Akan tetapi, ia tak bisa pergi, karena tatapan Vandra seolah memohon dirinya untuk tetap di sana.

Pak Lukman menatap keduanya dengan pandangan terakhir, tegas, dan penuh kebencian. “Kau pikir kami akan diam saja? Tidak, Vandra. Mulai malam ini, kau akan menghadapi konsekuensi dari semua perbuatanmu. Dan kau, Erika, jangan harap hidupmu tenang setelah menghancurkan keluarga kami.”

Suasana semakin menegang. Ruang tamu itu terasa sesak, udara seperti berhenti berputar. Tangisan Alya semakin keras, mengguncang hati siapa pun yang mendengarnya. Bu Laila tak henti memeluk putrinya, sementara Pak Lukman berdiri kaku, wajahnya penuh bara amarah.

"Semua ini sudah jadi takdir kita," kata Vandra, seakan semua ini memang sudah rencana dari Tuhan.

"Benar. Kita bisa apa," lanjut Erika lirih.

Vandra menunduk, tubuhnya bergetar hebat. Erika meremas tangannya sendiri, ketakutan. Namun, masih duduk di sisi Vandra seakan mencoba bertahan di tengah amukkan badai.

Alya tiba-tiba bangkit dari kursi. Matanya merah, wajah penuh air mata, tetapi sorotnya menyala dengan luka dan dendam yang tak terbendung. Suaranya bergetar, namun penuh tenaga.

“Cukup! Aku sudah dengar semua alasan, semua pembelaan, semua kebohongan kalian!” Alya menatap Vandra dan Erika bergantian. “Hari ini, aku tidak akan minta lagi alasan atau maaf. Karena maaf darimu, Vandra, sudah tak berarti apa-apa.”

Vandra mencoba berdiri, tetapi Pak Lukman menahan dengan sorot mata yang membuatnya kembali terduduk.

Alya menatap suaminya lekat-lekat, setiap kata keluar seperti petir yang membelah dada.

“Mas Vandra, demi air mata yang sudah aku habiskan, demi sakit yang aku tanggung, demi luka batin yang tidak akan pernah sembuh. Aku berdoa semoga hidupmu bersama wanita ini tidak akan pernah tenang sampai kalian mati!”

Suara isak tertahan terdengar dari Mama Vany, sementara Papa Indera menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Alya melanjutkan, suaranya meninggi, tubuhnya gemetar.

“Burungmu itu—yang kau gunakan untuk berkhianat—aku doakan lumpuh! Tidak akan pernah lagi bisa kau gunakan untuk memuaskan siapa pun. Kau tidak akan pernah bisa menurunkan keturunan lain selain dari aku! Cuma anak-anakku yang menjadi darah dagingmu di dunia ini!”

“ALYA!” seru Mama Vany, terkejut oleh doa kutukan sang menantu untuk putranya.

Namun, Alya tak berhenti. Ia menoleh pada Erika, tatapannya begitu menusuk, seperti belati menancap di dada.

“Dan kau, Erika! Semoga seluruh kebahagiaanmu lenyap. Semoga kau merasakan bagaimana rasanya dihina, dikhianati, ditinggalkan, dan disia-siakan oleh lelaki yang kau perjuangkan dengan cara kotor. Aku doakan seluruh hidupmu penuh air mata, penuh kehinaan, penuh kesakitan, dan penuh penyesalan!”

Erika langsung menangis tersedu, tubuhnya gemetar hebat. “Mbak Alya, jangan begitu. Aku ... aku—”

“Diam!” Alya menjerit, suaranya pecah tapi kuat. “Kau sudah hancurkan rumahku! Kau sudah rampas kebahagiaanku! Kau sudah buatku jadi wanita yang bahkan tak bisa menatap wajah anak-anak dengan utuh karena dikhianati ayahnya! Semoga kau tidak pernah merasakan cinta sejati, semoga hidupmu penuh neraka sebelum kau masuk ke dalam tanah!”

Suara doa kutukan itu menggema di seluruh ruangan, membuat bulu kuduk semua orang berdiri. Bu Laila menangis keras, sementara Pak Lukman mengepalkan tinju, menahan diri untuk tidak menghantam menantunya.

Vandra akhirnya menunduk lebih dalam, tangisnya pecah. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya berguncang. Erika pun terisak, wajahnya pucat pasi, napas terengah-engah seperti orang kehabisan oksigen.

Alya mengusap air matanya kasar, lalu berkata dengan nada penuh kepastian.

“Ingat baik-baik, Vandra. Doa istri yang tersakiti tidak pernah tertolak oleh langit. Dan kau, Erika! Ingat wajahku ini baik-baik, karena setiap kali kau mencoba tersenyum, wajahku akan menghantui mu. Semoga kalian berdua menyesali perbuatan ini sampai mati!”

Setelah itu, Alya roboh ke pelukan Bu Laila. Tangisnya pecah, sementara seisi ruangan membisu. Hanya ada suara isakan dan desahan berat dari setiap dada yang tercekat.

Papa Indera akhirnya bangkit, wajahnya dingin tapi suaranya penuh keputusan.

“Mulai malam ini, rumah ini bukan lagi rumahmu, Vandra. Pergi. Bawa perempuan itu dan jangan pernah kembali sebelum Tuhan sendiri menunjukkan keajaiban bahwa kau layak dimaafkan.”

Vandra gemetar, terhuyung, tak sanggup menatap siapa pun. Erika memegangi lengannya, tapi tatapan kebencian dari semua orang membuat langkah mereka seperti berjalan ke neraka.

Di balik punggung mereka, doa Alya masih menggema, menjadi kutukan yang seakan menempel ke jiwa.

“Tidak ada bahagia, tidak ada keturunan, dan tidak ada cinta sejati. Hanya ada penderitaan dan penyesalan sampai ajal menjemput.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!