Kiandra bersiap untuk wawancara kerjanya. Untung saja dia bisa dengan cepat mendapatkan pekerjaan baru. Sudah tiga hari sejak dia kembali ke Jakarta. Hatinya masih terasa berat. Rasa sakit ini memang tidak akan hilang hanya dalam beberapa hari. Suara ketukan pintu terdengar tiga kali.
"Kak..." Kiandra menoleh ke arah Anaya yang berdiri di ambang pintu.
"Ada apa?" tanyanya tanpa emosi.
"A-aku... aku mau minta maaf. Aku tahu kakak belum bisa memaafkan aku. Maaf karena aku salah, maaf karena aku jatuh cinta. Aku sudah coba menahan perasaan ini tapi aku tetap jatuh hati sama Aiden. Kak Kia, maaf banget," kata Anaya dengan suara bergetar.
Kiandra menghela napas panjang. "Bagus kamu sadar kalau aku belum bisa terima permintaan maafmu, Ana. Kamu tahu kan aku sama Aiden sudah lima tahun bersama. Mau gimana lagi? Aku cuma kecewa sama masa depanmu. Kamu baru tujuh belas tahun."
"Setelah aku melahirkan, aku akan balik sekolah. Aku masih akan wujudin cita-cita dan janji aku sama kakak," jawab Anaya.
"Aku tunggu," balas Kiandra singkat sebelum berlalu meninggalkan adiknya.
Rasanya sakit sekali. Semua kejadian ini belum sepenuhnya dapat diterima oleh pikirannya. Dia harus tetap stabil sekarang karena ada wawancara kerja. Wawancara ini harus berhasil. Dia punya tabungan, tapi tidak cukup untuk tidak bekerja. Mereka bukan keluarga kaya. Posisi yang dilamar adalah Asisten Sekretaris di sebuah perusahaan. Semoga Tuhan memberkatinya agar bisa lolos.
Setelah satu jam perjalanan, dia tiba di lokasi "Selamat pagi, Nona. Ada janji hari ini?" tanya satpam.
"Saya pelamar untuk wawancara hari ini," jawab Kiandra.
"Silakan masuk." Kiandra mengangguk dan masuk ke dalam gedung. Perusahaan ini jauh lebih besar dari tempat kerjanya yang dulu.
"Apakah Anda Kiandra Pravira?" tanya seorang wanita berusia empat puluhan.
"Ya, benar," jawab Kiandra.
"Tepat waktu sekali, Nona Kia. Saya akan antar ke ruangan Tuan Direktur. Mari" Kiandra mengangguk. "Oh ya, saya Meli Mandira. Panggil saja Bu Meli."
"Baik, Bu Meli," jawab Kiandra sambil tersenyum.
"Kami senang sekali ada yang melamar hari ini, apalagi yang akan wawancara langsung adalah CEO-nya," kata Bu Meli sambil berjalan.
Kiandra terhenti. "Hah? CEO? Maksudnya, pemilik perusahaan ini?"
Meli mengangguk. "Awalnya saya juga heran, sepertinya Tuan Axton ingin memastikan sendiri apakah pelamar benar-benar layak diterima. Tapi tenang saja, Tuan Axton orangnya baik. Lakukan yang terbaik."
Kiandra semakin gugup. Jangan sampai dia blank nanti. Ya Tuhan! Tapi seperti kata Bu Meli, dia akan melakukan yang terbaik. Kiandra, jangan panik. Kamu butuh pekerjaan ini.
Ketika mereka sampai di ruang rapat, jantung Kiandra berdetak semakin kencang. Dia mencoba menenangkan diri dengan memikirkan masa depannya. Bu Meli memintanya menunggu sebentar untuk memberitahu CEO bahwa dia sudah tiba.
"Silakan masuk, Nona Kia." kiandra menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Dia melihat seorang pria duduk di ujung ruangan, membelakanginya.
"Selamat pagi, Nona Kiandra. Saya Axton Velasco. Pemilik Velasco Group, Silakan duduk." Astaga, tampan sekali! Kia, kamu sedang patah hati! Patah hati! Kia duduk di sofa samping.
"Berdasarkan CV Anda, Anda melamar sebagai Asisten Sekretaris, benar?" tanyanya.
"Benar, Tuan," jawab Kiandra formal.
"Tapi posisi itu sudah tidak tersedia lagi." Kiandra mengernyitkan dahi.
"Kenapa, Tuan? Tapi dalam email disebutkan bahwa saya diminta datang untuk wawancara. Mengapa sekarang tidak ada lagi?" tanyanya.
"Ya, beberapa hari yang lalu. Tapi saya punya tawaran lain untuk Anda, Nona Kiandra." Dia menyimpan map berisi CV Kiandra dan menatapnya.
"Apa itu, Tuan?"
"Saya butuh babysitter untuk anak saya. Bisakah Anda melakukannya?" wajahnya serius.
"Tunggu dulu! Saya melamar sebagai Asisten Sekretaris, bukan babysitter! Kalau memang tidak ada lowongan, terima kasih sudah mengundang saya ke sini, Tuan! Saya pamit!" Kiandra mengambil tas selempangnya dan berbalik. Babysitter?! Tawaran macam apa ini!
"Saya akan memberi Anda dua puluh juta rupiah sebulan. Bebas pajak. Tinggal di tempat kerja dan libur satu hari seminggu." Kiandra terhenti. Apa dia tidak salah dengar? Dua puluh juta rupiah? Sebulan?!
"Jangan-jangan ini penipuan, Tuan!"
Axton tersenyum. "Saya pemilik perusahaan ini. Dua puluh juta sebulan bukan masalah besar bagi saya."
"Jadi, saya hanya mengasuh anak Tuan? Terus gajinya segitu?" Kiandra ingin memastikan.
"Ya. Kalau mau jumlah yang lebih tinggi, saya--"
"Saya setuju dengan jumlah itu. Saya terima!" Keputusan yang tepat, kan?
"Bagus. Anda bisa mulai besok. Ini, tanda tangani. Ini kontrak kerjanya." Kiandra tidak membaca dan langsung menandatangani.
"Terima kasih sudah menerima saya, Tuan. Saya akan bekerja keras mulai besok."
Axton tersenyum. "Anda harus siap sebelum jam sembilan pagi besok. Bawa barang-barang penting saja. Saya akan suruh sopir pribadi saya menjemput."
"Baik, Tuan."
"Anda boleh pergi sekarang." Kiandra mengangguk dan keluar dari ruang rapat.
Selama di taksi, dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aneh sekali. Dari Asisten Sekretaris menjadi babysitter? Tapi tidak apa-apa. Tinggal di tempat kerja dan bebas pajak. Mengasuh anak juga mudah. Dia sudah terbiasa karena jarak umur yang jauh dengan adik-adiknya. Melihat penampilan Tuan Velasco, tidak cocok Pria tampan seperti dia memiliki anak. Tapi Ya sudahlah, orang kaya bisa saja punya anak.
Kiandra membayar ongkos taksi dan turun. Akhirnya dia bisa keluar dari rumah. Untung pekerjaannya mengharuskan tinggal di tempat. Otaknya bisa beristirahat dari masalah-masalah di rumah.
"Sudah pulang, Nak. Bagaimana? Lolos?" Kiandra tidak berencana memberitahu bahwa pekerjaannya sebagai babysitter.
"Lolos, Yah. Besok sudah mulai kerja. Kia tinggal di tempat kerja. Lebih baik begitu, Kia jadi bisa berpikir jernih."
Darius tersenyum. "Yang penting kamu bahagia di mana pun itu. Ayo masuk ke dalam." Ayahnya merangkul Kiandra dan mereka berdua masuk ke rumah.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Ayah membantu Kiandra membawa barang-barangnya ke mobil yang akan menjemput. Darius memasukkan koper-koper itu ke dalam bagasi dengan hati-hati. Kiandra memeluk ayahnya erat sebelum masuk ke dalam mobil. Dia juga berpamitan kepada seluruh penghuni rumah. Meskipun hatinya masih berat, dia tahu ini adalah keputusan yang tepat. Melalui kaca spion, Kiandra menatap sosok ayahnya yang semakin mengecil. Semua ini demi keluarga.
"Pak sopir, di mana alamat rumah Tuan Axton?" tanya Kiandra sopan. Kemarin tidak ada yang memberitahu lokasi pastinya.
"Di Pondok Indah, Nona," jawab sopir tersebut. Kiandra mengangguk pelan. Cukup jauh dari rumahnya di Jakarta Timur.
Sepanjang perjalanan, Kiandra hanya terdiam. Butuh waktu sekitar dua setengah jam untuk mencapai tujuan karena kemacetan Jakarta yang padat. Ketika mobil berhenti di depan gerbang megah, Kiandra terpana. Mansion yang menjulang di hadapannya tampak sangat mewah dan elegan. Gerbang otomatis terbuka dan mobil melaju masuk ke area yang luas.
"Terima kasih, Pak," ucap Kiandra ketika sopir membukakan pintu untuknya.
"Mari, Nona, ke sini," ajak sopir sambil menunjukkan pintu utama mansion yang megah. Kiandra mengikuti dengan kagum. Dia pikir rumahnya sudah cukup besar, ternyata mansion ini seperempat kali lebih besar.
"Kamu Kiandra?" tanya seorang wanita paruh baya berusia sekitar 50-an yang menyambut di pintu utama.
"Benar, Bu," jawab Kiandra hormat.
"Saya Widya, kepala pelayan di mansion ini. Panggil saja Bibi Widya. Pak Herman, tolong bawakan barang-barang Nona Kiandra." Pak Herman mengangguk dan segera mengurus koper-koper Kiandra.
"Ikut saya," perintah Bibi Widya lembut.
Bibi Widya mengajak Kiandra berkeliling mansion yang luar biasa besar itu. Dia menunjukkan berbagai ruangan, termasuk kamar-kamar para pelayan. Kiandra merasa bisa tersesat jika tidak menghafalkan setiap petunjuk arah yang diberikan. Untunglah dia memiliki ingatan yang baik untuk hal-hal seperti ini. Tujuan terakhir mereka adalah kamar anak yang akan diasuhnya.
"Sepertinya kamu tidak gugup. Biasanya pengasuh yang merawat putra Tuan Axton tidak bertahan lebih dari seminggu. Yang paling lama hanya tiga hari. Kamu juga yang termuda yang melamar jadi pengasuh Tuan Muda," ujar Bibi Widya sambil berjalan. Aneh sekali. Berarti anak itu nakal sekali?
"Sudah saya katakan kemarin, saya akan bekerja dengan sebaik-baiknya. Ini demi keluarga saya, Bi," jawab Kiandra mantap. Bibi Widya mengangguk dan membuka pintu di hadapan mereka.
"Bukankah sudah saya bilang kalian harus mengetuk sebelum masuk?! Mau apa kamu, Nenek Jelek?!" Mata Kiandra membulat mendengar kata-kata kasar itu. Anak ini sangat tidak sopan.
"Maaf, Tuan Muda. Saya hanya ingin memberitahu bahwa ada pengasuh baru untukmu," kata Bibi Widya sabar. Anak itu menoleh ke arah Kiandra. Wajahnya mirip sekali dengan Tuan Axton. Kiandra tersenyum ramah padanya.
"Penyihir itu? Ha! Aku tidak butuh! Aku bisa merawat diriku sendiri! Pergi sana!" Benar kah yang Kiandra dengar? Anak itu memanggilnya penyihir?!
"Tunggu dulu, Dek! Mulutmu itu tidak ada saringannya ya! Kami lebih tua darimu! Hormati kami," tegas Kiandra. Masih kecil tapi sudah kasar sekali. Pantas saja Tuan Axton memberikan gaji besar karena tidak ada pengasuh yang tahan menghadapi tingkahnya.
"Kiandra, tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa dengan sifat Tuan Muda seperti ini," kata Bibi Widya sambil menarik lengan Kiandra keluar.
"Lihat kan! Mereka sudah terbiasa. Aku tidak mau kamu di sini, keluar!" teriak anak itu sambil mendorong mereka keluar.
"Dasar tidak sopan!" gerutu Kiandra kesal.
"Bagaimana? Mau melanjutkan? Saya bisa menelepon Tuan Axton jika kamu ingin mundur," tawar Bibi Widya.
"Tidak, Bi! Saya belum mulai bekerja. Kalau yang lain mudah menyerah, saya tidak!" Bibi Widya tersenyum melihat tekad Kiandra.
"Semoga berhasil, Nak. Sekarang kamu harus menyiapkan makan siang untuk Tuan Muda. Ayo ke dapur." Kiandra mengikuti Bibi Widya ke dapur yang modern dan lengkap.
Setelah dibantu menyiapkan makanan, Kiandra langsung menuju kamar anak itu dengan membawa nampan berisi makan siang.
"Kenapa kamu masih di sini, Penyihir Jelek?" tanya anak itu sinis.
Kiandra meletakkan nampan di meja kecil dengan tenang. "Makan siangmu sudah siap. Makan sekarang sebelum dingin," katanya sambil duduk di sofa pojok.
"Aku tidak mau makan itu! Keluar. Penyihir Jelek!" bentaknya.
Kiandra tetap tersenyum sabar. "Pertama, aku punya nama. Panggil aku Kak Kiandra, dan aku bukan penyihir."
Anak itu menyeringai. "Aku tidak peduli. Kakak Kiandra si Penyihir Jelek."
Kiandra menggeleng pelan. "Baiklah. Aku terima panggilan itu. Sekarang makan. Aku tidak akan pergi dari sini sampai makanan itu habis. Makan," katanya dengan nada tegas.
"Sudah kubilang, AKU. TIDAK. MAU! Kamu tuli ya?!" teriaknya keras.
"Aku tidak tuli. Makanya makan sekarang! Jangan keras kepala!" Kiandra meninggikan suaranya juga.
Anak itu bangkit dari tempat tidur dan mengambil nampan makanan. Dia berjalan mendekat dan menumpahkan seluruh isinya ke arah Kiandra.
"Sudah kubilang, aku tidak mau! Kakak Kiandra si Penyihir Jelek. Keluar sekarang." Gaji besar ini tidak boleh sia-sia, jadi Kiandra tidak boleh menyerah. Kesabaran adalah kuncinya.
"Makanannya terbuang percuma. Dasar boros!" sebelum anak itu sempat menjauh, Kiandra menyiram balik dengan air minum dari meja. Rasakan!
"Apa-apaan! Kenapa kamu siram aku?!" teriaknya marah.
"Ups! Maaf ya. Tanganku licin. Mandi sana, Tuan Muda," kata Kiandra santai sambil mengambil nampan dan keluar dari kamar.
"Aduh! Nona baru, Tuan Muda ngamuk lagi ya?" tanya salah satu pelayan yang menghampiri Kiandra.
"Namaku Kiandra. Iya, dia memang suka berkelahi rupanya," jawab Kiandra sambil tersenyum.
"Oh maaf, Nona Kiandra. Saya Helena. Senang berkenalan," kata pelayan itu sambil menjabat tangan Kiandra.
"Senang juga berkenalan denganmu, Helena."
"Biar saya yang bersihkan ini, Nona. Kamu mandi dulu, bajunya sudah kotor. Saya yang akan bersihkan kamarnya juga," tawar Helena baik hati.
"Terima kasih, Helena," ucap Kiandra tulus.
Kiandra menuju kamar yang telah disediakan untuknya. Luar biasa! Kamarnya bahkan memiliki kamar mandi pribadi yang mewah. Dia masuk ke kamar mandi untuk mandi. Sepertinya dia membutuhkan kesabaran yang sangat panjang untuk menghadapi anak yang penuh amarah itu.
Sudah satu minggu berlalu sejak Kiandra mulai bekerja di sini. Sungguh pengalaman yang berbeda mengurus anak yang memiliki temperamen buruk seperti ini. Para pelayan di rumah ini bahkan kagum padanya karena dia berhasil bertahan selama seminggu. Memang sulit sekali berurusan dengan bocah itu karena tempramennya yang buruk. Selalu cemberut setiap kali melihat Kiandra. Entah apa masalahnya, yang pasti Kiandra hanya melakukan pekerjaannya.
"Tuan Axton akan pulang untuk makan malam nanti. Jadi saya perlu memasak lebih awal. Tolong urus Tuan Muda ya." kata Helena.
"Baik, saya akan ke kamarnya sekarang." Bahkan saat menaiki tangga, Kiandra sudah terengah-engah. Memang tinggi sekali rumah ini. Ya sudahlah, hampir berusia dua puluh enam tahun juga dia, wajar saja. Kiandra mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar bocah itu. Sepertinya sedang tidur.
"Tuan Muda, kamu perlu mandi. Daddymu akan segera pulang." Tidak ada jawaban dari si bocah.
Kiandra berjalan menuju tempat tidurnya dan kakinya terpeleset di lantai. Tepat berlutut dan hidungnya menabrak meja kecil. Ternyata ada bedak bayi yang berserakan di lantai.
"Sakit ya, Kiandra jelek?! Hahahaha! Siapkan bajuku, aku mau mandi sekarang." Sepertinya bibirnya pecah. Hidungnya juga masih sakit. Dasar anak menyebalkan!
Kiandra pergi ke lemari pakaiannya untuk mengambil baju. Dia meletakkan pakaian si bocah di atas tempat tidur. Kemudian membersihkan bedak bayi yang berserakan di lantai. Takut ada orang lain yang terpeleset juga. Tiba-tiba dia merasakan air dingin disiram ke tubuhnya. Dia melihat si bocah tertawa.
"Kamu kelihatan berantakan, Kiandra jelek! Hahahaha!" Menyebalkan sekali! Tsk!
Setelah membantu si bocah berpakaian dan merapikannya, mereka langsung keluar dari kamar. Kiandra dan Helena saling bertatapan. Kiandra hanya memberikan isyarat okay. Mereka turun ke ruang makan. Kiandra meminta si bocah duduk terlebih dahulu. Dia perlu membersihkan dirinya juga. Kiandra bilang pada Helena untuk menjaga si bocah dulu selagi dia tidak ada. Helena mengatakan Tuan Axton akan segera tiba.
Kiandra mengeluarkan ingus dengan tisu. Tsk! Ada darahnya! Menyebalkan! Mungkin tulang hidungnya patah! Dia mengoleskan salep pada bibir yang pecah. Kiandra hanya mengganti pakaian sebelum keluar dari kamarnya. Dia berdiri di samping Helena.
Pintu utama mansion terbuka. Selama seminggu di sini, baru kali ini Kiandra melihat lagi Tuan Axton. Memang orang yang sibuk sekali. Sekarang dia mengerti mengapa anaknya berperilaku seperti itu.
"Selamat malam, Tuan Axton," sapa Bibi Widya.
"Kalian semua boleh pergi. Kecuali kamu, Kiandra." Mengapa dia yang harus tinggal? Tsk!
Mereka semua meninggalkan ruang makan hingga hanya Kiandra yang tersisa berdiri di samping.
"Bagaimana pekerjaanmu di sini, Kiandra?" Dia duduk berhadapan dengan anak nakalnya. Kiandra juga melihat si bocah menatapnya dengan tatapan buruk. Ada masalah apa lagi sekarang?
"Baik-baik saja, Tuan. Saya akan jujur, kelakuan anak Anda sangat buruk." jawab Kiandra dengan terus terang.
"Begitu ya. Apakah dia yang membuat luka di bibirmu?" Tatapan si bocah semakin buruk pada Kiandra.
"Ya, tapi tidak apa-apa Tuan. Saya bisa menanganinya."
"Pembohong! Kiandra jelek!" Kiandra terkejut mendengar teriakan si bocah.
"Kenric! Hentikan. Jangan kasar. Kita sedang di depan makanan!" tegur Daddynya dengan penuh wibawa.
"Kalian semua sama saja! Nenek benar, kamu bukan Daddy yang baik! Pergi ke neraka!" Sungguh intens! Si bocah nakal bahkan berjalan keluar dengan marah. Tuan Axton hendak bangkit untuk menyusulnya tapi Kiandra mencegahnya.
"Biar saya saja, Tuan." Kiandra menyusul si bocah. Ternyata dia mengunci pintu kamarnya.
"Buka pintunya, Tuan Muda. Jangan seperti itu di depan Daddy-mu." Kiandra melihat Helena yang menyusulnya.
"Ini kunci pintunya." Helena pergi setelah memberikan kunci pada Kiandra.
"Tinggalkan aku sendiri!" Kiandra membuka pintu dengan kunci. Dia menghindar dari sandal yang terbang saat membuka pintu. "Kubilang tinggalkan aku sendiri! Kamu bodoh sekali, Kiandra jelek! Pergi ke neraka! Kalian semua!" Kiandra mendekat dan mencegahnya melempar sepasang sandal lainnya.
"Sudah cukup! Jangan seperti itu, Tuan Muda. Itu bukan perilaku yang baik!" Si bocah menggerak-gerakkan tangannya untuk melepaskan genggaman Kiandra.
"Jangan ikut campur! Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu hanya pengasuh bodoh!" teriaknya.
"Ya, kamu benar! Tapi saya masih lebih tua darimu! Jadi jangan bersikap tidak sopan padaku! Kalau pada Daddy-mu kamu bisa berbuat seperti itu, tapi pada saya tidak bisa! Tunjukkan rasa hormat, anak kecil! Kamu punya segalanya tapi tidak punya adab!" Kiandra benar-benar marah sekarang. Dia tahu ini masih anak kecil. Tapi kesabarannya sudah habis.
"Jangan mengaturku! Kamu bukan Mommy-ku Kalau dia ada di sini, aku tidak akan menderita seperti ini! Aku tidak akan berada dalam asuhan Daddy yang tidak berguna! Jadi kalian semua tidak layak mendapat hormatku! Keluar dari sini!" Kiandra hanya memejamkan mata. Dia butuh kesabaran yang panjang.
"Apakah dia marah lagi?" Kiandra terkejut karena ternyata Tuan Axton sudah ada di sana saat dia keluar dari kamar anaknya.
"Anak Anda sangat marah pada dunia, Tuan. Jangan masuk dulu. Dia butuh waktu untuk sendiri. Bisa-bisa dia mengatakan hal-hal yang tidak baik pada Anda lagi." Axton bersandar di samping pintu.
"Dia marah padaku. Jadi untukmu, jangan menyerah padanya. Kamu satu-satunya yang bertahan dengannya selama seminggu. Sebagai atasanmu, pertahankan kerja yang baik." Dia berbalik dan pergi.
Dia tampan. Eh tunggu! Apa yang sedang dipikirkan Kiandra?!
"Baru dipuji sedikit sudah berdebar-debar? Baru seminggu lebih pisah dengan mantan. Hapus. Hapus. Dia itu bosmu, Kiandra," gumamnya.
Kiandra langsung menuju kamarnya. Hari yang panjang dan melelahkan. Banyak yang terjadi. Dugaannya benar. Bocah itu menyimpan dendam pada Daddy-nya. Rasanya dia mencari perhatian. Dia butuh itu, karena Daddy-nya orang yang sangat sibuk. Mungkin si bocah tidak merasakannya.
Kiandra menerima pesan dari ayahnya.
Ayahnya hanya menanyakan kabar. Katanya jangan terlalu mengkhawatirkan mereka di sana. Mereka baik-baik saja. Selama seminggu di sini, beban perasaan Kiandra mulai berkurang. Kadang dia bahkan tidak memikirkan bahwa dia telah dibohongi oleh mantan pacarnya. Stres di sini membantu agar dia tidak memikirkan mereka. Semoga semuanya kembali normal. Tidak ada lagi rasa sakit. Dia ingin menyembuhkan dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!