**Aurelia Valenza** berusia 22 tahun, seorang gadis cantik yang selalu tampil bak putri dari dunia dongeng. Dengan gaun-gaun indah yang membalut tubuh semampainya, senyum lembut yang selalu merekah di bibir merahnya, serta suara lembut yang mampu menenangkan siapa pun yang mendengarnya, Aurelia dikenal sebagai gadis manja nan baik hati.
Semua orang yang mengenalnya menganggap Aurelia hanyalah bunga indah keluarga Valenza, pewaris tunggal kekayaan sang ayah. Tidak ada yang tahu, di balik kelembutan dan sikap manja itu, Aurelia menyimpan sisi gelap: kejam, dingin, dan penuh perhitungan. Sisi yang tak pernah diperlihatkannya, bahkan kepada keluarganya sendiri.
Ayahnya, **Alessandro Valenza** (50 tahun), seorang pengusaha sukses yang dikenal bijak, sebenarnya menyayangi putri semata wayangnya. Namun, kasih sayangnya kerap terselimuti oleh bisikan manis dari istri keduanya, **Marcella Duvarra** (45 tahun). Marcella adalah wanita licik yang penuh ambisi. Ia masuk ke keluarga Valenza bukan karena cinta, melainkan karena kekayaan Alessandro.
Marcella memiliki seorang putra dari hubungan gelapnya sebelum menikah dengan Alessandro, yaitu **Dante Duvarra** (24 tahun). Sejak masuk ke keluarga Valenza, Dante selalu diperlakukan layaknya anak kandung oleh Alessandro. Namun, di balik sikap ramahnya, Dante menyimpan rasa iri dan benci terhadap Aurelia.
Selain itu, Marcella dan Alessandro dikaruniai seorang anak perempuan dari pernikahan mereka: **Bianca Valenza** (20 tahun). Bianca mewarisi sifat licik sang ibu, manja, dan penuh kecemburuan terhadap Aurelia. Ia sering menyebarkan fitnah, membuat seolah Aurelia adalah gadis lemah dan tidak mampu apa pun tanpa bantuan keluarga.
Kenyataannya, Aurelia jauh lebih kuat daripada yang mereka bayangkan. Ia hanya memilih untuk menyembunyikan taringnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sisi lain dunia, ada seorang pria yang namanya membuat musuh gemetar hanya dengan mendengarnya. **Leonardo Alvarone** (28 tahun), mafia nomor satu di dunia. Ia adalah pemimpin keluarga Alvarone, sebuah organisasi gelap yang membentang dari Eropa hingga Asia. Pria tinggi dengan sorot mata tajam itu hidup dalam dunia darah, pengkhianatan, dan kekuasaan.
Berbeda dengan Aurelia yang menutupi sisi kelamnya, Leonardo terkenal justru karena kekejamannya. Ia tak pernah ragu menarik pelatuk, menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Baginya, cinta hanyalah ilusi, dan kelembutan adalah kelemahan.
Namun, takdir kadang memilih jalan yang aneh. Aurelia dan Leonardo, dua dunia berbeda, harus disatukan lewat sebuah ikatan perjodohan yang diatur oleh kakek mereka masing-masing.
Hari itu, di rumah besar keluarga Valenza, pesta ulang tahun Aurelia yang ke-22 diadakan dengan megah. Balai megah yang penuh lampu kristal berkilauan menjadi saksi, bagaimana Aurelia tampil anggun dengan gaun putih panjang, rambut hitamnya terurai lembut, dan tatapan matanya penuh kehangatan.
“Selamat ulang tahun, Aurelia,” ucap Alessandro sambil tersenyum hangat, menyodorkan hadiah berupa kalung berlian.
Aurelia menerima dengan senyum lembut. “Grazie, Papa.” Suaranya terdengar lembut, penuh kasih sayang.
Namun, dari kejauhan, Marcella menatap dengan tatapan dingin, bibirnya melengkung sinis. “Tsk, gadis itu selalu jadi pusat perhatian.”
Bianca yang berdiri di samping ibunya, tersenyum miring. “Iya, Mama. Semua orang hanya melihat Aurelia. Padahal tanpa Papa, dia bukan siapa-siapa.”
Dante menyesap minumannya, menatap Aurelia dengan mata tajam penuh iri. “Dia manja, lemah. Semua orang terlalu memujanya. Kalau saja mereka tahu siapa dia sebenarnya...”
Aurelia yang seolah tidak mendengar bisikan-bisikan itu, melangkah anggun menuju balkon. Namun di balik senyumannya, hatinya dingin. Ia tahu jelas kebencian yang ditanam ibu tirinya, adik tirinya, bahkan saudara tiri yang mengaku kakak itu.
“Aku akan tetap berdiri. Kalian boleh mencoba menjatuhkanku, tapi jangan pernah lupa... aku bukan gadis lemah yang bisa diinjak.” Aurelia berbisik pada dirinya sendiri, senyum manisnya tetap menghiasi wajah cantiknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di markas Alvarone di Italia, Leonardo duduk di ruang kerjanya. Ruangan besar itu dipenuhi dengan peta dunia, senjata, dan berkas transaksi. Ia baru saja menyelesaikan sebuah pertemuan dengan anak buahnya.
“Boss, kabar terbaru. Kakek Anda, **Don Alvarone**, sudah menetapkan keputusan,” ujar salah satu bawahannya.
Leonardo mengangkat alis. “Keputusan apa?”
“Perjodohan. Anda akan dijodohkan dengan cucu sahabat lamanya, keluarga Valenza.”
Leonardo terkekeh, suara tawanya dingin. “Perjodohan? Aku? Hahaha... mereka pikir bisa menjinakkanku dengan cara itu?”
Namun, matanya menyipit. “Valenza... nama itu tidak asing. Mereka pebisnis, bukan?”
“Benar, Boss. Dan gadisnya... Aurelia Valenza. Katanya berusia 22 tahun, manja, lembut, dan baik hati.”
Leonardo menyeringai. “Baik hati? Dunia ini tidak butuh kelembutan. Mari kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan di sisiku.”
Malam pesta Aurelia semakin ramai. Musik klasik mengalun, para tamu berdansa, dan cahaya lampu kristal semakin berkilauan. Namun, Aurelia merasa ada sesuatu yang berbeda malam itu. Dari balik kerumunan, ia melihat seorang pria asing dengan jas hitam dan tatapan tajam menatapnya.
Pria itu melangkah mendekat, aura kekuasaannya terasa begitu kuat. Semua orang yang berada di sekitarnya refleks menyingkir, seolah tak sanggup menahan tatapannya.
Aurelia menoleh, bibirnya masih tersenyum lembut. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. “Jadi ini... Leonardo Alvarone?”
Leonardo berdiri di hadapannya, menatap lurus ke mata Aurelia. “Aurelia Valenza?”
Aurelia mengangguk, anggun. “Ya. Dan Anda pasti... calon suami yang dipilihkan kakek saya.”
Senyum tipis terukir di bibir Leonardo. “Kau terlihat lembut. Tapi aku tak percaya pada kelembutan. Aku akan mencari tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Aurelia tersenyum lembut, matanya menatap penuh arti. “Silakan, Tuan Alvarone. Tapi hati-hati... mungkin yang akan kau temukan bukan kelembutan, melainkan sesuatu yang lebih gelap dari apa yang kau bayangkan.”
Matahari pagi menyusup perlahan melewati jendela kaca besar kamar Aurelia Valenza. Tirai tipis berwarna krem bergoyang lembut ditiup angin, menciptakan suasana damai di dalam ruangan mewah itu. Aurelia duduk di tepi ranjangnya, rambut hitam panjangnya tergerai tanpa tatanan, wajahnya masih segar meski semalam ia melewati pesta ulang tahunnya yang begitu meriah.
Di balik senyum lembutnya, pikiran Aurelia penuh dengan tanda tanya. Tatapan tajam Leonardo Alvarone masih terbayang jelas di benaknya. Ada sesuatu dari pria itu yang membuat jantungnya berdebar—bukan karena rasa kagum, melainkan semacam kewaspadaan.
Ketukan di pintu memecah lamunannya. Suara pelayan terdengar sopan dari balik pintu.
“Nona Aurelia, Nyonya Marcella meminta Anda segera bersiap. Katanya hari ini Tuan Leonardo Alvarone akan datang ke kediaman Valenza.”
Aurelia tersenyum tipis. Ia menarik napas panjang, lalu menjawab lembut, “Baik. Aku segera bersiap.”
Namun, di dalam hati, ia menggumam sinis, Cepat juga mereka bergerak. Rupanya perjodohan ini bukan sekadar rumor semata.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di ruang makan bawah, Marcella Duvarra sudah duduk anggun dengan gaun hijau zamrudnya. Di sampingnya, Bianca Valenza dan Dante Duvarra duduk sambil menyantap sarapan. Tatapan mereka penuh kegembiraan tersembunyi.
“Akhirnya... akhirnya kita akan mendapatkan jalan untuk menguasai segalanya,” bisik Marcella pada putrinya.
Bianca tersenyum sinis. “Benar, Mama. Kalau Aurelia menikah dengan mafia nomor satu dunia, cepat atau lambat ia tidak akan sanggup. Dia terlalu lembut, terlalu manja. Pada akhirnya, dia akan jatuh. Dan saat itu tiba, harta ini semua akan menjadi milik kita.”
Dante menimpali, suaranya rendah tapi penuh racun, “Kalian terlalu meremehkan. Aurelia memang terlihat manja, tapi jangan lupa, dia pewaris utama. Selama Papa masih hidup, semua akan tetap jatuh ke tangannya.”
Marcella tersenyum penuh tipu daya. “Kau tidak usah khawatir. Ada banyak cara untuk menjatuhkan seseorang. Bukankah begitu, anakku?”
Mereka bertiga tertawa pelan, seolah dunia sudah ada di genggaman mereka.
Tak lama kemudian, Aurelia turun dari tangga dengan gaun sederhana warna biru muda. Senyumnya manis, matanya teduh, seolah ia tidak tahu apa pun tentang rencana licik keluarga tirinya.
“Pagi, Mama. Pagi, Bianca. Pagi, Dante,” sapa Aurelia lembut.
Marcella membalas dengan senyum tipis. “Pagi, Aurelia sayang. Kau sudah tahu, kan? Hari ini Leonardo Alvarone akan datang menemuimu. Bersiaplah, jangan sampai mengecewakan.”
Aurelia mengangguk pelan. “Tentu, Mama. Aku akan bersiap.”
Bianca menatap kakaknya dengan tatapan mengejek. “Jangan terlalu gugup ya, Kak. Konon katanya, pria itu dingin dan tak kenal ampun. Aku penasaran, bisakah kelembutanmu menaklukkannya?”
Aurelia tersenyum, senyum yang selalu tampak lembut namun menyimpan sesuatu yang tak bisa dibaca. “Kau tak perlu khawatir, Bianca. Setiap orang punya caranya sendiri untuk bertahan.”
Jawaban itu membuat Bianca sejenak terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Aurelia yang membuatnya merinding, meski cepat-cepat ia menepis perasaan itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, jauh di Italia, markas besar keluarga Alvarone dipenuhi dengan aktivitas. Para anak buah berseliweran dengan setelan hitam, membawa dokumen dan senjata. Di ruang kerjanya, Leonardo Alvarone duduk di kursi kulit besar dengan segelas anggur merah di tangannya.
Ia menatap peta Eropa di dinding, pikirannya masih melayang pada pesta semalam. Wajah Aurelia terlintas sesekali, namun ia segera mengabaikannya.
“Kelembutan,” gumamnya dingin. “Kelembutan hanya akan menciptakan kelemahan.”
Telepon berdering, memecah lamunannya. Layar menunjukkan nama yang membuat wajah dingin Leonardo sedikit berubah tegang: **Don Vittorio Alvarone (78 tahun**), kakeknya yang legendaris.
Dengan suara dalam dan penuh wibawa, Don Vittorio berkata, “Leonardo, sudah saatnya kau menjemput cucu mantuku. Aku ingin kau segera mengatur pernikahan dengan Aurelia Valenza.”
Leonardo terdiam. “Kakek... pernikahan? Bukankah ini terlalu cepat? Aku tidak tertarik dengan gadis itu. Dia lembut, manja. Aku tidak butuh kelembutan di sisiku.”
Terdengar suara tawa berat dari seberang. “Kau pikir dunia mafia hanya bisa ditaklukkan dengan darah dan peluru? Dengarkan aku baik-baik, Leonardo. Aurelia bukan sekadar gadis manja. Dia cucu dari sahabatku, **Don Giovanni Valenza (76 tahun**). Kau mungkin belum tahu siapa dia sebenarnya. Percayalah, kekuatan ada di balik kelembutannya.”
Leonardo mengepal tangannya. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ia tidak pernah butuh istri untuk memperkuat posisinya. Tapi setiap kali suara kakeknya terdengar, semua keberaniannya luruh.
Don Vittorio adalah legenda hidup. Bahkan Leonardo yang ditakuti dunia, masih merasa kecil di hadapan pria itu.
“Aku tidak peduli apa pendapatmu,” lanjut Don Vittorio dengan nada tegas. “Besok kau akan berangkat ke kediaman Valenza. Kau akan menjemput Aurelia. Dan kau akan menikahinya. Itu perintahku.”
Klik. Sambungan telepon terputus begitu saja.
Leonardo menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Segelas anggur di tangannya ditegakkan, lalu diteguk habis dalam sekali tegukan.
Perintah adalah perintah. Tidak ada yang bisa menolak Don Vittorio.
Ia menyeringai, senyum dingin dan menakutkan muncul di wajahnya. “Baiklah, Aurelia Valenza. Mari kita lihat... apakah kelembutanmu bisa bertahan di dunia gelapku, ataukah kau akan hancur berkeping-keping.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sisi lain, Aurelia berjalan ke taman keluarga Valenza. Ia duduk di bangku batu, menatap mawar-mawar yang sedang bermekaran.
Tak lama, kakeknya, Don Giovanni Valenza, datang menghampiri dengan tongkat kayu di tangan. Pria tua itu meski sudah tua, sorot matanya masih penuh wibawa.
“Aurelia, cucuku sayang,” sapanya hangat. “Kau sudah tahu, kan, apa yang akan terjadi?”
Aurelia menoleh, menatap kakeknya dengan senyum lembut. “Ya, Kakek. Aku akan menikah dengan Leonardo.”
Don Giovanni mengangguk. “Ini bukan sekadar pernikahan, Aurelia. Ini adalah penyatuan dua dinasti. Dunia hanya melihatmu sebagai gadis lembut dan manja, tapi aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah cucu Valenza. Kau punya darahku dalam nadimu. Jangan pernah lupa itu.”
Senyum Aurelia melebar, matanya berkilat dingin sesaat sebelum ia kembali menunduk lembut. “Aku tidak akan mengecewakanmu, kakek.”
Don Giovanni tersenyum puas. “Bagus. Karena pria itu... Leonardo... dia akan mengujimu. Dunia akan mengujimu. Tapi aku percaya, kau akan bisa berdiri di sisinya—atau bahkan di atasnya.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari itu pun menjadi awal dari persimpangan jalan. Di satu sisi, Aurelia, gadis lembut yang menyimpan sisi kejamnya rapat-rapat. Di sisi lain, Leonardo, mafia nomor satu yang menertawakan kelembutan.
Dan di balik mereka, dua kakek legendaris—Don Giovanni Valenza dan Don Vittorio Alvarone—yang telah menetapkan jalan takdir mereka.
Mereka belum tahu, penyatuan ini bukan hanya tentang cinta dan pernikahan. Ini tentang rahasia, pengkhianatan, dan pertarungan dua jiwa yang sama-sama berbahaya.
Langit sore itu tampak kelabu di atas kediaman keluarga Valenza. Awan menutupi cahaya matahari, seolah ikut merasakan aura tegang yang perlahan merayap di udara. Dari jauh, suara deru mesin mobil mewah terdengar mendekat. Para pelayan dan pengawal keluarga yang sejak pagi bersiaga, segera berbaris rapi di halaman depan.
Sebuah konvoi mobil hitam memasuki gerbang besar. Di barisan depan, dua mobil SUV mengawal, sementara di tengah, sebuah sedan mewah berwarna hitam berkilauan berjalan dengan kecepatan stabil. Semua mata tertuju pada mobil itu.
“Dia datang...” gumam seorang pelayan dengan nada cemas.
Di teras megah rumah Valenza, seluruh keluarga sudah menunggu. Alessandro papa aurelia, berdiri di depan, wajahnya terlihat ramah, namun sorot matanya menyimpan kegelisahan. Di sampingnya berdiri istrinya, Marcella, dengan senyum penuh pura-pura anggun.
Tak jauh dari mereka, Dante berdiri dengan ekspresi dingin, sementara Bianca tampak tidak sabar. Gadis itu mengenakan gaun merah ketat, rambut cokelatnya digelung anggun, bibirnya dipoles dengan lipstik menyala. Ia tampak bersemangat—lebih tepatnya terpesona oleh bayangan tentang pria yang akan datang.
Dan di kursi khusus yang diletakkan di samping, Giovanni, kakek Aurelia, duduk dengan tongkat kayu di tangannya. Meski usianya lanjut, sorot matanya tajam dan penuh wibawa. Dialah satu-satunya orang di keluarga itu yang tahu betul arti sebenarnya dari kedatangan tamu ini.
Suara rem mobil terdengar. Sedan hitam berhenti tepat di depan tangga besar rumah Valenza. Seorang pria jangkung dengan setelan jas hitam mahal keluar lebih dulu, membuka pintu dengan penuh hormat. Dan dari dalam mobil, keluarlah sosok yang membuat semua orang di sana menahan napas.
Tinggi, tegap, wajah tampan dengan garis rahang tegas, rambut hitam sedikit berantakan namun justru menambah kesan maskulin. Matanya tajam bagai elang, sorotnya dingin menusuk, seolah mampu menelanjangi jiwa siapa pun yang berani menatapnya. Kehadirannya bagaikan badai yang berjalan dalam wujud manusia.
Bianca menahan napas. Jantungnya berdegup kencang. Sejak awal ia mengira Leonardo adalah pria tua kejam yang hanya mengandalkan nama besar kakeknya. Namun kenyataan jauh berbeda. Yang berdiri di hadapannya adalah pria muda, tampan, namun auranya begitu menakutkan.
Leonardo menaiki tangga perlahan, langkah kakinya mantap, suaranya bergema di teras yang sunyi. Semua orang hanya bisa menatap tanpa berani bicara.
Akhirnya, Alessandro melangkah maju, berusaha ramah. “Selamat datang, Tuan Leonardo. Suatu kehormatan besar bagi keluarga Valenza menyambut Anda di rumah kami.”
Leonardo berhenti sejenak, menatap Alessandro dengan tatapan datar. “Tuan Valenza.” Ia mengangguk singkat, lalu matanya melirik sekilas pada Marcella, Dante, dan Bianca. Namun ekspresinya tidak berubah—dingin, tanpa emosi.
Don Giovanni mengetuk tongkatnya pelan, menarik perhatian semua orang. “Leonardo...” suaranya berat, namun penuh wibawa. “Kau benar-benar mirip dengan Vittorio di masa mudanya. Dunia memang berubah, tapi darah vittorio tetap sama.”
Untuk pertama kalinya, senyum tipis muncul di wajah Leonardo. Ia mendekat dan memberi hormat ringan kepada Giovanni. “Kakek Valenza. Kakek saya menyuruh saya menjemput cucu Anda. Itu saja tujuan saya datang ke sini.”
Ucapan itu membuat Alessandro tertegun. Marcella berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum palsu. Dante hanya mendengus pelan. Tapi Bianca—Bianca justru semakin terpesona.
Begitu dingin... begitu berwibawa... batinnya.
Dengan percaya diri, Bianca melangkah maju, berdiri sedikit lebih dekat dengan Leonardo. Senyum manis dipaksakan di wajahnya. “Selamat datang, Tuan Leonardo,” ucapnya genit. “Aku Bianca... adik Aurelia. Kalau boleh jujur, aku tidak menyangka pria seperti Anda masih begitu muda dan... tampan.”
Ia meraih tangan Leonardo dengan manja, berusaha menciptakan kontak fisik.
Namun, yang terjadi membuat darah Bianca seolah membeku.
Leonardo menatapnya dengan sorot mata dingin penuh jijik. Tatapan itu bagaikan pisau yang menusuk jantungnya. Tanpa ragu, ia menarik tangannya menjauh, bahkan mengibaskan seolah baru saja disentuh sesuatu yang kotor.
“Aku tidak tertarik denganmu,” ucap Leonardo datar, tapi dingin.
Wajah Bianca seketika memucat. Senyum manisnya menghilang, tubuhnya bergetar. Sorot mata mengerikan Leonardo membuatnya tak sanggup menahan rasa takut. Ia mundur selangkah, lalu cepat-cepat menunduk, menahan malu dan rasa terhina.
Marcella melangkah cepat, mencoba menutupi suasana canggung. “Maafkan kelancangan putri saya, Tuan. Bianca masih muda, kadang terlalu bersemangat.”
Leonardo menoleh padanya, sorot matanya dingin. “Aku datang ke sini hanya untuk satu tujuan: menjemput Aurelia Valenza. Aku tidak suka buang waktu.”
Semua orang di teras itu terdiam. Suasana berubah semakin tegang.
Dante mengerutkan dahi, tangannya terkepal. Namun tatapan tajam Leonardo membuatnya mengurungkan niat untuk bicara. Alessandro hanya bisa tersenyum kaku.
Don Giovanni mengetuk tongkatnya sekali lagi. “Aurelia ada di dalam. Panggil dia ke sini.”
Seorang pelayan bergegas masuk ke dalam rumah. Semua mata kini tertuju pada pintu besar yang perlahan terbuka.
Dan di sanalah ia muncul.
Aurelia Valenza.
Dengan gaun putih sederhana yang anggun, rambut hitam terurai rapi, dan wajah lembut penuh ketenangan. Senyum manis menghiasi bibirnya, namun matanya menatap tajam pada pria yang kini berdiri di hadapannya.
“Selamat datang, Tuan Leo,” ucap Aurelia lembut, sambil melangkah maju dengan anggun.
Leonardo menatapnya dalam-dalam. Tatapan dua dunia yang berbeda itu bertemu—dingin dan kejam melawan lembut namun penuh misteri.
Hening sesaat, seolah waktu berhenti.
Lalu Leonardo berbicara. Suaranya datar, tapi tegas. “Aurelia. Aku datang untuk menjemputmu. Kakekku menginginkan kita segera menikah.”
Semua orang terkejut mendengar ucapan langsung itu. Alessandro melongo, Marcella menahan senyum penuh harap, Dante mendengus kesal, dan Bianca masih menunduk, wajahnya pucat.
Aurelia tersenyum lembut, menunduk sedikit. “Kalau itu yang sudah diputuskan keluarga, aku tidak punya alasan untuk menolak.”
Di balik senyum itu, matanya berkilat dingin.
Baiklah, Leonardo. Kalau ini permainan, mari kita lihat siapa yang akan bertahan lebih lama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!