NovelToon NovelToon

DESTINE

PROLOG

Seorang gadis menangis meraung-raung sambil menekan dadanya kuat-kuat menahan kesedihan yang teramat sangat dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya digigitnya keras-keras seakan menahan diri agar tidak berteriak saat melihat pria yang dia cintai tersambar ombak didepan matanya.

Ombak seakan ********** tanpa ampun dan tidak memberikan kesempatan sang mangsa untuk melawan, namun yang terlihat justru pria itu tidak berminat melawan terjangan sang ombak. Dia pasrah, pasrah akan hidup mati yang menjadi takdir hidupnya.

Sedangkan wanita yang menangis dalam persembunyiannya itu tidak mampu menolong. Bukan, bukan tidak mampu, namun tidak boleh. Ada yang membelenggu tubuhnya walau betapapun ingin dia berlari dan menyelamatkan pria itu.

“Radit… tolong jangan menyerah!” desis wanita itu lirih masih dengan tangis yang begitu menyakitkan.

1. RADIT vs SEMUA

Suasana ruang makan malam ini sedikit berbeda. Radit bisa merasakannya dengan jelas, suasana makan malam yang memang biasanya tidak pernah diarnai keceriaan, kini terasa lebih buruk dari biasanya. Herman, sang papa terus menatapnya dengan pandangan intimidasi. Walau awalnya bersikap tidak peduli, tapi pada akhirnya Radit terganggu juga.

“What’s wrong?” Radit bertanya sambil menghentikan suapan nasi ke mulutnya.

Mungkin memang pertanyaan itu yang Herman tunggu dari putra sulungnya, karena tiba-tiba saja dengan gerakan santai dia mengeluarkan kertas ulangan Radit bulan lalu yang dapat nilai 20. “Bagaimana hal memalukan seperti ini bisa terjadi?!”

Sedangkan Radit tercengang, dia tidak mengira hasil ujian Matematika yang memang dengan sengaja dia sembunyikan akhirnya sampai juga ketangan orang tuanya.

Herman menarik napas panjang, “Kelihatannya kegiatan melukis kamu sangat mengganggu belajar kamu,” ungkapnya.

“Itu salah!” cepat-cepat Radit mengelak. Dia tidak mau ditengah puncak kesuksesannya dibatasi atau malah dilarang berkarya. “Ini bukan kesalahan aku! gurunya saja yang tidak pernah mengerti keadaan anak didiknya. Memberikan nilai 20 dan tidak melihat prestasi lain yang diberikan anak didiknya!”

“Bagi papa, menjadi pemenang kejuaraan melukis bukan hal yang bisa disebut prestasi!” ucap Herman dingin. “Pulang pergi Surabaya-Jakarta hanya untuk menghadiri wawancara tidak jelas, promosi lukisan dan seluruh hal yang seharusnya kamu fokuskan pada belajar.”

Radit diam, sama sekali tidak menyangkal ucapan Herman, beberapa bulan terakhir ini dia memang sangat disibukkan dengan pulang pergi Surabaya-Jakarta karena berbagai undangan, terutama yang terbanyak adalah berasal dari acara infotaiment yang memang sengaja meliputnya.

Sejujurnya, Radit juga tidak mengerti bagaimana dirinya bisa disejajarkan dengan artis ibu kota dan beberapa kali digosipkan dekat dengan mereka.

“Kamu sudah harus memikirkan masa depan kamu Radit. Melukis tidak akan menjamin masa depan kamu. Menjadi dokter…,”

Belum selesai Herman bicara, Radit dengan cepat memotongnya “Dan bukankah seharusnya papa juga tahu, aku berada dititik ini bukan dengan hanya mengandalkan keberuntungan. Kerja keras dan bakat adalah segala hal dalam pencapaian impian aku sekarang!” ungkap Radit dengan nada yang tak kalah dingin.

“Ada apa dengan kamu? Kenapa susah sekali diatur? Dengar Radit! Tanpa kamu menjadi pelukis atau apalah itu, papa sama bunda masih bisa membiayai kehidupan kamu dan Rafi sampai kalian tua nanti. Tanpa kamu melakukan pekerjaan yang tidak penting seperti ini,” ujar Harman.

“Apa itu artinya papa memaksa kami menjadi dokter seperti papa?”

“Apa kamu pikir papa membangun rumah sakit sampai sebesar ini bukan untuk masa depan kalian? Papa sudah berusaha menyiapkan masa depan yang terbaik untuk kalian!”

“Bukankah seharusnya papa bertanya apa yang aku inginkan saat menyiapkan apa yang berhubungan dengan masa depan aku?!” Radit mulai menaikkan nada bicaranya.

Herman menggeram marah. Dia tahu, pembahasan ini bukan pembahasan pertama mereka dan ini adalah salah satu pembahasan yang sampai detik ini tidak pernah ada jalan tengahnya. “Apa susahnya belajar dengan sungguh-sungguh?!”

Resti. Bunda Radit mengerti, kalau pembahasan ini diteruskan akan terjadi pertengkaran besar ditengah-tengah meja makan. Tapi untuk menghentikanpun dia tidak memiliki keberanian.

“Coba kamu contoh Rafi! Rajin belajar, nilainya tidak ada yang 8, semuanya 9 atau 10,” Harman membatidakan putra bungsunya.

Radit melirik adiknya. Dengan dandanan aneh, kacamata minus tebal bulat mirip kaca mata yang dipakai pemeran utama film Harry Potter, rambut klimis dan selalu bicara dengan gaya sok pintar. Sangat menyebalkan menurut Radit.

“Kutu buku!” gumam Radit sambil membuang muka.

“Papa sudah putuskan,” cetus Herman pada akhirnya.

Radit mengernyitkan dahinya. Bingung. Ada apa lagi ini?!

“Papa sudah menyuruh teman papa mencarikan guru private terbaik untuk kamu dan besok sore dia akan mulai mengajar!”

Radit menatap papanya tidak percaya, “Kenapa mendadak begini? Dan untuk hal sebegini pentingnya bagaimana mungkin aku tidak diajak diskusi terlebih dahulu. Papa tahu sendiri bagaimana sibuknya aku digaleri.”

Herman menarik nafas panjang, berusaha menekan emosi yang kian ingin meledak akibat sikap arogan putra sulungnya. “Private atau tidak ada melukis lagi dalam hidup kamu?”

“This isn’t fair! Aku tinggal Negara bebas, kenapa dipaksa dinegara aku sendiri? Lagi pula, aku tidak akan pernah jadi dokter. Masih ada Rafi, biar dia yang meneruskan rumah sakit papa. Aku lebih nyaman jadi pelukis!”

“Radit!” Herman kembali menggeram menahan amarah.

“Ini bukan hal yang bisa diputuskan dengan cepat, kita bisa memulainya bulan depan atau setelah tahun ajaran baru!” Radit yang mengerti jika dirinya tidak akan menang dalam perdebatan kali ini dan mulai berusaha tawar menawar.

“Ini sudah diputuskan dan papa juga tidak mau mendengar kamu membuat guru private kamu mengundurkan diri atau apa pun yang membuat dia keluar dari pekerjaannya, itu sama artinya kamu juga harus meninggalkan dunia yang sedang kamu agung-agungkan itu!” ancam Herman tegas.

“Radit, sudah sayang! papa sama bunda cuma minta 2 jam waktu kamu untuk belajar,” tutur Resti.

“Iya, tidak pernah belajar sih, makanya dapat 20!” celetuk Rafi.

Radit tidak bereaksi, dia merasa seluruh keluarganya seakan sudah sepakat memojokkan dirinya.

“Besok jam 3 kamu sudah harus sudah siap dirumah!”

“Besok aku ada janji sama calon pembeli lukisan jam 3, Pa. Kenapa mendadak begini?”

“Papa sudah minta Rangga, asisten kamu untuk mengosongkan jadwal kamu disetiap jam khusus private!”

Ini seperti kutukan bagi Radit, membuang waktu untuk belajar adalah sesuatu pemikiran kolot dan membosankan.

Kali ini, bahkan Resti yang biasanya selalu berpihak kepadanya pun kelihatannya setuju dengan Herman.

Tanpa banyak kata lagi, Radit berlalu meninggalkan meja makan, meninggalkan ruang makan yang seperti pembantaian yang terencana baginya.

***

Seperkian detik, Radit menatap gambar tak beraturan dalam lembar lusuh ditangannya, satu gambar tidak jelas dan juga tidak bisa dikatakan gambar abstrak, lebih terkesan seperti gambar kepala singa tak berbentuk.

Sebentar kemudian Radit melirik setoples penuh lollipop dimeja samping ranjangnya, kemudian bergegas meraih satu lollipop dan membukanya kasar. Kebiasaan teraneh Radit, akan tenang dengan hanya makan sebatang lollipop.

Samar-samar, Radit mendengar langkah kaki mendekati kamarnya. Saat semakin yakin seseorang sedang mendekati kamarnya, secepat mungkin Radit memasukkan gambar tak beraturan tadi kedalam kotak kecil kemudian berbaring dan menutup tubuhnya sampai leher dengan selimut tebal, namun saat tersadar dimulutnya masih memakan lollipop, bergegas dirinya melempar lollipop itu ketampat sampah. Disaat seperti ini aksi pura-pura tidur adalah jalan terbaik untuk merendam kedongkalan hatinya.

Seseorang membuka pintu kamar dan duduk disisi ranjang Radit. Tanpa kata orang itu membelai rambut Radit yang memejamkan mata. Sebenarnya Radit tahu betul pemilik tangan itu, namun sepertinya Radit memang sungguh enggan membuka kembali matanya.

“Bunda tahu kamu belum tidur,” ungkap wanita yang ternyata adalah bunda Resti.

Radit sama sekali tidak bergeming, dia masih meneruskan aksi pura-pura tidurnya.

“Masih ingin membohongi bunda?”

Radit mendesah kesal, akhirnya dengan jengah dia bangun juga. “Ada apa lagi, Bun?!”

Resti tersenyum kecil melihat perilaku putra sulungnya. “Kamu tidak kegaleri?”

“Malas!”

“Kok malas? Katanya ingin jadi pelukis terkenal.”

Wajah Radit semakin memberengut kesal, “Sekarang juga sudah terkenal. Lagi pula mana mungkin bisa melukis dengan mood seperti ini!”

“Masih marah?” tanya Resti masih mencoba mengerti putranya.

Radit langsung turun dari ranjang dan membuka lemari es ukuran sedang dikamarnya, mengeluarkan minuman kaleng dan menghabiskannya dalam sekali teguk, cuma dengan harapan dinginnya minuman itu bisa mendinginkan kepalanya. “Aku tidak mau jadi dokter, bunda…” ujarnya sambil duduk disebelah bundanya.

“Biarpun tidak jadi dokter, kamu tetap harus pintar kan?” tanya Resti dengan sabar, mencari pengertian putranya.

“Kenapa yang ada dirumah ini semuanya harus? Bagi aku, papa adalah orang tua yang paling tidak masuk akal dan suka memaksa putranya!”

Jiwa muda! Pikir Resti sambil tersenyum melihat tingkah putra pertamanya.

Sesekali Radit melirik handphone nya yang sudah entah berapa ratus kali bergetar. Dari Rangga. Dia pasti bingung mencari pemilik galeri yang menghilang.

“Rangga pasti bingung gara-gara kamu tiba-tiba tidak ada kabar!”

“Kita tidak sedang membahas Rangga bun, bunda merasa tidak sih? Papa itu terlalu dictator, memaksa kehendak sendiri tanpa peduli orang lain.”

Resti menggeleng keras, “Kamu salah, sayang! Papa bukan orang seperti itu, ini kan demi masa depan kamu juga,” Resti berusaha meluruskan.

“Bukannya kak Radit dari dulu bodoh ya bun?!” sahut Rafi yang entah dari kapan sudah bersandar pada pintu Radit.

Anak kelas 3 SMP ini memang hampir tidak pernah akur dengan kakaknya.

“Mahluk aneh dari planet Mars seperti kamu mana faham yang namanya seni?!” ejek Radit.

“Radit Rafi, sudah!” lerai Resti pada kedua putranya.

Mendapati sikap Resti yang tidak membelanya, Radit semakin memberengut kesal dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, tidak ingin berinteraksi kembali dengan orang rumahnya, setidaknya untuk saat ini.

2. Radit’s Private Teacher

Dua gadis ABG berseragam sekolah sedang berkasak-kusuk dari balik ruang melukis pribadi Radit dalam galeri yang hanya terpisahkan dinding kaca, sehingga mereka dengan jelasnya dapat menatap sang seniman menggerakkan kuas diatas kanvas.

“Radit ya?” tanya seorang ABG tinggi dengan bando berwarna pink dan berbadan kurus.

Sedangkan Radit yang mendapati tamu mendadak hanya mengangguk kemudian meletakkan peralatan lukisnya, “Siapa ya?”

Dua gadis ABG itu seakan meleleh mendapati sikap lembut Radit, “Nia!” ucap gadis berbado pink tadi sambil mengulurkan tangan kanan dan tangan kirinya mengapai tangan kanan Radit untuk menjabat tangannya, “Kemarin perusahaan papa aku memborong lukisan kamu loh, itu perusahaan kontruksi Advo, kamu ingat kan?”

“Ah… yang itu…,” Radit tertawa walaupun dia tidak begitu mengingat klien yang mana perusahaan yang disebutkan gadis didepannya. “Lalu… menurut orang tua kamu, bagaimana lukisan aku? Apakah kamu kesini untuk membeli lukisan lagi?” tanya Radit masih dengan senyum terbaiknya.

“Nanti biar aku bicara dengan papa dulu!” ujar gadis itu bersemangat.

Radit mengangguk senang, terkadang dia memang menggunakan nilai plus dari ketampanannya untuk menarik klien. Mata Radit melirik sekilas pada setoples penuh lollipop yang berada dimeja yang sama dengan alat-alat melukisnya, kemudian dia mengambil satu dan memberikannya pada Nia.

Mulut gadis bernama Nia itu mengangga saking bahagianya mendapatkan hadiah dari pria seperti Radit.

“Aku Desi!” gadis yang dari tadi diam dibelakang Nia seakan tidak mau kalah dan mengulurkan tangan kearah Radit mengajaknya berjabat tangan, kali ini Radit langsung merespon dan menerima jabat tangan gadis itu, “Walaupun papaku tidak punya perusahaan kontruksi seperti papa Nia tapi aku bisa menyuruh papaku beli lukisan digaleri ini. Aku rasa gaji papa aku sebagai DUBES dinegara asing cukup untuk beli lukisan disini!” ucap gadis bernama Desi itu dengan nada sombong.

Radit yang tidak mengira kalimat itu hanya mengangguk berusaha mengerti tabiat calon pelanggannya kemudian kembali mengambil lollipop ditoples tadi dan memberikannya pada gadis yang bernama Desi itu.

“Terima kasih!” pekik Desi senang, mendapatkan hadiah yang sama dari Radit seperti temannya.

“Radit!” seorang gadis lain terburu-buru masuk kedalam ruangan pribadi Radit dengan beracak pinggang, “Apa begini pekerjaan kamu digaleri?! Menggoda gadis-gadis, hmm?"

Berbeda dengan saat kedatangan dua gadis tadi, Radit masih dengan santainya duduk-dudukan, saat gadis ketiga itu masuk bersama seorang pria berbadan tinggi dan berkulit kecoklatan dibelakangnya, Radit segera berdiri seakan sangat menghargai gadis itu.

“Ya, sepertinya perbincangan kita hari ini sudah selesai, jika kalian berdua berminat membeli lukisan, langsung saja menghubungi asisten pribadi aku yang bernama Rangga dan ini kartu nama aku!”

Setelah menyerahkan kartu nama itu, Radit segera menunjuk pintu keluar dan dengan sangat mengerti kedua gadis itu segera keluar seperti yang diinginkan Radit. Setelahnya, Radit berbalik dan menatap gadis yang menatapnya sambil beracak pinggang.

“Orang tua mereka adalah pembeli tetap lukisan digaleri ini, jadi aku harus bersikap baik pada mereka!” Radit berusaha menjelaskan tanpa ditanya.

Gadis itu mendesah kemudian duduk didepan lukisan Radit, ditempat Radit tadi duduk, “Kamu memberi mereka lollipop? Kamu selalu tebar pesona pada semua gadis yang kamu temui.”

“Bukankah itu adalah salah satu ilmu kewirausahaan untuk menjaring klien?”

“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan!” gadis itu semakin kesal dengan jawaban Radit kemudian menatap keluar jendela.

Radit mengambil satu toples penuh lollipop kemudian meletakkannya diatas paha gadis itu, “Jika gadis diluar sana mendapatkan satu lollipop dari aku, kamu bisa mendapatkan satu toles beserta isinya. Apakah itu masih kurang?” tanya Radit sambil menaik turunkan alis matanya.

“Aku bahkan bisa memberikan Tasya pabrik lollipop,” celetuk Reno yang tidak suka dengan adegan sok romantic didepannya.

Drrrttt... drrrttt… drrrttt…

Mendengar suara ponselnya yang ada dimeja, Radit segera mengangkatnya, “Ya bun?”

“Ya Tuhan! Radit… dimana kamu sekarang?” pekik Resti.

“Galeri. Ada beberapa lukisan yang harus aku selesaikan hari ini bun. Apa ada masalah?” tanya Radit sambil menggaruk pelipis matanya.

“Demi Tuhan Radit! Apa kamu lupa pertengkaran kamu dengan papa tadi malam. Tolong… bunda mohon jangan mengulang pertengkaran yang sama. Cepat pulang!”

Radit yang semakin tidak mengerti hanya mengernyitkan dahi bingung, “Pertengkaran?”

“Private Radit…apa kamu lupa? Cepat pulang… jangan membuat guru private kamu menunggu terlalu lama! Cepat pulang dan minta maaf!”

Sedangkan Radit yang baru menyadari hal yang dia lupakan segera menyambar jaket kulitnya yang berada tepat dibelakang sandaran kusri yang diduduki Tasya, “Iya… iya bunda, ini aku perjalanan pulang bunda…!” ucap Radit, namun sebentar kemudian menutup ponsel nya dan beralih menatap Tasya, “Ada urusan dirumah dan aku harus pulang sekarang!” pamitnya tanpa mendengar balasan dari Tasya, dia bergegas keluar dari galeri.

...***...

Setelah sampai dirumah, Resti segera mengambil helm ditangan Radit yang terbawa sampai kedalam rumah saking buru-burunya.

“Didalam… guru private kamu ada didalam kamar, cepat!”

Dan masih mengenakan jaket kulitnya, Radit berlari menuju kamar. Didalam kamar ada wanita yang sedang bicara dengan Rafi. Dari balakang, Radit masih belum melihat wajah guru private nya, yang dia tahu sekarang adalah guru privatenya seorang wanita yang cukup tinggi dan berambut panjang dikuncir kuda.

“Maaf terlambat!” ucap Radit didepan pintu sekaligus sapaan pertamanya yang membuat Rafi ataupun wanita didepan Rafi menoleh.

“Oh kak Radit sudah sampai?” sapa Rafi dengan sopan disertai senyuman, suatu hal yang sangat langka Rafi bersedia bicara sopan padanya. Sedangkan Radit yang belum mengerti situasi yang terjadi hanya diam.

Dari belakang, Resti datang sambil membawa minuman dan cemilan. “Kenapa berdiri disini? Cepat masuk dan sapa guru kamu!”

Radit mengeryit, seakan ada kalimat Resti yang salah kemudian beralih menatap Resti tidak percaya. “Dia?!” tanya Radit sambil menunjuk gadis didepan Rafi. “Apa bunda bercanda? Sebagaimana bermasalahnya emosi dan pikiran papa sampai mengirim guru private seperti dia? Apa yang bisa dia lakukan diumur yang masih sangat muda itu?!” ucap Radit meremehkan.

Cepat-cepat Resti meletakkan nampan yang dia pagang dimeja kamar Radit dan menarik lengan Radit sedikit menjauh. “Jangan bicara sembarangan!”

“Guru private kakak sangat luar biasa, dia menguasai rumus-rumus sulit dan juga sering memenangkan olimpiade matematika!” bela Rafi.

“Kalau begitu kenapa bukan kamu saja yang belajar sama dia?!” sahut Radit masih dengan nada tidak suka.

“Ya itu seperti yang aku harapkan, tapi sepertinya otak genius aku ini menjadi penghalang. Dengan nilai sebaik itu aku hanya perlu belajar sendiri dirumah!”

Rasti melirik Radit yang terlihat benar-benar emosi kemudian mengusap bahu putra pertamanya, “Dia akan menjadi guru private kamu, suka atau tidak suka!”

“Mungkin ada yang harus kalian selesaikan disini, jika memang begitu saya akan permisi dulu!” tutur gadis itu sopan berusaha sedikitpun tidak terpengaruh dangan situasi yang baru saja tercipta setelah kedatangan Radit. Dia segera mengangkat tas yang ada disebelahnya.

“Tunggu dulu!” Resti bergegas melangkah kearah guru private Radit dan memegangi tasnya yang sudah dipakai, “Tolong jangan tersinggung dan mohon mengerti, kita sudah membicarakannya tadi kan? Kamu sudah berjanji akan bertahan dengan sikap Radit!” Resti berusaha mencari pengertian guru private Radit.

Gadis itu… dia adalah gadis yang sangat lemah jika sudah berhubungan dangan segala sesuatu yang berkaitan kata ‘ibu’.

Melihat keragu-raguan guru private Radit, Resti segera menoleh karah Radit dan melambaikan tangannya menyuruh putranya mendekat.

Dengan melas-malasan, Radit mendekat kearah sang bunda.

“Cepat minta maaf!” perintah Rasti tegas.

Radit menggeleng cepat, “Apa bunda menyuruhnya bermimpi disiang bolong dengan mendengar kata maaf yang tidak akan pernah dia dengar?” tanya Radit dengan nada angkuh berjalan melewati guru Private nya dan Resti kemudian duduk diatas ranjang tepat didepan white board yang sudah disiapkan. “Kenapa bunda dan Rafi masih disini? Aku tidak bisa konsentrasi belajar kalau kalian disini!”

Resti tersenyum melihat sikap putranya yang sudah mau menerima guru private nya, “Kalau begitu bunda sama Rafi keluar dulu, ayo Rafi!”

Rafi menggeleng, “Aku disini ya bun? Belajar sama kak Radit!”

“Rafi…,” Resti melotot dan memberikan isyarat pintu pada putranya.

Rafi mendesah kecewa, dengan langkah berat menghampiri bundanya dan mereka berdua berjalan keluar dari kamar Radit.

“Jadi… siapa orang yang ada dibelakang kamu sampai kamu bisa berada didalam kamar aku ini?” tanya Radit masih dengan nada tidak suka.

Mendengar pertanyaan Radit yang seperti masih belum percaya kemampuannya, gadis itu hanya menggeleng dan berdiri tepat disebelah white board, “Kita akan mulai pelajaran hari ini!” gadis itu sengaja mengacuhkan pertanyaan Radit.

Sekarang Radit mengangguk sambil tersenyum, “Jadi protes dalam bentuk apapun tidak ada gunanya ya?”

“Bisa kita mulai pelajarannya?” gadis itu kembali bertanya.

Kali ini Radit menatap guru private nya dan kembali pada sikap pecicilannya seakan melupakan kekesalannya tadi.

"Kita belum saling kenal ya?” tanyanya sambil memainkan pena ditangannya.

Gadis itu menatap Radit dengan pandangan tidak suka, dia tahu pria SMU didepannya ini hanya ingin mengulur-ulur waktu supaya jam belajar mereka cepat berakhir tanpa pelajaran.

“Nama?”

“Putri, Angle Cantika Putri!”

“Good, tapi… kelihatannya umur kita tidak beda jauh, mungkin cuma selisih 3 atau 4 tahun. Jadi aku tidak mau panggil bu guru, tapi… em… bagaimana kalau kak? kak Putri?”

“Terserah!” sahut Putri cepat.

“Sudah kenal sama aku?” tanya Radit.

“Raditya Herman Syah!” jawab Putri dengan nada ketus.

Radit tersenyum kecil, “Sampai lupa… ya jelas lah semua orang kenal, aku kan sudah tidak kehitung berapa kali masuk TV sebagai inspiratif anak muda masa kini, secara… pelukis terkenal!”

Putri menatapnya dengan tatapan acuh, tidak peduli dengan kesombongan Radit. “Bisa kita mulai?”

“Sebentar, nomer telepon sama alamat?"

Putri menatap Radit bingung. “Untuk?”

“Aku bukan orang yang suka berprasangka, tapi kita berdua adalah dua orang asing, bukan menuduh atau apa sih, tapi kalau ada barang aku yang tiba-tiba hilang kan…”

Putri masih berusaha sekuat mungkin menahan emosinya, bagaimana pun juga pria didepannya secara tidak langsung mengatakan kemungkinan dirinya mencuri...

“Kalau memang kamu tidak percaya dengan saya, tidak apa-apa. Saya bisa pergi sekarang!” ucap Putri dengan nada tegas dan berdiri.

“Kak Putri!” sergah Radit cepat-cepat menahan tangan Putri. “Cu… cuma bercanda!”

Putri terdiam sejenak kemudian mulai menulis nomer telepon dan alamat di white board.

“Tanggal lahir?” tanya Radit lagi.

Putri semakin bingung dengan sikap pria muda dihadapannya yang sering digandrungi gadis-gadis itu.

“Untuk apa?”

“Just want to know!”

Putri menutup matanya. Dia benar-benar merasa Radit sedang mempermainkan dirinya. Kalau bukan karena dirinya benar-benar membutuhkan uang, tentu dia akan memilih pergi sekarang.

“Tanggal lahirnya berapa?” Radit mengulang pertanyaan yang sama karena masih belum mendapatkan jawaban yang dia inginkan.

“14 February.”

“Wow! Jadi setiap valentine ulang tahun ya? Keren banget! Dirayakan seluruh dunia,” Radit memekik takjub.

Selesai menjawab semua pertanyaan Radit yang tidak masuk akal itu, Putri duduk disebelah Radit. “Saya dengar, kamu mendapat nilai 20 untuk pelajaran Matematika?”

Radit mendelik tidak percaya, dia tidak mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari guru private nya, dia bahkan belum menyiapkan jawaban dari pertanyaan yang baru saja dilontarkan Putri, “Siapa yang bilang? Jangan bicara sembarangan! Kalau sampai ada yang dengar, itu namanya pencemaran nama baik!” saking emosinya Radit sampai berdiri.

Putri tersenyum, kemudian merogoh tasnya dan mengeluarkan kertas ulangan Radit yang kemarin malam menjadi perdebatan dimeja makan.

“Menurut saya, kamu bahkan dasar-dasarnya pun belum bisa,” kali ini Putri bicara dengan sedikit nada mencibir.

Radit kembali menatap Putri dengan pandangan tidak suka, baginya wanita didepannya sudah cukup sok tahu tentang kehidupannya, “Aku tidak perlu belajar tidak penting seperti ini, untuk jadi sukses!” tandasnya.

Putri mengangkat bahu. “Itu bukan urusan saya Radit, tugas saya disini cuma mengajari kamu dan menaikkan nilai kamu yang sudah terlanjur hancur.”

Radit benar-benar merasa direndahkan. Sebelumnya tidak ada yang memandangnya rendah, bahkan jauh sebelum dia menjadi pelukis terkenal pun semua orang menghormatinya. Lalu apa yang salah dengan gadis didepannya?

“Kita akan mulai dari dasar, kamu hafalkan dulu perkalian. Saya yakin kamu belum hafal perkalian, kan?” tanya Putri sambil memberikan buku perkalian anak SD pada Radit.

“Ini kan pelajaran anak SD. Yang professional dong! Sejak awal kekhawatiran aku ternyata terbukti kalau memang kak Putri tidak mampu mengajar murid SMA ngomong lah, jangan diam saja!” protes Radit.

Putri menarik napas dalam, entah ini sudah keberapa kalinya dia menakan kemarahannya pada murid barunya, yang jelas dia baru menyadari, mengajar private pada Radit ternyata sekaligus pelatihan kesabaran secara ekstra, “Matematika itu bukan ilmu instan, kamu tidak akan bisa langsung naik ke level 20 tanpa level 1. Jadi kita mulai dari yang dasar dulu!”

“Aku tidak suka dengan metode belajar yang kak Putri berikan, kalau kak Putri tidak merubah metode ini, jangan harap besok kak Putri akan kembali kerumah ini karena aku akan lapor sama papa ketidak kompetenan guru private aku!” ancam Radit.

Lagi-lagi, Putri bersikap tenang dengan ucapan Radit yang terkesan begitu kekanak-kanakan. “Tidak apa-apa kalau memang besok saya tidak bisa mengajar disini lagi, lagi pula sejak awal saya juga sudah tidak berminat mengajar murid sombong dan arogan seperti kamu, kalau bukan karena ibu kamu, sejak pertama kamu mengeluarkan kalimat tidak menyenangkan kamu tadi saya sudah keluar dari kamar ini!”

Radit menggeram marah, dengan kesal dia menarik buku hafalan perkalian anak SD ditangan Putri.

Radit terlihat serius menghafal, dia benar-benar merasa pusing dan mual saat menatap angka-angka dalam buku yang sedang dipegangnya. Otaknya terasa seperti diremas-remas. Menghafal angka-angka adalah yang tersulit menurut Radit, ketika yang satu hafal dan menghafalkan yang lain, maka hafalan yang sebelumnya akan terlupa, dan begitu seterusnya.

“Sudah 1 jam lebih kamu menghafal, bukankah seharusnya sudah selesai?” tanya Putri menurunkan buku bacaan yang sejak 1 jam yang lalu dia tekuni sambil menunggu Radit menghafal disebelahnya.

Radit turun dari ranjang dan membuka lemari es pribadinya, dia mengeluarkan air mineral dingin, kemudian meneguknya. “Besok saja diteruskan, otak aku capek seperti habis marathon, dari tadi tidak masuk-masuk, giliran sudah hafal, trus menghafal yang lain, yang sudah hafal tadi lupa. Terserah mau mikir bagaimana, tapi yang jelas otak aku tidak mampu lagi diajak berpikir tentang angka-angka itu lagi!” ujarnya lemas.

Putri mengerti, kalau pun dipaksa pasti hasilnya percuma, Radit sudah terlihat jenuh. “Besok dipertemuan selanjutnya, kamu harus sudah hafal!”

Radit tidak menjawab, diam-diam mancibir.

Sebentar kemudian Putri keluar dari kamar Radit, namun sebelum keluar Putri sempat melirik foto disebelah ranjang Radit, foto tiga anak kecil memakai pakaian rumah sakit, dua cowok dan satu cewek.

Setelah Putri benar-benar keluar, Radit menyambar satu lollipopnya dan merebahkan diri diranjang sambil memejamkan mata. Guru private yang sama sekali tidak menghargainya.

Seakan mendapatkan pencerahan, Radit membuka mata kemudian bergegas turun mencari Resti, ternyata sang bunda ada dirumah kaca mengurus perkebunan anggreknya bersama Rafi dan para pekerja.

“Bunda!” seru Radit.

Resti menoleh sambil tersenyum kearah putra sulungnya. “Sudah selesai?”

Radit mengangguk malas, “Bun, bilang sama papa, suruh cari guru private baru. Aku kurang nyaman sama yang sekarang!”

“Tidak bisa, sayang!” potong Resti sambil memeriksa bunga-bunganya.

“Kenapa tidak bisa? Dia itu tidak professional, psikopat seperti itu masak dijadikan guru private aku!” Radit berusaha meyakinkan.

“Tadi bunda sudah telepon papa.” Kata Resti sambil melirik putranya.

Radit langsung sumringah, “Trus? Papa bilang apa?”

“Papa bilang, dia itu murid terbaik dikampus Pandawa dan Profesor Lucas, sahabat papa sendiri yang merekomendasikan dia!” jelas Resti.

Radit mengangga tidak percaya. “Tapi dia tidak professional, Bunda!”

“Sepertinya yang bermasalah bukan gurunya, bun. Tapi kak Radit, masak perkalian saja tidak hafal, aku dulu hafal perkalian saat ditaman kanak-kanak!” seru Rafi dari jarak yang agak jauh.

Radit yang sedang kesal dan menemukan objek pelampiasan langsung melampiaskannya dengan melempar alat kebun didekatnya pada sumber suara itu, dia yakin sekali tadi Rafi pasti mengintip saat dirinya belajar.

“Radit, sudah! Nanti tanaman bunda rusak!”

“Rafi yang mulai bun!”

“Tidak boleh begitu, dia itu kan adik kamu. Oh ya, tadi papa juga sempat bilang, kalau sampai guru private kamu yang sekarang mengundurkan diri karena alasan apa pun, kamu terpaksa juga harus meninggalkan apapun yang berhubungan dengan melukis!” kata Resti sambil melangkahkan kakinya ketanaman anggrek yang lain.

Kali ini tamat. Radit harus bertahan dengan guru private yang sekarang, paling baiknya sampai nilanya mulai stabil dan paling buruknya sampai dia bisa masuk universitas, yang artinya 1 setengah tahun lagi.

...***

...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!