Seorang wanita duduk dipembaringan menarik napasnya dalam-dalam. Mengumpulkan senyum yang sejak kemarin tak nampak di wajahnya. Niatnya pulang ke Italia untuk menghadiri pemakaman kakaknya. Namun siapa sangkah, kepulangannya ke Italia justru membawanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Andai bukan karena permintaan ibunya, wanita itu tidak akan mau menerima pernikahan itu. Terlebih lagi pria yang menjadi calon suaminya adalah tunangan kakaknya sendiri. Mau tidak mau, wanita itu harus menggantikan kakaknya. Menikah dengan pria yang tidak dikenalnya dan tidak dicintainya.
"Kenapa Tuhan tidak berpihak padaku. Kenapa bukan aku yang ia panggil" batin seorang gadis yang bernama Allesia Moura Jeven. Tangis gadis itu pecah seraya memeluk kedua lututnya. Hatinya menjerit kesakitan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan tunangan kakaknya sedangkan hatinya untuk pria lain, pria yang bersamanya sejak mereka masih Sekolah.
Terdengar petir menggelegar, menandakan diluar sedang turun hujan. "Bahkan langit pun menangis. Menangis melihatku akan menikah dengan pria yang tidak aku kenal" batin Allesia.
Percikan air hujan menetes dan singga di kaca jendela kamar yang berukuran kecil. Sang pemilik wajah cantik turun dari ranjang dan berdiri di jendela. Mengulurkan tangannya ke luar, membiarkan air hujan jatuh dan bertumpuk ditangannya.
"Tuhan, aku tidak sanggup" batinnya.
Di depan pintu kamar, seorang wanita paruh baya berdiri menatap senyum gadis yang bernama Allesia. Siapa lagi kalau bukan Ibu kandung dari gadis itu. Namanya Virani Mariona.
"Allesia, sekarang kamu turun ke bawah. Ada Tante Vania di bawah bersama anaknya" ujar Virani.
Allesia tak bergeming, ia masih hanyut dalam kesedihannya. Memikirkan perasaan pria yang nantinya akan terluka.
"Allesia, apa kamu dengar, Nak?" tanya Virani sambil memegang kedua pundak putrinya. Allesia tersadar dari lamunannya saat Ibunya memegang kedua pundaknya, pundak yang dulunya tak pernah disentuh oleh sang Ibu.
"Ada apa, Bu?" tanya Allesia tersenyum menatap Ibunya. Seakan akan tidak ada luka yang menimpanya.
"Ada Tante Vania dan Alfano di bawah, sekarang kamu turun ya" kata Virani.
"Baik, Bu" sahut Allesia. Allesia membersihkan wajahnya, kemudian turun menghampiri Tante Vania Beatrice dan putranya yang bernama Alfano Jenoka. Pria yang akan menikah dengan Allesia.
Di ruang tamu, seorang wanita paruh baya yang terlihat begitu elegan–ia duduk menyilangkan kaki jenjangnya. Disampingnya ada seorang pria yang sedang memainkan ponselnya. Tampan, itulah kata yang cocok untuk pria itu.
"Apa kamu Allesia?" tanya Tante Vania dengan ramah.
"Dia Allesia, dialah yang akan menggantikan kakaknya besok" jelas Virani yang tiba-tiba datang mengambil tempat di samping putrinya.
"Kamu cantik sekali sayang. Apa kamu masih kuliah?" Vania kembali bertanya pada calon menantunya itu.
"Tinggal tunggu wisuda, Tante. Bulan depan aku wisuda Profesi" sahut Allesia dengan ramah. Allesia adalah Mahasiswi Apoteker di Harvard University, ia kuliah di New York bersama dengan pacarnya. Mykal Ansel, pria keturunan Italia dan New York.
"Wah, jadi kamu seorang Apoteker. Pas bangat, setelah kamu wisuda nanti, kamu bisa bekerja di Rumah Sakit Lenox Hill" kata Vania dengan girang.
Alfano terus diam sambil memainkan ponselnya. Dia sama sekali tak menatap Allesia sedikit pun. Rasa sakit di hatinya membuatnya semakin tak sabar untuk menghancurkan adik dari almarhum kekasihnya.
Hampir satu jam berbincang-bincang, Vania dan Alfano pun pamit pulang. "Sampai jumpa besok sayang," ujar Vania sembari mencium kedua pipi Allesia.
"Cepat, Bu. Hujannya semakin deras!" ketus Allano saat Ibunya belum juga masuk ke dalam mobil.
"Iya sebentar!!" sahut Vania dengan kesal.
Mobil putih sport perlahan bergerak meninggalkan gang kecil yang berada di pinggiran Kota. Allesia masuk ke dalam rumah saat mobil sport putih milik Alfano sudah menjauh dan tak terlihat lagi. Di dalam kamar, gadis cantik itu meraih ponselnya yang terletak di atas nakas. Menatap layar ponsel lalu mengetik sesuatu di aplikasi pesan.
"Ansel, maafkan aku. Kita akhiri saja hubungan kita, besok aku akan menikah dengan pria lain. Maafkan aku yang tidak bisa menempati janjiku. Maafkan aku"
Pesan terkirim, tak membutuhkan waktu lama, notifikasi pesan terdengar.
"Apa kamu tidak mencintaiku lagi. Kenapa kamu melakukan ini Allesia? Apa kamu dipaksa oleh ibumu? Katakan padaku"
"Aku mencintaimu, Ansel. Tapi Tuhan memberiku jodoh yang lain (Smile menangis)"
"Allesia, andai aku tahu kepulanganmu adalah kepergianmu, mungkin aku tidak akan mengizinkanmu sekalipun yang meninggal itu adalah kakak mu"
"(Smile menangis) Maafkan aku, Ansel. Bisakah kita berteman?"
"Aku takut perasaanku tak menghilang, Allesia. Aku takut rasa ini akan semakin tumbuh dan sulit untuk melupakan dirimu. Jangan ganti nomormu Allesia, aku akan menghubungimu saat rasaku sudah bisa ku ajak bekerjasama"
"Terimakasih untuk pergertiannya, cintaku. Sejak dulu sampai hari ini rasa cintaku masih untuk dirimu. Besok aku akan menjadi istri orang lain, dan rasa itu akan aku lupakan secara perlahan. Aku berharap kamu pun sama, melupakan aku. Jika kamu tidak bisa melupakan aku, maka ingatlah penghianatanku malam ini"
Itulah percakapan Allesia dengan kekasihnya yang bernama Mykal Ansel. Hujan semakin deras, hingga terdengar bunyi petir yang menggelegar. Allesia menangis meraung-raung bersamaan dengan derasnya hujan.
Sss... sss... Karena lelah, Allesia tertidur di kursi yang terletak disamping jendela. Dalam tidurpun air matanya masih menetes.
Bruk...
"Auwww..." jerit Allesia saat ia jatuh dari kursi. "Aku kira aku sedang bermimpi, nyatanya tidak" gumamnya pelan.
.
.
.
Keesokan harinya...
Allesia menatap wajahnya di cermin dengan polesan bedak dan beberapa aksesoris lainnya dibagian kepala. Wanita itu memejamkan matanya sejenak sembari menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Virani pada Allesia.
Gadis itu berusaha menarik tersenyum tapi nyatanya ia tidak bisa. "Aku tidak siap, Bu" balas Allesia. Virani terdiam mendengar jawaban putrinya.
"Semua tamu sudah ada! Bagaimana mungkin kamu berkata tidak siap!!" bentak Virani. Ditengah kemarahan Virani, terdengar seseorang memanggil Allesia.
"Allesia"
Suara halus dan lembut terdengar begitu nyata. Membuat gadis cantik itu menoleh kebelakang. Di depan pintu, ada seorang pria yang sangat ia rindukan. Ansel, pria itu adalah Mykal Ansel.
"Tante, izinkan aku berbicara dengan Allesia. Hanya sebentar saja, aku pastikan pernikah ini akan tetap berlangsung" pinta Ansel memohon.
"Baiklah, Nak" kata Virani lalu meninggalkan Allesia dengan Ansel.
Ansel mendekat menghampiri wanita pujaan hatinya. "Allesia, aku datang untuk melihatmu bahagia. Izinkan aku untuk mengantarmu pada calon suamimu. Aku akan menjadi sahabatmu, menjadi sahabat yang akan selalu ada untukmu. Aku tidak mau hubungan kita retak karena pernikahan ini. Tersenyumlah, aku ingin melihatmu bahagia" ungkap Ansel sambil memegang bahu kekasihnya.
Mata Allesia mulai berkaca-kaca. Dengan segera, Ansel menyeka air mata kekasihnya yang berhasil menentes. "Ansel, maafkan aku" ucap Allesia disertai isan tangis.
.
.
Prok... prok... prok...
Terdengar tepuk tangan yang meriah dari para tamu undangan. Saat Allesia berjalan di depan altar ditemani oleh kekasihnya yang tidak lama lagi akan menjadi mantan. Di depan altar, ada Alfano yang tengah berdiri menunggu Allesia. Tak ada raut penyesalan atau kekaguman dari wajah Alfano. Pria itu terlihat biasa saja. Alfano mengulurkan tangannya, lalu disambut oleh Allesia.
"Jika kemarin kita adalah sepasang kekasih, maka hari ini kita adalah sahabat sejati. Berharap kamu bahagia, Allesia. Aku mencintaimu, selalu" batin Ansel.
Alfano membawa pergi wanita yang kini menjadi istrinya. Membawanya pergi ke CS Ecclusive Campo de Fiori Palace. Dimana keduanya akan tinggal bersama. Di dalam mobil, wanita itu nampak diam. Menerka nerka apa yang akan terjadi padanya. Dari raut wajah pria yang kini berstatus suaminya, wanita itu sudah yakin, hidupnya akan menderita.
"Akan ada saatnya di mana aku akan bahagia. Mungkin tidak hari ini tapi aku yakin, aku pasti akan menemukan kebahagiaanku" batin Allesia sembari memejamkan mata.
Suara mencekam membuat Allesia membuka mata. Menatap pria yang kini menatap tajam padanya.Tanpa diperintah, Allesia turun dari mobil. Mengikuti langkah kaki suaminya hingga mereka sampai di dalam apartemen pria itu.
"Malam ini kamu tidur di sofa, aku tidak mau berbagi ranjang denganmu" kata Alfano dengan dingin sembari membuka satu persatu kancing bajunya.
Allesia sudah tahu nasibnya akan seperti apa. Ia hanya bisa menerima dan menjalaninya. "B-baik, Tuan" balas Allesia dengan gugup. Tubuhnya gemetar, kakinya seakan kaku saat pandangan pria itu terarah padanya.
Tatapan mencekam sekejap menghilang, berubah menjadi tawa. Namun tawa itu tak berlangsung lama. "Aku suka jika kamu menurut. Kamu tahu kan apa akibat dari menentang perintahku" ujar Alfano menekan setiap kata dalam kalimatnya. Tangan kekarnya mencengkram kuat mulut Allesia.
Allesia memejamkan mata menahan sakit. Wanita itu tidak ingin melihat wajah pria bejat yang kini berstatus suaminya.
"Apa kamu menginginkan hal lain hingga kau menutup matamu" ujar Alfano tersenyum sinis.
"Sekarang kamu siapkan air hangat untuku, wanitaku akan datang untuk tidur denganku malam ini" kata Alfano sembari melepaskan cengkaramannya.
"B-baik, Tuan" balas Allesia dengan gagap.
Tanpa mengganti pakaian pengantinnya, wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Ia tak merasa sakit hati, saat lelaki yang belum lama menjadi suaminya mengatakan hal yang tidak ingin didengar oleh setiap wanita. Tak membutuhkan waktu lama, air hangat sudah tersedia. Gadis itu ke luar dari kamar mandi, mencari pria yang menakutkan itu. Langkah kakinya terhenti saat melihat suaminya sedang bercumbu mesra dengan wanita lain.
Dengan santainya, Allesia menghampiri keduanya. "Air hangat sudah siap, Tuan, Nyonya" kata Allesia dengan ramah.
Alfano dan wanita simpanannya mengakhiri kegiatan mereka. "Hmmmm. Jadi dia adik dari wanita yang kamu bunuh" ujar Venika, yang tak lain adalah kekasih Alfano.
"Bunuh? Kakak ku di bunuh" gumam Allesia. Tubuhnya lemas mendengar kebenaran yang barusaja ia dengar. kakaknya meninggal bukan karena kecelakaan melainkn karena dibunuh.
Alfano mendekat lalu mencengkram kedua pipi Allesia dan mendaratkan tamparan tepat dipipi kanan wanita itu. "Kakak kamu pantas mendapatkan kekejaman itu! Dia menipuku dengan berselingkuh dibelakangku!!" hardik Alfano dengan murka.
Tangis Allesia pecah, ia memegang pipinya yang terasa perih. Dadanya terasa sakit, ingin rasanya ia berlari ke ujung dunia. Pergi membawa kenyataan pahit yang harus ia terimah. Karena penghianatan kakaknya, ia menjadi tempat pelampiasan dan kekejaman suaminya. Haruskan ia menyalahkan takdir yang sudah tertulis?
"Sekarang juga kamu ke luar, mulai malam ini kamu tidur di sofa" titah Alfano menekan kalimatnya. Tangan kekar pria itu meraih pinggang selingkuhannya, keduanya masuk ke dalam kamar mandi.
Allesia melangkah ke luar dari kamar. Ia terdiam bagaikan orang gila. Kini ia paham dengan keadaan, kekejaman suaminya karena penghianatan yang dialaminya. Lantas, siapakah yang harus bertanggung jawab atas penderitaan Allesia. Kakaknya, atau suaminya?
--
Pukul 00:00 AM
Ssh... ssh... terdengar hembusan napas Allesia yang begitu pelan. Matanya sebam, sekali-kali wanita itu terisak dalam tidurnya.
"Kesalahanmu ada dua. wajahmu yang begitu mirip dengannya dan namamu hampir sama dengannya. Aku akan terus menyiksamu sampai aku lelah" gumam Alfano sambil mengelus rambut Allesia dengan pelan. Namun dengan senyum yang tak dapat diartikan.
...--...
Allesia merenggangkan tangannya ke belakang. Membuka mata lalu menatap jam dinding yang ada diruangan tersebut. "Sudah jam 6" gumamnya pelan.
Allesia beranjak dari sofa menuju kamar suaminya. Saat dirinya membuka pintu, pemandangan menjijikan nampak jelas di depan matanya. Suaminya sedang tidur berpelukan dengan wanita yang bernama Venika. Dengan pelan, Allesia melangkah masuk untuk mengambil kopernya, membukanya dengan hati-hati lalu mengambil sepasang baju yang akan ia kenakan.
"Akhirnya aku selamat" gumamnya lalu ke luar dari kamar. Lalu mengganti pakaiannya di sofa.
"Apa kamu butuh bantuan?" tanya Venika saat melihat Allesia yang kesulitan membuka resleting bajunya pada bagian belakang.
"Tidak perlu, Nyonya" tolak Allesia dengan ramah.
"Panggil saja namaku, kita berdua hampir sama. Hanya saja, kamu dinikahi sedangkan aku, aku hanya dijadikan wanita pemuas nafsu" ujar Venika dengan senyum, ia berjalan menghampiri Allesia lalu membantunya membuka resleting bajunya.
"Apa maksud kamu?" tanya Allesia dengan penuh tanya, ia membiarkan Venika membantunya.
"Aku rasa kamu paham, aku tidak perlu mengulanginya lagi" kata Venika, ia tersenyum menatap Allesia dan kembali masuk ke dalam kamar.
"Pria seperti apa Alfano? Kenapa aku merinding saat menyebut namanya, apa dia setan yang menjelma menjadi manusia?" batin Allesia.
"Saatnya aku memasak sebelum pria itu bangun" gumam Allesia. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas, mengambil sesuatu yang bisa dimasak.
Dengan lihai, Allesia memotong sayur dengan potongan kecil-kecil. Dan beberapa potong daging mentah yang ia campur. Hampir 30 menit dirinya berkutak di dapur, masakan pun matang dan siap untuk disajikan.
"Tidak sia-sia aku menikahimu. Mulai sekarang kamu harus melakukan pekerjaan rumah. Cuci semua pakaian kotor tanpa menggunakan mesin cuci, makanan harus siap saat aku pulang kerja dan satu lagi, kamu tidak boleh ke luar apartemen tanpa seizinku" jelas Alfano, ia duduk di meja makan bersama dengan Venika. Sedangkan Allesia hanya bisa berdiri menunggu mereka selesai makan.
Allesia menelan salivanya, dia juga merasa lapar dan berharap ada sisa makanan. Akan tetapi, semua makanan yang ia masak tak tersisa. Alfano dan Venika melahap semua makanan yang ia masak.
"Apa mereka pikir aku bukan manusia? Kenapa mereka menghabiskan semuanya" batin Allesia, ia menunduk menatap lantai.
Setelah selesai makan, Alfano dan Venika masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda.
"Suara itu lagi, rasanya telingaku mau pecah. Apa kehidupan mereka hanya seputaran sex? Apa mereka tidak bisa hidup tanpa melakukan itu? Telingaku bisa bermasalah jika malam dan pagi mendengar suara aneh itu!" gerutu Allesia, ia mengambil piring di atas meja kemudian mencucinya.
Setelah membereskan dapur dan piring kotor, Allesia kembali ke sofa. "Aku sangat lapar" gumamnya sembari memegang perutnya yang keroncongan.
"Ponsel, aku pesan makanan saja" batin Allesia. Ia mengambil ponselnya.
"Hari ini kamu tidak boleh makan" kata Alfano yang tiba-tiba mengagetkan Allesia.
Alfano dan wanita simpanannya berjalan ke luar dari apartemen. Di dalam apartemen, tinggalah Allesia seorang diri. Allesia mulai melakukan tugasnya sebagai seorang pembantu. Ya, sebagai pembantu. Kenapa ia menyebut dirinya sebagai pembantu? Karena ia harus melakukan pekerjaan rumah tanpa menggunakan mesin cuci sedangkan suaminya memiliki kekayaan yang berlimpah. Bahkan, Alfano menonaktifkan robot pembersih lantai, ia meminta Allesia membersihkan lantai secara manual.
Allesia membersihkan semua sudut apartemen sambil menyanyikan lagu dengan judul "hanya ingin bahagia". Ia berencana untuk kabur. Akan tetapi, ia tida tahu sandi Apartemen. Allesia menarik napasnya kasar, memegang perutnya yang sedari tadi keroncongan.
"Dia begitu keterlaluan, hanya karena dendam dia ingin membunuhku. Aku masih ingin wisuda dan masih ingin makan Pish yang banyak. Kenapa semua orang membenciku, tidak ibu, tidak ayah bahkan kakak pun membenciku" gumam Allesia. Ia menarik napasnya dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Tangannya memegang sapu yang akan ia gunakan untuk membersihkan lantai, disampingnya ada ember dan alat pel.
"Aku harus kuat, dua puluh sebilan hari lagi aku akan wisuda" gumamnya lalu melanjutkan aktivitasnya.
Tanpa Allesia sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya, siapa lagi kalau bukan Alfano. Alfano mendengar semua perkataan Allesia, ia tersenyum menyeringai saat mendengar apa yang diucapkan Allesia.
"Sudah selesai?" tanya Alfano berdiri dibelakang Allesia.
"Ow tuhan, aku tahu aku membencinya. Aku mohon, jangan datangkan hantu di pagi hari seperti ini. Aku tidak siap untuk lari, aku masih lapar" gumam Allesia, tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai bercucuran.
Alfano tersenyum mendengarnya. Senyum yang bukan berarti ia baik, akan tetapi moodnya sedang bagus. "Buka matamu," titah Alfano dengan suara pelan dan santai.
Allesia membuka matanya, nyalinya menciut saat pria berbadan kekar itu menatapnya tajam. "M-maafkan a-aku, Tuan. Aku kira Tuan sedang pergi kerja" ujar Allesia dengan gugup, ia menunduk dan tak ingin menatap wajah Alfano.
"Cepat makan, mandi, bersiap-siap, setelah itu ikut aku ke rumah ibuku" ujar Alfano sembari meletakan makanan di atas meja lalu mengambil tempat di sofa.
"B-baik, Tuan" balas Allesia. Membalikan badannya, berjalan masuk ke dalam kamar.
"Makan dulu baru mandi...!!" pekik Alfano dengan geram, ia menatap intens Allesia. Moodnya kembali menjadi buruk.
Allesia berjalan sedikit berlari menghampiri Alfano. Ia mengambil makanan yang ada di atas meja. Tangannya gemetar namun bau makanan membuatnya bahagia.
"10 menit, kesempatanmu untuk menghabiskan makanan itu hanya 10 menit," kata Alfano sambil melipat kedua tangannya di dada.
Allesia memakan makanan bagaikan hewan yang kelaparan, ia mengunyah makanan bersamaan dengan deraian air mata.
"Berhenti menangis!!!" bentak Alfano, ia mendekat menghampiri Allsesia yang terisak. "Aku membencimu karena wajahmu! Aku bencimu karena namamu!!" Alfano menjambak rambut Allesia, menariknya ke belakang.
"Aw...!!" jerit Allesia saat ia merasa rambutnya akan tercabut akibat sikap jahat suaminya.
Prang... makanan berserakahan dilantai, Alfano mendorong tubuh Allesia. Allesia meringis kesakitan saat tubuhnya terbentur di dinding.
"Ampun, Tuan. Ampun..." Allesia mengangkat tangannya, memohon ampun pada Alfano.
"tidak ada ampun untukmu! Aku akan menjadikanmu budak dalam duniaku. Kamu akan menjerit kesakitan hingga lupa apa itu bahagia!!" seru Alfano tersenyum menyeringai, ia mencengkram mulut Allesia, menatap bibir seksi Allesia yang sedikit mengeluarkan darah.
"Cepat bangun dan bersihkan tubuhmu! Aku memberimu waktu 5 menit untuk bersiap-siap" kata Alfano, ia menjauh dari Allesia.
Allesia berusaha untuk berdiri, namun, tubuhnya terasa sakut. Dengan sekuat tenaga, Allesia berusaha untuk berdiri, berjalan masuk ke dalam kamar. Bruk... Allesia jatuh tergeletak di lantai kamar, fisiknya begitu lemah. "Selamatkan aku dari kekejaman ini," batin Allesia sebelum ia kehilangan kesadaran.
"Allesia, bangun Allesia! Jangan coba-coba menipuku!!" bentak Alfano, ia seperti manusia yang sudah gila. Bahkan orang pingsan pun ia anggap hanya acting semata.
Alfano membiarkan Allesia di lantai, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil sesuatu. Ia kembali ke kamar membawa segelas air es yang akan ia gunakan untuk menyiram wajah Allesia.
Byurrr... satu gelas air es berhasil membasahi wajah Allesia.
"Bunuh saja aku Tuan. Aku sudah siap untuk mati" ujar Allesia dengan mata yang masih tertutup, suaranya begitu pelan.
Alfano berjongkok, ia tersenyum menyeringai menatap ketidakberdayaan Allesia. "Aku pasti membunuhmu, tapi belum hari ini. Aku ingin menyiksamu dulu, memperkenalkan bagaimana kejamnya dunia. Selanjutnya, aku akan mengirimmu di neraka"
Kalimat itu membuat Allesia semakin tak berdaya. Apa salah jika wajahnya mirip dengan kakaknya? Apa salah jika nama mereka hampir sama? Kenapa harus Allesia yang menanggung kejahatan kakaknya. Bukankah Alfano sudah berhasil membalaskan dendamnya. Lantas apalagi.
"Sekarang kamu bangun atau aku yang akan mengganti pakaianmu" ujar Alfano.
Allesia merinding mendengar kalimat itu, ia mengumpulkan tenaganya untuk bisa bangun. Dengan tergopo-gopoh, Allesia berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Tubuhnya yang kecil membuatnya terus gemetar.
Di dalam kamar mandi, Allesia menyalakan sower air. Membiarkan tubuhnya basah dengan baju yang baru ia pakai beberapa jam yang lalu. Tangis Allesia pecah, air matanya bercampur dengan air yang mengalir dari sower.
"Apa salahnya dengan wajahku! Apa salahnya dengan namaku!! Kenapa dia membenci wajah dan nama ini!" pekik Allesia, ia menangis meraung-raung.
Sudah tiga puluh menit Allesia berada di dalam kamar mandi namun ia tak kunjung ke luar. Alfano yang merasa mulai kesal, mendekati pintu kamar mandi, memanggil Allesia namun tak ada sahutan dari dalam.
"Allesia... buka pintunya!!" Alfano terus menerus memukul pintu kamar mandi namun Allesia tak kunjung membuka pintu.
Bammm... Alfano menendang pintu kamar mandi. Matanya membulat saat ia melihat Allesia tergeletak di lantai dengan darah yang terus mengalir bersamaan dengan air sower yang terus mengalir. Alfano menghampiri tubuh Allesia, membawanya ke atas ranjang. Ia membuka pakaian Allesia yang sudah basah, melihat tubuh Allesia yang mulus membuat Alfano menelan salivanya. Dengan lihai, Alfano mengambil alat kesehatan serta obat dan mulai mengobati luka Allesia.
"Bangun Allesia, belum saatnya untuk kamu mati. Aku belum puas menyiksamu! Bangun Allesia!!" pekik Alfano saat Allesia tak kunjung membuka matanya.
Alfano menghubungi ibunya. Memberi alasan palsu kepadanya. Jika ia jujur pada ibunya, maka ibunya akan marah besar. Setelah selesai berbicara dengan ibunya di telepon, Alfano mendekati Allesia yang masih belum sadar. Menatap wajah yang begitu mirip dengan wanita yang menghianatinya.
----------
"Kenapa aku bisa ada di sini?" gumam Allesia dengan pelan, tubuhnya sangat lemah.
"Aku belum memberimu izin untuk mati, maka jangan coba-coba untuk bunuh diri..." suara dingin itu membuat Allesia tak mampu untuk berkata-kata.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!