"Menikahlah dengan saya !!" ujar seorang laki - laki paru baya yang masih terlihat tampan meski sudah berusia setengah abad.
"Beri saya waktu untuk memutuskannya." sahut gadis cantik berhijab itu dengan raut wajah sendunya. Gadis itu bernama Fatimah yang berusia dua puluh satu tahun.
"Satu Minggu." ucap laki - laki itu lagi yang di ketahui bernama Candra Wijaya Liem. Dia adalah salah satu donatur di Panti asuhan dimana Fatimah dibesarkan di tempat tersebut.
Fatimah hanya memandang sendu laki - laki yang sedang duduk di depannya itu tanpa menyahutinya.
"Setelah satu Minggu, Buldozer akan datang dan segera menghancurkan tempat itu. Saya tidak bisa banyak membantumu, karena tanah itu milik negara yang akan di jadikan jalur jalan Tol." ujar tuan Candra lagi.
"Ba - bagaimana jika saya setuju menikah dengan anda tuan ?" sahut Fatimah suaranya seakan tercekat di tenggorokannya.
"Saya akan memindahkan tempat itu ke gedung milik saya." ucap tuan Candra dengan tegas.
"Pikirkan baik - baik, setelah kamu memutuskan hubungi saya segera. Kamu masih menyimpan nomor telepon saya kan ?" tutur tuan Candra lagi, kemudian ia beranjak dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan Fatimah yang masih nampak tercengang.
Bagaimana tidak tercengang, ia harus menikah dengan seorang laki - laki yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Sejak ibunya meninggal tiga belas tahun yang lalu, tuan Candra lah yang membawanya ke Panti asuhan tersebut.
Sejak saat itu tuan Candra menjadi donatur tetap bahkan hampir setiap bulan beliau mengunjunginya di panti. Pertama kali ia bertemu laki - laki itu ketika saat itu ibunya menghembuskan napas terakhirnya di sebuah rumah sakit dimana ibunya di rawat. Ia mengaku sebagai teman ibunya dan ibunya juga memintanya untuk menjaganya.
"Woy, bengong saja dari tadi ?" seru Natasha, ia menepuk punggung Fatimah. Gadis berwajah oriental itu adalah salah satu sahabatnya Fatimah di kampus.
Saat ini Fatimah kuliah semester akhir di sebuah Universitas internasional milik tuan Candra, sebuah kampus elit yang di isi oleh orang - orang kaya yang berwajah oriental seperti Nathasa atau berwajah bule seperti Daniel kekasih dari Nathasa, bahkan hanya dialah satu - satunya mahasiswi yang menggunakan hijab.
Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi tuan Candra lah yang membiayai pendidikannya. Maka dari itu Fatimah sedikitpun tidak menaruh curiga jika orang tua asuhnya itu akan mempersuntingnya.
"Mbak, es teh satu !! ucap Nathasa pada pelayan restoran yang kebetulan lewat di depannya.
"Sendirian, mana Daniel biasanya nempel kayak perangko ?" tanya Fatimah.
"Ada kuliah dia." sahut Nathasa sambil mengeluarkan notebook dari dalam tasnya.
"Balik yuk, sebentar lagi seminar di mulai." ajak Fatimah setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Astaga, aku lupa kalau hari ini ada seminar di kampus kita. Kamu tahu, aku sudah menunggu hari ini. Karena Glenn Wijaya Liem yang akan menjadi pembicaranya. Aku sering kepo'in medsosnya, dia sekarang tambah ganteng tahu dan lebih penting lagi dia masih jomblo." ujar Nathasa dengan antusias, ia bercerita dengan panjang kali lebar yang membuat Fatimah hanya geleng - geleng kepala menghadapi sahabatnya yang absurd itu.
"Susah ya punya teman enggak ada akhlaknya, sudah punya kekasih tapi masih saja memuja cowok lain." sahut Fatimah lirih sambil beranjak dari tempat duduknya.
"Sebelum janur kuning melengkung kita bebas untuk memilih pasangan yang cocok buat kita." ujar Nathasa yang kini sudah berjalan beriringan menuju kampus yang berada disamping restoran tersebut.
Sepanjang perjalanan menuju kampus banyak mahasiswa yang menggoda Nathasa, entah karena memang wanita itu yang cantik atau memang karena pakaian yang ia gunakan terlalu seksi.
Tetapi ketika melihat Fatimah, mereka lebih banyak menunduk atau memalingkan muka. Entah karena Fatimah tidak menarik bagi mereka karena pakaiannya yang serba tertutup atau memang karena ingin menghormatinya.
Fatimah bukanlah gadis yang berwajah biasa, bahkan dia sangat cantik dengan lesung pipi di kanan kirinya serta gigi gingsulnya yang membuatnya terlihat semakin manis. Ketika ia tersenyum atau tertawa, ia terlihat sangat cantik dan bagi kaum Adam yang melihatnya maka akan sangat sulit untuk berpaling. Tapi sayang, Fatimah jarang sekali tersenyum ia lebih sering memasang wajah juteknya.
Setelah sampai tempat seminar, ternyata tempatnya sudah penuh. Mau tidak mau mereka duduk di bangku paling belakang, bagi Fatimah itu tidak masalah. Asal suara sang pembicara terdengar di telinganya itu sudah cukup.
Lain halnya dengan Nathasa, ia tidak peduli dengan materi seminar. Bisa melihat cowok idolanya dari dekat dia sudah sangat bahagia, tapi kali ini ia sepertinya sangat kecewa.
"Ayo semuanya tenang, tuan Glenn Wijaya akan segera memasuki ruangan ini." seru salah satu panitia.
Tak berapa lama terlihat seorang laki - laki berwajah oriental dengan postur tinggi dan proposional yang pastinya ganteng ya. Ia berjalan naik keatas panggung, ia adalah Glenn Wijaya Liem. Laki - laki berusia dua puluh enam tahun, seorang pengusaha muda dan sukses. Tetapi sayang dia terlihat sangat dingin dan arogan.
Menggunakan kemeja biru muda yang menutupi otot - otot tubuhnya yang menonjol, dengan lengan yang ia gulung sampai siku hingga menampakkan bulu - bulu tangannya yang sedikit lebat dan itu membuatnya terlihat macho.
Banyak kaum Hawa yang bersorak histeris ketika laki - laki itu baru menyapa peserta seminar, suara baritonnya yang berat membuat peserta perempuan semakin terhipnotis.
Begitu juga dengan Nathasa ia nampak histeris, sepanjang seminar ia sibuk mengambil gambar laki - laki itu dengan ponselnya.
"Akhhh, gantengnya." teriak Nathasa histeris ketika mengambil gambar Glenn yang kebetulan pandangannya ke arahnya.
"Faa, apa kamu melihatnya. Dia sepertinya melihatku tadi ?" tanya Nathasa pada Fatimah yang sedang duduk di sebelahnya.
"Enggak tahu dan tidak mau tahu." sahut Fatimah cuek.
"Astaga cogan pada betebaran di mari." seru Nathasa ketika melihat kedua asisten Glenn yang tidak kalah ganteng.
Sedangkan Fatimah ia lebih banyak menunduk, karena Glenn sedari tadi mengawasinya dengan intens dari atas panggung.
Fatimah bukanlah kepedean karena laki - laki tampan itu menatapnya, karena sejak awal ia masuk kuliah tiga tahun yang lalu. Laki - laki itu yang sebagai seniornya di kampus diam - diam sering memperhatikannya dan tersenyum padanya padahal di kampus Glenn terkenal pria yang dingin dan arogan.
Banyak cewek - cewek kampus yang mengejarnya tapi laki - laki itu sama sekali tidak tertarik, bahkan sangking dinginnya ia mendapat julukan pangeran es.
Berbeda dengan mereka yang memuja ketampanan Glenn, justru Fatimah tidak tertarik sama sekali ia bersikap biasa saja. Ia masih mengingat nasehat mendiang ibunya, jangan pernah pacaran karena pacaran hanya akan membawa pada kemaksiatan.
Nasehat itu yang ia pegang hingga sekarang, tapi bukan berarti dia tidak mempunyai teman laki - laki hanya saja ia membatasinya.
Glenn Wijaya Liem
Johanes Hutomo
Setelah pulang dari kampus, Fatimah segera pulang ke Panti asuhan di mana ia sudah di besarkan disana. Ketika melewati lorong Panti, ia samar - samar mendengar isak tangis dari kamar Ibu asuhnya.
tokkkk
tokkkk
Fatimah memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ibu asuhnya tersebut, tapi sudah beberapa kali di ketuk tapi tak ada sahutan dari dalam. Fatimah yang khawatir ia langsung memutar kenop pintu yang kebetulan tidak di kunci dan segera membukanya.
"Bun." panggil Fatimah ketika melihat wanita paruh baya itu sedang duduk di tepi ranjang.
"Kenapa Bunda menangis ?" tanya Fatimah lagi ia juga duduk di sebelah Ibu asuhnya yang bernama Ibu Sekar.
Ibu Sekar memandang Fatimah dengan sendu, biasanya selalu ada senyum yang mengembang di bibirnya tapi kali ini ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Bunda hanya khawatir pada adik - adik kamu, Bunda tidak rela jika mereka kembali ke jalanan lagi." ucap Ibu Sekar dengan raut wajah sedih.
"Itu tidak akan terjadi Bun, tuan Candra akan menolong Panti ini." sahut Fatimah mencoba memberikan harapan pada Ibu Pantinya itu.
"Benarkah Nak ?" tanya wanita paruh baya itu seakan tidak percaya.
"Iya Bun, tapi beliau minta satu syarat." ucap Fatimah lirih ia tidak yakin kalau Ibu asuhnya itu akan menyetujuinya.
"Apa itu Nak ?" Ibu Sekar menatap intens wajah gadis di sebelahnya itu.
"Beliau ingin meminang Fatimah." ucap Fatimah dengan ragu.
"Apa ?" Ibu Sekar nampak kaget dengan apa yang di katakan oleh anak asuhnya itu.
"Tidak Nak, Bunda tidak setuju." lanjut Bu Sekar, bagaimanapun ia sudah menganggap Fatimah seperti anak kandungnya sendiri. Ia tidak rela jika melihat Fatimah mengorbankan kebahagiaannya dengan menikahi laki - laki seumuran dengannya yang lebih pantas di panggil Ayah.
"Fatimah rela Bun, demi Panti juga demi adik - adik. Lagipula ini juga bentuk balas budi Fatimah karena tuan Candra sudah membiayai hidup Fatimah dari kecil hingga sekarang." Fatimah berusaha untuk tegar dengan tersenyum manis di hadapan Ibu asuhnya itu, meski ini adalah sebuah keputusan yang berat baginya ia akan ikhlas menjalankannya.
"Maafkan bunda ya Nak." Ibu Sekar memeluk Fatimah dengan erat.
"Tolong restui Fatimah Bun." di dalam dekapan Ibunya itu Fatimah nampak memohon restu.
"Ibu restui Nak." ucap Ibu Sekar dengan isak tangisnya.
Begitulah Fatimah sejak kecil ia tidak pernah menampakkan kesedihannya pada orang lain, ia selalu membingkai kesedihannya itu dengan sebuah senyuman. Ia hanya akan mengadu pada sang Robbnya tentang apa yang ia rasakan.
Beberapa hari kemudian
Pagi ini suasana Panti sedikit ramai, karena hari ini adalah hari pernikahan Fatimah dengan tuan Candra. Bukan sebuah pernikahan yang mewah tapi hanya prosesi ijab kabul dan syukuran kecil - kecilan.
"Kamu terlihat sangat cantik Nak." ucap Ibu Sekar ketika selesai merias Fatimah.
tokkk
tokkk
Terdengar ketukan pintu dari luar dan tak lama kemudian terlihat salah satu anak Panti tersebut masuk kedalam.
"Bunda, tuan Candra ingin bicara dengan bunda." ucap anak tersebut.
"Baiklah Nak, Bunda tinggal sebentar ya." ujar Ibu Sekar kemudian berlalu meninggalkan Fatimah seorang diri di kamarnya.
"Aku yakin ini sebuah keputusan yang tepat, Ya Robb ku pasrahkan hidup dan matiku hanya kepadamu." batin Fatimah nampak bulir air mata jatuh membasahi pipinya, tapi ia segera menghapusnya.
Tak lama kemudian Ibu Sekar masuk lagi kedalam kamar Fatimah dengan membawa nampan berisi sepotong kue dan segelas air putih
"Nak, sebentar lagi proses ijab kabul akan segera di mulai. Makanlah sedikit biar perut mu terisi !!" ujar Bu Sekar dengan menyuapkan kue di tangannya.
"Mungkin ini terakhir kalinya Bunda bisa menyuapimu, karena setelah ini kamu akan ikut dengan suamimu."ujar wanita setengah baya itu dengan berkaca - kaca ia merasa seakan - akan tidak akan pernah bertemu lagi dengan gadis di depannya itu.
"Fatimah akan sering - sering datang untuk menemui Bunda dan adik - adik di tempat yang baru nanti." ujar Fatimah dengan tersenyum manis hingga menampakkan kedua lesung pipitnya yang membuatnya semakin cantik.
"Minumlah Nak !!" Ibu Sekar mengulurkan segelas air putih setelah Fatimah menelan suapan kue terakhirnya.
Fatimah segera menghabiskan segelas air putih tersebut dan ia mulai bersiap untuk keluar dari kamarnya karena proses ijab kabulnya segera di mulai.
Ketika keluar dari kamar, Fatimah merasa kepalanya sedikit pusing. Mungkin ini pengaruh karena semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Fatimah yang di tuntun oleh Ibu Sekar berjalan menuju ruangan dimana tuan Candra, Penghulu dan para saksi sudah berada disana.
"Apa semua sudah siap ?" tanya Penghulu tersebut ketika akan memulai prosesinya.
Fatimah yang sudah duduk di sebelah tuan Candra, tiba - tiba ia merasa sangat pusing. Tetapi ia berusaha untuk menahannya agar tidak mengacaukan pernikahannya tersebut, semakin lama kepalanya terasa berputar - putar. Dalam keadaan setengah sadar ia mendengar samar - samar. Ketika calon suaminya itu mengucapkan kalimat ijab kabulnya, tapi belum selesai kalimat itu ia dengar dirinya sudah tak sadarkan diri.
🌷🌷🌷
Beberapa jam setelah itu Fatimah sudah sadar dari pingsannya, ia tampak mengerjapkan matanya. Ketika ia membuka matanya, orang yang pertama kali ia lihat adalah tuan Candra yang sudah duduk di kursi di samping ranjangnya.
"Nak, kamu sudah bangun ?" tanya Ibu Sekar yang berada disisih kanannya, sehingga membuat Fatimah mengalihkan pandangannya ke arahnya.
"Bunda, ada apa dengan Fatimah ?" tanya Fatimah balik.
"Tadi setelah proses ijab kabul, kamu langsung tak sadarkan diri Nak." sahut Ibu Sekar dengan raut wajah yang sulit di baca.
"Apa berarti aku sudah sah menjadi istrinya, tapi tadi aku belum selesai mendengar kalimat ijab kabul itu di ucapkan. Lalu aku merasa sangat pusing dan setelah itu aku sudah tak ingat apa - apa lagi." batin Fatimah dalam hati ia berusaha mengingat kejadian sebelum dirinya pingsan, ia masih belum yakin kalau sudah menikah.
"Bicaralah dengan suamimu Nak, Ibu tinggal dulu." ujar Ibu Sekar kemudian ia berlalu keluar dari kamar Fatimah.
"Maaf tuan, saya tidak sengaja pingsan saat acara tadi." ucap Fatimah dengan menyesal ia nampak menunduk.
"Tidak apa - apa yang penting semua sudah beres. Apa kamu baik - baik saja, apa perlu kita ke dokter ?" tanya tuan Candra dengan lembut.
"Sa - saya baik - baik saja, hanya sedikit pusing saja." ucap Fatimah.
"Bersiap - siaplah mulai hari ini kamu akan tinggal di rumah saya." ujar Tuan Candra dengan tegas tapi masih terdengar lembut, kemudian ia berlalu pergi meninggalkan Fatimah.
Fatimah duduk membeku diatas ranjang, ia masih tidak menyangka kini dirinya sudah menjadi seorang istri. Ia memikirkan bagaimana kehidupannya setelah tinggal bersama tuan Candra, apa keluarga suaminya itu akan menerima kehadirannya. Karena selama ini ia tidak tahu menahu bagaimana kehidupan suaminya itu.
"Ya Robb, selalu lindungi hambamu, dimanapun berada." do'a Fatimah dalam hati, kemudian ia beranjak dari ranjangnya dan segera mengemasi bajunya.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam kini Fatimah sudah berada di depan sebuah rumah yang terlihat sangat luas dan mewah.
"Ayo turunlah." perintah tuan Candra ketika melihat Fatimah masih tak bergeming dari duduknya.
"Baik." Fatimah mengangguk kemudian ia turun dari mobil, lalu berjalan mengekori tuan Candra yang sudah terlebih dulu berjalan di depannya.
"Selamat datang tuan." ucap seorang laki - laki yang sedang menunggunya di depan pintu masuk. Kemudian laki - laki itu menatap Fatimah yang terlihat tersenyum padanya. Ia hanya mengangguk kecil untuk membalas senyuman Fatimah.
"Kumpulkan semua pegawai di tempat biasa, sekarang !!" perintah tuan Candra dengan tegas.
"Baik tuan, secepatnya." ucap pria itu lalu berlalu pergi.
"Ayo masuklah, anggap saja ini rumah kamu sendiri." ujar Tuan Candra menatap lembut Fatimah.
Fatimah nampak takjub ketika melihat isi di dalam rumah tersebut, benar - benar rumah sultan pikirnya.
"Papa sudah pulang ?" terlihat seorang wanita cantik yang sedang menuruni anak tangga, namanya jessica Liem dua puluh tahun anak ke dua tuan Candra.
"Siapa wanita ini Pa ?" tanyanya lagi seraya melihat Fatimah dari atas hingga bawah, ia merasa wanita yang bersama Ayahnya itu sepertinya tidak asing baginya.
"Nanti kamu juga tahu, di mana kakak dan adik kamu ?" tanya tuan Candra pada anaknya itu.
"Tuh mereka." sahut Jessi seraya menunjuk ke arah tangga.
Terlihat dua laki - laki sedang menuruni anak tangga, laki - laki pertama terlihat tinggi besar seperti tuan Candra. Pria itu adalah anak pertama tuan Candra yang bernama Glenn Wijaya Liem 26 tahun dan anak ketiga Gio Wijaya Liem 15 tahun.
Fatimah nampak terkesiap ketika melihat laki - laki yang sedang berjalan ke arahnya dan langsung duduk di sofa depannya itu, ia tidak menyangka kalau Glenn adalah anak dari tuan Candra. Itu berarti pria itu akan menjadi anak tirinya, pikirnya.
Begitu juga dengan Glenn, ia sedari tadi menatap intens Fatimah dengan tatapan yang sulit dibaca.
Beberapa saat kemudian setelah semua anak dan pegawainya yang berjumlah sepuluh orang berkumpul, tuan Candra mulai membuka suaranya.
"Perkenalkan ini adalah Fatimah, istri saya." ujar Tuan Candra dengan tegas dan dingin.
Semua para pegawai itu nampak terkejut, bagaimana tidak sejak nyonya di rumah itu meninggal lima tahun yang lalu. Baru kali ini Tuannya itu membawa seorang wanita ke rumah, terlebih wanita yang di akui sebagai istrinya itu seumuran dengan Jessica. Anak kedua dari bossnya itu.
"Papa bercandakan ?" Jessica nampak protes bagaimana bisa tanpa ada omongan sebelumnya tiba - tiba ayahnya membawa istri baru ke rumahnya.
Glenn hanya diam saja tak bergeming dari duduknya, ia masih menatap intens Fatimah. Ada semburat kemarahan bercampur kekecewaan dimatanya.
Sedangkan Gio, laki - laki yang beranjak remaja itu hanya diam saja wajahnya sedikitpun tak menampakkan keterkejutan. Sepertinya ia tidak terlalu perduli dengan urusan keluarganya.
"Saya harap kalian semua menghormati istri saya seperti menghormati saya. Terutama kalian bertiga, Papa harap kalian tidak akan menyulitkannya selama ia tinggal di sini." ujar Tuan Candra dengan menekankan kata - katanya dan tidak mau di bantah.
"Pak Mugi, tolong antar istri saya ke kamarnya!!" perintah tuan Candra pada kepala pelayan tersebut, kemudian ia berlalu pergi ke ruang kerjanya meninggalkan ketiga anaknya yang penuh dengan banyak pertanyaan terutama Jessica.
Fatimah segera berdiri dari duduknya, ia nampak tersenyum ketika melihat Jessica yang menatap tajam padanya lalu ia mengikuti Pak Mugi untuk naik ke kamarnya.
"Ini kamar anda Nyonya." ujar Pak Mugi ketika membuka daun pintu tersebut untuk Fatimah.
Fatimah sangat takjub ketika melihat kamarnya, tiga kali luasnya dari pada kamarnya di Panti. Nuansa pink mendominasi kamarnya tersebut.
"Apa saya tidak salah masuk kamar Pak ?" Fatimah melihat Pak Mugi yang masih berdiri tak jauh darinya.
"Ini kamar yang sudah tuan Candra persiapkan sebelumnya untuk anda Nyonya." sahut Pak Mugi.
"Baiklah kalau ada perlu, anda bisa panggil saya atau pelayan yang lain." lanjut Pak Mugi kemudian ia berlalu pergi.
Sedangkan di ruang keluarga, Glenn dan adiknya masih tak bergeming dari duduknya.
"Bagaimana ini Kak, bisa - bisanya Papa menikah tanpa menunggu persetujuan dari kita ?" Jessica duduk di sebelah Glenn berharap Kakaknya itu menanggapi perkataannya.
"Kakak juga tidak tahu." sahut Glenn, ia terlihat mengusap wajahnya dengan kasar lalu beranjak pergi meninggalkan Jessica dan diikuti oleh Gio di belakangnya.
"Akan ku buat wanita itu tidak betah disini." batin Jessica kesal.
Tuan Candra yang sedang berada di ruang kerjanya, nampak memegang bingkai foto pernikahannya dengan mendiang istrinya.
"Maafkan aku sayang." gumam tuan Candra.
Tak lama kemudian terdengar ketukan pintu dari luar dan pintu langsung terbuka, nampak Glenn masuk dan berjalan kearah Ayahnya.
"Pa." panggil Glenn.
"Papa belum bisa menjelaskan sekarang Nak, tolong jaga dia untuk Papa." ujar Tuan Candra pada anak sulungnya itu.
"Tapi Pa ?"
"Papa capek, Papa akan istirahat dulu." tuan Candra beranjak dari duduknya lalu menepuk bahu anaknya itu, kemudian ia pergi meninggalkan Glenn yang masih berdiri mematung.
Glenn melihat bingkai foto pernikahannya orang tuanya yang tergeletak diatas meja kerja Ayahnya. "Kenapa Papa tega menghianati Mama, kenapa harus wanita itu Pa ?" Batin Glenn seraya melihat bingkai foto tersebut.
Sedangkan Fatimah yang sedang berada di kamarnya merasa sangat canggung, sedari tadi ia tak bergeming dari tempat duduknya di salah satu sofa di kamar tersebut.
"Kenapa bengong ?" suara Tuan Candra membuyarkan lamunan Fatimah.
"Tidak apa - apa tuan." sahut Fatimah ia segera berdiri dari duduknya.
"Panggil saja bapak." ujar Tuan Candra.
"Baik Pak."
"Ini akan menjadi kamarmu selama di sini dan saya akan tidur di kamar saya sendiri."
"Tapi Pak,...." Fatimah belum menyelesaikan perkataannya tapi tuan Candra sudah menyelanya.
"Walau kita tidak tidur sekamar, kamu tetap istriku."
"Sekarang istirahatlah, besok pagi kamu ada kuliah kan !!" ujar Tuan Candra kemudian ia berlalu keluar.
"Kalau ada apa - apa jangan sungkan untuk mengatakan padaku." lanjut tuan Candra ketika sudah berada di ambang pintu, ia menatap Fatimah sekilas lalu menutup pintu tersebut.
Fatimah masih berdiri mematung mendengar perkataan tuan Candra, meski ada perasaan lega karena dia tidak akan tidur sekamar dengan laki - laki yang telah menjadi suaminya itu tapi ia bertanya - tanya dalam hati sebenarnya untuk apa beliau menikahinya.
Meski sudah berusia lima puluh tahun, tuan Candra tidak terlihat tua. Badannya tinggi besar dan terlihat sangat sehat serta nampak lebih muda dari umurnya. Kalau bukan soal ****, sebenarnya apa tujuan beliau menikahinya. Apa untuk merawatnya, tapi beliau bukan termasuk orang yang berpenyakitan. Pikir Fatimah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!