FYI, aku ganti visual Norman
mengingat yang dulu terlalu muda. So, here we go….
MEET THE BLOODY…
ENRIQUE NORMAN DERULLO (35thn)
Merupakan cucu dari Marc Derullo, ketua kelompok penjahat yang terkenal pada masanya atau lebih dikenal dengan nama Marco Valentio. Acapulco, Guerrero, Meksiko adalah sarangnya. Norman pergi dari Meksiko untuk mencari orang yang telah membunuh Ibunya, yaitu Don Van Allejov. Tuhan seolah memberinya jalan, anak dari Don Van Allejov jatuh cinta padanya, perempuan itu bernama Malia Van Allejov. Dijadikan kesempatan oleh pria itu, dia akan mewarnai pernikahannya dengan darah.
MALIA VAN ALLEJOV (26thn)
Merupakan mantan penari ballet yang kini menyandang disabilitas, kecelakaan membuat salah satu kakinya tidak bisa digerakan. Hidupnya hampa, apalagi teman-teman yang dia pikir peduli, ternyata senang akan kecelakaannya. Sampai Malia bertemu dengan Norman, dia merasa menjadi perempuan paling berharga di dunia. Apalagi ketika Norman menikahinya, Malia merasa hidup kembali. Sampai Malia di bawa ke Puerto del Marqués, Acapulco, darah membanjiri pernikahannya.
DANIA EL CONSEJOSS (30thn)
Merupakan kekasih Norman yang membantunya untuk membalaskan dendam. Dia menjalankan bisnis bar dan klab malam Norman, dan pria itu menjalankan dendam atas kematian Ibunya.
● Puerto del Marqués, Acapulco, Meksiko.
Acapulco adalah kota, munisipalitas dan pelabuhan di negara bagian Guerrero, Meksiko. Dikenal sebagai salah satu resor pantai tertua dan paling terkenal di Meksiko. Acapulco terkenal akan kehidupan malamnya.
El Sinaloa kembali pada masa keemasannya saat Norman kembali. Klab, casino dan bar berjalan, wanita dari etnis manapun dapat ditemui di sini. Klan El Sinaloa kembali bangkit, yang dikenal sebagai penjahat paling mengerikan di Meksiko.
Penculikan, pembunuhan, tambang emas ilegal, penyelundupan anggur, penjualan narkoba bahkan perdagangan wanita, semua itu kembali terjadi di Meksiko. Klan yang dipikir mereka telah mati, nyatanya hanya tertidur. Karena sang pewaris telah kembali.
.
.
30 Years Ago…
Puerto del Marqués, Acapulco, Meksiko.
"Kakek, ke mana Mama pergi?"
Pria itu terdiam. Anak bernama lengkap Enrique Norman Derullo itu kembali mendekat, di ulang tahunnya yang kelima, dia tidak menemukan satupun yang memberinya hadiah.
"Kakek?"
"Kemarilah, Norman."
Anak itu mendekat, dia duduk di atas karpet, tepat di depan Kakeknya yang duduk di atas sofa. "Kakek, hari ini Norman ulang tahun, di mana Mama?"
"Mamamu pergi."
"Ke mana dia?"
"Dia pergi, dan pulang."
"Apa maksud Kakek?"
Pria tua itu terkekeh, dia tertawa semakin keras yang mana membuat Norman ketakutan. "Kakek….. Kemana Mama?"
"Mamamu mati, Norman!"
Anak itu kaget karena teriakan sang Kakek, dia menatap takut pria itu. Apalagi saat kakeknya menarik tangannya kuat menuju keluar perpustakaan.
"Kakek, tanganku sakit!" Hingga akhirnya Norman menangis.
Pria yang gelap mata tidak mendengarkan teriakan cucunya, dia menarik paksa agar Norman berjalan.
"Kakek, sakit."
"Bangun, Norman!"
"Sakit, tanganku sakit."
"Bangun!"
"Kakek, ini sakit!"
"Berdiri! Aku bilang berdiri!"
Tangisannya semakin kuat saat kakeknya yang bernama Marc membuka ruang bawah tanah.
"Tidak, Kakek, maaf Norman mengganggu, maafkan Norman."
"Diam kau!"
Marc berjalan turun. "Norman, bangun," perintahnya menyalakan lampu. "Bangun, Norman."
Anak itu tidak ingin mendapat pukulan lagi dari kakeknya, dia berdiri memaksa. Dengan banyak bagian tubuh yang terluka.
"Ikut aku."
Sambil menangis pelan, dia nengikuti langkah sang kakek.
"Lebih cepat, Norman."
"Sí, Kakek."
"Cepat, Norman!"
Hingga akhirnya pria itu berhenti di depan sebuah penghalang plastik. Norman bertanya-tanya, sejak kapan ada tirai plastik di ruang bawah tanah.
"Kau tahu apa yang ada di dalamnya, Norman?"
Dia menggeleng.
"Itu hadiah ulang tahun untukmu."
Norman tetap berdiri di belakang Marc, masih ketakutan.
"Di sana ada Mamamu."
"Mama?"
Karena Norman tahu hanya Mamanya yang bisa meredam amarah sang kakek. "Mama di sana?"
"Ya, bukalah."
Pelan dan penuh ketakutan. Norman menyingkab tirai itu, seketika dia tidak dapat berkata, tubuhnya limbung. "Mama!"
Dia menangis dan mendekati sosok itu, menggoyangkan tubuhnya yang terbujur kaku di dalam bathub, penuh darah. "Mama, bangun!"
Air matanya menetes deras. "Mama! Mama! Bangun, Mama!"
"Itu hadiah untukmu, Norman."
Dia menengok menatap kakeknya yang malah tersenyum. "Kenapa Mama?"
"Dia mati, di hari ulang tahunmu, Norman."
"Mama…." tangan kecilnya memegang wajah mamanya yang terbujur kaku, darah di mana-mana, bahkan menenggelamkan sebagian tubuhnya.
pria tua itu berjongkok supaya sejajar dengan cucunya.
"Kau tahu kenapa Mamamu mati?"
Anak itu menggeleng, sambil menangis.
"Dia mati karena seseorang membunuhnya."
Norman tetap menangis.
"Dia dibunuh, oleh seorang pria bermarga Van Allejov."
"Van Allejov?"
"Ya, ku harus mencarinya, Norman. Dan balaskan dendam ini, bunuh juga pria itu."
Mata Norman kembali menatap mayat ibunya. "Akan aku lakulan, Kakek."
"Bagus, mereka mengambil hati, jantung ibumu, kini bagian kau balas dendam, Norman."
****
Now
Valencia, Spanyol.
Malia tersenyum, ini sudah setahun lebih dia menjalani hubungan dengan Norman. Melihat surat-surat yang dikirimkan, begitu penuh dengan kata-kata cinta.
"Malia, kau di sana?"
"Kemarilah, Papa."
Don masuk ke kamar putrinya, di mana Malia sedang duduk di atas kursi roda.
Duduk di bibir ranjang. "Apa kau serius akan menikah?"
"Papa, kau sudah mengetahuinya."
"Bagaimana jika dia menyakitimu?"
"Kau tahu bagaimana bahagianya aku setiap bersamanya, bahkan hanya mendengar suaranya."
Saat Don hendak berucap, Malia menyela. "Aku kehilangan kemampuan hampir lima tahun, Papa. Teman-temanku menertawaiku, ballet sudah jauh dari jangkauanku. Aku tidak punya teman, dan dia satu-satunya yang mengisi hatiku."
"Dan setelah itu kau akan meninggalkanku?"
Malia segera memegang tangan Papanya. "Papa, aku ingin masa tuamu sesuai yang kau inginkan. Aku tahu perusahaan kita sudah tidak ada, dan Norman bisa membantu mencukupi kebutuhan Papa. Sesuai keinginanmu, kita akan merenovasi rumah, aku yakin Mama akan senang melihat kita bahagia."
Don terdiam, menatap tangan putrinya yang putih bersih. "Kau mirip Mamamu."
Malia tersenyum, Mamanya meninggal karena sakit, dan itu terjadi karena melahirkan Malia. "Aku bersyukur."
"Apa dia akan datang?"
"Ya, dia masih di perjalanan."
Bersiap-siap untuk kedatangan Norman, rumah tua yang diurus oleh satu asisten rumah tangga itu siap menyambut kedatangan calon suami Malia.
Tepat pada jam makan malam, dia datang. Malia menyambut kedatangannya di ambang pintu, dengan jangka yang menyangga, mengingat kaki kirinya tidak berfungsi dengan baik.
"Hai."
"Kenapa kau menunggu di sini?" Norman mencium pipi Malia. "Di mana Papamu?"
"Di dalam, ayo masuk."
"Kenapa kau melepaskan kursi roda?"
"Aku ingin terlihat seperti wanita normal."
"Kau lebih dari Normal untukku, Malia."
"Seperti abnormal?"
"Berhenti mengatakannya."
Saat masuk, Norman disambut oleh Don Van Allejov. Pria itu mendekat, dengan senyuman, yang mana mengingatkannya akan kejadian 30 tahun yang lalu. Pria ini membunuh Mamanya.
"Selamat datang, Norman."
Pria itu menahan amarahnya, dia menyalami Don.
"Ayo, duduklah."
"Baik."
"Jadi, kau berhubungan dengan Malia selama ini?"
"Ya, dan aku yakin kau mendengar aku akan menikahinya minggu depan."
"Secepat itu?"
"Ya, aku harus kembali ke Meksiko, mengingat bisnis keluarga sudah lama ditinggalkan."
Kini Don menatap Malia.
Dia menjelaskan, "Papa, aku akan baik-baik saja. Dan juga, Norman akan membantu supaya perusahaanmu kembali."
"Aku punya teman yang menekuni farmasi sepertimu, Don. Aku bisa membantumu," ucap Norman.
Don menarik napas dalam, tidak kuasa saat melihat wajah ceria dan penuh harap Malia. Putrinya sangat mencintai pria bertatto ini. "Aku akan selalu mengikuti keputusanmu, Nak. Jika pria ini membuatmu bahagia, maka pergilah. Kejar kebahagiaan yang kau dambakan."
"Aku akan menjaga Malia dengan baik."
___
Love me,
Alianna Zeenata
Vote sebelum membaca😘
.
.
Malam hari, Norman menuju apartemen seorang wanita yang menjadi kekasihnya. Seakan tahu kedatangannya, dia menyambut kedatangan Norman dengan pakaian seksi yang sangt indah.
Dania menyisir sambil duduk, tanpa sadar Norman sedang melihatnya dari ambang pintu. "Kenapa kau berdandan malam-malam?"
Dania berbalik seketika. "Oow, lihat pengantin yang akan segera pergi ke Meksiko."
Perempuan itu berdiri, dia melangkah sensual memperlihatkan kakinya yang lenjang. "Apakah caraku berjalan bagus?"
Norman tertawa mengerti maksud kekasihnya. "Apa kau sedang mengejek Malia?"
"Oh ya…. Dia menjijikan bukan?" Kedua tangannya melingkar di leher Norman.
Dan dengan perlahan, jemarinya turun membuka kancing jas cokelat milik kekasihnya. "Kau semakin tampan saja, tubuhmu semakin kekar."
Dania menyentuh dada Norman yang bidang, membuka jas pria itu dan melemparnya ke sembarangan arah. Dengan sensual, dia membuka kancing kemeja hingga memperlihatkan otot yang begitu menakjubkan. "Apa dia pernah melihatnya?"
"Tidak sekalipun."
"Dan besok malam dia akan melihatnya?"
Norman menahan tangan Dania. "Jangan sentuh kulit punggungku." Dia melempar Dania seketika ke atas ranjang. Dirinya membuka kemeja dan melemparnya asal. Perempuan itu tertawa tatkala kekasihnya menindih. "Apa kau pernah berciuman dengannya?"
"Tidak," jawab Norman singkat, pria dingin itu membuka celananya.
"Dan besok adalah permulaannya?"
"Cukup, Dania." Norman membungkam bibir kekasihnya, mereka berciuman, dengan tangan Dania yang dia ikat menggunakan pakaian Dania sendiri.
Sampai tangan Norman merambat, dia akhirnya menyadari sesuatu. "Kau sedang masa periode?"
"Bagus bukan?"
"Apa?" Norman menegakan kepalanya, dia menarik segera tangannya. "Kau berbohong kan?"
"Kau pikir prank? Lihat aku memakai pakaian merah, artinya apa?"
Norman sadar, dia menarik diri dari atas Dania setelah mencekik sesaat leher Dania. Mengusap wajahnya kasar dan segera ke kamar mandi sambil mengumpat, "Shit!"
Dania tertawa keras, dia berhasil mejahili kekasihnya. Pemilik rambut cokelat itu menyusul ke kamar mandi, menatap Norman yang ada di bawah guyuran shower. Mereka hanya terhalang kaca buram, membuat Dania tidak bisa melihat tubuh Norman dari perut sampai bawah.
"Apa kau baik-baik saja, Derullo?"
Norman yang membelakangi tidak menjawab.
"Haruskah aku ikut masuk?"
"Pergi sebelum aku melakukan hal gila, Dania."
"Well, baiklah. Aku akan mengganti tampon," ucapnya santai memainkan pintu kaca penghubung dirinya dan Norman.
Dania tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari pria yanh sedang mandi. Ada ketakutan dalam hatinya akan kehilangan kekasihnya.
Berbeda dengan Norman, pria itu sibuk memikirkan apa yang akan dilakukannya kelak pada Malia. Dia menjauhkannya dari Don, tentu saja dia bisa melakukan apa saja.
Alasan Norman enggan mengenakan bathub, dia terus terbayang keadaan ibunya yang mati, berlumuran darah. Mengingatnya membuat Norman tanpa sadar menonjok dinding kamar mandi hingga terdengar suara dentuman keras.
"Norman!" Dania panik saat melihat tangan kekasihnya berdarah, dengan tembok yang retak. "Norman, tanganmu….."
Air shower terus mengguyur keduanya.
"Norman…."
"Aku hidup untuk ini, Dania. Untuk Mamaku, aku akan membalaskan dendamnya."
Tangan Dania yang lain memegang pipi Norman, mengelusnya pelan. "Kau akan mendapatkannya."
"Besok aku akan menikahinya."
"Ya, satu langkah lagi kau akan menyelesaikannya."
"Dan aku akan membalaskan dendam Mamaku."
Darah terus mengalir, menyatu dengan air yang terus berjatuhan. "Aku akan selalu di sampingmu, lakukan, tuntaskan dendamu. Aku akan membantumu."
Kini manik Norman membalas Dania. "Aku akan membuat semuanya berjalan dengan indah."
"Kita, Norman," ucap Dania mengelus bibir bawah kekasihnya. "Libatkan aku, aku akan ikut serta. Sampai dia menangis darah, sampai dia minta ampun, kita akan menghabisinya. Hingga akhirnya Don menyerahkan dirinya pada kubangan darah."
Norman tersenyum miring. "Sampai Don masuk ke dalam kubangan darah putrinya."
****
Malam itu akhirnya datang, setelah menunggu cukup lama. Malia kini memakai gaun pengantin, cantik bak bidadari. Berwarna biru muda, sama dengan tiara yang dikenakannya.
"Lihat siapa yang akan menikah?"
"Lucia." Malia tersenyum, dia merentangkan tangan menyambut kedatangan temannya. "Dimana anak-anakmu?"
"Bersama dengan Daddynya."
Berpelukan sesaat, sebelum menatap sahabatnya yang duduk di atas kursi roda.
"Menyedihkan bukan? Aku memakai kursi roda?"
Lucia segera menggeleng. "Tidak, kau cantik."
"Terima kasih."
"Kau sangat bahagia, karena akan mendapat ciuman pertama dari Norman?"
Malia tersipu malu, menutupi wajahnya dengan buket mawar biru di tangannya.
"Ya ampun, kau sangat menantikannya."
"Permisi, pengantin harus bersiap, anda harus segera keluar," ucap seorang petugas.
Lucia mengembuskan napas. "Kita akan bicara nanti."
"Baiklah, sampai jumpa."
Malia menarik napasnya dalam, dia kembali menatap dirinya dalam pantulan cermin. Cantik dan menawan. Sampai akhirnya senyumannya luntur mengingat dia mendengar percakapan ini,
"*Apa kau tahu Malia lumpuh?"
"Ya, karena kecelakaan."
"Aku senang, dia tidak bisa lagi menjadi penghalang diriku untuk menjadi yang terbaik."
"Hei, aku pikir kau adalah temannya, kau terus bersamanya."
"Sebenarnya, aku bersamanya untuk mencari cara menjatuhkan dia. Namun, kini tidak lagi. Apa yang bisa dilakukan orang lumpuh? Menari ballet?"
"Hahahaha, kau benar. Aku juga senang dia lumpuh, kakinya tidak berfungsi dan tidak dapat menari ballet*."
Percakapan itulah yang membuat Malia menyendiri setelah kecelakaan, sampai Norman datang pada hidupnya. Dia selalu memberikan kata-kata yang membuatnya merasa hidup kembali.
"Kau adalah manusia paling sempurna yang Tuhan ciptakan, hatimu menangis karena melihat mereka, kau pikir siapa dirimu? Kau adalah bidadari yang tersesat."
"Kenapa kau harus menuntut keinginanmu terpenuhi sementara semua kebutuhanmu sudah ada. Malia, aku datang dikirim Tuhan untuk memenuhi kebutuhanmu itu."
"Langitpun menangis jika kau tidak menyempatkan melihat mereka mencoba menghiburmu. Lihatlah senja, lihatlah fajar, mereka ingin kau tersenyum."
Mengingatnya saja membuat Malia tersenyum sendiri, hatinya berbunga-bunga. Terlepas dari itu, Papanya memang butuh bantuan dari Norman.
"Kau siap?"
"Iya, Papa," jawab Malia pada pria yang baru saja masuk.
Seketika itu, jantungnya berdetak kencang. Malia didorong dalam kursi roda menuju altar, menuju pria yang menantinya di sana dengan jas abu. Dia tampan, terlihat rapi meski tidak menutupi tatto yang dimilikinya.
Pastor yang bicara seakan tidak berarti, hati Malia terus menggumamkan kata Tuhannya, untuk memberinya jalan terbaik. Hingga akhirnya Norman mengucapkan bagiannya, "I am Enrique Norman Derullo accepting you Malia Van Allejov as a wife, in joy and sorrow, in health and sickness, for today, tomorrow and forever. I make this promise before the holy spirit, watching us who will complement each other."
Dan kini bagian Malia, dia menarik napas panjang. "I am Malia Van Allejov accepting you Enrique Norman Derullo as a husband, in joy and sorrow, in health and sickness, for today, tomorrow and forever. I make this promise before the holy spirit, watching us who will complement each other."
Dan ketika pastor mengesahkan, mereka bertukar cincin. Sebelum akhirnya ciuman pertama Malia hilang, disentuh oleh pria yang kini menjadi suaminya.
Norman tersenyum miring. 'Ini bahkan belum di mulai, Van Allejov.'
----
**Love,
ig : @Alzena2108**
Vote sebelum membaca😘
.
.
Ballroom hotel dipenuhi oleh orang-orang yang berdansa. Malia hanya bisa melihat di kursi roda, dengan tangan menggenggam tangan Norman.
"Apakah kau ingin berdansa?"
Malia terkejut. "Bagaimana kita berdansa, Norman?"
Pria itu terkekeh, dia menggendong Malia ala bridal yang mana membuat Malia terkejut setengah mati. "Norman!"
"Ayo kita berdansa," ucapnya bergabung ke tengah ballroom.
Para tamu bertepuk tangan, orkestra menggerakan tangan mereka untuk bermusik.
Malia tertawa dibuatnya, pertama kalinya dia melakukan dansa bersama seorang pria. Yang sangat dia cintai. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Norman, bibirnya hanya berjarak beberapa senti. Malia dapat mencium aroma maskulin pria yang kini menjadi suaminya.
"Kau wangi….."
Norman hanya merespon dengan mencium puncak kepala Malia. Mereka berdansa di bawah lampu swarovski yang begitu indah, warna biru langit mendominasi.
Dan semua ini, disiapkan oleh Norman sendiri.
"Kenapa warna biru, Norman?"
"Karena tempatmu adalah di langit."
Malia terkekeh, dia mencium leher suaminya. Mengira itu adalah sebuah kalimat cinta, nyatanya, itu adalah kalimat menuju kematian Malia. Langit dalam arti Norman adalah mati, melayang di mana roh akan tersesat.
Sampai manik Norman melihat kedatangan Dania, dia segera menghentikan dansanya. "Bagaimana kalau kita makan, aku tahu kau belum makan apapun."
Malia hanya mengikuti, dia menerima semua suapan yang Norman berikan. "Kapan kita akan memakan kue itu?"
Menunjuk kue pernikahan raksasa yang membuat Malia ingin memakannya. "Aku bisa mengambilkannya untukmu, bahkan sekarang."
"Kita bisa membawanya ke Meksiko?"
"Tidak, Sayang. Aku akan memberikanmu yang baru." Norman memberikan segelas air putih untuk Malia yang duduk di kursi roda. "Aku akan menemui teman sebentar, kau tunggu di sini."
"Baiklah."
Malia mengusap dadanya, entah mengapa dia merasa Norman sedikit berbeda. Malia berdecak, "Ya, terlalu sering sendiri membuatku lebih sensitive dengan perbedaan."
Tanpa meminta bantuan orang lain, Malia menuju toilet. Meskipun minta bantuan, tidak ada yang peduli dengannya. Papanya dan orang-orang yang dikenalnya entah di mana, tempat ini terlalu luas.
Sampai di depan kamar mandi, Malia terhenti karena kalimat, "Ya, aku tidak menyangka dia akan menikah secepat ini. Aku pikir dia memaksa pria itu untuk menikahinya."
Malia kenal suara ini, itu teman-temannya saat menari ballet bersama.
"Ya, aku juga tidak percaya, aku yakin pria itu terpaksa menikahinya."
"Kau tahu bukan Papanya bangkrut? Perusahaannya akan beralih, dia tidak punya apa-apa."
"Kasihan sekali nasib Tuan Derullo menikah dengan wanita cacat. Selain cantik, apa yanh dimiliki Malia?"
"Mungkin dia hebat di atas ranjang," ucap salah satunya yang membuat Malia sesak.
"Dia lumpuh, tidak ada yang bisa diberikan. Dia tidak bisa apapun, selain minta digendong."
"Hahahaha, aku juga melihatnya. Mereka berdansa cukup aneh, aneh hanya untuk Malia maksudku."
Malia menyeka air matanya, dia segera pergi dari sana. Saat kembali memasuki ballroom, tatapannya terpaku pada Norman yang sedang bicara dengan seorang wanita.
"Aku memiliki Norman, dan semua itu cukup untukku. Aku tidak peduli pendapat orang lain, Norman melengkapiku."
****
Don tidak berhenti memegang tangan putrinya, dia bahkan menangis. Membuat Malia terkekeh dan mencium pipi Papanya. "Papa…. Sudah, aku tidak akan di sana selamanya."
Don masih diam.
"Ini hari pernikahanku, kenapa kau menangis?"
Norman yang mengawasi dari kejauhan, kedua orang itu berada di sofa depan lobi. Berpisah mengingat pesta pernikahan berakhir, dan besok Malia akan terbang ke Meksiko.
Dendamnya akan terbalaskan. Don dengan tega membunuh Mama Norman dan mengambil jantung dan hatinya untuk dijual, Don adalah mantan pengedar organ dalam manusia. Hal aneh yang membuat Norman bingung, kenapa Mamanya dulu rela meninggalkan Andrean dan memilih mengejar Don. Yang membuatnya berakhir menjadi mayat.
Setiap perkataan Marc akan kekejaman Don pada Mamanya, merobek dada dan mengambil jantung juga hatinya. Itu membuat Norman tidak sabaran ingin melakukan hal yang sama pada Malia.
"Papa…"
"Jaga dirimu baik-baik."
"Aku mengerti," ucapnya menyandarkan lagi kepalanya di bahu Don. "Papa, aku tidak akan melupakanmu. Kita bisa menelpon, atau video call."
Don masih diam.
"Kau tahu, Papa? Natti akan kembali bekerja padamu, dia akan merawatmu. Norman yang membayar, tenang saja."
"Aku tidak menginginkannya, bersamamu saja aku bahagia."
Malia menarik napas dalam.
"Bukan maksudku kau tidak boleh bahagia."
Malia mengangguk mengerti. "Aku tahu, Papa. Jangan khawatir, aku akan dijaga dengan baik."
Norman yang selesai bicara dengan resepsionis itu mendekati keduanya. "Jika kau ingin menginap, aku sudah memesankan kamar untukmu, Don."
"Tidak." Dia menarik napas. "Aku akan pulang."
"Papa… menginap saja, habiskan waktu bersamaku."
"Aku tahu kau ingin menghabiskan waktu bersama suamimu, Sayang," ucap Don sambil terkekeh. Dia mencium kening Malia lama. "Aku akan merindukanmu."
Kini tatapannya beralih pada Norman. "Jaga putriku di sana. Jika aku punya kesempatan, aku akan ke sana. Sampai saat itu, jaga Malia untuku."
"Malia Derullo, dia sudah menjadi bagian dari keluargaku, tentu aku akan menjaganya."
Tanpa Don sadari, kepergiannya membawa Malia pada neraka yang paling menyedihkan. Putri kecilnya akan menemukan kepedihan di dunia sesungguhnya, tanpa siapapun.
Dan Norman, dia sengaja membawanya ke Meksiko, mempertemukannya langsung dengan kakeknya yang gila akan balas dendam.
----
**Love,
ig : @Alzena2108**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!