Saat itu hari sudah malam, semua siswa SMA yang merayakan perpisahan di pantai berpasir tampak meriah
Namun Almaira tidak peduli.
Malam ini, adalah malam pernikahan. Itu sebabnya ada ekspresi penuh tekad dalam bayangannya di kaca.
"Aku pasti bisa melakukannya," gumamnya pelan.
Hanya memikirkan apa yang akan dilakukannya saja sudah membuat jantungnya berdebar kencang.
Tetapi Almaira tidak punya pilihan lain sekarang. Ini adalah kesempatan terakhirnya dan dia harus berusaha keras.
"Benar aku harus bisa."
Setelah bergumam sendiri lagi, pintu kamarnya terbuka. Seorang laki-laki tampan melangkah masuk sambil menatapnya dengan dingin.
Penampilannya luar biasa sempurna, seperti tidak pernah sekalipun menerima penghinaan dalam hidupnya.
Dia adalah Yaga Aryasatya Pratama. Sepupu Almaira yang usianya lebih tua enam tahun.
Dan dia adalah CEO, Putra pertama dari keluarga ini, sekaligus calon penerus Pratama Group.
"Almaira, apa kamu sudah siap atau semacamnya?" tanya Yaga
Sambil menatap wajah tampan itu Almaira bicara dengan wajah memerah "Ya, apa ada hal lain yang mau Kak Yaga sampaikan pada Aira?"
"Sebelum itu, apa kamu melihat kalung emas berhuruf Namaku yang di berikan Ibu? Seharusnya itu sudah ada padamu."
"Tidak, Aira belum pernah melihatnya Kak." Entah kenapa Almaira punya firasat buruk tentang ini, tapi Yaga menjawab dengan suara tenang.
"Oh, benarkah?" Jelas sekali, ada ketidakpercayaan di matanya.
Tepat saat itu, Yaga melangkah maju, menyentuh wajah Almaira dan bergumam, "Wajah mu cantik"
Kejadian itu terjadi begitu tiba-tiba. Yaga menatap bibir Almaira dan menyentuhnya. "Itu sebabnya kamu tidak mau memakainya."
"Apa yang Kak Yaga inginkan sebenarnya?" Almaira menepis tangan Yaga dari bibirnya dengan wajah tersipu.
"Kurasa kebiasaan lamamu mungkin akan kambuh lagi."
Almaira membantah, "Aira belum pernah sekalipun berciuman Kak. Lagipula, selama kami berpacaran Aira belum pernah berkencan."
"Lega rasanya, aku pikir semua teman laki-laki mu di SMA tahu kalau kamu akan menikah denganku Almaira. Jadi, kenapa reaksi mu berlebihan?"
Aira malu Kak.. Aira malu, pertama kalinya Kak Yaga menyentuh bibir Aira seperti ini.
Almaira ingin berteriak kalau dia salah paham, tapi dia tidak punya tenaga untuk berdebat.
Almaira tahu, tidak ada gunanya yang bisa dia dapatkan dari melawan sepupunya yang akan menjadi suaminya sendiri ini.
Namun sepertinya, reaksi diamnya Almaira malah membuat Yaga semakin marah. Apalagi melihat wajahnya yang masih tersipu malu.
Tiba-tiba
Yaga mengangkat tangannya dan menjambak rambut Almaira dari belakang. Mengarahkan dagu Almaira ke arah wajahnya.
"…!" Almaira tercengang, tapi dia tahu dia harus menanggungnya. Dia tidak mau membuat keributan. Jadi harus bersabar agar Yaga tidak marah.
Sementara Yaga menekan tenaganya lebih kuat, menarik rambut Almaira di sela-sela jarinya, hingga Almaira mengerang. Yaga yang menatap gadis itu bergumam,
"Kurasa mantan mu di SMA masih mengharap mu seperti ini ya?"
Cengkeraman kuat di rambutnya dan kelembutan dalam suaranya benar-benar berbeda.
"Apa?"
"Kamu bicara berduaan seperti ini dengan wajah yang sama?"
"Aira bilang, Aira belum pernah berduaan Kak. Melakukan Video Call saja Aira tidak pernah. Kenapa..?"
"Jawab saja, aku bertanya padamu."
Merasa terhina dengan kata-katanya, Almaira mengerutkan keningnya dan marah.
"Tidak, lepaskan rambutnya."
Saat Almaira mengaku, kekuatan di tangannya mengendur.
"Lepaskan? Apa itu perintah mu?" Yaga menyeringai tipis, tapi Almaira tidak mau membalasnya.
Yaga melanjutkan, "Almaira, kamu harus bicara sopan padaku. Kalau kamu melakukannya, aku mungkin akan bermurah hati dan memaafkan mu."
Menyadari apa yang dimaksudnya, Almaira mendongak pelan dan bertanya, "Apa Kak Yaga ingin Aira merayu dan memohon seperti biasa?"
"Menurutmu?"
Tepat saat itu, hp Yaga bergetar di sakunya. Setelah ragu sejenak, Yaga melepaskan rambut Almaira dan menjawab panggilannya.
"Apa? Pesta untuk memberi selamat padaku? Apa gunanya Ibu?"
Almaira memanfaatkan kesempatan ini untuk membuka pintu. Suara Yaga terdengar samar saat dia bicara di hp nya
"Ibu, Amera sudah tiba di luar Negeri. Kenapa Ibu harus membuat masalah besar seperti ini? Tentunya, aku akan memanggil Aira dengan namanya karena dia akan menjadi istriku. Dan kenapa aku masih harus menahan diri?"
Terburu-buru keluar kamar, Almaira berpikir dalam hati.
Tapi nyatanya cuma ada Amera di hati Kak Yaga kan. Cinta pertama Kakak.
***
Seperti biasa Almaira terbangun dari mimpinya.
Meski sudah tiga tahun berlalu, kenangan itu masih begitu nyata hingga rasanya seolah pernikahan singkat itu baru terjadi kemarin.
Dengan mata terbuka, dia menolehkan lehernya, melirik sekilas pada jam bulat yang terletak di atas meja samping tempat tidur.
04:40
Ini masih subuh, pikirnya.
Tidak bisa!
Dia yang tadi mau tidur lagi, terpaksa mengangkat kepalanya, seakan alarm yang terpasang di saraf tubuhnya mendesaknya agar segera bangun.
Sebelum turun dari ranjang, dia duduk sejenak untuk merilekskan tubuhnya lalu kemudian, dia melihat sekeliling.
Mengamati segala sesuatunya di kamar itu. Yang membuatnya tersadar, bahwa dia masih tinggal di rumah suaminya yang besar.
Rumah besar di lindungi oleh pengawasan yang ketat, jadi mustahil untuk Almaira bisa pergi sesuka hatinya.
Awalnya, dia merasa putus asa, tetapi seiring bertambahnya waktu, dia semakin menyukai kehidupannya disini.
Di rumah itu, bukan cuma karena para pelayan nya ramah dan tulus, cara mereka melayani pun sangat luar biasa mahirnya.
Kamarnya luas, dirancang seperti suite hotel dengan tempat tidur, ruang tv ruang ganti dan kamar mandi pun terpisah.
Setelah mengumpulkan banyak energinya
Pertama yang ingin dilakukan Almaira adalah merapikan tempat tidur, mencuci muka di kamar mandi, menggosok gigi hingga bersih. Baru kemudian, dia keluar dari kamar menuruni tangga hingga lantai dasar. Tempat dimana melakukan tugas rutin setiap hari
Setelah sampai di bawah, Almaira menyalakan lampu dapur, mencuci piring dan gelas kotor bekas dia pakai semalam hingga bersih di wastafel.
"Pagi Non." Salah satu pelayan di rumah itu tiba-tiba bertanya, saat Almaira melirik, dia melihat sosok Bibik sekitar 50 tahun berdiri dengan bingung sambil tangannya memegang sapu dan kain lap yang terlampir di bahu kirinya.
"Pagi Bik"
"Loh, Non, bukannya Non kemarin sudah di beritahu Nyonya, kalau Non tidak boleh melakukan.."
"Tidak apa-apa Bik, piring kotornya juga cuma sedikit kok. Bibik lanjutkan saja bersih-bersih rumahnya ya."
"Tapi Non ini..."
"Sudahlah Bik.. tidak apa-apa. Bibik pergi saja, biar Aira yang mengurus pekerjaan di dapur. Hm?" Almaira tersenyum
"Oh, baik Non. Kalau begitu saya permisi, kalau Non ada butuh apa-apa panggil saja Bibik."
"Ya Bik." Almaira tersenyum "Eh Bik..!"
Bibik yang baru saja mau pergi, berhenti lagi. Memutar tubuh kearah Almaira.
"Ya, Non. Apa Non Aira butuh sesuatu?"
"Tidak, bukan itu Bik. Aira cuma mau tanya, tadi malam, Tante Rita bilang apa saja sama Bibik?"
"Oh... itu Non, Nyonya bilang, Tuan Muda Yaga akan kembali sebentar lagi."
"Oya? Kapan?"
"Bibik tidak tahu Non, tadi malam Nyonya cuma bilang, agar semuanya segera di persiapkan."
"Mmm, jadi begitu ya. Terimakasih ya Bik."
"Sama-sama Non." Bibik berbalik badan "Oya Non, Bibik hampir lupa."
"Apa yang Bibik lupakan?"
"Nona tahu tidak? Empat hari mendatang adalah hari ulang tahunnya Tuan muda!"
"Hah? Bibik tahu dari mana? Aira yang sudah jadi istrinya saja lupa, Kak Yaga hari ulang tahunnya kapan."
"Ah, masa sih Non? Bibik tidak percaya. Selama Non tinggal di rumah Nyonya, kan cuma Non yang dekat dengan Tuan muda."
"Ya iya sih, tapi itu kan dulu, sebelum Aira menikah dengan Kak Yaga. Bibik juga tahu Aira setuju menikah karena alasan apa. Dan Bibik tidak tahu ya? Bagaimana canggungnya Aira menikah dengan Kak Yaga yang awalnya Kakak sepupu berakhir menjadi suami sendiri."
"Aish, itu tidak benar, Non Aira salah besar. Tante Rita dan Ayah Non itu tidak ada hubungan sedarah."
"Aira tahu, Ayah adalah Adik tiri Tante Rita. Tapi tetap saja, situasinya aneh bagi Aira. Apalagi kami dulu pernah tumbuh bersama. Dan sekarang, huhh."
"Bibik tahu, Non dulu pernah tumbuh bersama, karena Nyonya Rita yang mengadopsi Non dari bayi sampai sekarang."
"Bibik juga salah, dulu kan Aira memang di adopsi. Tapi tidak berlangsung lama. Saat Aira berusia lima tahun. Ayah dan Ibu meminta Aira kembali untuk di besarkan sampai Aira lulus SMP di kampung. Baru setelahnya, Aira benar-benar tinggal di kota ini selamanya."
"Tapi kan Non, setiap Non libur sekolah, Non selalu menghabiskan masa liburan Non di rumah Nyonya. Saat itu juga, Nyonya suka mengajak Non bertamasya bersama dengan Tuan Muda dan Adik perempuannya."
"Mmm, benar juga. Tapi akhirnya, entah apa yang di janjikan Om Pratama dan Tante Rita pada Ayah dulu, sampai Aira harus menikah dengan Kak Yaga setelah Aira baru lulus SMA. Dan Kak Yaga juga..."
"Aduuh.. maaf Non, Bibik bukan bermaksud menambah luka masa lalu di hati Non. Sekali lagi.. maafkan Bibik ya Non."
"Tidak apa-apa Bik. Aira juga tahu, tujuan Kak Yaga pergi ke luar Negri selama tiga tahun ini untuk apa."
"Bibik tahu, beliau pasti pergi untuk urusan pekerjaan apa bisnis ya Non namanya. Bibi lupa. Itu yang pernah Nyonya bilang pada Bibik."
"Tidak Bik, Kak Yaga pergi bukan karena itu."
Tapi dia pergi menyusul Amera, cinta pertama Kak Yaga.
Bibik terdiam, tidak tahu harus bicara apa melihat Almaira yang tiba-tiba menundukkan kepalanya dengan padangan kosong. Menahan rasa sakit sendiri seperti benang kusut yang menyiksa di lehernya.
"Mmm... kalau begitu, Bibik permisi dulu ya Non."
"Ya Bik silahkan, lanjutkan pekerjaan Bibik." tersenyum.
Dan Bibik pun melangkah pergi, meninggalkan Almaira sendirian.
Dengan gerakan lambat, Almaira kembali melakukan tugasnya mencuci piring, memotong sayuran dan buah yang baru saja dia ambil di kulkas. Membuat makanan sendiri untuk sarapan.
Sebenarnya Almaira merasa ambigu kali ini. Entah itu apa, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang. Karena tidak boleh melakukan tugas yang ingin dia lakukan seperti biasa. Melakukan pekerjaan rumah agar tetap bersih dan nyaman.
Itu karena di larang oleh Rita dari beberapa hari yang lalu. Almaira tahu, tujuan Rita mengajari tugas rumah hanyalah untuk mendidik dan bukan hal lainnya.
Namun buruknya, terkadang, gadis itu suka menyalah artikan maksudnya. Merasa diri bukan siapa-siapa di rumah Rita yang besar itu dulu.
Ya seperti itu gambaran hatinya
Meski begitu, Yaga dan Almaira dulu cukup dekat, sebagaimana layaknya hubungan Kakak dan Adik sepupu. Dengan usianya yang lebih tua enam tahun, laki-laki itu memang cocok di jadikan teman untuk sekedar saling mengobrol. Seperti pembatas sakral yang tidak boleh di lewati.
Namun, siapa sangka dan entah awalnya dari mana yang membuat Kak Yaga setuju menikah dengan Aira. Sementara rumornya, laki-laki itu masih menjalin hubungan dengan cinta pertamanya sampai sekarang.
Hhh sungguh Aira tidak mengerti, kenapa tidak selamanya saja, Kak Yaga tinggal di luar negeri bersamanya? Dengan begitu, Aira bisa hidup dengan bebas tanpa ada rasa canggung yang mengganggu disini.
Toh, saat Kak Yaga tiba, pasti ujung-ujungnya cuma iseng menyuruh Aira ini dan itu. Dan melarang Aira melakukan itu dan ini. Dia memang licik.
Aira masih ingat, dulu Kak Yaga pernah bilang, kalau dia alergi di sentuh perempuan. Gila! Memang.. Aira dan Amera bukan perempuan ya? Seenaknya saja, Kak Yaga membenarkan rumor itu tanpa rasa malu.
Hhh, Kak Yaga memang benar-benar menyebalkan.
Tapi untunglah, walaupun kami sudah menikah, selain kontak fisik, kami belum pernah sekalipun saling mengecup bibir dan keningnya satu sama lain, tidur bersama, malam pertama atau apapun itu namanya
Karena sesungguhnya Kak Yaga membenci ku.
Terbukti dari setelah kita menikah, malam itu Kak Yaga pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa. Sikapnya berubah. Aira juga ditinggalkan di rumah ini sendirian selama tiga tahun.
Itu sebabnya, saat bertemu kembali, Aira ingin rasanya kita bercerai saja. Tapi...
Apakah keinginan Aira bisa terwujud?
Dengan begitu Aira bisa dengan bebas menjalin hubungan dengan laki-laki yang Aira cintai kan?
Almaira sambil duduk sarapan, dia merenung dalam diam
Perceraian adalah satu-satunya jalan keluar bagi Almaira. Ini adalah keputusan yang sulit untuk dibuat, dan meskipun dia sudah lama mengatur strategi ini, dia tidak bisa bersantai.
Sambil menekan jantungnya yang berdebar kencang, Almaira perlahan melangkah mengikuti alunan angin musim semi. Di ujung jarinya yang kemerahan, aroma segar bunga di taman memenuhi udara.
Pemandangan taman yang dipenuhi bunga itu tampak indah dan menenangkan.
Saat terakhir kali Yaga ada di rumah ini adalah tepat setelah kepergian cinta pertamanya yang bernama Amera
Sorang gadis teman sekelas Almaira, yang tiba-tiba pergi melanjutkan studinya untuk kuliah di luar Negri.
Mungkin, itu sebabnya Bibik berusaha keras untuk membuat rumah ini kembali seperti rumah pengantin baru.
"Wah, berapa lama kita tidak bertemu?''
Suara-suara yang terdengar agak familiar
Pelayan dan dua pelayan lainnya mengobrol di halaman rumah belakang. Sepertinya mereka baru saja di pindahkan Rita kesini mulai hari ini.
Aslinya, ketika mereka datang, gerbang rumah belakang harusnya ditutup. Tapi karena Bibik sibuk di rumah utama, sepertinya ada kelengahan.
"Lihat! Selama tinggal di rumah ini, wajah mu semakin berseri ya."
"Ah, kamu bisa saja deh. Kalian di pindahkan kesini atas perintah dari Nyonya Besar juga kan?"
"Tentu, Tuan Muda akan segera kembali, jadi harus begitu."
"Itu wajar, rata-rata kan, Nyonya rumah memang begitu."
"Iya juga sih ya, padahal, dari dulu aku ingin bekerja di rumah ini, dari setelah Nona Aira menikah. Tapi aku senang, setelah sekian laman aku mencari kesempatan, akhirnya aku bisa kembali melihat Nona Aira disini. Hehe.."
"Perasaan, waktu terakhir kali kamu pernah bilang kamu senang berkerja di rumah Nyonya Besar deh sepertinya?"
"Hehe, kalau itu sih dua-duanya. Bagaimana dengan mu?"
"Aku?"
Almaira menggerakkan bahunya sambil menoleh ke arah tiga pelayan lama yang sedang berbaur di balik tembok.
"Apa aku harus bilang ini?"
"Apa itu? Katakan saja."
"Mereka bilang, Tuan Muda mungkin.. akan menghabiskan malam pertama di hari ulang tahunnya."
"Apa kamu bilang? Tuan muda akan... Aish, kamu tahu kabar yang begituan itu darimana?"
"Walau masih belum pasti, tapi... Ku dengar Tuan Besar dan Nyonya Besar sudah membicarakannya."
"Waaah, sungguh? Kalau itu benar teman-teman kita yang lain tahu, pasti heboh."
"Dasar tukang gosip, kamu pasti iri kan?"
"Aku iri? Mana berani aku. Yang ada aku malah senang melihat Nona Aira akhirnya bersatu dengan Tuan muda."
"Ah, benar juga ya. Hei, kamu ingat tidak, saat Nona Aira merayakan hari ulang tahunnya yang ke dua puluh satu tahun. Nyonya Besar bilang semua tamu laki-laki muda yang di undang. Mengakui Nona Aira sebagai cinta pandangan pertamanya."
Belum terdengar jawaban dari lawan bicaranya
Dasar gila.
Tawa kecil lolos dari bibir Almaira
Entah ulah siapa lagi yang sengaja menyebarkan rumor seperi itu.
Dengan mudah, Almaira bisa membayangkan wajah arogan Yaga bila mendengar rumor itu, reaksinya pasti seolah-olah dunia ada dalam genggamannya.
Kamu harusnya bersyukur, karena akulah yang akhirnya menikah dengan mu.
Membayangkan matanya yang angkuh saat bicara seperti itu, rasanya sungguh absurd tapi juga membuatnya merasa sedikit terhina.
Saat momen itu meluncur keluar, emosi yang berkecamuk di dalam diri Almaira tiba-tiba menghilang, seperti gelembung yang pecah. Sejak julukan Nona Muda menjadi bagian dari identitasnya, Almaira telah melalui banyak hal.
Saat Almaira memutuskan untuk berbalik dan pergi, sebuah pandangan membuatnya gemetar. Di tengah keheningan yang terasa menyejukkan, dia bertemu dengan tatapan dingin.
Sepasang mata seperti predator, langkahnya anggun, namun penuh kewibawaan. Sosok laki-laki tinggi dengan setelan berwarna navy gelap berjalan melewati jalan setapak di taman itu.
Postur tubuhnya besar dengan aura yang mengintimidasi membuat Almaira merasa lebih mirip patung daripada manusia hidup.
Dia memandangi wajah Almaira seperti pemilik sah yang sedang menilai barang miliknya. Tatapan mata itu penuh dengan keanggunan yang melekat pada jiwanya, seperti menganggap semua orang yang bukan siapa-siapa di sekitarnya hanyalah debu yang berterbangan.
Almaira mengenal sosok itu.
Dia suaminya, Yaga Aryasatya Pratama, CEO Pratama Grop.
Sosok laki-laki itu sering muncul di berita hampir setiap hari. Bahkan, setiap reporter menyebut namanya seperti idola. Nama yang memiliki kekuatan lebih besar dari kebenaran itu sendiri. Karena dia adalah pewaris potensial keluarga Pratama yang juga menjadi sumber dana bagi stasiun TV tersebut.
Karena Yaga sudah menjadi suami mu, layani dia dengan penuh penghormatan.
Saat dulu mendengar Ayahnya mengatakan itu, Almaira sempat mencibir. Bukankah semua tugas istri pada dasarnya sama saja ya? Namun ironisnya, dia yang masih di bawah tekanan aura laki-laki itu, merasa kewalahan.
Apalagi melihat Yaga yang sudah berdiri di depan hanya dengan jarak beberapa langkah darinya, memandang dengan intens.
Tatapannya dingin, penuh penilaian, seperti menantang keberadaan Almaira di tempat itu.Tanpa perlu menambahkan kata-kata yang menonjol, pandangan matanya sudah cukup mengatakan
Lama tidak bertemu. Dengan cara yang seolah di bungkus sopan santun
"Dulu, waktu aku masih muda dan bodoh, aku merasa hancur setiap kali membayangkan Tuan muda menikah. Tapi kalau soal menikah dengan Nona muda, itu lain lagi ceritanya. Sekarang, aku rela melihat mereka bahagia walau pernikahan mereka tertutup."
"Hebat sekali ya, ternyata, kamu benar-benar cinta sejati. Tapi omong-omong, cerita di malam pertama itu... Apa mereka benar-benar belum di perbolehkan berhubungan intim? Bukankah, itu sebabnya Tuan muda pergi ke luar Negri?"
"Apa yang kamu bicarakan? Kamu sudah gila, ya? Rumornya, ada yang bilang kalau Tuan muda pergi menyusul cinta pertamanya."
"Oh, jadi yang kabarnya mereka belum pernah berciuman, kamu mendengarnya juga?"
"Dulu sih, tapi kan itu belum tentu benar."
Sambil mengabaikan obrolan ambigu dari balik tembok, sosok laki-laki di hadapan Almaira dengan santai mengarahkan pandangannya ke bawah. Tatapan yang awalnya acuh tak acuh kini berubah menjadi tajam, menelusuri tubuh Almaira dari kepala hingga kaki. Sampai akhirnya berhenti di bibir manisnya yang berwarna merah muda alami itu.
Sejujurnya, setelah insiden pernikahan itu terjadi, perasaan Almaira perlahan terkikis tanpa henti. Seolah takdir melemparkan dirinya ke dalam jurang penghinaan yang tiada akhir. Kepolosan, keceriaan, dan keriangan yang pernah dia miliki hancur seketika dulu.
Ada hari-hari ketika dia menyerah dengan nasib itu, tetapi kehilangan rasa percaya diri, ternyata bukan sesuatu yang benar-benar bisa dia terima.
"Astaga, kamu lihat baik-baik bagaimana rupa wajah Nona! Gila, cantik sekali. Dulu waktu mereka menikah, kita semua berkumpul dan berdoa agar sekali saja kita di beri kesempatan buat melihat mereka berciuman."
"Diamlah, dasar tukang heboh. Nanti kalau kita kedengaran bagaimana?"
Tatapan Yaga yang sebelumnya tertuju pada bibir Almaira, perlahan naik menelusuri wajahnya. Ketika angin berhembus, rambut panjangnya bergoyang, menampar wajah Almaira yang halus dan indah. Saat itu, alis salah satu mata Yaga terangkat perlahan.
Tangan Almaira yang sedari tadi mengepal dingin, kini memucat. Rasa malu yang melanda luar biasa membuat kedua pipinya berdenyut memanas, dia berusaha keras menjaga ekspresi agar tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa tampangmu jadi serius begitu? Itu kan dulu, saat Nona kita masih terlalu muda. Lagipula, siapa percaya kalau Tuan Muda belum pernah sekali pun menciumnya. Mereka kan pernah tumbuh bersama, setidaknya Nona muda, pasti pernah di cium pipinya kan?"
"Ah, itu tidak mungkin, saat itu kan, kabarnya Tuan muda sudah menjalin hubungan dengan cinta pertamanya."
"Mmm bisa jadi. Apa kamu pernah berpikir kalau Tuan muda hanya mengejar keuntungan dari menikahi Nona Aira?"
"Yah, mungkin bisa jadi begitu kan? Aku sangat khawatir, kira-kira bagaimana ya, nasib Nona Aira kedepannya saat menjalani hidup bersama Tuan muda."
"Lagipula, bukankah semua akan berubah? Nona Aira tidak bisa bertingkah manja lagi di depan suaminya. Apa itu gara-gara Nona Aira masih berpikir, sikap Tuan muda tidak sama dengan yang dulu?"
"Hhh, sayang sekali ya? Nona kita masih sangat polos, tidak ada yang berubah."
Merasa darah mengalir cepat ke tengkuknya, kulit pipi Almaira rasanya panas.
Di balik keheningan, Yaga tetap memandang Almaira seolah mengikat pandangannya.
Dalam celah itu, percakapan yang sebelumnya terdengar di balik tembok, menghilang entah kemana.
Andai aku tahu dari awal kalau dia yang akan menjadi suamiku. Sekalipun Amera menolak, Aira pasti akan berusaha mati-matian untuk menjodohkan Kak Yaga dengannya. Agar aku bisa lari dari pernikahan yang memusingkan ini.
"Sudah lama," akhirnya Yaga bicara memecah keheningan. Ia menunjuk ke arah kursi di taman, meminta Almaira untuk duduk. Saat angin berhembus lagi, aroma maskulin familiar yang disukai Almaira menusuk hidungnya.
Tanpa menunggu, Yaga duduk di kursi sebrang dengan punggung tegak seperti batu yang anggun.
"Oh" Almaira yang bingung sejenak, tersenyum dan ikut duduk. Sambil mengamati dia perlahan bicara "Aira tidak menyangka Kak Yaga akan pulang secepat ini."
Kak Yaga?
Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia memanggilnya seperti itu. Ketika mendengar gadis lain yang menyebutnya, Yaga selalu berkhayal tentang merobek mulut mereka. Namun Almaira sebaliknya. Ketika dia memanggilnya begitu, dia sangat senang.
Almaira menunduk bingung melihat tatapan tajamnya. Duduk di hadapan Yaga, dia merasa seperti kembali menjadi anak kecil lagi.
"Kamu sudah dewasa sekarang ya." Nada suaranya menggelitik telinga Almaira.
Ini tidak terduga bagaimana dulu Kakak sepupunya sangat ketat dengan aturan. Namun sekarang, dia yang duduk di depannya sebagai seorang suami. Hanya membuat Almaira merasa semakin canggung.
"Kamu juga tidak pakai riasan." Suara rendahnya menusuk dalam-dalam ke indra Almaira. Jantungnya berdebar kencang saat perasaan aneh memenuhi dirinya. Lehernya terasa hangat dan Almaira mengepalkan tangannya.
"Ngomong-ngomong…" Sambil melihat tinjunya, Yaga melanjutkan, "Ibu memasukkan mu ke universitas yang sama dengan tempat Anita kuliah, tapi kudengar kamu mengundurkan diri."
Mata Almaira membelalak. Dia tidak menyangka bahwa laki-laki itu telah mendengar apa yang terjadi padanya.
Dia bergumam pelan, "Ada keadaan yang tidak terduga…"
Tidak seperti sebelumnya, Yaga tidak bertanya kenapa. Lagipula, Almaira masih berpikir, dia bukan Kakak sepupunya yang dulu lagi, apalagi teman curhat.
Melihat matanya yang hitam dan dingin tampak cekung karena kelelahan. Energi dinginnya membuat Almaira merasa keberaniannya terjatuh ke tanah, tetapi dia tahu dia harus melakukan ini.
"Itu…" Sambil berusaha menatap matanya, Almaira menambahkan, "Kak Yaga, bagaimana kalau kita bercerai saja?"
Saat tidak mendapat jawaban, Almaira menjadi cemas. Tapi, dia tetap melanjutkan, "Jika Kak Yaga harus menikah dengan seorang yang Kakak cintai. Kak Yaga akan merasa lebih nyaman menikah dengan Amera daripada dengan menikahi Aira kan?"
Yaga bertanya dengan suara dingin, "Almaira, apa kamu masih ingat apa itu pernikahan?"
Sial! Kenapa Kak Yaga mengulang pertanyaan dulu lagi. Beberapa kesepakatan sebelum kita menikah.
"Ya Aira masih ingat, kalau Aira harus bersedia melayani Kak Yaga dan siap melakukan yang terbaik."
"Selain melakukan banyak hal bersamaku. Ku pikir ini sudah saatnya aku harus menambahkan."
"Menambahkan apa?"
Ketika melenceng dari pertanyaannya, Almaira bingung. Dia telah membayangkan banyak skenario berbeda untuk melakukan ini, tapi ini bukan salah satunya.
Karena dia tetap diam, Yaga menjelaskan tanpa berkedip,
"Mulai dari sekarang dan seterusnya kamu harus bersedia tidur denganku meskipun dulunya aku sepupu mu."
Degh,
"Maksud Kak Yaga?"
Almaira tersipu malu karena ucapannya yang tiba-tiba. Saat itulah Yaga bergumam, "Sepertinya, kamu masih tidak paham pada apa yang kukatakan bukan?"
"Tunggu!" Baru mau berdiri Almaira memanggilnya, mata lelah Yaga tertuju padanya.
"Walaupun Aira tidak tahu soal itu, tapi…" Dia menghela nafas sejenak dan melanjutkan, "Tentang tugas utama sebagai istri, Aira mungkin.. bisa melakukan yang terbaik."
Yaga tidak mengucapkan sepatah kata selama beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum tipis. Mencondongkan tubuh ke arahnya, dan menyejajarkan wajahnya dengan wajah Almaira, kemudian dia menyentil dahinya.
"A'sakit." Dia mengusap keningnya yang berdenyut
"Masuklah."
Kedengarannya seperti dia mendapat penolakan, dan Almaira menjadi malu sendiri.
Di kamar
Almaira mendesah dalam-dalam, lalu keluar dari ruang ganti. Dan berjalan mendekat ke meja dekat sofa meraih hpnya.
Saat Almaira mau membaca pesan yang masuk, hp nya bergetar lagi di tangannya dan satu pesan baru muncul.
[Apa yang kamu lakukan? Boleh aku masuk?]
Suara ketukan pintu membuat Almaira mengangkat kepala dan meletakkan hp di meja.
Ketika Almaira akhirnya sampai di depan pintu, dia memegang gagang pintu dan membukanya. Pemandangan Yaga yang sudah lama menunggu membuatnya merasa canggung karena suatu alasan.
"Sudah mandi?"
"Ya"
"Kerja bagus. Sekarang, biarkan aku masuk dan istirahat di kamar mu."
"Oh, silahkan Kak Yaga masuk dan tunggu di dalam. Aira akan bereskan tempat tidur supaya Kak Yaga bisa...."
"Hmm." Ujar Yaga, bahkan sebelum Almaira selesai bicara, Yaga sudah masuk duluan.
Membiarkan Yaga masuk ke kamarnya adalah suatu hal yang seharusnya dia lakukan. Toh dia suaminya, dia juga tidak berani menyarankan Yaga ke salah satu kamarnya pribadi yang sudah lama tidak dia gunakan di rumah itu. Setelah duduk di sofa Almaira segera mendekat ke tempat tidur dan merapikan sedikit.
Entah kenapa tempat tidur yang sudah lama Almaira gunakan selama tiga tahun itu, tiba-tiba rasanya asing.
"Almaira, berapa lama itu akan selesai. Butuh bantuanku?"
"Tidak apa-apa, Kak Yaga duduk saja. Ini sebentar lagi akan selesai."
"Oh, kalau begitu cepat selesaikan dan bawakan aku air minum."
Entah kenapa, nada suaranya berubah, terdengar seperti teguran bercampur kekesalan.
Dengan hati-hati, Almaira menuang air dari teko kaca ke dalam gelas. Sambil menahan rasa gugupnya, dia menggigit bibirnya yang kini rasanya kering. Tapi untungnya, dia berhasil menuang segelas air dan menaruhnya di meja. Kemudian dia duduk bersebrangan dengan Yaga.
Yaga meraih gelasnya dengan gerakan santai seolah sengaja untuk menarik perhatian Almaira
"Kenapa Kak Yaga tiba-tiba mau istirahat di kamar Aira?"
Yaga meminum airnya perlahan, lalu tatapannya berubah sinis dan dingin.
"Almaira, kamu tahu alasannya bukan?"
"Tidak, Aira tidak tahu."
"Mustahil."
"......"
Yaga tersenyum samar, seolah yakin dengan jawabannya. Almaira hanya mengerutkan kening, tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya.
Derrt
Saat itu, hp Almaira di meja bergetar hebat, disusul dengan nada panggilan masuk. Itu adalah Sam. Ekspresi Yaga berubah saat tahu siapa Nama yang menelpon. Lalu dia meraihnya dan menyodorkannya pada Almaira.
"Terima saja," katanya santai dengan wajah yang menantang
Entah kenapa, Almaira merasakan sesuatu yang membara di dalam dirinya. Tapi segera dia meraih hpnya dan menjawab panggilannya.
Tiba-tiba, dia ingat bagaimana dulu Yaga bersikap kasar saat mengatakan Almaira tidak ada hubungannya dengan Sam. Sepertinya kali ini, dia melakukannya dengan sengaja.
"Halo..."
_Almaira, kamu di mana sekarang? Apa kamu tidak mampir ke toko bunga hari ini?
Di tengah suasana tegang saat Yaga dan Almaira saling bertatapan, suara Sam terdengar di udara.
"Aku di rumah."
_Apa kamu sudah membaca obrolan di pesan group?
"Ya."
_Bagaimana menurutmu?
"Aku masih memikirkannya."
_Kau benar-benar memikirkannya kan? Ini kesempatan bagus tahu? Kita semua bisa berkumpul di acara reuni sekolah kita dulu.
"Ya, aku tahu."
_Hei, kamu tahu, teman seperti aku itu unik kan? Haha.."
"Apa? Unik?"
Almaira tanpa sadar tertawa pelan mendengar lelucon Sam, tapi tawanya langsung memudar.
Di depannya, Yaga mengerutkan kening sambil mendekatkan gelas ke bibirnya. Gerakannya masih menarik perhatian, apalagi saat tenggorokannya bergerak menelan air minum. Almaira terdiam sejenak, merasa ada yang aneh dengan sikap Yaga.
_Kamu tahu Almaira? Rasanya aku seperti kembali ke masa lalu saat kita ngobrol begini. Ingat tidak saat pelajaran matematika dulu? Bukannya belajar, kita berdua malah kabur ke kantin dan makan Indomie instan bareng Anna hahahaa..
"Hmm aku masih ingat. Eh, kamu masih suka berbagi cerita dengan Dera kan?"
_Oh Dera? Jangan di tanya. Anak itu selalu kabur dari rumahnya setiap hari! Setiap kali kita bercerita sambil bermain game, aku bertanya-tanya kenapa aku harus mendengar ceritanya ya?
"Dera masih begitu?"
_Ya Almaira, kamu tahu? Diam-diam dia mencarikan aku jodoh untuk kencan buta. Berani sekali dia ya? Dia tidak tahu, kalau sebenarnya aku lagi mengejar Anna saat ini.
"Hmm, dia memang begitu kan? Selalu iseng menjahili orang. Hhh.."
Fokusnya pada cerita di telepon mulai menguap. Seluruh perhatian Almaira terpusat pada suami di depannya. Akhirnya dia menjawab seperlunya pada apa yang di katakan Sam.
_Pokoknya, kamu harus datang ke sekolah. Teman-teman kita ingin bertemu denganmu. Pulangnya, kita makan bersama yuk, bagaimana? Mau tidak?
Saat itu, Yaga terkekeh, meneguk sisa air minum di gelasnya, sebelum dia letakkan kembali gelas kosongnya di meja dengan benturan keras. Dia kemudian berdiri, pindah duduk di sebelah Almaira, tatapannya lebih dingin dari sebelumnya.
"Cukup."
_Apa?
Suara Sam dan Yaga saling bertemu di udara, wajah Yaga perlahan mendekat, dan meski bibirnya tersenyum, tapi sepertinya tidak sampai ke matanya.
_Siapa di sana? Kamu bicara dengan siapa Almaira?
Genggaman Almaira semakin erat di hp nya. Dia ingin menjawab, tapi kata-katanya tersangkut, seolah tidak bisa dia keluarkan.
_Almaira, apa itu Yaga suami mu? Suami mu sudah kembali pulang?
"....."
Baru mau Almaira menjawab, Yaga dengan cepat merebut hp nya.
_Hei, Almaira? Apa itu benar? Matilah aku...
Panggilan telepon terputus, meninggalkan pertanyaan Sam yang belum terjawab.
Dengan santai Yaga menyimpan hp nya di meja sambil memandang ke arah Almaira tajam
"Almaira"
"A-apa?"
"Bagaimana kalau kita mulai tidur bersama malam ini?"
"Hah?"
Pertanyaan yang langsung ke intinya tanpa basa-basi, membuat Almaira tersipu dengan malu. Karena tidak ada jawaban Yaga tersenyum tipis dan berdiri.
"Terima kasih atas air minumnya. Sepertinya ibuku tidak akan datang sampai malam ini, jadi aku mau istirahat dulu dan tidur di kamar ku."
Saat berjalan melewatinya Yaga terkekeh, seolah sengaja menunjukkan bahwa dia menyadari kecanggungan Almaira
"Tu-tunggu sebentar Kak."
Mendengarnya di panggil kembali, Yaga berhenti
"Ada apa Almaira? Kamu ingin kita tidur bersama saat ini juga?"
"Tidak, siapa bilang. Dasar Kak Yaga meseum."
"Aku meseum. Ah, apa itu semacam pujian buat ku Almaira?" Yaga tersenyum samar ketika Almaira kembali diam mendengar kata-katanya."Katakan apa mau mu?"
"Itu... Boleh Aira minta izin pergi keluar sebentar?"
"Pergilah, sepertinya aku juga ada urusan malam ini."
Kemana...? Apa Kak Yaga mau pergi bertemu Amera? Entah kenapa kata-katanya tidak mau keluar dari bibirnya.
"Oh, kalau begitu terimakasih Kak."
"Hmm.."
Pada akhirnya Almaira cuma bisa mendesah melihat punggung Yaga saat berjalan melewati pintu kamar yang terbuka.
* * *
Di toko bunga.
"Almaira, terimakasih karena kamu selalu menemaniku." Kata Anna saat duduk di sofa toko bunga milik Anna
"Hemh" Anna tersenyum mendengar kata-katanya "Ngomong-ngomong... Kenapa kamu mendadak pergi ke luar malam itu? Ku kira itu pertama kalinya kamu kembali bertemu dengan Amera dari setelah kepergiannya selama tiga tahun ini? Lagipula, walaupun saat itu Kak Yaga masih tinggal di luar Negri. Setidaknya kamu tetap harus minta izin dulu pada suamimu bukan?"
"A-aku..." Almaira menyelipkan rambut ke belakang telinganya "Ada urusan mendadak yang harus segera kami selesaikan."
"Oh. Ku kira dia mulai berani macam-macam lagi padamu."
"Tidak, sebaliknya, ada apa dengan mu belakangan ini Anna? Kenapa setiap kali aku melihat rasanya kondisimu kurang baik?"
Anna menggenggam tangan Almaira dan bicara "Aku tidak apa-apa. Ayahku sakit. Semua urusan perusahaan jatuh ke tangan ku. Aku sibuk selama beberapa hari. Jadi Almaira.."
"Apa? Ayahmu sakit?" Almaira memotong "Kenapa kamu tidak bilang dari awal? Haruskah aku menemanimu?"
"Aish, tidak usah. Ibuku lagi merawatnya."
Mendengar kata-katanya Almaira dengan lembut membelai punggung tangannya menguatkan.
"Sabarlah, selama ini kamu sudah berkerja keras Anna. Harusnya kamu kabari aku."
"Hhh." Anna mendesah "Kamu baik sekali padaku. Suamimu sudah kembali kan? Seharusnya kamu fokus mengurusi suami mu saja. Aku baru sadar, jadi pelajar itu ternyata menyenangkan ya. Sibuk mengurus toko sekaligus bekerja di perusahaan itu sungguh melelahkan."
"Tidak apa-apa. Hanya dalam waktu singkat, kamu harus berlarian pada dua tempat. Setelah ayahmu sembuh, baru kamu bisa fokus kembali dan mengurus toko bunga ini dengan normal kan. Hm?"
"Almaira, kondisi ayahku belum jelas. Tidak mungkin aku bisa mengurus toko dan perusahaan bersamaan. Jadi, mungkin tahun depan aku kembali dan mengurus toko ini."
"Apa? Itu artinya kamu akan menutup toko bunga mu sementara?"
"Tidak apa-apa Almaira, kamu jangan khawatir. Lagipula, coba kamu pikirkan. Aku seorang diri bisa menjadi wakil CEO. Sangat hebat bukan?"
"....." Entah kenapa Almaira diam tidak mau menjawab
"Kenapa? Almaira, kamu melamun ya?"
"Tidak"
"Kalau begitu, aku akan bawakan kamu air minum."
Almaira mengangguk dengan jawabannya.
"Minumlah" Kata Anna sambil menyodorkan segelas air minum padanya.
"Hmm, terimakasih."
"Sama-sama" Setelahnya Anna meraih remote di meja dan menyalakan tv nya
***
Sore menjelang malam di rumah Amera
"Maaf mengganggu waktu mu" kata Yaga
Amera memaksakan senyum saat Yaga masuk. Senyumnya palsu, tetapi tetap terlihat sempurna. Dia menjawab, "Ada perlu apa yang membawamu ke sini?"
Dengan suara berat, Yaga berkata, "Aku di sini karena ada sesuatu yang ingin kukatakan pada mu."
"Harus sekarang juga?" Amera bertanya dengan bingung.
"Ya, sekarang juga."
"Apa pentingnya sampai kau harus berkunjung ke rumah ku?"
Mendengar nada yang menuduh, Yaga mengalihkan pandangannya
"Apa kau baru saja menyuruhku melapor padamu?" tanyanya. "Atau apa aku perlu mendapat izin mu dulu?"
Amera yang mendengarkan dengan tenang, melirik ibunya dengan gugup sebelum memerintahkan
"Tolong ibu, bawakan kami air minum."
"Ya," Ibu Amera menjawab
"Tidak perlu. Aku cuma ingin bicara dengan Amera sebentar." pinta Yaga, dan ibu Amera tersentak dalam diam.
"Amera" kata Yaga ketika Amera mendongak dengan hati-hati, dia melanjutkan bicara, "Mari kita bicara di sana."
Tepat saat itu, Amera menatap ibunya, sebelum melihat ke arah teras diluar yang dekat dengan taman. Amera mengerti apa yang ingin dikatakan, jadi dia menjawab "Mari ikuti aku lewat sini."
Amera membawa Yaga ke teras, ini pertama kali dia datang ke rumah ini.
"Apa… yang membawamu ke sini?" tanya Amera lagi setelah membuka pintu dan duduk di kursi kayu, berhadapan.
"Angkat wajahmu," perintahnya Yaga, tidak ada ruang untuk membantah dalam suaranya, jadi Amera menurut dengan ragu-ragu.
"Kau bisa jujur padaku," tambah Yaga, tapi dia tidak menolak untuk menurut. Suaranya begitu kuat hingga membuat Amera rasanya tertekan.
"Sebelumnya, aku pernah bertemu Almaira." Amera membuka suaranya.
"Oh ya?"
"Itu terjadi satu kali. Terus terang, sejak terakhir kali kami berpisah. Aku dan dia... tidak begitu akur."
Yaga memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu. Sejujurnya, saat Almaira masih di SMA, Amera memanfaatkan kebaikannya. Dan Yaga sangat menyadari bagaimana hubungan mereka sebenarnya dulu.
"Bukan cuma aku yang memanfaatkan kesempatan ini. Tapi Aira yang meminta kita bertemu diam-diam." Imbuh Amera. Dia tidak berbohong karena dia sendiri yang mendorong Almaira untuk bertemu.
Namun Yaga, tentu tidak mempercayainya dan dia bergumam, "Menurutku, dia baik-baik saja."
Amera tahu kenapa Yaga curiga. Saat masih SMA, Almaira pernah menghabiskan sebagian besar waktu luangnya di pusat perbelanjaan.
Yaga lah yang memberi Amera keanggotaan, dan memaksanya untuk mengikuti Almaira dan melapor padanya. Yaga tidak cukup baik untuk menjelaskan kenapa Amera harus melakukan ini, tapi ternyata Almaira cukup pintar untuk mencari tahu sendiri. Sampai akhirnya dia salah paham.
"Jika aku menggunakan kekuatan penuhku, hidup mu akan berakhir jika menyakiti Almaira seperti sebelumnya. Kau tahu?"
Mata Amera membelalak mendengar kata-kata dingin familiar itu. Dia menggigit bibirnya dan menunduk dalam diam.
Di atas nampan yang dipegang ibunya ada dua cangkir teh hijau hangat dan sepotong kue Pai di simpan di meja.
"Tidak, terima kasih." tolak Yaga
Alih-alih menjawab ibu Amera kembali ke dalam rumah.
"Kenapa harus Almaira?" Amera bertanya lebih lanjut, seolah-olah dia merasa itu tidak adil. Yaga menatapnya dengan tenang, dan Amera melanjutkan, "Sejujurnya… Aku tidak bisa memahami. Dia sepupu mu dan itu tidak masuk akal. Kenapa?"
"Kenapa aku harus menjelaskannya pada mu?"
"Karena aku pacar mu."
"Siapa bilang kau pernah menjadi pacarku?" tanya Yaga dingin.
"Apa kau tahu gadis macam apa Almaira itu? Dia sudah sering kabur dari rumah sebelumnya, dan setelah dia mengundurkan diri, aku jarang melihatnya di rumah! Dia… Dia tidak punya etika."
"Oh, jadi dia kabur dari rumah ya…" gumam Yaga
"Ya, itu benar. Dia kabur dari rumah! Dia tidak punya uang, jadi kau tidak tahu apa yang dia lakukan saat tinggal di luar. Bukankah dia juga mendekatimu dengan cara yang tidak pantas?" Amera menjelaskan dengan gembira, mengira dia berhasil mengubah pikirannya.
"Dan yakin kau tidak memaksanya untuk melarikan diri?" tanya Yaga dengan nada dingin. "Sama seperti kau yang memaksanya untuk bercerai denganku."
Yaga tampaknya sudah tahu tentang hal itu, dan wajah Amera berkerut karena marah. Dia berteriak, "Kak Yaga!"
Meskipun berteriak, Yaga tetap tenang. Ketika dia tampak tidak terpengaruh, Amera yang tersentak.
"Haa…" Amera menggigit bibirnya dan menatap Yaga. Cahaya dari lampu taman menyinari wajahnya yang tajam dengan terang. Tampak seperti patung yang diukir dengan sempurna, tampan sekaligus dingin. Amera merasa kewalahan seolah-olah di tekan oleh yang entah itu apa.
Tepat saat itu, ibu Amera berlari keluar dan meraih lengan putrinya. Dia berkata pada Yaga,
"Tuan Muda, kurasa hari sudah malam. Kenapa Anda tidak pulang saja sekarang?"
Suaranya terdengar canggung namun ramah saat dia menambahkan, "Dan tolong pengertiannya... luapan emosi Anak saya."
"Pengertian macam apa yang kau maksud?" tanya Yaga dingin.
"Tuan Muda, bukankah wajar jika Amera kesal pada situasi ini? Dia sudah lama menunggu. Jika Anda akan melakukan ini, Anda seharusnya mengatakan sesuatu sebelumnya dulu. Anda seharusnya menjelaskan bahwa Anda tidak berniat menikahi Amera pada saya."
"Dan pernahkah kau bertanya pada anak mu apa sebenarnya yang ku perintahkan?"
Mengabaikan sindiran Yaga, ibu Amera meninggikan suaranya. "Pokoknya! Saya tidak pernah menyangka Presiden Pratama akan bersikap seperti ini. Seluruh situasi ini telah membuat seluruh keluarga saya kesal."
"Oh, sekarang, giliranku memperingati mu," Yaga mengumumkan. Amera mengangkat dagunya, setelah beberapa detik terdiam, suaranya Yaga yang datar bicara. "Jika kau memanfaatkan dan menyentuh Almaira istriku lagi... Aku tidak akan tinggal diam. Paham kan?"
Sementara itu di waktu yang sama dan di tempat yang berbeda.
Hari ini rasanya sangat lambat bagi Almaira, entah kenapa sejak mendengar penjelasan dari Anna di pagi hari, Almaira tidak bisa berpikir jernih lagi.
Apalagi melihat Anna yang tiba-tiba pergi ke rumah sakit setelah menerima telepon dari ibunya.
Pikirannya jadi tidak fokus dan terus melayang, membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit.
Drrrtt…
Hp yang tergeletak di meja bergetar saat itu. Almaira tersentak, lalu dia cepat-cepat mengangkat kepalanya, meraih hp nya.
Namun, nama yang muncul di layar adalah Sam, bukan Anna. Dia menatap nama laki-laki itu sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilannya.
"Halo."
_ Almaira? Ini kamu, kan?
"Ya, ini aku."
_ Hei! Kenapa kamu tidak bilang padaku, kalau mau mampir ke toko bunga hari ini?
"Ah..."
Dia benar-benar lupa. Pantas saja Sam terdengar begitu kesal. Tadi pagi, Yaga merebut paksa hp nya.
"Maaf"
Meskipun Sam tidak tahu detailnya, rasa bersalah itu masih membebani pikirannya.
_ Apa kamu tidak membaca pesanku? Kamu menutup telepon ku begitu saja, lalu tidak membalas pesanku. Jangan membuatku khawatir.
"Maaf, suami ku yang menutup telepon mu, jadi aku lupa memberi tahu mu Sam."
_ Yah, yang penting tidak ada sesuatu yang terjadi antara kamu dengan suami mu kan?
"Tidak ada, aku benar-benar lupa."
_ Ck, kamu selalu saja begitu. Sekarang, di mana Anna? Apa pacar ku ada di samping mu?
"Apa? Kamu bilang apa? Anna pacarmu?" Almaira terkejut mendengar pengakuannya yang tiba-tiba.
_ Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku mengejarnya dua hari yang lalu di telepon? Kamu lupa?
"Ah. Kalau begitu aku senang mendengar akhirnya kau berhasil mendapatkan hati Anna."
_ Terimakasih, omong-omong Almaira, haruskah aku menjemputmu?
"Apa?"
_ Bukankah aku sudah bilang tadi pagi bahwa kamu harus datang ke reuni sekolah? Kamu lupa juga?
"Ah, benar
_ Rencananya, akan di adakan paling lama minggu depan. Kamu harus datang ya?
"Aku..."
_ Tentu saja! Kamu tidak akan datang kan. Apa kamu sibuk?
Almaira merenung sejenak. Biasanya, dia akan menolak dengan alasan-alasan yang biasa. Namun kali ini...
"Baiklah, aku akan datang." Dia menjawab spontan tanpa berpikir.
_ Apa? Serius? Kamu benar-benar mau datang?
"Kamu bilang aku harus datang, kan? Di mana kita akan bertemu?"
_ Aku tidak menyangka kamu akan setuju. Bagaimana kalau di toko bunga? Aku yang akan membawa mu bersama Anna di mobilku.
"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri."
Meski Sam terus menawarkan diri untuk membawanya, Almaira dengan tegas menolaknya.
Panggilan telepon itu diakhiri dengan Sam yang katanya mau mampir sebentar ke toko bunga hari ini. Setelahnya, Almaira kembali merakit bunga di tangannya, melakukan pekerjaannya yang tertunda.
* * *
Waktunya menutup toko pun tiba, dan lampu pada papan nama toko bunga itu mati. Pintu depan dibuka sedikit, dan Anna mengintip keluar untuk melambaikan tangan.
Almaira menatap wajah Anna dan pacarnya Sam sebelum tersenyum.
"Ini sudah malam Almaira, awas ya. Pastikan kamu pulang naik taksi."
"Hmm." jawab Almaira sambil menerima amplop yang di sodorkan Anna
Sejujurnya dia tidak mau menerima upah karena membantu Anna selama ini. Dan dia tidak mau memeriksa berapa jumlah uang yang ada di amplop, tapi dia tetap merasa bersyukur.
Almaira berjalan menyusuri lingkungan yang sudah dikenalnya, masih merasakan tatapan mata Anna di punggungnya dia tetap berjalan. Anna mungkin bersikap sinis, tapi tidak diragukan lagi dia sangat peduli pada Almaira.
Pernah suatu hari saat masih di SMA, Anna bicara dengan suara acuh tak acuh pada Almaira untuk pertama kalinya.
"Kalau tidak salah. Aku lihat kamu sering datang membeli bunga."
Anna selalu memasang wajah datar dan bersikap dingin saat di sekolah, jadi Almaira terkejut dan dia menjawab.
"Tante ku menyukainya."
"Oh, kamu baik sekali ya," gumam Anna pelan.
Sejak saat itu, dia membuatkan Almaira karangan bunga yang lebih besar dan lebih mewah tanpa biaya tambahan.
Setiap itu terjadi, Almaira selalu membawakan hadiah kecil seperti satu cup minuman dingin untuk Anna dan camilan. Begitulah akhirnya mereka menjadi sahabat.
Dan sekarang
Saat sudah cukup jauh dari toko bunga, Almaira menoleh ke belakang. Dia melihat Sam, kini berdiri di pintu untuk melambaikan tangan padanya.
"Ya Tuhan, Anna selalu saja mengkhawatirkan Aira seperti ini." gumam Almaira dan mengangkat tangannya.
Baru mau melambaikan tangan pada mereka, tiba-tiba hp di sakunya bergetar. Almaira tersentak saat tahu siapa yang menelepon.
"Kak Yaga!" jawab Almaira dengan suara dingin yang tidak disengaja. Menyadari kesalahannya, dia menutup bibirnya rapat-rapat.
_ Kamu di mana? tanya Yaga tanpa menyapa.
Meskipun Almaira meninggalkan rumah lebih dari lima jam. Cuma itu yang di tanyakan Yaga.
"Aira lagi dalam perjalanan pulang Kak."
_ Di jam segini? tanya Yaga tidak senang. Mungkin Almaira keliru, tapi kedengarannya Yaga seperti khawatir padanya.
Almaira duduk di kursi tunggu yang disediakan untuk penumpang yang menunggu bus kota di pinggir jalan.
"Aira baru mau pulang agak malam karena Aira membantu teman di toko bunga."
_ Toko bunga! Dimana?
Almaira menarik napas sambil melihat sekeliling. Jalan raya yang sepi diterangi oleh cahaya dari lampu lalu lintas rasanya tampak suram.
"Oh, tapi Aira sudah ada di halte bus."
_ Sudah makan malam?
"Mmm, sedikit."
_ Lihat cara bicaramu, kamu pasti lapar kan?
"Kak Yaga juga sama" Di seberang telepon, suara tawa pelan Yaga terdengar aneh.
Entah kenapa, Almaira seperti merasakan sesuatu yang menggelora di telinganya.
_ Sepertinya kamu tidak bisa menunggu di sana lebih lama lagi. Di mana? Aku akan menjemput mu.
Suara rendah yang lembut terdengar menyenangkan.
"Tidak perlu Kak, Aira bisa pulang sendiri."
_ Aku tahu, jadi di mana? Jangan biarkan aku mengulangnya lagi.
"Tapi..."
_ Almaira, apa kamu ingin aku menjadi orang gila yang terus ke mana-mana mencari mu? Suara dingin Yaga menusuk telinga Almaira
Degh
"Kak Yaga tidak marah kan?"
_ Mau aku begitu?
"Tidak!"
_ Jadi katakan, di mana tempatnya?
Aira menundukkan kepalanya dalam-dalam dan dengan ragu menyebutkan nama halte.
_ Hmm, baiklah aku akan segera kesana.
"Itu ... berapa lama kira-kira Aira harus menunggu?"
_ Entahlah. Tunggu aku dan jangan bergerak sebelum aku datang menjemput mu.
"Ya..."
Dan ketika mobil Yaga tiba
"Ah… Kak Yaga." Almaira merasa sedikit malu saat melihatnya datang. Dengan topinya yang diturunkan, dia bicara, "Maaf Aira sudah merepotkan, terimakasih."
Tanpa sepatah kata, Yaga membukakan pintu mobil untuknya.
"Kelak, kamu tidak perlu berterima kasih padaku pada hal kecil seperti ini." jawab Yaga terus terang
"...."
* * *
Mobil hitam itu dipenuhi aroma Yaga. Aroma itu menyelimuti dirinya seolah mobil itu adalah wujud lain Yaga. Almaira tidak percaya bahwa dirinya pantas mendapatkan perasaan asing namun nyaman ini.
"Kita pulang sekarang." Yaga masuk ke kursi pengemudi dan mulai menyetir dengan lancar. Setelah meninggalkan jalan yang sudah dikenalnya, mobil pun meluncur ke jalan hitam mengilap dengan tenang.
Keheningan menyelimuti mereka. Melihat pemandangan malam yang berlalu dengan cepat di luar, Almaira mengingatkan dirinya sendiri bahwa tidak lama lagi dia akan berpisah untuk selamanya.
Dan ketika itu terjadi…
Almaira melirik fisik Yaga dengan sembunyi-sembunyi. Fokus mengemudi, profilnya dalam kegelapan tampak sempurna sementara tangannya di setir terlihat besar dan kokoh.
Setiap kali dia harus berbelok, matanya dengan hati-hati melihat sekeliling untuk mencari keamanan, dan setiap kali lampu lalu lintas berubah menjadi kuning, dia segera memperlambat laju kendaraannya.
Penampilannya dalam kegelapan yang sunyi sungguh mengagumkan.
"Kak Yaga," panggil Almaira sambil melamun. Mobil itu berhenti di lampu merah, dan dengan lampu belakang mobil di depan yang menyinari wajahnya, raut wajah Yaga tampak lebih tegas.
"Hmm?"
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat dia menjawab. Ketika lampu belakang merah mobil di depannya menghilang, kegelapan tiba-tiba menyelimuti wajahnya. Hanya cahaya samar dari lampu dasbor yang menerangi wajahnya yang kosong.
"Jika… Kak Yaga mau bertemu Amera, Aira tidak keberatan Kak Yaga menemuinya." Almaira menawarkan.
Yaga adalah laki-laki yang luar biasa, terlalu serakah bagi Almaira untuk menginginkannya. Sejak awal, dia menikah karena ingin membalas budi dengan cara tertentu. Dan dia berharap Yaga akan merasa bebas untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Ini adil bukan
"Jadi… Kak Yaga tidak perlu khawatir tentang Aira"
"Itu tidak akan pernah terjadi Almaira" Yaga memotong ucapannya, suaranya rendah seperti biasa.
* * *
Begitu mereka tiba di rumah, Yaga segera membawanya ke ruang kerja. Karena lampu redup, bagian dalamnya tampak elegan dan mewah.
Almaira tidak bisa menahan diri untuk melihat sekeliling diam-diam, tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru. Tetapi sepertinya Yaga sudah terbiasa dengan nuansa ruang kerjanya yang seperti itu.
Jendela besar yang hanya terdiri dari satu bagian memperlihatkan pemandangan kota yang indah. Di ujung ruang itu terdapat lemari tinggi yang di penuhi dengan buku. Sementara meja marmer di dekatnya dihiasi dengan lilin lantai kristal. Dan sofa besar empuk yang kini di dudukinya rasanya sangat nyaman.
"Aku tidak bisa memikirkan tempat lain agar kita lebih tenang."
"Ini indah." Almaira bersungguh-sungguh
Setelah pulang dari luar negeri Almaira mendengar bahwa hari-harinya sangat sibuk. Jadi, wajar saja jika Yaga tidak punya waktu untuk memikirkan tempat untuk obrolan pertama mereka.
Almaira tidak ingat kapan terakhir kali Yaga peduli padanya untuk melakukan hal seperti ini.
"Aku senang kamu menyukainya." Suara Yaga terdengar tegas saat dia menambahkan, "Aku akan membawakan mu sesuatu."
Dia meninggalkan ruangan itu dengan tenang, sambil melakukan panggilan telepon di hp nya yang membuat Almaira terdiam beberapa saat. Dan menunggunya dengan sungguh-sungguh.
Tapi...
Yaga sudah lama tidak kembali bahkan ketika Bibik masuk sambil membawa minuman. Almaira mengutak-atik hp dan menunggu. Namun setelah beberapa saat dia mulai khawatir.
Apa ada sesuatu yang terjadi?
Baru Almaira mau mencari, pintu kamar terbuka.
"Maaf aku membuat mu menunggu," kata Yaga dahinya sedikit basah karena keringat, dan alih-alih duduk di seberangnya, dia berjalan langsung ke arahnya. Dia kemudian meletakkan hp dan kotak P3K di atas meja.
Melihat barang yang dibawanya, Almaira dengan hati-hati melepaskan topinya. Ketika dia melihat wajahnya, mata Yaga menyipit karena tidak senang.
"Ah…" Almaira mengalihkan pandangannya terkejut, tapi Yaga memegang dagu Almaira dengan lembut agar gadis itu tetap menghadapnya. Almaira tersentak dan mengerutkan kening.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Yaga
"Ah, ini ya? Kening Aira terbentur di pintu toko bunga tadi."
Yaga menatapnya dengan pandangan yang menunjukan seolah dia tidak percaya. Dia bertanya, "Benarkah?"
Almaira mengangguk, dan Yaga tidak mendesaknya lebih jauh. Sebagai gantinya, dia mengoleskan salep di sekitar pelipisnya dan menempelkan plester pada lukanya.
Jaraknya begitu dekat hingga Almaira bisa merasakan napasnya. Aroma tubuh Yaga sudah tidak asing lagi tercium melekat dalam hidung, tetapi Almaira tidak terbiasa dengan situasi ini.
Almaira masih ingat seperti apa Kakak sepupunya di masa lalu, dan sisi lembut yang tak terduga ini membuat hatinya meleleh. Dia tidak pernah menyadari bagian ini dari dirinya sebelumnya, tetapi sekarang dia pasti menyadarinya.
"Ah." Rasa sakit yang menusuk tiba-tiba membuatnya mengerang, membuat sentuhan tangan Yaga berubah menjadi lebih lembut. Dia memperlakukannya seolah-olah dia adalah sehelai bulu yang rapuh.
Jantung Almaira berdebar seolah siap meledak kapan saja. Alih-alih memejamkan mata, dia malah menahan napas. Tatapan dan sentuhan Yaga seolah membangunkan setiap sel dalam tubuhnya. Semua indranya tegang, namun hatinya meleleh tidak berdaya.
"Selesai." Wajah lembut Yaga akhirnya menjauh darinya.
"Kak... apa tadi Kak Yaga keluar mencari ini?" Almaira nyaris tidak bisa bertanya.
"Akan lebih baik jika aku bisa menemukan perban, tapi sepertinya Bibik lupa menyediakannya," jawabnya dengan acuh tak acuh saat duduk di seberangnya.
Almaira tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Yaga memperhatikan luka-lukanya.
"Terima kasih."
"Hmm, apa kamu mau makan malam?" tanya Yaga.
"Aira sudah makan Kak" Saat Yaga tidak menjawab, Almaira mengulang, "Aira serius."
Akhirnya Yaga mengangguk, dan keheningan singkat terjadi.
Begitu suasana canggung memenuhi ruangan. Almaira harus segera melakukan sesuatu, jadi matanya langsung tertuju ke arah meja.
Dia meraih sebotol minuman soda di atas meja, saat itu terjadi tangan Yaga menghentikannya.
"Aku tidak membawamu ke sini untuk membuatmu melakukan ini."
"Tapi..."
"Kamu bisa minum?" tanya Yaga
Almaira menggelengkan kepalanya pelan, lalu Yaga meletakkan kembali minuman di atas meja. Dia kemudian melakukan panggilan di hp nya, dan segera Bibik masuk, berdiri dan menundukkan kepala dengan sopan.
"Bawakan aku segelas jus jeruk" perintah Yaga dengan suara datar. Saat menyadari bahwa itu untuknya, Almaira pun melambaikan tangannya.
"Ah…! Tidak usah Bik, Aira baik-baik saja." desaknya.
"Begitu ya, bagaimana dengan susu?"
Almaira tersipu. Tampaknya Yaga masih menganggapnya sebagai gadis kecil meskipun dia sudah berusia dua puluh satu tahun. Mengepalkan tangannya dengan takut-takut, dia menjawab,
"Aira mau coba minumannya Kak."
"Tidak! Kamu cuma boleh minum susu." Yaga menepisnya dengan tegas.
***
Segelas susu segera diletakkan di meja. Di sisi lain, Yaga memegang gelas batu yang diisi dengan minuman bersoda.
Anehnya, Almaira tidak merasa kesal dengan penolakannya. Dia menatap Yaga dalam diam, dan Yaga melarang tanpa menatapnya
"Kamu tidak boleh minum."
"Kenapa...?"
"Karena aku tidak bisa membiarkanmu"
Yaga menjelaskan, dia bukan bermaksud mengajaknya minum malam ini. Dia hanya butuh tempat yang tidak akan diganggu.
"Kenapa Kak Yaga peduli?"
Almaira berkata tanpa berpikir, menyadari kesalahannya, dia mendongak dan melihat Yaga menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Kenapa kamu berpikir, kalau aku tidak peduli seperti itu Almaira?"
"Ah… Karena sebelumnya Kak Yaga memang begitu."
Itu jawaban yang masuk akal, tetapi Almaira mencemooh dirinya sendiri dalam diam.
"Kedengarannya aku seperti mendapat penolakan." Jawabnya santai, membuat Almaira terdiam sesaat. Lalu tersenyum dan menjawab.
"Tentu saja tidak."
Almaira tidak ingin Yaga tahu tentang rencananya.
"Lalu apa maksudmu saat kamu bilang, aku akan merasa lebih nyaman bersama Amera?"
Almaira tersentak mendengar pertanyaan tajam itu. Dia benar bahwa itulah yang ditawarkan Almaira saat mengusulkan agar mereka bercerai.
Namun, inilah kenyataannya.
Almaira menjalani kehidupan yang terlindungi sementara tak seorang pun dalam keluarga peduli dengan perasaannya.
Ini berarti bahwa segalanya akan lebih mudah bagi Yaga menikahi cinta pertamanya.
Namun, Almaira tetap tidak bisa menceritakan seluruh isi hatinya. Setelah dia berhasil bercerai dan melarikan diri dari genggamannya dia tidak mau bertemu dengannya lagi.
Begitu yang di pikirkan.
"Aira tidak pantas mendapat perhatian sebanyak Amera. Lagipula, Aira masih anggap Kak Yaga sepupu saja."
"Begitu ya?" tanya Yaga lagi pelan, dan Almaira mengangguk. Yaga menambahkan dengan ekspresi misterius, "Yah.. tidak lama lagi kamu akan segera tahu kebenarannya Almaira."
"Maksudnya?" tanya Almaira pelan.
Keheningan singkat terjadi di ruangan itu. Es di gelas Yaga berdenting pelan, tetapi suaranya seakan memenuhi udara. Merasa bibirnya mulai kering, Almaira menyesap susunya.
Yaga menghabiskan isi gelasnya dalam satu tegukan dan menatapnya lagi.
"Jadi, kenapa kamu mengundurkan diri?" tanyanya acuh tak acuh. Tampaknya sudah saatnya untuk saling terbuka.
Almaira ragu sejenak sebelum memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Ada rotasi anatomi."
Mata Yaga menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan penuh perhatian, jadi dia melanjutkan,
"Tapi Aira membeku di depan mayat"
"Tidakkah kamu berpikir kamu akan melihat mayat saat kamu masuk jurusan kedokteran?"
"Ya."
"Jadi apa yang terjadi?" tanyanya sambil mengisi gelasnya lagi. Dia menghabiskan setengahnya dan mengembalikan gelas itu ke meja.
"Mayat itu…" Bibir Almaira sedikit bergetar saat dia memulai.
Peristiwa itu terjadi pada rotasi anatomi pertama di tahun pertamanya. Profesor memberi tahu para mahasiswa bahwa mereka beruntung diberi kesempatan untuk berlatih pada tubuh asli di tahun pertama kuliah mereka.
Almaira telah membuat profesor itu terkesan sebelumnya, jadi dia mengizinkannya menjadi mahasiswa pertama yang membedah mayat.
Dia menyerahkan pisau bedah padanya. Almaira sedikit gemetar, namun dia tetap berjalan mendekati mayatnya dengan berani.
Saat berdekatan, dia melihat tanda lahir yang tampak familier di leher kiri mayat itu, warnanya cokelat tua, dan kecil berbentuk bulan.
Almaira membeku, mayat yang tergeletak adalah seorang teman laki-laki yang sempat berpura-pura menjadi pacarnya dulu, meninggal karena tertabrak mobil saat melindunginya.
Melihat tanda lahir yang sama persis di tempat yang sama. Almaira menjadi pucat dan mulai gemetar hebat.
Profesor memerintahkannya untuk mulai membedah, membuat Almaira merasa tertekan untuk bicara.
Almaira mulai bergerak dengan pisau bedahnya. Tubuh mayat itu mengeras karena bahan kimia, membuat pekerjaannya menjadi sulit. Almaira mulai berkeringat dan merasa mual.
"Lebih keras lagi!" teriak sang profesor kepadanya. "Kamu harus memberi lebih banyak tekanan Almaira"
Almaira mulai panik. Bau zat kimia yang membuat tubuhnya kaku menyelimuti dirinya bagai mimpi buruk. Pandangannya tiba-tiba kabur.
"Almaira." teriak profesornya, tetapi suaranya terdengar jauh. "Fokus!"
Itu suara terakhir kali yang didengarnya sebelum akhirnya Almaira kehilangan kesadaran. Dan ternyata, siswa lainnya juga mengalami trauma yang sama dari sesi mayat itu seperti dirinya.
"Aira minta maaf Kak" Almaira meminta maaf.
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Karena Kak Yaga sudah bekerja keras untuk memasukkan Aira ke universitas."
"Itu tugasku sebagai sepupumu dulu," kata Yaga. Itulah yang dikatakannya saat dia masih SMA. Dia menjelaskan kepadanya bahwa dia hanya melakukan hal yang seperlunya, tetapi dia tahu itu tidak sepenuhnya benar.
Lagipula, Kakak sepupu mana yang akan membawakan kotak makan siang untuk Adik sepupu pada hari ujian.
Hari itu, semua siswa lainnya disambut oleh keluarga mereka saat memasuki lokasi ujian begitupula dengan teman yang berpura-pura menjadi pacarnya. Karena dia satu-satunya yang berjalan sendiri, Almaira ingat bahwa dia merasa sangat kesepian.
Apalagi, melihat Amera begitu bahagia berduaan dengan Yaga di kejauhan, rasa kesepian Almaira semakin bertambah. Yang dia bawa hari itu untuk makan siang cuma sepotong roti dan susu yang di buat sendiri.
Saat itulah Yaga muncul dengan membawa kotak makan siang yang juga susah payah di buatnya sendiri dan bicara padanya.
"Kamu pasti bisa melakukannya. Percayalah."
Yaga tidak bicara apapun lagi, namun kata-katanya yang sederhana cukup membuat Almaira bersemangat.
Seluruh hatinya bergetar, dan dia merasa sangat bersyukur kepadanya dan bersumpah untuk tidak melupakan momen itu.
Itu sebabnya bahkan setelah dia lulus, Almaira benar-benar berharap bahwa Yaga akan menjalani kehidupannya yang bahagia.
"Jadi, apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini?" tanya Yaga
"Teman Aira membuka toko bunga sendirian, jadi… Aira suka mampir ke sana pada siang hari kerja dan membantu."
"Jadi itu pekerjaan paruh waktu?"
"Bukan. Aira tidak tega melihatnya kesulitan Kak. Itu saja, sungguh."
Yaga mengernyit sedikit, seolah sedang berpikir keras. Tampaknya dia belum sepenuhnya percaya, dan entah mengapa, Almaira sangat ingin dia tahu.
Dia melanjutkan, "Jika Aira cuma diam di rumah, Aira akan terganggu oleh banyak pikiran kan? Dan itu yang membuat Aira bosan."
Pikiran, bosan?
Yaga mengulang kata itu di ujung mulutnya, seperti anak kecil yang sedang bermain dengan istilah baru yang tidak begitu dipahaminya. Kemudian dia tertawa pelan.
"Ah, jadi begitu ya."
Almaira cuma tersenyum
Sejujurnya Almaira sadar diri dari lama tapi dia sudah terlanjur jatuh pada situasi ini. Di satu sisi Almaira ingin mundur tapi terlanjur sayang, pun sebaliknya jika dia melangkah maju dia sadar kalau dirinya bukan di level yang sama dengan Amera
Alasan itulah yang membuatnya membenci Yaga tanpa sebab.
Jika saja Almaira bertanya lebih lanjut, sepertinya Yaga bersedia menceritakan kebenarannya dan meluruskan kesalahpahaman.
Sayangnya, mereka cuma melanjutkan obrolan ringan tentang hal-hal biasa dalam waktu yang lama. Biasanya, Yaga yang bertanya dan Almaira yang menjawab.
Semua jawaban Almaira dapat diterima, jadi cerita yang menyenangkan pun berlanjut, sampai akhirnya..
"Almaira, rupanya kamu masih saja menjaga batasan mu dengan baik ya." kata Yaga di sela-sela obrolan mereka.
"Hmm." Almaira memaksa senyumnya, tapi tetap terlihat sempurna.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!