Hujan mengguyur permukaan sore hari. Tak ada mendung, tak ada badai. Semua jatuh membawa bulir yang tak diharapkan sebelum-sebelumnya. Memang, awal Juni ini selalu menghadirkan hujan tanpa permisi. Pria berusia dua puluh enam tahun itu segera menepikan motornya di depan sebuah ruko yang sebagian sudah tutup. Sementara, dirinya, Satria, berteduh di bawah sebuah kanopi kayu.
Sorot matanya menatap jalanan yang lenggang oleh kendaraan. Hujan turun deras, membuat aspal berkilau seperti cermin pecah yang memantulkan cahaya lampu jalan. Kendaraan sesekali melintas, berseliweran menentang derasnya air yang mengguyur, meninggalkan cipratan yang liar dan dingin. Beberapa tetes air yang terlempar dari roda mobil mengenai celana panjangnya, menimbulkan bercak-bercak basah yang menjalar perlahan.
Sambil berdiri, tiba-tiba aroma kopi menyeruak dari balik pintu kafe di belakangnya. Harumnya menusuk indra penciuman, hangat dan pekat, kontras dengan hawa dingin hujan yang menempel di tubuh. Aroma itu seolah memanggil. Satria menoleh ke belakang. Tersadar, bahwa ia tengah berdiri di depan sebuah kafe yang mengajaknya bukan hanya sekedar singgah, tapi untuk mampir ke dalamnya.
Ia kemudian mulai masuk. Disambut dengan suara denting bel yang khas di pintu masuk, menggema lembut di antara riuh rendah percakapan pelanggan. Hangatnya udara kafe segera memeluk tubuhnya yang lembap oleh hujan, bercampur dengan aroma kopi baru diseduh dan samar-samar alkohol dari rak kaca di belakang bar.
"Selamat sore. Sudah reservasi meja?" Sapa seorang Pelayan restoran berapron hitam datang mendekatinya.
Satria menggeleng, belum. Ia baru menapaki jalan sekitar sini. Dan, ini adalah kali pertama ia singgah di sebuah kafe yang tempatnya cukup nyaman juga.
“Bagaimana kalau di meja sana?” Ucap pria itu sambil menunjuk ke sudut ruangan, tempat sebuah meja kayu kosong berdiri tenang di dekat jendela yang berkabut oleh hujan. Suaranya terdengar sopan, namun tegas, khas seorang pramusaji yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam tamu dengan beragam karakter.
"Satu cangkir espresso satu." Angguk Satria lalu melangkah menuju meja yang dimaksud pria itu.
Sekilas, pandangannya menatap jajaran barista yang begitu lihai meracik kopi. Tangan-tangan mereka begitu cekatan dan terampil, menakar bubuk kopi dengan presisi, menekan tuas mesin espresso yang mendesah lembut, hingga menuangkan susu hangat ke dalam cangkir dengan gerakan yang nyaris seperti tarian. Uap panas mengepul, melayang perlahan di udara, bercampur dengan aroma kopi yang begitu pekat.
Di sisi lain, di antara jajaran barista yang tengah sibuk itu. Ada seorang wanita yang usianya mungkin tak jauh darinya. Wajahnya teduh dengan sorot mata yang tenang. Namun, seakan menyimpan cukup banyak ketakutan didalamnya.
Satria kemudian melepas tatapan itu lalu duduk di mejanya. Di momen itulah, ia segera mengeluarkan kamera dari bagpack-nya, lalu mulai menangkap gambar dari setiap gerakan wanita berambut cepol dengan tubuh tinggi semampai itu ketika meracik kopi. Bunyi klik kamera terdengar pelan, tenggelam dalam riuh rendah kafe, namun bagi Satria, setiap jepretan terasa seperti menorehkan kisah baru yang tak bisa ia ungkap dengan kata-kata.
Amira. Ia tak sadar bahwa fokus lensa itu mengarah padanya. Lengannya terus sibuk menata nampan, sementara matanya sesekali melirik pesanan yang menumpuk. Ada ritme tenang dalam tiap gerakan, yang tanpa sengaja justru tampak begitu memesona.
"Ra!" Seorang teman kerja di sampingnya tiba-tiba menyenggol lengannya pelan. "Nih, anterin minuman ini ke meja sana!" Katanya sambil memberikan nampan berisi secangkir espresso hangat, sementara matanya tertuju pada meja yang di duduki Satria. "Kamu itu baru kerja dua minggu disini, kamu tahu kan ... konsekuensi karyawan yang gak fokus saat bekerja?!"
"Ga-Gak fokus gimana ya, maksudnya?" Kata Amira.
Wanita itu mendesis sambil melipatkan kedua lengan di bawah dada. "Kamu sadar gak, si?!Tangan kamu emang gerak, tapi mata kamu tuh kosong! Gimana kalau salah pesanan?!"
Satria yang mendengar ucapan itu refleks meletakkan kamera di atas meja lalu mengepalkan jemarinya. Ia mendesah pelan, sementara tatapannya mulai berpusat pada Amira sepenuhnya. Ia tak suka nada meremehkan itu, apalagi diarahkan pada seorang wanita yang nampak begitu lembut. Ada kilatan iba di mata Satria, meski bibirnya tetap terkatup rapat.
"Tunggu apalagi, cepet anterin sana! Kalau aku gak di suruh Pak Romi buat ngarahin bimbing kamu kerja, aku sudah malas berurusan denganmu!" Lanjut wanita itu. Namanya Elen. Meski usianya lebih muda dari Amira, pengalamannya jauh lebih banyak dan membuatnya merasa lebih unggul.
Amira tertegun sejenak. Ujung jemarinya yang menggenggam nampan bergetar, hampir saja membuat cangkir di atasnya tumpah. Dadanya terasa sesak, seperti ditikam kata-kata yang tanpa ampun. Bibirnya terbuka ingin membalas, namun tak ada suara yang keluar. Ia hanya menunduk, menelan ludah yang terasa pahit, lalu melangkah pelan dengan perasaan terinjak.
Langkahnya menuju meja nomor tujuh. Meja Satria. Degup jantungnya pelan beriringan dengan derap kakinya, seolah sadar bahwa tatapan lelaki itu sudah lebih dulu menunggunya.
Amira hanya tersenyum ketika secangkir espresso itu berhasil mendarat di meja Satria. Senyum pelayan—senyum yang dipaksakan untuk semua pelanggan, meski di baliknya tersimpan rasa lelah dan getir yang tak pernah benar-benar hilang. Kemudian, ia berbalik dan melangkah pergi. Sementara, Satria menatap punggungnya dalam diam, seolah enggan melewatkan setiap langkah yang menjauh.
****
Hujan mulai berhenti, tepat pukul enam sore. Langit yang mendung kini di susul gelap, menyambut malam tanpa senja. Satria bersiap untuk pulang. Secangkir espresso yang ia pesan sejak tadi sudah habis tak bersisa.
Sebelum memasukkan kamera ke dalam tasnya, ia tersenyum melihat seringkali wajah wanita yang memang asing namun berhasil terpatri di dalam hatinya. Siapa nama wanita itu? Darimana asalnya? Mengapa wajah cantiknya tertutup oleh kesedihan yang seakan enggan pergi?
Namun, sesaat sebelum ia hendak pergi dari kafe tersebut, pandangannya tanpa sengaja kembali tertuju pada sosok Amira yang tengah keluar dari salah satu ruangan sambil mengenakan mantel hitam. Langkahnya seolah tergesa-gesa. Seperti ada sesuatu yang menunggunya, namun entah siapa dan kemana. Di balik tatapannya yang redup, seolah menyimpan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah berani di ucapkan.
"Kamu berhasil membuat aku penasaran." Gumam Satria segera mengenakan bagpack-nya lalu melangkah keluar kafe, mengikuti jejak Amira tanpa sepengetahuan wanita itu.
Amira melangkah sangat cepat. Sesekali, ia melirik jam di lengannya. Waktu masih terlalu sore namun dadanya terasa sesak. Seakan ada sesuatu yang harus ia kejar.
Dinginnya angin sore menyeruak, menerpa tubuh serta merta menusuk pori-pori kulit dari balik serat mantel hitam yang dikenakannya, sehingga menghadirkan rasa suwung yang tak berkesudahan.
Amira terus berjalan, menelusuri trotoar. Menyebrang jalan raya lalu berbelok menuju ke sebuah jalan kecil yang sepi. Ada becekan sisa hujan di sepanjang jalan kecil itu. Amira melangkah hati-hati, sesekali menunduk menghindari cipratan air yang memantulkan cahaya lampu jalan redup.
Ia tak yakin dengan keputusan ini. Namun setelah jalan itu mengarahkannya pada jalan raya yang membentang luas, langkahnya terhenti sejenak. Kendaraan berseliweran, lampu-lampu kendaraan berkelebat seperti kilatan cahaya. Saat ia menoleh, tampak jajaran bangunan megah sekaligus hotel berdiri angkuh, seolah menatapnya dengan dingin.
Amira menghela napas. Menyesapi udara sore dan bau tanah bekas hujan. Setelah itu, ia mengangguk dan mulai meneruskan langkahnya di sisi jalan meski hatinya tak yakin. Lampu-lampu mulai menyala, bayangannya terpantul di kaca-kaca raksasa, hingga akhirnya langkah itu menuntunnya mendekat ke hotel yang menjulang megah di hadapannya.
Hutang ayahmu cukup banyak. Apa kamu sanggup membayarnya?
Pernyataan itu kembali menggelayuti pikirannya. Tanpa bisa membayar hutang almarhum sang Ayah pun, Amira pasti akan jatuh ke lubang yang sama seperti yang akan ia hadapi sekarang. Bedanya, ia akan terbebas dari jeratan itu selamanya dan melanjutkan kehidupannya meski memang, semua itu tidak baik-baik saja baginya.
"Jika ini harga yang harus aku bayar, akan aku lakukan demi Ayah." Amira mengusap kasar kelopak matanya yang menghangat. Ia mengangguk diri dan mulai melangkah masuk ke dalam hotel.
Sebuah bangunan yang belum pernah ia jejaki lagi sejak terakhir kali bersama keluarganya dulu, saat ia masih kecil, berlibur dan menginap di sebuah hotel dengan sukacita. Kini, kenangan itu justru terasa pahit. Amira melangkah seorang diri, tanpa siapa pun di sisinya. Udara sejuk dari rongga AC yang bercampur dengan aroma parfum bukan lagi sambutan hangat, melainkan menghadirkan ketegangan dan cemas yang kian memuncak, seiring langkahnya terus berjalan menelusuri sebuah kamar hotel yang sudah ia ketahui sebelumnya.
Begitu keluar dari pintu lift, Amira kembali melangkah menyusuri lorong yang dipenuhi karpet tebal berwarna merah marun. Terdapat lampu-lampu kristal di langit-langit berkilau, namun semua itu terasa dingin dan asing baginya.
Tiga ratus dua puluh delapan. Dada Amira semakin sesak saat ia sudah ada di depan pintu kamar bernomor itu. Dengan gemetar, ia meraih ponsel dari sling bag nya lalu mulai mencari nomor yang harus ia hubungi. Namun, sebelum jarinya menyentuh tombol panggilan di atas layar ...
Krek!
Amira menelan saliva. Jantungnya kian berdegup kencang. Kakinya bergerak selangkah lebih mundur. Dari balik poni rambut yang menutupi sebagian wajahnya, matanya berusaha mengintip nomor kamar itu sekali lagi, memastikan ia tak salah tempat.
Pintu itu akhirnya terbuka, celah tipis cahaya dari dalam kamar menyemburat ke lorong. Seorang pria akhirnya muncul dari balik pintu, usianya sangat jauh darinya. Rambutnya yang mulai memutih tersisir rapi, wajahnya dihiasi keriput namun sorot matanya cukup dalam, seolah mampu menembus kegelisahan Amira yang berdiri kaku di ambang lorong. Namun senyumnya yang hangat dan antusias menyambut Amira, menciptakan kontras dengan kecemasan yang sedari tadi mencengkeram dadanya. Ia tak tahu harus membalas dengan senyum atau tetap terdiam kaku.
"Masuklah." Ucap pria itu sembari meraih jemari Amira. Sentuhannya dingin dan tegas, seolah tak memberi ruang untuk menolak.
Cahaya dari dalam kamar menyergap, menyelimuti tubuh Amira yang mendadak kaku. Kamar itu luas dengan karpet tebal membentang, dindingnya dihiasi lukisan abstrak, dan lampu gantung kristal memancarkan cahaya kekuningan yang temaram. Meski mewah, suasana di dalamnya terasa dingin dan menekan, membuat Amira semakin sulit bernapas lega. Apalagi, ketika pria itu akhirnya mengajak dirinya untuk duduk di tepi ranjang.
"Kita mulai darimana, sayang?" Kata pria itu sembari meraih dagu Amira tanpa permisi. "Apa harus saya jelaskan lagi semuanya dari awal, supaya kamu benar-benar yakin harus melakukannya?"
Amira tertegun. Detik berikutnya, ia menggeleng. Semua sudah jelas. Tak ada pilihan lain untuk menyelesaikan semuanya. Ia tak ingin dihantui oleh hutang-hutang Ayahnya yang cukup besar. Meskipun semuanya tidak bisa terbayar, nyawa Amira sama halnya seperti ia gadaikan sendiri demi kebebasan dari jeratan itu.
Ia tahu, tak ada uang sebesar itu yang bisa ia dapatkan dalam waktu singkat. Dan di hadapannya, pilihan yang paling pahit justru sudah disodorkan sejak awal—jika Amira tak sanggup membayar, maka ia harus menyerahkan dirinya dengan cara lain, yakni menikah dengan sang pemilik hutang. Amira tak mau. Ia tak ingin.
Pernikahan seharusnya menjadi ikatan yang suci, penuh kebahagiaan yang di dalamnya terdapat rasa kasih dan cinta yang bahkan sanggup memberikan apapun termasuk dirinya kepada orang yang ia cintai.
Tapi baginya, harga diri itu kini hanyalah jalan untuk menebus dosa atas perbuatan sang Ayah, sekaligus mengikatkan dirinya pada seseorang yang asing bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya. Amira kemudian menahan napas ketika pria itu mendekat.
Gerakan pria itu pelan, namun cukup untuk membuat jantung Amira berdegup tak beraturan. Tangannya terulur, meraih wajah Amira dengan jemari yang dingin namun kuat, lalu semakin turun menyentuh lehernya—seolah hendak mengikatnya, mengunci setiap kemungkinan untuk melarikan diri.
Tatapan pria itu dalam, menelusup hingga ke ruang hati yang berusaha Amira lindungi. Ia menggigil, bukan karena dingin udara dari pendingin ruangan, melainkan karena sadar bahwa jarak di antara mereka kini hampir lenyap, dan kebebasannya tergadai dalam genggaman yang tak bisa ia lepaskan.
Pria itu kemudian tersenyum. Senyum puas yang membuat Amira semakin takut. Tangan pria itu terulur, perlahan menyingkap mantel yang sedari tadi membalut tubuhnya. Dalam sekejap, rasa hangat dari mantel itu lenyap, menyisakan Amira dalam kerapuhan.
Pria itu sejenak tersenyum lagi. Menatap Amira yang hanya berbalut gaun tipis dan terbuat dari kain satin halus dengan tali tipis di bahu. Bagi orang lain, mungkin terlihat anggun. Namun bagi Amira, gaun itu justru terasa terlalu terbuka yang membuat dirinya merasa semakin kecil dan tak berdaya.
"Gaun yang aku belikan untukmu memang sangat cantik untukmu. Kamu milikku malam ini, sayang." Ucap pria itu mulai mendorong tubuh Amira perlahan jatuh ke tepi ranjang.
Saat itu juga, Amira tak bisa menahan air matanya. Pipinya basah, pandangannya buram, dan tubuhnya bergetar hebat. Ia merasa seluruh ruang kamar itu berkonspirasi untuk menelannya hidup-hidup.
Pria itu berdiri di hadapannya, dengan tatapan puas yang menusuk, dan gerakan yang membuat Amira kian terpojok. Kemudian, setiap helai pakaiannya mulai terlepas. Sedangkan, dalam hati kecilnya, Amira berteriak—ingin lari, ingin menolak. Namun pria itu sekarang mulai merengkuhnya. Menjeratnya dalam diam.
Mula-mula, pria itu menyesapi aroma tubuhnya dari atas tanpa ingin ada satupun yang terlewatkan. Kulit mulus dan halus Amira terasa lembut dan hangat, namun bagi Amira sendiri itu sangatlah menjijikkan.
"Kamu milikku sekarang, sayang!" Bisik pria itu, terdengar lembut di telinga Amira.
"Enggak!" Isak Amira.
Brug!
Suara pintu terbanting terbuka menghantam keheningan kamar hotel itu. Amira terlonjak, air matanya masih mengalir, sementara pria di hadapannya menoleh dengan wajah terkejut.
Di ambang pintu berdiri seseorang—dada terengah, sorot matanya tajam menusuk. Ketegangan mendadak berubah arah, seolah udara di dalam kamar membeku dalam sekejap.
Amira membelalakkan mata, antara tak percaya dan berharap. Bibirnya bergetar, nyaris menyebut nama sosok yang kini berdiri di sana. Wajah yang pernah ia temui belum lama ini. Di kafe tempat ia bekerja. Senyumnya yang hangat kini terbalut oleh amarah yang memuncak.
Satria bergerak mendekat. Rahangnya mengeras menahan emosi. Dengan satu gerakan penuh amarah, ia mendorong tubuh pria itu dari Amira dan membuat pria tersebut terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Saat itu juga, Satria segera menarik lengan Amira keluar kamar. Gerakannya cepat, seakan waktu tak memberi mereka kesempatan untuk berpikir. Amira yang masih terisak hanya bisa mengikuti langkahnya, tubuhnya limbung di antara rasa takut dan lega.
Mantel yang tadi menyelimuti dirinya tertinggal di atas ranjang, seakan menjadi saksi bisu kekacauan yang nyaris menelannya. Hanya sling bag kecil yang tetap menempel di bahunya, bergoyang mengikuti langkah tergesa mereka.
Genggaman Satria tak sedikit pun terlepas—erat, tegas, seakan bersumpah takkan membiarkan Amira kembali jatuh ke dalam tangan orang yang barusan mereka tinggalkan.
Beberapa pasang mata melirik mereka. Para tamu hotel yang kebetulan melintas di lorong maupun keluar dari kamar masing-masing sempat berhenti, menatap dengan sorot penuh tanda tanya. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sekadar mengerling, seolah sedang menonton sebuah drama yang tiba-tiba langsung membawa mereka ke puncak masalah.
Saat itu juga, Amira menunduk, bukan hanya berusaha menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata, tapi juga karena ia benar-benar merasa malu dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Gaun tipis itu terasa semakin menusuk harga dirinya, membuat setiap tatapan orang-orang di sekitarnya seolah menelanjangi kelemahannya.
Tubuhnya bergetar, langkahnya semakin kecil, sementara Satria tetap menggenggam erat lengannya. Tak sekali pun ia melepaskan genggaman itu, seakan berusaha melindungi Amira dari sorot mata dunia luar.
Hingga akhirnya, Satria berhasil membawa Amira keluar dari gedung hotel itu. Malam menyambut mereka dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tanpa banyak bicara, Satria segera melepaskan jaket kulitnya dan menyampirkannya ke tubuh Amira, menutupi gaun tipis yang sedari tadi membuatnya merasa terhina.
“Pakai ini. Cepat naik,” Ucap Satria dengan suara tegas, tapi masih ada nada lembut yang berusaha menenangkan.
Amira menunduk, tangannya gemetar saat meraih jaket itu, lalu tanpa pikir panjang ia segera naik ke motor. Jantungnya masih berdegup keras, napasnya tersengal, namun ada sedikit rasa aman yang mulai tumbuh—rasa aman yang datang dari sosok yang kini bersiap melindunginya.
Satria menyalakan motor, deru mesinnya pecah di tengah sunyi malam. Tanpa menoleh ke belakang, ia segera memacu kendaraan itu, meninggalkan hotel dan segala luka yang hampir menelan Amira bulat-bulat.
****
Setelah dirasa mulai menjauh, Satria menepikan motornya di bahu jalan. Ia melepaskan helm lalu menoleh ke belakang. Sontak, wajahnya begitu dekat dengan Amira. Mata mereka saling menangkap beberapa saat.
"Ma-Makasih." Ucap Amira menundukkan kepalanya sambil merapatkan jaket kulit yang sedari tadi membaluti tubuhnya.
"Rumah kamu dimana?" Tanya Satria lembut. "Biar aku bisa mengantarkan kamu ke—"
"Jangan!" Potong Amira menggelengkan kepalanya. "A-Aku ..."
Amira bergeming. Kalimatnya menggantung di udara. Tangannya meremas erat ujung jaket kulit yang membalut tubuhnya, seakan hanya itu yang bisa ia jadikan pegangan untuk tetap kuat. Sedangkan, Satria menelan saliva. Ia menatap Amira meneteskan air matanya. Dadanya ikut sesak melihat Amira terisak. Nampak rapuh namun tetap berusaha menahan beban yang terlalu berat untuk usianya.
"Keluargamu pasti mengkhawatirkan dirimu." Sambung Satria.
Keluarga. Kata itu seperti tamparan mematikan bagi Amira. Air matanya yang sedari tadi hanya bulir kini deras membasahi wajah. Keluarga siapa yang peduli padanya? Ia tak memiliki siapapun semenjak Ibu dan Ayahnya tiada. Sedangkan, ia hanyalah anak satu-satunya dari mereka. Tidak ada pelukan tempat ia bersandar, tidak ada benar-benar rumah yang bisa ia sebut pulang.
"Maaf, apa ucapanku menyakitimu?" Desak Satria dengan penuh kehati-hatian.
"Aku tidak ingin pulang." Geleng Amira. "A-Aku takut. Aku takut mereka mengejarku lagi."
Satria mengernyitkan alisnya. "Mengejar?"
"A-Almarhum Ayahku punya hutang yang cukup besar untuk perusahaannya. Hingga saat itu Ibuku menggugat cerai Ayah. Mereka berpisah." Jelas Amira dengan terisak, suaranya parau terbawa tangis. "Saat itu aku hanya bersama Ayah. Aku tidak pernah tahu masalah apa yang membuat Ayah semakin berlarut memikirkan perusahaannya hingga dia ..."
Kalimatnya terputus lagi. Sesak dadanya terasa semakin menyesal kuat. Dunia malam ini benar-benar terasa runtuh di depan mata. Lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang aspal hanya tampak seperti kilatan samar, tak mampu memberi penerangan dalam gulita hatinya. Suara kendaraan yang melintas bagai gema jauh, asing, dan tak menyentuh kesunyian yang menggerogotinya. Di balik punggung Satria, Amira terisak semakin dalam, merasakan seakan-akan hidupnya tinggal serpihan yang diombang-ambingkan angin malam.
"Dia tega meninggalkan aku di panti asuhan dan pergi. Hingga ..." Suara Amira pecah di sela tangisnya. "Hingga aku mendapat kabar kalau Ayah meninggal karena kecelakaan pesawat yang ia tumpangi untuk tiba ke Kalimantan. Entah untuk menemui siapa."
Satria membekam bibirnya, mendengar pengakuan itu. Ada sesuatu yang menghantam dadanya, berat dan menusuk, seakan luka Amira ikut menetes ke dalam dirinya. Pandangannya lurus ke depan, namun hatinya bergetar hebat. Amira, wanita yang cantik. Matanya bahkan menyimpan banyak ketulusan. Namun ia ternyata begitu rapuh dan hancur.
"Aku lari dari panti itu." Sambung Amira. "Aku tidak pernah tahu bagaimana bisa Ayah melakukan itu padaku. Aku bahkan tidak pernah tahu kalau Ayah memiliki hutang yang cukup besar hingga harus melibatkan aku."
Jakun Satria nampak bergoyang naik turun.
"Tak ada pilihan lain. Aku melakukan ini demi melunasi hutang Ayahku."
"Berapa?" Suara Satria tiba-tiba memecah kesedihan yang dirasakan wanita dihadapannya. "Berapa hutang Ayahmu?"
Amira mengangkat wajah. Ia tersadar bahwa sedari tadi mata itu menangkapnya—mata teduh yang menyimpan ketulusan, bukan sekadar rasa iba. Ada sesuatu dalam sorot mata lelaki itu yang membuat Amira ingin percaya, meski hatinya sudah berkali-kali dikhianati oleh keadaan. Hangat, menenangkan, seolah berkata bahwa ia tidak lagi perlu berjuang sendirian. "Ma-Mas ..."
"Satria." Lengkap Satria dengan sedikit gurat senyuman. "Aku Satria Dharmawangsa. Kamu?"
Amira tertelan dan tertunduk lagi. "A-Amira."
"Jadi, Amira. Kalau boleh tahu ... berapa hutang Ayahmu?"
"Li-lima puluh juta sisa hutang Ayahku. Setelah aku tahu rumah dan seluruh aset berharga milik Ayahku di sita." Jelas Amira. "Ma-Maaf. Tidak seharusnya, aku ..."
"Aku bisa bantu kamu." Potong Satria dengan tegas. Membuat mata itu kembali menangkap wajahnya lagi. "Lima puluh juta." Angguknya. "Aku bisa membayarnya."
Amira terkejut. Matanya membesar, air mata yang belum sempat kering kini kembali tumpah. Ia memandang Satria, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "A-Apa maksud kamu?"
"Aku gak akan pernah membiarkan tubuh kamu sebagai penggantinya. Kamu terlalu berharga, Amira." Ungkap Satria.
Amira terdiam, matanya berkaca. Napasnya tersendat, tertahankan oleh kalimat itu. "Kamu tidak perlu melakukannya."
"Aku akan melakukannya, Amira." Ucap Satria dengan tatapan sungguh-sungguh. "Aku yang akan membayari hutang Ayahmu. Jadi, mulai saat ini, akan aku pastikan orang-orang itu gak lagi ngejar kamu."
"Ke-Kenapa kamu melakukan ini?"
Satria tak menjawab. Ia hanya tersenyum sembari mengenakan helmnya lagi. "Dimana rumah kamu?" Ulang Satria lagi.
Amira menunduk, jemarinya saling meremas. “Di … Jalan Anggrek nomor lima belas.” Jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan.
"Baiklah. Akan aku pastikan mereka tak mengejarmu lagi." Satria menyalakan mesin motornya. Setelah memastikan wanita itu duduk dengan benar, ia memutar gas perlahan, membawa mereka menjauh dari keramaian malam.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!