Kamar pengantin terasa pengap, meskipun pendingin ruangan sudah disetel pada suhu terendah. Aroma lily yang kuat, bukan mawar, seolah mencoba menutupi bau keputusasaan. Rea menggigil di bawah selimut sutra, bukan karena dingin, melainkan karena perlakuan Azelio yang baru saja berlalu.
“Aah… sakit sekali…”
Rea memejamkan mata, menahan sisa nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya. Tangannya mere-mas seprai basah. Azelio telah mengambil haknya sebagai suami, tetapi perbuatannya jauh dari sentuhan cinta.
Azelio berdiri telanjang, punggungnya menghadap Rea, menatap bayangan dirinya di jendela kaca. Suaranya dingin, memotong kesunyian seperti pecahan kaca.
"Sakit? Sakit yang kamu rasakan ini tidak ada artinya, Rea. Lihat Emira di rumah sakit. Dia masih koma. Kamu pantas merasakan ini," Azelio berbalik, seringai kejam terukir di wajahnya. Ekspresi itu bukan kegairahan, melainkan kebencian murni. Ia bergerak, membungkuk dekat ke wajah Rea. "Dan anehnya, meskipun aku melakukannya padamu, aku tetap merasakannya sebagai pengkhianatan terindah," desisnya tajam, lalu pergi menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.
Rea terdiam, menatap langit-langit berukir.
Kenapa? Aku tidak pernah berniat menggantikan Emira. Aku hanya mencintaimu...
Ia bangkit, merasakan tubuhnya remuk. Air mata membasahi pipinya saat mengingat Azelio terus-menerus memanggil nama Emira, sepupunya yang koma karena kecelakaan tabrak lari.
Azelio keluar dari kamar mandi, mengenakan jubah mandi hitam. Ia mengambil kunci mobil di nakas.
"Dengar, Rea," ucapnya tanpa menatap. "Aku menikahimu atas paksaan Mama. Hanya itu. Jangan pernah bermimpi lebih, apalagi mengharapkan cintaku. Posisi ini milik Emira. Begitu dia sadar, semuanya selesai. Kita bukan apa-apa."
Lalu, Azelio pergi, menutup pintu dengan bunyi keras. Rea ditinggalkan sendirian di kamar pengantin yang ironisnya mewah, ditemani kehancuran hatinya.
Rea sedang mencoba membereskan kekacauan di tempat tidur ketika pintu kamar diketuk pelan.
"Rea? Sayang, ini Mama."
Itu Mama Azura, ibu mertuanya. Rea panik, buru-buru menutupi bahunya dengan selimut. Ia membuka pintu sedikit, tetapi Mama Azura segera menerobos masuk.
"Ya Tuhan, Rea, kamu kenapa berdiri di sini?" Wanita paruh baya itu berhenti. Matanya yang tajam langsung menangkap memar ungu di pergelangan tangan Rea yang tidak tertutup selimut.
"Rea! Apa-apaan ini?! Zilo yang melakukan ini?!" desak Mama Azura, suaranya naik satu oktaf karena cemas.
Rea menggeleng cepat. "Tidak, Tante! Ini... ini aku tadi terbentur. Tidak sakit kok," Rea berusaha tersenyum meyakinkan, tetapi gagal.
Mama Azura menghela napas panjang. Ia menarik Rea untuk duduk di kursi rias. Wanita itu kemudian mengambil kotak P3K. "Jangan berbohong, Nak. Mama tahu Zilo sedang kalut, tapi Mama tidak membenarkan kekerasan ini."
Ia mengambil salep, mengoleskannya perlahan di memar Rea. Kelembutan sentuhan Mama Azura membuat air mata Rea kembali tumpah.
"Maafkan Mama, Rea. Mama egois, memaksakan pernikahan ini demi keluarga kita," bisik Mama Azura, penuh penyesalan. "Kamu tidak salah apa-apa. Kamu wanita baik. Jangan salahkan dirimu."
"Terima kasih, Tante," Rea hanya mampu berbisik, terharu atas kehangatan yang tidak ia dapatkan dari suaminya.
"Zelio sudah pergi?" tanya Mama Azura, merapikan rambut Rea.
"Iya, Tante. Baru saja."
"Anak itu! Baru menikah sudah meninggalkanku sendirian. Sudahlah, jangan dipikirkan. Sekarang kamu istirahat. Lupakan semua yang terjadi malam ini, ya. Besok Mama akan bicara dengannya," hibur Mama Azura. Setelah memastikan Rea berbaring, ia keluar kamar dengan wajah yang dipenuhi kekecewaan pada putranya.
Rea segera berlari ke kamar mandi, membuka shower di suhu terpanas. Di bawah guyuran air, ia menangis sejadi-jadinya, berusaha membersihkan bukan hanya memar di tubuhnya, tetapi juga kotoran di jiwanya.
_
Dua bulan berlalu. Kebekuan antara Rea dan Azelio tidak mencair, bahkan memburuk. Azelio jarang pulang, dan ketika pulang, ia hanya berbicara seperlunya, menatap Rea seolah jijik. Namun, Rea tetap berusaha.
Pagi itu, Azelio sudah mengenakan jasnya, siap berangkat terburu-buru. Rea bergegas menghampirinya di ambang pintu, membawa kotak bekal makan siang yang ia siapkan dengan hati-hati.
"Kak Zilo, bekalnya ketinggalan." Rea menyodorkan kotak itu dengan senyum tulus.
Azelio menghentikan langkah. Tatapannya tajam dan dingin. Ia menepis kotak bekal itu hingga terlempar ke lantai marmer. Piring bekal itu pecah, dan isi makanan di dalamnya berserakan.
"Berapa kali harus kubilang, hah?! Aku tidak butuh makanan busuk buatanmu! Jaga tanganmu agar tidak menyentuh barang-barangku! Apa kamu bodoh atau tuli?!" bentak Azelio, nadanya penuh penghinaan. Ia bahkan tidak menunggu jawaban, segera masuk ke mobil mewahnya dan melaju kencang, meninggalkan Rea dalam balutan serpihan makanan dan air mata.
Rea berdiri terpaku, menatap bekal yang hancur. Sebuah sapu tangan putih tiba-tiba muncul di hadapannya. Rea mendongak. Di sana, Jeremy, adik Azelio, berdiri dengan wajah kesal dan iba.
"Rea, jangan dipungut. Biar Bibi yang bersihkan," ujar Jeremy, suaranya lembut. Ia kemudian menatap tajam ke arah mobil Azelio yang baru menghilang. "Dia keterlaluan."
Jeremy mengulurkan sapu tangan itu lagi. Rea menerimanya, mencoba tersenyum, tetapi matanya mengkhianati kesedihan yang mendalam.
"Ayo, Rea. Biar aku antar ke kampus," ajak Jeremy. Rea mengangguk. Setidaknya, ada satu orang dalam keluarga ini yang memperlakukannya dengan manusiawi.
Sementara itu, di sebuah ruang ICU, Azelio duduk di samping ranjang Emira. Ia menggenggam tangan Emira yang dingin.
"Emira... aku menikahinya. Maafkan aku. Aku bersumpah tidak akan pernah menyentuhnya lagi. Cepatlah bangun, Sayang, agar aku bisa mengakhiri semua sandiwara menjijikkan ini," lirihnya, sama sekali tidak menyadari bahwa ia baru saja menghancurkan hati wanita yang sudah sah menjadi istrinya.
Beberapa jam setelah meninggalkan rumah, langkah Rea terasa seperti menyeret beban berat. Pusing yang ia rasakan bukan hanya karena sakit kepala, tetapi juga karena beban emosional. Ia berjalan linglung menuju gerbang kampus.
Bruk!
Rea tersandung sesuatu, dan tumpukan buku yang ia dekap jatuh berserakan di aspal. Ia hampir kehilangan keseimbangan jika saja sebuah lengan tidak dengan sigap menahan tubuhnya.
“Rea! Kamu melamun, ya?”
Jeremy, dengan wajah khawatir, memegang bahunya. Rea sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis.
"Aku baik-baik saja, Jem. Terima kasih," jawab Rea, suaranya parau. Ia segera berjongkok untuk memunguti buku-bukunya yang tercecer, dibantu oleh Jeremy.
"Maaf jadi merepotkanmu lagi," lirih Rea saat mereka berdiri.
Jeremy balas tersenyum, lalu tanpa ragu, ia meletakkan telapak tangannya di dahi Rea. Tindakan yang begitu mendadak itu membuat Rea mematung.
"Ya ampun, badanmu panas sekali. Kamu demam," kata Jeremy terkejut.
"Cuma pusing biasa. Nanti juga hilang," Rea mencoba meremehkan.
"Tidak bisa. Kamu harus pulang dan istirahat. Atau kita ke rumah sakit sekarang? Aku bisa mengantarmu, aku punya waktu luang," ajak Jeremy, menunjuk motornya.
"Ke rumah sakit saja, Jem," Rea akhirnya setuju, senyum getir menghiasi wajahnya. Ia sempat melirik ke jalanan, sebuah kebiasaan otomatis, berharap melihat Azelio menjemputnya. Tapi seperti biasa, suaminya tidak ada.
Mereka tiba di rumah sakit. Saat berjalan di koridor menuju ruang pemeriksaan, ponsel Jeremy berdering keras.
"Rea, kamu jalan duluan saja ke meja registrasi. Mama telepon," pinta Jeremy, menunjukkan nama Mama Azura di layar.
Rea mengangguk pelan, melanjutkan langkahnya. Namun, ia tidak menuju meja registrasi. Langkahnya melambat, lalu terhenti total di sebuah persimpangan koridor. Matanya tertuju pada lorong di sebelah kanan, yang mengarah ke kamar Emira.
"Ada apa, Ma?" Jeremy berbisik ke ponselnya, khawatir.
"Kamu di mana? Dengan siapa?" tanya Mama Azura, cemas.
"Di rumah sakit, Ma. Rea sakit, jadi aku bawa periksa. Maaf kalau aku telat pulang." Jeremy melihat ke depan, namun Rea sudah menghilang. Ke mana dia secepat ini?
"Mama telepon cuma mau kasih tahu... Emira sudah sadar, Jem. Baru saja Abangmu menelepon Mama. Tolong jaga Rea baik-baik, jangan sampai Abangmu tahu dia ada di sana."
Mendengar itu, mata Jeremy membelalak. Bang Zilo ada di sini? Dan Emira sadar?
Setelah telepon terputus, Jeremy segera berlari, mencari Rea. Firasatnya menuntunnya ke lorong kamar Emira.
Rea berdiri di samping ranjang Emira. Rea sedang menggenggam lembut tangan Emira yang terbalut infus.
“Kak Emi… maafkan Rea. Maafkan Rea sudah menikah dengan Kak Zilo. Bukan niat Rea merebutnya,” lirih Rea, air matanya mulai menetes. "Tante Luna benar, aku tidak pantas berada di keluarga ini. Seharusnya aku yang di sini, Kak. Seharusnya aku yang kena sial..."
Tangisnya pecah. Ia teringat kembali hari insiden itu. Mereka berdua hendak menyeberang zebra cross ketika mobil itu melaju kencang. Emira mendorongnya sekuat tenaga, dan Emira yang tertabrak. Sejak saat itu, Rea dicap pembawa sial oleh semua orang yang menyayangi Emira.
“Karena aku, Kakak jadi begini. Aku memang tidak berguna. Maafkan aku, Kak. Kalau Kakak bangun, Rea janji akan pergi. Pergi jauh dari kalian, supaya Kakak bisa kembali bersama Kak Zilo,” Rea menyeka air matanya dan menghela napas. "Kumohon, bangunlah sekarang."
Ia terdiam sejenak. Sebelum pergi, Rea melihat selang pernapasan Emira sedikit terlilit di sisi ranjang. Ia mendekat, hendak meluruskannya.
Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh mendorong bahunya dengan keras.
"Apa yang kau lakukan?!"
Teriakan marah itu membuat Rea menjerit kaget, tubuhnya nyaris mencium lantai. Azelio berdiri di ambang pintu, matanya menyala penuh amarah, lebih menakutkan dari malam pengantin mereka.
"Kamu mau menghabisinya, kan?! Sudah kubilang jangan dekati dia! Dasar ibllis!" bentak Azelio.
Rea menggeleng cepat. "Tidak, Kak! Aku tidak... Selangnya terlilit, jadi aku..."
Ucapan Rea terhenti. Azelio mencengkeram rahangnya kuat-kuat, memaksa Rea mendongak dan menatap mata Azelio yang penuh kebencian.
"Membela diri?! Aku melihatnya sendiri! Tanganmu sudah mendekati wajahnya! Pergi! Keluar dari sini, sekarang!" Azelio melepaskan cengkeramannya, lalu menunjuk pintu dengan tangan gemetar.
Hati Rea mencelos. Pria yang seharusnya melindunginya, kini menuduhnya sebagai pembunuh dan mencekalnya. Rea tidak sanggup menatapnya lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari sekuat tenaga.
Ia terus berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya menabrak Jeremy di koridor utama.
“Rea! Ya ampun! Kenapa kamu menangis?! Siapa yang berani menyakitimu?” tanya Jeremy, diliputi panik melihat air mata Rea yang tumpah deras.
Jeremy merengkuh bahunya. Begitu dipeluk, semua kesedihan, rasa sakit, dan rasa bersalah yang Rea tahan selama ini tumpah ruah. Ia menangis terisak dalam pelukan adik iparnya.
Kenapa aku dibenci? Apa karena aku memang... pembawa sial?
Motor gede Jeremy menderu pelan di depan sebuah rumah megah. Rea turun lebih dulu. Pandangannya menyapu setiap sudut bangunan itu, rumah yang seharusnya menjadi miliknya, kini menjadi milik keluarga Emira. Jeremy melepaskan helm, turun, dan menatap Rea yang menunduk lesu. Hatinya teriris. Ia masih ingat tangis menolak untuk diperiksa di rumah sakit, dan memilih pulang.
“Kamu benar-benar tidak keberatan pulang ke sini, Rea?” Jeremy bertanya dengan lembut.
“Aku tidak apa-apa, Jem. Terima kasih sudah mengantarku,” jawab Rea sambil memaksakan sebuah senyum. Senyum yang Jeremy tahu betul palsu. Ia bisa merasakan batin gadis itu menjerit, betapa tidak bahagianya Rea menikah dengan Azelio.
“Biar aku temani kamu masuk. Khawatir kamu jatuh lagi,” ajak Jeremy sambil mengambil tas selempang Rea.
“Tapi…”
“Ssst... sudah,” potong Jeremy, tak ingin mendengar penolakan.
“Maaf, merepotkanmu lagi,” bisik Rea. Jeremy menjentik keningnya pelan.
“Jangan minta maaf terus. Sesekali bilang ‘sayang’ dong,” goda Jeremy tiba-tiba, membuat Rea terkesiap. Ia tertawa renyah, “Cuma bercanda, jangan diambil hati,” sambil mengacak rambut Rea dengan gemas.
Rea menghela napas, lalu berjalan di samping Jeremy.
Saat pintu terbuka, Tante Luna, yang sibuk dengan ponselnya, mendongak. Seketika raut mukanya berubah.
“Dasar tidak tahu malu! Masih berani menampakkan muka di sini? Apa kamu belum puas melihat anakku koma? Mau membawa sial lagi ke rumah ini?” bentak Tante Luna, bersedekap dada.
“Ma-” Rea hendak minta maaf, tapi ucapan Jeremy terngiang di benaknya.
“Tante, aku hanya ingin pulang. Apa salahnya pulang ke rumah sendiri?” Rea memberanikan diri melawan.
PLAK! Namun, tamparan itu tak bisa dihindari.
“Menjijikan! Setelah merebut calon suami anakku, sekarang kamu mau merampas rumah ini juga?! Dasar tidak tahu malu!” Tante Luna murka, hendak menampar lagi. Namun, Jeremy menahannya.
“Tante, Anda sudah keterlaluan. Rea tidak merebut Kak Zilo, justru dia menyelamatkan keluarga kami. Jika Rea tidak menikahi Kak Zilo, keluarga Tante dan keluarga kami akan menanggung malu seumur hidup. Lagipula, Emi sudah sadar. Rea akan segera bercerai.”
Luna dan Rea terhenyak. “Kabar baik ini harus segera Ayah Emi tahu!” Luna buru-buru menelepon suaminya.
“Maaf, Jem, kamu jadi terlibat,” lirih Rea.
Jeremy menghela napas panjang. Ia sudah lelah mendengar kata itu. “Kalau begitu, biar kubawakan buku-bukumu ke atas.” Rea menahan tangannya.
“Sudah, Jem. Aku bisa sendiri. Kamu pulang saja. Latihan futsalmu jangan sampai telat.” Rea tersenyum, meski pipinya terasa panas.
Jeremy mengangguk, tapi Rea menahannya lagi. “Tunggu, Jem! Apa benar Kak Emi sudah sadar?”
“Benar, dia sudah sadar,” jawab Jeremy.
“Syukurlah, berarti pernikahan Kak Zilo dan Kak Emi bisa dilanjutkan.” Senyum lega Rea membuat hati Jeremy perih.
“Rea, kamu tidak apa-apa melepaskan Bang Zilo?” tanya Jeremy. Senyum di wajah Rea seketika lenyap. Jeremy tahu, Rea mencintai kakaknya dengan sangat.
“Tidak apa-apa. Aku senang mereka bersatu lagi.” Rea bergegas membawa barangnya, berjalan ke atas, menahan air matanya agar tidak jatuh.
Satu jam kemudian, Rea yang termenung di kamar sadar perutnya mulai keroncongan. Ia beranjak, hendak keluar. Saat ia hendak memutar kenop pintu, pintu itu terbuka duluan. Muncul sosok Selina, kakak Emira.
“Ka-Kak Selina…”
Plak! Tamparan kedua hari itu.
“Kata Ibu, anak haram ada di rumah. Ternyata benar. Berani sekali kamu pulang,” geram Selina.
“Kenapa? Ini rumah Ibuku,” Rea mencoba membela diri.
“Rumah Ibumu? Haha! Bodoh! Rumah ini sekarang milik Ayahku. Orang mati mana bisa bawa harta ke alam baka!” Selina tertawa, mendorong bahu Rea.
Rea terdiam, mengepalkan tangan. Amarahnya mendidih.
“Ingin warisan? Anak haram mana bisa dapat warisan? Apalagi anak hasil melacur di luar sana!”
“CUKUP! JANGAN HINA IBUKU LAGI!” teriak Rea. Ia menerjang Selina, menjambak rambutnya dengan penuh amarah.
“Lepaskan aku!” teriak Selina, membalas jambakan itu, tapi ia semakin terdesak.
Dari mana kekuatan gadis ini?
PRAK!
Keributan itu seketika hening. Selina menghantamkan vas bunga di atas meja ke kepala Rea. Darah segar mengalir dari kepala Rea, menutupi sebagian wajahnya.
Darah... aku berdarah...
Brukk!
“Ahhh!” Selina menjerit melihat Rea ambruk. Bukannya menolong, ia berlari ketakutan. Karena orang tuanya di rumah sakit, ia pergi begitu saja.
Sesaat kemudian, Rea membuka mata. Pandangannya kabur, tapi ia berhasil berdiri. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, sosok yang menyedihkan dan berlumuran darah. Tanpa kata, Rea mengambil sisa uang tabungannya, lalu pergi dari rumah itu. Pergi sejauh-jauhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!