NovelToon NovelToon

Kesempatan Kedua Untuk Mencintaimu

Bab 1

Tahun 2025.

Blue Star Group.

Ben Wang, pria muda yang dingin sekaligus tegas, berdiri di ruang rapat dengan wajah muram. Ia melemparkan setumpuk dokumen ke meja dengan kasar hingga berkas-berkas itu berantakan di hadapan sekretarisnya, Moon Lee. Tatapannya menusuk, nadanya meninggi.

“Walau kau sudah lama di sini, bukan berarti aku tidak bisa memecatmu. Moon Lee, seharusnya kau memberiku penjelasan yang masuk akal.”

Moon menunduk, jemarinya menggenggam erat berkas yang tersisa. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha tegar. Wajah pucatnya berkeringat.

“Direktur, saya tidak melakukannya sama sekali. Mana mungkin saya melakukan hal bodoh ini? Menjual rahasia perusahaan hanya akan membuat saya kehilangan pekerjaan.”

Ben menyipitkan mata, seakan tak puas dengan jawabannya. “Aku tidak butuh penjelasanmu, aku butuh bukti. Bisa kau berikan bukti kalau bukan kau yang menjual data perusahaan kita?”

Moon mengangkat wajahnya perlahan. Ada luka yang jelas tergambar di matanya.

“Saya tidak punya bukti. Tapi direktur… tidak ada alasan bagi saya untuk melakukannya. Tidak ada alasan bagi saya mengkhianati perusahaan—dan Anda.”

Ben mendengus sinis. “Dalam dua bulan ini kau sudah banyak melakukan kesalahan. Aku masih bisa toleransi karena melihat kegigihanmu. Tapi hari ini? Kau sangat mengecewakan.”

Nada suara itu membuat dada Moon terasa sesak. Namun ia tetap berusaha tenang.

“Direktur, saya harap masalah ini diselidiki ulang. Rekaman CCTV tiba-tiba rusak, bukankah itu janggal? Kalau tidak ada yang bermain kotor, hal seperti ini tidak akan terjadi.”

Ben menatap tajam, langkahnya maju mendekat. “Maksudmu ada orang yang sengaja menjebakmu? Apakah kau menganggapku bodoh sehingga tidak bisa membedakan? Moon, hanya kau yang tahu semua ini! Tiga tahun kau di sini, file yang kau berikan selalu kacau, aku masih bisa terima. Proyek yang seharusnya kau dapatkan tapi gagal, aku juga masih bisa terima. Tapi kali ini… aku tidak akan tinggal diam. Aku akan menuntutmu karena menjual data perusahaan. Tunggu surat panggilan!”

Ia melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Moon yang terpaku di tempat. Namun gadis itu mengepalkan tangannya dan akhirnya menyusulnya dengan wajah merah menahan kesal.

“Wang Shao Han! Kenapa kau tidak pernah percaya padaku? Di matamu, apakah aku ini orang serakah? Kenapa selalu aku yang kau salahkan setiap ada masalah? Kau atasan, tapi kau tidak pernah menyelidiki dengan benar, hanya percaya pada Viona—calon istrimu. Apa kau masih pantas disebut direktur?”

Langkah Ben terhenti. Bahunya menegang. Perlahan ia berbalik, menatap Moon dengan sorot dingin bercampur amarah.

“Kau menyalahkanku tidak bisa menjadi direktur? Hasil kerjamu buruk selama ini. Aku masih cukup baik menerimamu, karena semua ini permintaan Viona. Tapi kau masih berani bicara buruk padanya?”

Moon menghela napas panjang. Matanya memerah, tapi suaranya tegas.

“Iya, semua yang dia katakan selalu benar walau tanpa bukti. Semua yang aku lakukan selalu salah di matamu. Kalau begitu, penjarakan saja aku. Lagi pula hidupku tidak ada yang perlu ditakutkan. Tapi ingat, Wang Shao Han… suatu saat kau akan menyesal.”

Moon melangkah cepat masuk ke toilet wanita, menahan perasaan yang hampir meledak. Begitu pintu tertutup, ia berdiri di depan wastafel, menatap bayangan dirinya di cermin. Air matanya jatuh deras, tak bisa lagi ia bendung.

“Ben, kita sudah lama kenal… tapi di matamu aku selalu salah. Semua ucapan Viona selalu benar bagimu,” ucapnya lirih, suaranya pecah. “Kalau bukan karena biaya pengobatan, aku juga tidak akan bertahan di sini, menghadapi rasa sakit dan sedih ini.”

Tangannya mengepal di sisi wastafel, tubuhnya bergetar menahan amarah sekaligus putus asa.

“Viona Lu… kenapa kau harus selalu menjebakku? Proyek yang kudapatkan dengan tanganku sendiri kau rebut dariku. File yang kau buat salah, kau lemparkan atas namaku. Hingga aku yang disalahkan… dan Ben Wang, yang buta cinta, percaya padamu tanpa sedikit pun curiga.

Isak tangisnya kian dalam.

“Nenek… aku ini tidak berguna. Kini aku tidak ada jalan lain. Ben Wang sendiri mengatakan akan memenjarakanku. Pria yang kucintai sejak di universitas… justru ingin menghancurkanku. Aku gagal dalam segala hal.”

"Moon Lee, lihatlah dirimu sekarang, sejak kecil dibuang, setelah dewasa ditindas, dihina, dan dituduh. Tidak ada yang percaya padamu. Bahkan mati saja harus di penjara. Nenek, tunggu aku, kata dokter aku tidak akan bisa bertahan hingga bulan depan. Aku akan segera menyusul," ucap Moon.

***

Di luar, Ben yang berada di dalam mobil sedang menyentuh dadanya, “Ada apa denganku…? Melihat air matanya, aku malah merasa sakit,” batinnya.

Beberapa saat kemudian

Malam itu, Ben mengendarai mobil dengan wajah muram. Ingatan tentang air mata Moon masih mengganggu pikirannya. Jalanan licin oleh hujan membuat suasana semakin kelam.

Tiba-tiba, dari arah depan, cahaya lampu truk menyilaukan. Ben membanting setir, namun rem mobilnya tak berfungsi. Mobil meluncur tak terkendali, menabrak pembatas, lalu terguling beberapa kali.

Benturan keras membuat tubuh Ben terhempas. Kaca pecah berserakan, darah mengalir dari pelipisnya. Nafasnya terengah-engah, pandangannya kabur, tubuhnya lemah tapi kesadarannya belum sepenuhnya hilang.

Mobil Ben ringsek parah, asap mengepul dari kap mesin yang hancur. Tubuhnya terjepit di kursi, darah mengalir dari pelipis dan bibirnya. Nafasnya tersengal, setiap hembusan terasa menyakitkan.

Di antara pandangan yang kabur, ia melihat Viona melangkah mendekat dengan payung hitam di tangannya. Wanita itu tersenyum sinis, tawanya pelan namun menusuk telinga.

“Ben Wang… akhirnya kau jatuh juga. Semua ini memang sudah kuatur. Dan lihatlah, kau tak berdaya sekarang.”

Ben menelan darah di mulutnya, suaranya parau saat ia berusaha berbicara.

“Vi…Viona… apa… yang kau lakukan...” Tubuhnya bergetar menahan sakit.

"Apakah kau tidak curiga, kenapa rem mobilmu tidak berfungsi sama sekali?" tanya Viona dengan senyum.

"Kau yang melakukannya...?" tanya Ben."Selama ini aku percaya padamu."

Viona tertawa kecil, mendekat hingga wajahnya tampak jelas di matanya yang buram.

“Percaya? Kau terlalu bodoh, Ben. Cinta dan kepercayaanmu padaku… hanyalah alat yang kupakai. Kekayaanmu jauh lebih berarti daripada dirimu sendiri.”

“Kenapa?” tanya Ben dengan suara parau, menahan sakit di seluruh tubuhnya. Darah menetes dari sudut bibirnya.

Viona mendekat, menatapnya dari balik payung hitam sambil tersenyum dingin.

“Ben, kau tidak pernah percaya padaku. Selama ini aku hanya ingin segera menikah denganmu dan menjadi manajer keuangan. Tapi kau selalu menolak. Jadi… aku harus menggunakan cara ini untuk mendapatkan semua hartamu. Perusahaanmu… akan jatuh ke tanganku.”

Ben memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan pandangan buram.

“Data rahasia… kau yang menjualnya?” tanyanya dengan suara serak.

“Benar!” jawab Viona cepat, tawanya mengejek. “Gadis bodoh itu hanyalah kambing hitamku selama ini. Bukan pertama kali dia jadi korban. Dan kau—karena kebodohanmu—menyalahkan dia berkali-kali!”

Ben terdiam, dadanya terasa semakin sesak. Air matanya hampir pecah, bukan karena rasa sakit di tubuhnya, tapi luka di hatinya.

“Ternyata… Moon benar. Aku salah menilainya…” ucapnya lirih.

“Jangan salahkan aku, Ben. Aku hanya memilih cara tercepat untuk mendapat posisimu. Tapi kau tak perlu khawatir…” senyumnya melebar, “setelah kau mati, gadis itu juga akan segera menyusul. Hidupnya tidak akan bertahan hingga bulan depan.”

Mata Ben melebar, tubuhnya bergetar menahan sakit.

“Apa… maksudmu…?” tanyanya dengan suara bergetar.

"Ben, kau sangat bodoh sehingga tidak memperhatikan dia. Kondisi kesehatannya semakin hari semakin memburuk. Tapi kau malah tidak menyadarinya," ungkap Viona.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Ben.

Bab2

“Ben, kau tidak pernah perhatikan gadis malang itu. Selama ini dia menderita lambung kronis. Akibat sering dipaksa minum alkohol, lambungnya mengalami pendarahan. Pada akhirnya dia hanya bisa pasrah pada hidupnya. Kalau beruntung, dia bisa melewati bulan ini. Kalau tidak… maka dia akan mati bulan depan,” ungkap Viona, suaranya penuh kepuasan.

Ben berusaha menggeser tubuhnya dan menyandarkan diri ke mobil yang remuk. Darah terus mengalir dari mulutnya, napasnya berat, setiap kata terasa menyayat.

“Apa… yang kau lakukan padanya?” tanyanya dengan suara serak, menahan sakit.

Viona mendekat, menunduk sedikit.

“Semua proyek yang kau dapatkan itu sebenarnya hasil dari usahanya, bukan aku. Aku hanya menggunakan dia… membuatnya menemani klien minum sampai puas. Demi biaya pengobatan neneknya, Moon tak bisa menolak. Mengenai file yang dia serahkan padamu… gadis bodoh itu tidak pernah salah. Akulah yang mengambil file yang dia susun, lalu menggantinya. File yang kau terima selama ini… milik asistenku.”

Mata Ben melebar, tubuhnya bergetar.

“Proyek yang kudapat… semua adalah usaha Moon? Kenapa… kenapa kau menyakitinya? Dia tidak bersalah sama sekali. Kau tahu dia menderita lambung kronis, tapi masih memaksanya minum alkohol. Bukankah itu sama saja… kau ingin dia mati?”

Viona tersenyum tipis, tatapannya penuh ejekan.

“Gadis bodoh itu mencintaimu sejak di universitas. Semua orang menyadarinya… hanya kau yang tidak tahu.”

Ben menatap Viona dengan pandangan tak percaya, darah menetes di dagunya.

“A… apa…?” suaranya nyaris hilang.

Viona tertawa kecil, lalu melanjutkan dengan nada sinis.

“Dia selalu menyiapkan sarapan untukmu setiap pagi, diam-diam meletakkannya di mejamu begitu saja. Dia mencintaimu, tapi tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Sebagai kakak senior, kau sama sekali tidak pernah memperhatikannya. Dan selama ini… kau mengira akulah yang menyiapkan sarapan itu. Karena aku sudah membiarkanmu berpikir begitu, maka aku hanya perlu mengakuinya saja.”

“Selama ini aku salah… aku bodoh selalu menyalahkannya. Viona, kenapa kau melakukan semua ini? Kalau kau hanya menginginkan hartaku, seharusnya aku saja yang kau incar. Tapi kenapa harus melibatkan Moon Lee?” tanya Ben dengan suara lemah, menahan sakit di dadanya.

Viona menyeringai. “Karena dia sangat berguna bagiku. Dia bisa menyenangkan klien, dan demi membantumu, dia rela berkorban. Aku yakin dia sangat tersiksa melihat kemesraan kita. Dan kau? Kau yang dia cintai selama ini, justru tidak pernah percaya padanya. Kau salahkan dia berulang kali, dan aku sangat puas melihatnya menderita. Karena dia mencintaimu, maka dia adalah sainganku.”

Ben menggeleng, air mata jatuh di wajah pucatnya. “Moon Lee hanya menginginkan kehidupan tenang. Sejak dulu dia tidak pernah menyakiti siapa pun… kau tidak seharusnya menyakitinya.”

Viona tertawa kecil, penuh kebencian. “Ben, lebih baik kau terima saja nasibmu. Setelah kau mati, sebagai calon istrimu, aku akan menggantikan posisimu. Semua asetmu akan jadi milikku. Gadis bodoh itu? Hanya menunggu waktu. Dia tidak lagi bermanfaat bagiku. Oh, dan satu hal lagi… neneknya sudah meninggal. Mungkin kau tidak tahu, saat neneknya pergi, dia hampir saja bunuh diri.”

Viona terkekeh, melangkah pergi dengan puas.

Ben semakin marah, tubuhnya bergetar. Ia memuntahkan darah, tangan menggenggam dadanya. “Viona… aku ditipu olehmu. Aku… terlalu bodoh…”

Kesadarannya mulai menghilang, namun ingatannya berlari kembali pada masa lalu—saat pertama kali Moon menyodorkan sebotol air mineral padanya setelah ia selesai bermain basket. Senyum tulus gadis itu terasa begitu nyata.

Kemudian, ia teringat pertemuan kembali setelah bertahun-tahun. Moon yang bergabung di perusahaannya—lebih dewasa, lebih percaya diri, tapi tetap dengan tatapan lembut yang dulu membuatnya nyaman.

Air mata mengalir, sebelum akhirnya Ben memejamkan mata. Dalam hati, ia berbisik lirih:

“Moon… maafkan aku. Andaikan aku diberi kesempatan untuk hidup kembali… aku hanya ingin hidup dan mati demi dirimu.”

Tarikan napas terakhirnya terlepas, meninggalkan keheningan.

Tiga hari kemudian.

Pemakaman telah dilangsungkan, kematian Ben Wang dihadiri oleh Viona serta sejumlah kerabat dan karyawan perusahaannya. Isak tangis, ucapan belasungkawa, dan doa bergema memenuhi udara. Di tengah keramaian, Moon berdiri terpaku diam. Wajahnya semakin pucat dan matanya memerah karena semalaman menangis.

Dengan suara bergetar, ia menunduk menatap batu nisan Ben.

“Ben, aku tidak menyangka pertengkaran kita di malam itu adalah kali terakhir kita bertemu…” ucap Moon lirih, tangannya meremas bunga putih yang hampir hancur di genggamannya. “Andaikan aku bisa menggantikanmu… aku juga rela. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat. Kenapa bisa seperti ini?”

Air mata jatuh membasahi pipinya, sementara bibirnya terus bergetar menahan isak. Setelah tidak lama, satu per satu orang meninggalkan lokasi pemakaman. Hingga akhirnya, hanya Moon yang masih berdiri di sana, tubuhnya goyah di depan nisan yang baru.

Di satu sisi, roh Ben berdiri. Wajahnya muram, sorot matanya penuh penyesalan dan dendam. Ia menatap Moon dengan tatapan sendu yang menusuk. Perlahan ia melangkah mendekat, mencoba mengulurkan tangan untuk menyentuh pundaknya. Namun, saat jarinya hampir menyentuh, tubuhnya hanya menembus udara kosong.

“Moon… aku ada di sini… aku mendengarmu,” bisik Ben, suaranya lirih, terhenti oleh luka batin yang semakin dalam.

Moon berjongkok pelan, tangannya gemetar saat meletakkan setangkai bunga lili putih di depan batu nisan. Hembusan angin sore menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan kesedihan yang tak berujung.

“Ben, aku tahu… selama ini kau tidak suka dan membenciku,” ucap Moon lirih, matanya berair, bibirnya bergetar menahan tangis. “Oleh karena itu aku tidak berani berharap. Saat masih di universitas, semua orang tahu kalau kau pacaran dengan Viona. Aku memilih mundur… karena aku sadar dengan statusku. Kalian adalah pasangan yang serasi. Oleh sebab itu aku memilih melupakanmu.”

Moon menunduk dalam, kedua bahunya bergetar hebat. “Aku berhenti sekolah karena masalah keuangan, dan mulai bekerja. Siapa sangka, enam tahun kemudian kita bertemu lagi. Kau… adalah atasan ku. Aku telah bekerja denganmu selama tiga tahun. Kau tetap saja bersikap dingin padaku. Bahkan aku tidak pernah melihat kau tersenyum padaku. Saat di hadapan Viona kau selalu tersenyum dan perhatian."

Tangisnya pecah, ia menutup wajah dengan kedua tangannya. “Tapi semua ini tidak penting lagi… kau sudah tidak ada. Aku juga akan pergi. Seharusnya kau bahagia bersama orang yang kau cintai. Aku berharap… di kehidupan yang selanjutnya kau menemui wanita yang kau cintai, menikah, dan hidup bahagia.”

Ben berdiri tepat di hadapannya, tubuhnya tembus cahaya, matanya berkaca-kaca melihat Moon yang begitu hancur. Ia berusaha mendekat, menunduk, dan berbisik dengan suara serak penuh penyesalan.

“Moon… aku tidak membencimu sama sekali,” lirih Ben, suaranya seperti terbawa angin. “Dulu dan sekarang… aku tidak pernah membencimu. Aku hanya menjaga jarak dengan semua wanita demi menjaga perasaan Viona. Tapi ternyata… aku salah menilainya.”

Ia mengepalkan tangan yang transparan, menahan rasa sakit yang tak lagi fisik, melainkan batin. “Dialah yang menyebabkan aku kecelakaan… dan dia lolos begitu saja.” Roh Ben menatap Moon, ingin sekali menghapus air matanya. “Moon… kau harus tetap hidup, dan menemukan kebahagiaanmu. Jangan putus asa!"

Moon tiba-tiba memegangi bagian perutnya. Rasa perih yang menekan lambungnya membuat tubuhnya terhuyung. Ia terbatuk keras, lalu darah segar mengalir dari mulutnya.

Mata Ben membulat lebar, panik, saat melihat darah itu membasahi jemari Moon.

“Moon!” teriaknya, berusaha meraih tubuhnya, meski tangannya menembus begitu saja.

Moon menatap telapak tangannya yang berlumur darah, bibirnya bergetar. Pandangan matanya kosong, penuh kesedihan. Senyum tipis terukir di wajahnya, getir sekaligus pasrah.

“Nenek… tunggu aku,” bisiknya lirih, sebelum tubuhnya terkulai lemah di tanah, kehilangan kesadaran.

Bab 3

Dua hari kemudian.

Hospital

Moon yang pingsan sebelumnya baru sadar. Wajahnya pucat dan lemah, tarikan napasnya terputus-putus seakan tubuhnya masih menolak untuk kembali bangkit. Ia berusaha menguatkan diri lalu perlahan duduk menyenderi ranjang, matanya kosong menatap ke depan.

Ben yang hanya berupa roh berdiri di sana, menemaninya dalam diam.

“Ternyata aku belum mati,” ucap Moon dengan raut wajah sedih, suaranya nyaris bergetar.

“Moon, kau harus tetap hidup, hidup dengan bahagia. Hanya itu yang aku inginkan,” kata Ben, mencoba mendekatkan tangannya ke kepala gadis itu, meski ia tahu tak akan pernah bisa menyentuhnya.

Moon menunduk, air mata jatuh membasahi pipinya. “Ben, kenapa aku tidak percaya kalau kau kecelakaan? Biasanya kau orang yang sangat teliti. Seminggu sekali kau pasti meminta asistenmu memeriksa kondisi mobil. Makanan dan minuman semua dijaga dengan baik. Kau pernah mengatakan kesehatan dan keselamatan adalah utama. Itu yang kau katakan pada Viona,” lirih Moon.

“Gadis bodoh, ternyata kau masih ingat dengan ucapanku,” jawab Ben, sorot matanya sendu.

Tak lama kemudian, pintu kamar pasien terbuka. Viona melangkah masuk dengan senyum sinis yang sulit disembunyikan.

“Akhirnya kau sadar,” ucapnya tenang.

“Dasar jalang, apa yang kau lakukan di sini?” teriak Ben penuh emosi. Namun tak ada seorang pun yang bisa mendengar ucapannya.

“Nona Viona, siapa yang membawaku ke sini?” tanya Moon pelan.

“Penjaga kuburan. Aku mengira kau menyusul Ben, ternyata tidak,” jawab Viona sambil melangkah mendekat, berdiri di samping ranjang.

“Ben adalah tunanganmu, kenapa kau bisa bicara seperti itu?” tanya Moon tak percaya.

“Tunangan? Jadi kenapa? Apakah kau tidak bisa berpisah dengannya? Kau bisa menyusul,” ujar Viona dingin.

“Kenapa aku tidak melihat kau merasa kehilangan dan sedih? Dia sangat mencintaimu dan sering memanjakanmu,” ucap Moon lirih.

“Memanjakanku? Benar, tapi pria itu sangat sulit didekati. Walau kami akan bertunangan, dia masih tidak membiarkan aku menjadi pengurus bagian keuangan,” jawab Viona, nadanya penuh kepahitan.

“Perusahaan punya aturan, dia tidak bisa memberimu posisi itu hanya karena hubungan kalian,” balas Moon dengan sisa tenaga.

“Lagi pula semua itu tidak penting. Moon Lee, dengar baik-baik. Ben Wang sudah tidak ada. Nenekmu juga tidak ada. Sementara nyawamu pun sudah di ambang kematian. Jadi, untuk apa lagi memikirkannya?” sindir Viona.

“Sejak masih di universitas, Ben sangat baik padamu. Dia melindungimu dan mencintaimu hingga sekarang. Kenapa kau bisa begitu tenang, seakan tidak terjadi apa pun? Selain itu, kau juga ingin mengambil bisnisnya... padahal dia baru meninggal,” ujar Moon dengan nada penuh luka.

“Mencintaiku? Selama sembilan tahun kami bersama, dia sama sekali tidak ingin menikahiku. Aku selalu tampil cantik di depannya, tapi dia selalu menolak hubungan yang lebih jauh denganku. Apakah itu yang kau sebut cinta?” jawab Viona getir.

“Kau tahu dia bukan pria sembarangan,” kata Moon dengan suara lemah, menahan rasa sakit di tubuhnya.

“Moon Lee,” Viona mendekat dengan langkah angkuh, wajahnya dingin namun bibirnya tersungging sinis. “Bahkan hingga dia mati, kau masih saja menangisinya. Sayangnya, saat dia hidup, dia tidak pernah melihatmu sama sekali. Yang dia perhatikan hanya aku. Jangan lupa, setiap kali dia memarahimu karena dia percaya pada ucapanku. Terakhir, dia bahkan tega menuntutmu.”

Moon menggigit bibirnya, darah masih terasa di tenggorokannya. “Data perusahaan… kau yang menjualnya, bukan?” tanyanya dengan suara bergetar.

Viona terkekeh, semakin mendekat. “Karena kau akan mati, jadi aku beritahu saja. Benar. Data perusahaan aku yang jual. Rem mobil yang dibawa Ben, juga aku yang putuskan. Kecelakaan itu, semuanya bagian dari rencanaku.”

“Viona… kenapa kau begitu tega? Apa salah Ben padamu?” tanya Moon dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya gemetar menahan emosi.

“Bukan hanya itu.” Viona tersenyum dingin, matanya berkilat penuh kepuasan. “Nenekmu juga aku yang bunuh.”

Moon terbelalak. “Apa yang kau katakan?”

“Aku yang mencabut oksigen nenekmu. Si tua itu sudah tidak ada harapan hidup. Kau bahkan tidak punya banyak biaya untuk pengobatannya. Jadi, lebih baik dibunuh saja,” jawab Viona tanpa rasa bersalah.

Moon menjerit histeris, tubuhnya bergetar hebat, emosinya meledak. Darah segar kembali keluar dari mulutnya.

“Moon!” teriak Ben panik, matanya melebar melihat tubuh gadis itu semakin melemah.

“Viona, kau bukan manusia!” Ben meraung, meski tahu tak seorang pun mendengar teriakannya.

Viona melipat tangan di dada, lalu mendekat lebih dekat lagi ke wajah Moon. “Lihatlah dirimu sekarang. Orang tua kandungmu membuangmu, nenekmu sudah mati dibunuhku, pria yang kau cintai juga sudah tiada. Bahkan sampai akhir, dia masih membencimu. Apa rasanya ditinggalkan oleh semua orang yang kau cintai?”

“Diam!” teriak Ben, berusaha menampar wajah wanita itu namun tangannya hanya menembus udara.

Moon semakin sesak, tubuhnya lemah, tangannya meremas perutnya.

“Dokter! Dokter!” Ben berlari ke pintu kamar pasien, rohnya langsung menembus pintu itu. Namun di koridor tak ada seorang pun yang mendengar jeritannya. Ia berusaha menolong Moon, tapi sia-sia.

Di dalam ruangan, Moon menatap Viona dengan air mata deras. “Kenapa nenekku juga kau jadikan sasaran? Dia tidak bersalah…”

Viona tertawa pelan, sinis. “Dia hanya orang tua tidak berguna. Cepat atau lambat akan mati. Lebih baik cepat, bukan?”

Moon ingin menamparnya, tangannya terangkat tapi tubuhnya terlalu lemah, tangannya jatuh begitu saja.

“Moon Lee, selama hidup kau selalu gagal. Sebagai anak, cucu, bahkan dalam cinta. Kau gagal dalam segala hal,” ujar Viona dengan tatapan penuh kemenangan.

“Viona… cukup!” Ben kembali masuk, wajahnya penuh amarah sekaligus cemas melihat kondisi Moon yang berlumuran darah.

Viona lalu mendekat, berbisik sinis di telinga Moon. “Ada satu rahasia yang belum kau ketahui. Kedua orang tuaku sebenarnya adalah orang tua kandungmu.”

Moon terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak. “Tidak… mungkin…”

“Kenapa tidak? Selama ini mereka menganggapmu perebut pacar orang karena aku yang memprovokasi mereka. Mereka sebenarnya masih mencari putri kandung mereka yang hilang. Tapi demi posisiku, aku tidak bisa membiarkan mereka tahu yang sebenarnya. Jadi aku harus membuat mereka semakin membencimu,” ujar Viona dingin.

“Bagaimana… kau bisa tahu?” tanya Moon dengan sisa tenaga.

“Asistennya yang menemukan informasi itu. Untung saja kedua orang tuamu yang bodoh belum sempat membacanya. Aku mengambilnya dari tangan asistennya. Jadi hanya aku yang tahu. Dan tentu saja, asistennya sudah aku suap.”

Moon semakin pucat, darah kembali mengalir dari bibirnya.

“Moon Lee, hidupmu sungguh malang. Semua orang yang kau cintai membencimu atau meninggalkanmu,” ejek Viona.

Dengan suara terputus-putus, Moon berbisik, “Kau… tidak akan berakhir dengan baik…”

Ben tertegun. "Steven Lu dan Joe Ling… ternyata mereka adalah orang tua kandung Moon."

Moon muntah darah lebih banyak, air matanya mengalir deras, menanggung sakit tak tertahankan.

“Orang tuamu tidak akan bisa bersatu denganmu. Mereka hanya memiliki seorang putri, yaitu aku. Sementara kau telah dilupakan,” ujar Viona dingin, penuh kebanggaan.

“Cukup!!!” teriak Ben, suaranya menggema penuh amarah.

Moon yang semakin menderita, dengan napas terputus-putus, menatap Viona penuh kebencian. “Sampai mati pun… aku tidak akan pernah memaafkanmu. Nenekku… Ben… mereka semua meninggalkan dunia ini karena ulahmu. Kau tidak akan pernah bahagia… selama hidupmu…” ucapnya dengan suara lemah, lalu tubuhnya terkulai. Dengan hembusan napas terakhir, matanya perlahan terpejam.

“Moon… Moon!!!” teriak Ben dengan suara parau. Ia berlari mendekat, mencoba meraih tubuh gadis itu, namun tangannya hanya menembus udara. Air mata bercampur amarah membuat hatinya semakin hancur.

Ben terdiam, tubuh roh-nya bergetar hebat. Ia menatap wajah Moon yang telah tenang dalam kematian. Rasa bersalah, cinta, dan dendam bercampur menjadi satu.

“Moon… kenapa harus berakhir seperti ini…” suaranya lirih, penuh kesedihan.

Lalu Ben menoleh pada Viona, sorot matanya penuh api dendam. “Viona Lu… andai aku diberi kesempatan untuk kembali ke dunia ini, aku akan menghentikan semua rencana jahatmu. Aku akan membuatmu menderita… sebagaimana kau telah membuat Moon dan aku sengsara.”

Viona hanya tersenyum tipis, puas dengan hasil perbuatannya, "Moon Lee, akhirnya aku menang juga. Kau sama sekali bukan lawan yang berat."

"Karena kau sudah mati, mungkin lebih baik, mata dan organmu yang masih berguna didonorkan ke orang lain saja. Semasa hidup kau sakit-sakitan dan tersiksa. Setelah mati, biarkan tubuhmu dibelah oleh dokter," kata Viona dengan tertawa puas.

"Jangan pernah menyentuhnya," teriak Ben.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!