Tidak perlu semuanya diceritakan pada dunia. Tetap sisakan misteri. Bukankah rasa penasaran yang membuat mereka terus menggali lebih dalam tentangmu?
by Feirsa Besari
***
Namaku Nadinda Aulya Putri, orang biasa memanggilku Nadin. Aku anak ke
dua dari dua bersaudara. Aku tumbuh dari keluarga sederhana. Di besarkan oleh
seorang ayah yang tampan namanya Roy. Ayah adalah panutan kami.
Kakakku perempuan. Kami pernah menyukai satu pria yang sama,
sebelum kami tahu maksudnya mendekati kakakku. Kak Ana namanya. Tapi kemudian
kakakku dipertemukan dengan orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.
Jujur aku iri pada kakakku...., aku juga ingin di pertemukan dengan pria yang seperti
itu.
Kak Dio, dia baik tapi tak sebaik yang aku pikir. Aku menyukainya,
entah itu obsesi atau aku merasa nyaman dekat dengannya. Setelah hubungannya
berakhir dengan kakakku, aku tidak tahu detailnya kenapa mereka berpisah, yang
aku tahu dari kakakku dia menghianati kakakku. Tapi penghianatan seperti apa
itu, aku tidak pernah tahu. Kak Dio masih sering menghubungiku. Tapi tak
sedekat dulu, aku harus menghargai perasaan kakakku.
***
Seperti biasa
sore ini aku keluar dari kampusku, aku dulu lebih suka nebeng sama Dio dari
pada bawa motor sendiri. Tapi akhir-akhir ini beda. Aku tak mau lagi tergantung
pada kak Dio. Aku menuju ke parkiran kampus untuk mengambil motor. Tapi
langkahku segera terhenti oleh seseorang. Seseorang itu adalah orang yang begitu
ingin aku hindari. Dia adalah kak Dio.
“Nadin ....”
kak Dio menghampiriku.
“hei kak ....”
sapaku pada kak dio .
“mau pulang
ya?”
“iya ....!”
jawabku singkat
“mau bareng
sama aku?” tawar kak Dio.
“nggak usah
kak, aku bawa motor sendiri ...” jawabku sambil menunjuk ke arah motorku yang
terparkir tak jauh dari tempat kami berdiri.
“baiklah ...,
hati-hati ya ..., besok aku jemput ya ...!”
“nggak usah kak
..., aku bawa motor sendiri aja ...”
“kenapa sih
kamu menghindariku?” tanya kak Dio yang tampak kecewa.
“maaf kak, tapi
aku nggak bisa.”
“kamu merasa
tidak enak dengan kakakmu ...? kami sudah putus, kamu tahu sendiri kan? Jadi
ijinkan aku dekat denganmu.”
“maksud kakak?”
aku gagal mencerna ucapan kak Dio, apa maksud dari perkataannya?
“aku menyukaimu
dari dulu, aku dekat dengan kakakmu supaya aku bisa dekat denganmu.”
“apa?” aku
benar-benar syok setelah tahu kebenarannya. Betapa sakit hati kakakku, saat
tahu kenyataan itu. Tapi kenapa kakak tak pernah cerita. Sunggu saat ini aku
begitu kecewa pada kak Dio. Dia sudah memanfaatkan kakakku.
“maafkan aku
Nad ..., aku sungguh menyesal.”
“kakak
keterlaluan ...”
“tapi aku nggak
bisa membohongi perasaanku lebih lama lagi ...”
“aku kecewa
sama kakak, biarkan aku pergi.” Aku pun meninggalkan kak Dio seorang diri.
Hatiku hancur. Kenapa? Kenapa baru sekarang? Kenapa?
Aku merasa jadi
orang yang paling naif untuk saat ini. Aku tehianati oleh perasaanku sendiri.
Di dalam hatiku yang paling dalam aku merasa senang karena selama ini ternyata
aku tidak mencintai sendirian. Tapi kenapa caranya salah. Seandainya,
seandainya bukan seperti itu. Kenapa takdir sepertinya menertawakanku.
Brakk
“auhhhggg ...”
Aku tidak
konsentrasi dengan motorku. Aku menabrak mobil seseorang. Aku kecelakaan.
Mataku masih terpejam. Apa aku sudah mati.apa aku sudah naik ke surga. Tapi
rasanya punggungku sakit. Kakiku juga sakit.
“kau tidak pa
pa?” hah ..., ada yang bertanya padaku. Aku perlahan membuka mata. Kataku
terpaku pada manik matanya yang tajam. Tapi terlihat menyeramkan. Apa dia
malaikant pencabut nyawa? Tapi dia tampan.
“kau tidak pa
pa...”
Barulah aku
tersadar. Aku masih di jalan yang sama. Aku terduduk di jalan di samping motorku yang tergeletak. Aku menatapnya
kembali.
“kau siapa?”
aku dengan ragu bertanya.
“kau yang siapa?
Apa yang kau lakukan?” dia. Pria itu bertanya balik padaku.
“aku jatuh, apa
kau tidak liat, masih tanya lagi, sakit tahu ..., kau ini robot ya ...” omelku
padanya, pada pria itu.
“nona yang
menabrakku ...”
“terserahlah
..., aku yang sakit ...” aku pun bangun dan membangunkan motorku kembali. Aku
malas berurusan terlalu lama dengan pria asing ini. Dia , wajahnya tampan
tampak menyebalkan.
“aku buru-buru
..., aku harus pergi, ini kartu nama saya ..., jika anda meminta ganti rugi,
bisa menghubungi nomor yang ada di situ ...” ucap pria itu sambil menyerahkan
secarik kertas kecil seukurang KTP. Ini jika di lihat memang seperti kartu
nama. Dia bukan orang sembarangan dong, punya kartu nama. Dia pun pergi
meninggalkanku seorang diri. Aku perhatikan kartu itu, di sana tertera mananya Narendra
Rendiansyah. Nama yang bagus. Tapi cukup familiar. Siapa dia?
“Nad ..., kamu
kenapa?” tiba-tiba kak Dio yang kebetulan lewat menghampiri kami.
Dia turun dari
motornya.
“aku jatuh kak
...” aduku padanya.
“mana yang sakit?”
“tidak pa
pa..., sepertinya motorku saja yang rusak.”
“baiklah kamu
tunggu di sini, motormu biar aku bawa ke benkel yang ada di sana.” Aku hanya
mengangguk dan menunggu kak Dio menuntun motorku ke seberang jalan. Tak berapa
lama ia kembali menghampiriku.
“kita tinggal
saja motornya, sepertinya harus mengganti beberapa yang rusak. Kamu bareng sama
aku saja ya ..” aku pun hanya bisa pasrah. Aku mengangguk. Akhirnya kami jadi
pulang bersama.
kami pun sampai
di depan rumah,
“sini biar aku
bantu” kak Dio membantuku melepaskan helm yang ku kenakan, perhatian-perhatian
kecil yang di berikan Dio inilah yang menumbuhkan rasa suka di hati kecilku,
walau tak bisa di pungkiri aku juga merasa bersalah dengan kak Ara, perhatian
itu masih sama
“terimakasih kak
...” itu yang bisa aku ucapkan, dan di balas dengan senyum ramah oleh kak Dio,
membuat hatiku semakin dilema.
“aku langsung
aja ya ...”
“iya ....”
Kak Dio pun meninggalkan
halaman rumah kami, aku segera masuk ke dalam rumah dengan kaki yang terpincang.
Entahlah mungkin kakiku terkilir.
“assalamualaikum
...” ucapku sambil memasuki rumah.
“waalaikum
salam ...”
“ayah ....”
“kamu kenapa?”
tanya ayah sambil menghampiriku yang sudah terduduk di sofa ruang tamu.
“aku jatuh yah
...” aduku.
“kok bisa ...?”
“ya bisa lah
yah ..., namanya juga kecelakaan ...”
***
Hari demi hari
aku lewati tampa kak Dio lagi. Aku benar-benar menghindarinya. Aku tak ingin
membuat hatiku semakin tertahan di hati kak Dio.
Aku lebih
sering menghabiskan waktuku di rumah. Walaupun sepi, karena kakakku lebih
sering pulang malam.
“ayah ....,
sepi sekali ..., kakak belum pulang lagi?”
“belum ...,
biasa lembur dari bosnya. Tadi bosnya malah terpon kalau kakakmu nggak pulang
hari ini karena ada pertemuan di luar kota.”
“ah ...., kakak
sibuk banget sih ...”
***
Pagi ini kak Ara sudah kembali ke rumahnya, setelah kemarin tidak
pulang. Aku dan ayah percaya jika kakak memang ada pekerjaan di luar kota.
“kakak capek ya ...?” tanya ku pada kakak. Terlihat dari wajahnya
jika dia begitu lesu.
“iya ..., aku ingin istirahat , dek .” kak Ara menjatuhkan tubuhnya
di kempat tidur.
“kakak beneran putus sama kak Dio?”
“iya dek ....!”
“kenapa?”
“dia nggak baik dek ..., pokoknya kamu juga nggak boleh dekat sama
dia.”
“tapi kenapa kak?”
“nggak boleh, ya nggak boleh titik ...” ucap kak Ara penuh
penegasan.
“baiklah ...., selamat istirahat ...”
Aku pun meninggalkan kamar kakak. Aku ke dapur untuk membatu bibi
memasak untuk makan malam.
Setelah mengurung diri di dalam kamar seharian dan semalaman. Pagi ini ara
keluar dari dalam kamar dan langsung di sambut oleh ayahnya dan Nadin yang
sudah di buatnya cemas
"sayang ...., kamu sudah tak apa? sebenarnya apa
yang terjadi? ceritakan pada ayah" ayah ara segera menuntun ara ke meja
makan untuk sarapan bersama, ara pun duduk di salah satu kursi dan ayahnya
menyusul di sampingnya
"sekarang ayo ceritakan pada ayah"
"aku lapar yah ..." ara segera membalik
piringnya dan mengambil nasi serta lauk pauk
"iya kak ayo cerita pada kami" Nadin yang baru
keluar dari dapur dengan membawa sebaskom sayur segera ikut bicara. Ia begitu
penasaran dengan cerita kakaknya. Apa yang di ceritakan kakaknya kemarin belum
membuatnya puas.
Ayah dan nadin benar-benar penasaran dengan masalah
yang dihadapi ara hingga membuatnya mengurung diri, mereka begitu mencemaskan
keadaan ara
"iya nak ..., ayah merasa tidak berguna jika kamu
tak mau cerita sama ayah"
"ayah ini bicara apa ...., aku sudah baik-baik
saja ..." ara mencoba membantah
"iya kak, aku benar-benar penasaran kak, mungkin
dengan cerita sama aku dan ayah akansedikit meringankan beban pikiran
kakak"
"jika kamu tidak mau cerita berati kamu tak
pernah menganggap ayah penting dalam hidupmu" mendengar penuturan ayahnya
menjadikan ara merasa bersalah
"maafkan aku ayah ...."
"cerita ya ..." ayah ara benar-benar memaksa
"aku sedang patah hati yah ...., aku putus"
Hahahahaha
Ayah malah
tertawa keras saat mendengar penjelasan Ara. Sedang Nadin, ia di buat bingung
dengan hatinya. Ia takut jika hatinya berhasil menguasai pikirannya. Ia takut
jika bahagia. Ia takut perasaannya akan menghianati kakaknya.
"kenapa ayah malah tertawa ...? jahat sekali
..."
"hanya patah hati ...., jadi seperti itu ..., kau
benar-benar membuatku geli ..." ayahnya kembali menertawakannya
"ayah benar-benar jahat ..."
bretttt brettttt brettttt
Obrolan mereka terhenti saat ponsel ara bergetar, ada
panggilan masuk di sana
"pak Rendi" ara berucap tanpa mengeluarkan
suara saat melihat nama Rendi di layar panggilan
"siapa kak?" nadin pun ikut penasaran
"pak rendi, aku angkat dulu ..." ara pun
segera menjauh dari meja makan dan menggeser tombol hijau. Dan sedikt menjauh
dari Nadin dan ayahnya.
Nadin yang nendengar nama Rendi di sebut, ia kemudian
teringat pada kartu nama itu. Apa orang itu pak Rendi? atasan kak Ara? Orang
yang telah menyebabkan motornya masih di bengkel. Karena biaya perbaikannya
yang cukup mahal. Membuat Nadin enggan mengambilnya. Walaupun bukan sepenuhnya
kesalahan pria itu. Tapi tetap saja pria itu bersalah.
panggilan pun terputus, ara pun kembali ke meja makan
"ada apa kak?" tanya Nadin yang sedang
membereskan meja makan. Tapi pikirannya bukan di situ. Ia ingin sekali
menunjukkan kartu nama itu pada kakaknya. Tapi, entahlah, dia ragu.
"pak Rendi mengajak ketemu ..."
"wah ..., itu ya yang sama kak agra , yang kata
kakak keren itu ya kak?"
"iya, tangan kanan pak Agra, ya udah aku
siap-siap dulu ya, nggak pa pa ya kamu beres-beres sendiri dek, soalnya aku
buru-buru"
"beres kak..., asalkan uang sakunya jangan
lupa"
"siap"
****
Kamu tidak akan menyadarinya sampai hal itu benar-benar terjadi, tapi sebuah tamparan mungkin menjadi hal yang paling baik di dunia untukmu." - Walt Disney
Hai-hai ...., aku datang lagi di sini ....
jangan lupa kasih like dan komentarnya ya
kasih vote juga .....
happy reading ....😘😘😘😘
Namaku Narendra Rendiansyah. Aku ..., aku bukan
siapa-siapa. Aku adalah anak laki-laki biasa yang menjadi luar biasa karena
seseorang yang luar biasa di sampingku. Aku anak piatu, aku di besarkan
seorang ayah yang luar biasa. Ayahku adalah panutan ku. Kesetiaan yang selalu
ayah ajarkan padaku. Aku tumbuh menjadi diri yang kuat. Aku punya dua sahabat,
Frans dan Agra. Ayahku adalah tangan kanan keluarga Agra. Kami tumbuh bersama
di waktu kecil. Tapi kejadian 15 tahun yang lalu mengubahku menjadi anak yang
tangguh, saat ayahku memintaku dalam sebuah dilema.
“apa kau siap jika aku memintamu sesuatu?” tanya ayah
padaku.
“apa itu ayah?”
“jika hari ini aku meminta nyawamu, apa kau akan
memberikannya?”
“maksud ayah?”
“jawab saja.” Aku begitu ragu menjawabnya. Apa mungkin
ayah akan membunuhku? Itu tidak mungkin kan? Aku tahu ayah lebih menyayangi
Agra sahabatku dari pada aku. Tapi tidak mungkin ayah memasukkan ku ke lubang
macan.
“kau tidak bisa ...” wajah ayah begitu kecewa. Aku
sungguh tidak menyukai wajah itu. Ekspresi itu. Rasanya aku begitu tidak
berguna. Apa yang ayah inginkan dari anak berusia 10 tahun.
“aku bisa ...” jawabku ragu.
“jika kau sudah melangkah, kau tidak akan bisa mundur.
Ingat itu, jika kau tidak bisa aku akan mencari anak lain.” Aku tidak mau ayah
lebih percaya pada anak lain. Aku iri, ya aku memang iri. Aku cemburu. Ya aku
memang cemburu.
Tanpa tahu apa perintah ayahku. Aku pun
menyanggupinya. Ternyata aku di kirim ke rumah besar itu. Aku harus
menggantikan tempat sebagai putra mahkota dari sebuah kerajaan bisnis. Ya aku
menggantikan posisi Agra, sahabatku ...
Karena hal itu, hubunganku dengan Agra menjadi
renggang. Ia menganggap ku merebut ibunya.
Aku menjadi tameng di rumah itu. Itu sesuai dengan apa
yang di berikan oleh tuan Wijaya Sangat berhutang budi pada tuan Wijaya, ayah
Agra. Beliau harus meninggal karena pembunuhan.
Karena rasa khawatir nyonya Ratih. Ia melakukan semua
ini. Beliau mengirim putranya sendiri ke panti asuhan, sedangkan aku harus
menggantikannya.
Benar sekali firasat nyonya Ratih. Berkali-kali aku
mengalaminya. Percobaan pembunuhan dan penculikan.
Setelah kami mulai dewasa. Pelaku pembunuhan atas tuan
Wijaya tertangkap. Kami kembali pada posisi kami. Aku kembali menjadi anak
biasa. Tapi nyonya Ratih tak benar-benar melepasku. Beliau menganggap kami
sebagai putranya. Aku, Frans dan agra. Kami sekolah di tempat yang sama. Bahkan
nyonya mengirim kami ke luar negri untuk pendidikan kami.
Aku tumbuh menjadi anak yang lebih waspada. Dingin dan
mungkin akan menyebalkan bagi yang tidak begitu mengenalku.
***
Hari ini kami kembali ke tanah air. Kami langsung di suguhi
dengan beberapa pekerjaan. Ya Agra harus mengemban tugas sebagai CEO
perusahaan, sedang aku menjadi tangan kanannya. Lalu bagaimana dengan Frans,
dia sedikit berbeda. Dia menjadi seorang dokter. Nyonya Ratih sudah
membangunkan sebuah rumah sakit yang harus dia kelola.
Satu tahun pertama adalah tahun yang cukup sulit bagi
kami. Karena kami harus belajar dari awal. Dua tahu, tiga tahun berlalu dengan
cepat, kami mulai jadi pengusaha yang di segani. Banyak lawan bisnis kami yang
segan dengan kami.
Di kehidupan kami yang datar dan biasa saja, kemudian
menjadi berwarna saat seorang karyawan baru masuk di perusahaan kami. Gadis itu
memberi warna yang berbeda. Dia adalah Ara, Putri Aulia Zahra.
Ya dia sekertaris baru untuk Agra. Awalnya Agra begitu
suka mengerjainya. Rasa simpatiku lama-lama menjadi rasa suka. Aku kira kita
tidak akan menyukai wanita yang sama, karena agra sudah punya kekasih. Aku
mulai mendekati Ara.
Tapi keputusanku untuk mencintai Ara, mengukir namanya
di hatiku seakan pupus, saat nyonya Ratih memintaku menyelidiki latar belakang
Ara. Untuk apa? Apa yang salah dengan Ara? Pikiranku cukup sulit di artikan.
Aku perlahan mulai menjauhi Ara. Mengikis perasaanku
yang sudah terlanjur dalam. Aku mungkin kuat dalam segala hal, aku mungkin
cerdas dalam segala masalah. Tapi kenapa aku merasa bodoh saat berhadapan
dengan gadis itu. Aku mencintainya. Ya aku memang mencintainya.
Setelah kembali dari rumah besar. Aku terus memikirkan
Ara. Hingga tanpa sadar aku menabrak motor seseorang. Seorang gadis, dia cukup
menyebalkan, entah kenapa aku benci melihat wajah itu. Wajah yang
mengingatkanku pada seseorang. Tapi siapa. Aku tak bisa berlama-lama menangani
gadis ingusan itu, aku harus segera pergi.
Aku meninggalkannya bersama motornya. Aku memberinya
kartu namaku. Aku harus segera pergi karena aku harus mencari agra yang sedang
patah hati karena di hianati kekasihnya, Viona.
Mungkin aku tampak jadi orang yang tak bertanggung
jawab karena meninggalkannya. Tapi mungkin lain waktu, jika aku bertemu
dengannya aku akan memberi ganti rugi jika dia tidak menghubungiku dulu.
***
Dan benar saja apa yang aku khawatirkan. Setelah
sekian lama aku mencintai sendiri. Cinta itu harus pupus sebelum mekar.
Nyonya Ratih memiliki rencana. Dia menginginkan Ara
sebagai pendamping Agra. Aku tahu mungkin agra saat ini belum mencintai Ara,
tapi nanti ...
Aku pun memutuskan menghubungi Ara. Memintanya
bertemu. Entah apa yang terjadi antara Agra dan Ara. Tapi aku harus memastikan
sesuatu kan.
Aku menunggunya. Aku menyiapkan semuanya. jam sepuluh
lebih lima belas menit Ara baru sampai di kafe yang telah ku sebutkan, ia
terlambat tapi entah kenapa aku memakluminya. Aku menatapnya dari layar CCTV, ia
mengedarkan pandangannya pada semua penjuru.
“jemput dia ...” ucapku pada salah seorang pengawalku.
“baik tuan ...” ia pun keluar dari ruanganku dan
menghampiri Ara.
"nona ara" sapa pria itu
"iya ..."
"anda sudah di tunggu di dalam nona, mari saya
antar"
Hatiku, perasaanku, kenapa? Apa yang terjadi? Aku
gugup. Aku sakit. Tapi aku harus melakukan ini.
"mari nona ..." Ara semakin dekat padaku.
Aku pun berdiri untuk menyambut kedatangannya. Dalam hitungan hari dia akan
menjadi atasanku. Aku juga harus terbiasa memanggilnya nona.
"selamat datang ..., maaf mengganggu waktumu, silahkan
duduk ..." ku geser sebuah kursi dan mempersilahkan ara untuk duduk.
"terimakasih pak, anda terlalu repot" aku
tahu Ara tidak terbiasa dengan perlakuanku ini, tapi ia harus terbiasa.
"maaf membuat janji mendadak"
"tidak apa"
"silahkan mencicipi makanannya ..." aku
memcoba menghilangkan rasa canggung dengan memulai makan.
"maaf saya minum saja ..."
"kamu terlihat banyak pikiran ..." aku
mencoba menebak.
"sedikit
pak ..."
"sebenarnya
ada hal penting yang ingin aku pastikan padamu"
"apa?"
aku tahu Ara pasti bingung dengan apa yang aku lakukan.
"Terkadang
kamu harus merelakan seseorang yang tak bisa kamu miliki. Meskipun sulit namun
itu hal yang terbaik untuk dirimu"
"Kebahagiaan
terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai;
dicintai
untuk diri kita sendiri, atau lebih tepatnya, dicintai
terlepas
dari diri kita sendiri."
"maksud
pak Rendi?"
"aku
ingin melihat kau maupun sahabatku bahagia ..., kalian begitu berarti di
hidupku"
"bisakah
pak Rendi bicara dengan kata yang mudah aku mengerti"
"aku
memohon padamu setelah ini tolong bahagiakan agra, dan aku juga berharap kija
kamu juga bahagia bersamanya, dan aku hanya akan memastikan kalian bahagia"
"jangan
membuatku bingun pak, aku sungguh tak mengerti"
"aku
yakin kamu sudah tahu apa yang aku katakan"
"aku
tak ada hubungan apapun dengan pak agra"
'tapi
setelah ini akan ada, aku cuma mohon padamu tolong jaga dia"
"jika
aku bisa, aku akan melakukannya pak, tapi jelaskan dulu padaku apa
maksudnya"
"maafkan
aku, aku aja janji lain, silahkan lanjutkan makannya, aku harus pergi" aku
pun langsung beranjak dari dudukku dan meninggalkan tempat , meninggalkan ara
yang masih di buat bingung. Aku tidak bisa terlalu lama di sana, aku takut jika
aku tidak bisa menahannya. Atau mungkin aku tidak bisa melepasnya.
Aku segera
keluar dari kafe dan menuju mobil yang sudah terparkir di depan kafe.
“silahkan
masuk tuan ...”
Sebelum aku
masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke pada sopirku.
“aku sendiri
...”
“baik tuan” aku
segera masuk ke dalam mobil. Setelah duduk di balik kemudi aku segera
menyenderkan kepalaku di senderan kursi mobil, rasanya berat.
"kenapa
sakit sekali merelakan orang yang kita cintai pada orang lain ..." aku
memukul kemudi berharap rasa sakit ini bisa berkurang.
"apakah
aku benar-benar bisa rela ..."
" hari
ini aku tahu, beratnya merelakan setelah menemukan, pedihnya kehilangan sebelum
memiliki"
***
"Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu." - Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
Happy Reading 😘😘😘
Jangan lupa bayar aku dengan memberikan LIKE dan KOMENTARnya ya
jangan lupa kasih vote juga
makasih ......
Bunga Melati tak sama dengan bunga mawar. Bunga Mawar juga tidak akan sama dengan Melati. Begitu juga dengan Wanita, mereka memiliki keindahannya masing-masing.
**"*
Siang ini. Saat akan mulai memasak,
tiba-tiba Nadin di kejutkan oleh suara
ketukan pintu.
Nadin pun segera menuju ke arah pintu depan, tapi sebelum
membukanya, ia terlebih dulu mengintip dari balik jendela. Di sana, di
halamannya ada sebuah mobil mewah parkir
di depak rumahnya, ia benar-benar heran kenapa ada mobil mewah yang mau belanja
bahan bangunan di toko kecil.
Nadin pun segera membukakan pintu. Ia cukup terkejut dengan
tamunya, seorang wanita cantik dan seorang pria, tampak seperti bukan
pasangang, tapi atasandan tangan kanannya.
“cari siapa ya? ada yang bisa saya bantu?” tanya Nadin saat pintu
telah terbuka.
“apa betul ini rumah nona Ara?” tanya pria paruh baya itu.
“iya benar.” Jawab Nadin tampak bingung. Ada apa dengan kakaknya?
Kenapa mereka mencari kakaknya?
“boleh kami masuk ...?” tanya pria itu lagi. Sedang wanita di belakangnya
hanya diam saja.
“oh ..., iya silahkan tuan.., nyonya ...”
Nadin pun mempersilahkan mereka duduk.
“bisa kami bertemu dengan ayah nona?” tanya pria itu lagi setelah
duduk.
‘Baik, biar saya panggilkan dulu, tuan dan nyonya ingin mingum apa?
Biar saya buatkan?”
“yang ada saja nona ...”
“baik..., saya permisi dulu.” Mereka pun mengangguk. Nadin pun
meninggalkan mereka untuk mencari ayahnya yang kebetulan ada di belakang rumah.
“ayah ...” Nadin menghampiri Roy
“ada apa nak?”
“ada yang mencari ayah.”
“siapa?”
“aku tidak tahu yah ..., ayah ke sana saja, biar aku buatkan
minuman dulu.”
“baiklah.” Roy pun berlalu meninggalkan Nadin menuju ke ruang tamu.
Nadin pun membuat beberapa gelas minuman warna orange. Ia kemudian
membawanya ke ruang tamu dan menaruhnya di atas meja.
“silahkan tuang, nyonya, minumannya.”
‘terimakasih..., tapi kami bisa minta tolong lagi?” tanya laki-laki
itu. Tapi sepertinya wajahnya tak begitu asing.
“silahkan tuan..” jawab Nadin sambil menundukkan pandangannya saat
tanpa sengaja ketahuan memperhatikan pria paruh baya itu.
“tolong panggilkan nona Ara ..”
“baik ...”
Nadin pun segera menuju ke kamar kakaknya.
“kakak ...”
“dek ...., bikin jantungan deh ....” Ara memegang dadanya yang
terkejut, saat Nadin dengan segaja mengagetkannya.
“abis kakak ..., masak baru ketemu cowok ganteng, wajahnya malah di
tekuk ...” Nadin segera ikut duduk di samping kakaknya dengan memangku setoples
keripik singkong.
“aku bingung dek ...”
“bingung kenapa?” Nadin terus memakan keripik singkong itu, ia
seakan lupa apa maksud dirinya menghampiri kakaknya, saat melihat wajah sendu
kakaknya.
Rendi dek ...” lagi-lagi nama Rendi yang di sebut ..., ia kembali
teringat dengan kartu nama itu, ingin rasanya menunjukkan pada kakaknya, tapi
entahlah ..., kakaknya saat ini lebih penting.
“kenapa dengannya kak?”
“Dia itu ngomong yang aku nggak faham. Bikin pusing aja.”
“Maksud kakak, kayak ada makna terselubung ...?”
“ya gitu deh ...”
“Aaaaaa ....” Nadin segera berteriak, tapi kemudian ia menutup
kembali mulutnya.
“ada apa sih dek?” ara tampak bingung.
“kakak..., kenapa kau polos sekali ..., pantas saja kakak
berkacamata, pasti yang di liat Cuma buku, kayak aku nih suka liatnya cogan.”
“Apa itu cogan?”
“cowok ganteng ...”
“Dasar ya kamu kecil-kecil. Jangan ngeledek kakak, kakak timpuk nih
...”
Kemudian Nadin menjelaskan apa yang di maksud. Ia memberitahu
kakaknya jika mungkin Rendi juga menaruh perasaan pada kakaknya.
Di tengah obrolannya tiba-tiba Ara mendekat ke arah cendela, dia melihat
mobil di luar sana.
“dek , itu mobil siapa?”
“paling juga orang beli bahan bangungan.” Tapi sejurus kemudian
Nadin pun menepuk kepalanya, ia baru ingat kenapa dia masuk ke kamar kakaknya.
“iya kak dia mencari kakak ...”
“kakak ...?” kemudian Ara mengamati kembali mobil itu, dan benar
saja ia baru ingat itu mobil siapa.
“mereka siapa kak?” tanya Nadin.
“itu ibunya pak Agra sama tangan kanannya.”
Ara ikut duduk dengan mereka. Suasana tegang tercipta. Ada apa?
Mungkin itu yang Nadin pikirkan saat itu. Ternyata mereka datang untuk melamar
Ara.
Roy begitu kecewa dengan Ara, dengan apa yang terjadi. Setelah
kejadian itu ayah kehilangan keceriaannya. Nadin hanya bisa berusaha menghibur
ayahnya dan tentunya kakaknya. Banyak yang ingin dia tanyakan. Tapi rasanya
sangat salah jika ia terlalu ikut campur urusan kakaknya.
Kakak akan menikah dengan bosnya. Dan baru kemarin Nadin mendengar
kakaknya baru putus dari Doi, kok bisa? Kak Agra. Dia baik tapi bukan tipe
kakak.
***
Rendi melihat
Ara menemui Agra. Ia melihat bagaimana Agra memperlakukan Ara. Rasanya tidak
terima tapi apa yang bisa ia lakukan selain menerimanya.
Saat Ara menuju
ke parkiran karyawan, ingin segera menghampirinya. Tapi ia ragu.
.
Tapi ternyata
langkahnya lebih cepat dari pada pikirannya. Ternyata ia sudah sampai di depan
Ara.
“Ara ...”
“Pak Rendi ...”
Ingin rasanya
aku memeluknya dan meluapkan segala perasaanku, perasaan yang sudah aku pendam
selama empat tahun ini. Haruskah berakhir begini saja.
Tapi
keberaniannya tak sekuat hatinya.
“Kenapa kamu di
sini, bukankah masih cuti? Katanya tadi masih mau istirahat di rumah”
“Tadi nemuin
pak Agra sebentar.”
Apa dia
terluka? Apa dia baik-baik saja?. Aku benar-benar belum bisa rela. Sesakit
inikah merelakannya bersama orang lain.
“ketemu ..?”
ucap Rendi yang sedikit tertahan.
“Ketemu ..., ya
sudah pak saya permisi ya.” Ara berbalik hendal melangkahkan kakinya. Tapi
kemudian terhenti saat Rendi kembali menahannya.
“Ra ...”
“Ya ....” Ara
kembali berbalik. Hingga mereka saling bertatapan.
“Maafkan Agra,
dia sedang banyak pikiran.” Ara hanya mengangguk.
“ya udah pak,
saya permisi.” Kali ini Rendi tak mampu menahannya lagi. Ara menaiki motornya
meninggalkan Rendi. kemudia Rendi pun menghampiri Agra.
“Gra ...”
Agra
menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara. Walaupun kelihatannya
hubungan mereka terlihat baik, tapi di dalam, Agra masih menyimpan kebencian
terhadap Rendi.
“Boleh gue
bicara sebentar sebagai teman?” tanya Rendi.
“Duduklah ...”
Rendi pun duduk
di samping Agra.
“Mau bicara
apa? Apa kau juga mau menyalahkanku?”
“Aku Cuma mau
lo bahagiain Ara. Walaupun sekarang mungkin cinta itu belum ada, tapi ada
kehidupan lain dalam kehidupan kalian yang harus kalian jaga.” Begitu sakit
saat mengatakan itu. Ya Rendi tahu. Dari Ratih, saat Ratih mengatakannya pada
Rendi. Rendi begitu hancur, sangat hancur. Seakan dunianya hilang. Ia tidak
pernah mencintai wanita seperti dia mencintai Ara.
“lo ..., lo
tahu dari mana?”
“Nyonya sudah
memberi tahu padaku.”
“Saudah ku
duga, kenapa juga gue harus bertanya, emang nyokap gue lebih efair sama elo
dari pada gue.”
Saat Agra
mengatakan itu. Rasanya Rendi ingin sekali berteriak. Ia tidak pernah bermaksud
seperti itu. Agra masih menyalahkannya. Ia menganggak bahwa Rendi lah penyebab
kerenggangan hubungannya dengan ibunya.
“Lo salah Gra,
nyonya tetap menempatkan lo di tempat teratas.”
“Gue nggak bisa
mikir Rend, lo jaga aja nyokap gue, mungkin suatu saat gue bakal menyerah.”
“Gue yang nggak
akan ngebiarin lo nyerah.”
Lo dengar itu
Gra, itu janjiku. Apapun yang terjadi. Aku tidak akan pernah meningalkanmu.
Cuma lo saudara gue.
“Terserah lo
...” Agra meninggalkan Rendi.
Ada banyak yang
lo nggak tahu Gra, tapi aku akan tetap berada di belakangmu. Mendorongmu saat
kau tak mampu lagi beranjak. Menopangmu saat tubuhmu tak mampu lagi berdiri.
***
Hari ini adalah
hari pernikahan Ara. Dan hari itu juga merupakan pertemuan ke dua Nadin dengan
Rendi. setelah peristiwa kecelakaan itu. Saat orang-orang itu membawa Ara. Tak
berapa lama datang lagi seseorang yang mungkin akan di takdirkan untuk bertemu
dengan Nadin.
Tok tok tok
Lagi-lagi pintu
di ketuk. Hari ini memang hari yang cukup sibuk di rumah itu.
“iya ...
sebentar ...” teriak Nadin dari dalam.
“biar saya buka
aja bi, bibi lanjutin pekerjaannya saja.” Ucap Nadin pada pembantu rumahnya.
Nadin pun
segera menuju ke arah pintu. Ia membuka pintu itu. Ia sedikit terkejut dengan
apa yang ia lihat. Pria tampan nan angkuh itu datang ke rumahnya. Apa ia mau
meminta ganti rugi atas mobilnya? Mungkin itu yang di pikiurkan Nadin.
“kau ...” ucap
Rendi tanpa ekspresi.
“kau ..., apa
kau ingin meminta ganti rugi? Jangan sekarang ya. Di rumah masih ada acara.
Jadi aku mohon urusan kita, kita lanjutkan lusa. Ya lusa aku janji ...” ucap
Nadin memelas. Ia tidak ingin ada keributan di rumahnya diwaktu yang tidak
tepat ini.
“Nak Rendi ...”
ucapan seseorang dari dalam segera menghentikan ocehan Nadin. Dia adalah Roy.
Roy yang baru saja keluar dari kamar, melihat keributan di depan pintu. Ia pun
segera melihatnya. Dan benar saja di sana sudah ada Rendi yang di tahan
putrinya agar tidak masuk ke dalam rumah.
Nadin pun
secara otomatis menyingkir dari balik pintu. Rendi tanpa permisi segera masuk
melewati Nadin yang masih belum sepenuhnya paham.
“dia tampan
..., sayang ..., kaku ...” batin Nadin sambil meninggalkan ruangan itu.
Ternyata Rendi
datang untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membawa WO untuk acara
pernikahan ini.Nadin pun segera di seret masuk ke dalam kamar untuk di make
over.
Setelah selesai
make over dan mengenakan baju yang di bawa WO. Nadin pun di minta untuk keluar.
Kembali menghampiri Rendi.
“Untuk apa aku menemuinya?”batin
Nadin.
“sebaiknya nona
ikut saya, menjemput nona Ara ..” ucap Rendi. tapi lebih terdengar seperti perintah.
Nadin pun hanya menurut saja. Ia mengikuti di belakan Rendi.
“Silahkan masuk
...” ucap Rendi sambil membuka pintu mobil.
“kenapa dia jadi manis sekali ...” batin Nadin, sambil berbunga-bunga.
“oh ..., astaga
..., apasih yang kamu pikirkan Nadin. Dasar mata ...., nggak bisa bohong kalau
liat yang bening-bening.” Gerutu Nadin
Ia duduk di
kursi belakang. Ia pikir akan duduk sendiri. Tapi ternyata salah. Ia harus
duduk di samping Rendi. rendi menatap Nadin sekilas hingga mata mereka saling
bertemu. Kerena sedari tadi Nadin tak pernah beralih memperhatikan pria dingin
itu.
“ternyata bocah
ini cantik juga ...,”bantin Rendi. tapi ia segera mengalihkan tatapannya.
“gerggghhh ...”
Rendi menguasai dirinya. Membetulkan duduknya dan jasnya.
“jalan pak ...”
“baik tuan ...”
Di dalam mobil
itu terasasenyap. Tak ada percakapan. Nadin yang biasanya cerewet. Suaranya
seakan hilang di telan bumi. Canggung.
Krik krik krik
Mobil pun
sampai di depan salon.
“silahkan
tunggu di sini. Dan jangan melakukan apapun. Saya masuk dulu.” Ucap Rendi yang
terdengar seperti peringatan. Nadin pun hanya bergiidik ngeri.
Rendi
meninggalkan Nadin di dalam mobil. Ia masuk ke dalam salon. Lima menit, sepuluh
menit, tiga puluh menit, satu jam. Nadin mulai bosan. Ingin rasanya keluar dari
mobil dan meregangkan otot-ototnya tapi peringatan dari Rendi berkali-kali
mengiang di telinganya.
Tak berapa
lama, Rendi pun keluar. Tapi hanya seorang diri. Lalu mana Ara? Rendi mengetuk
pintu mobil yang ada di sebelah Nadin. Nadin pun menurunkan kacanya, dan
menaikkan alisnya. Tanda bertanya.
“Turun ...!”
perintah Rendi.
“hah ...” Nadin
di buat bingung dengan perintah Rendi.
“Turun dari
mobil ...”
“dasar sekali
waktu lembut, sekali waktu kasar kayak robot ....!” batin Nadin
sambil membuka pintu mobil.
“ada apa?”
tanya Nadin ketus.
“Nona Ara akan
keluar, jadi kita harus menyambutnya.”
Tak berapa lama
Ara keluar dari salon. Mereka menyambut Ara. Setelah semua masuk ke dalam
mobil. Mereka kembali ke rumah Roy. Di sana sudah di laksanakan ijab qobul.
Sepanjang acara
Nadin hanya memperhatikan satu orang, orang yang sedari pagi telah berhasil
menyita perhatiannya. Dia adalah Rendi.
Pria dingin
itu, entah kenapa berhasil mengalihkan perhatiannya. Mata pria itu tak pernah
beralih dari kakaknya. Terlihat kesedihan di matanya. Bibirnya yang tak pernah
tersenyum sekarang di tambah dengan mata sendunya.
Dia mencintai
kakakku? Kenapa? Dia sangat terluka. Tapi berusaha menutupinya dengan wajah
dinginnya.
Rendi tiba-tiba
menghilang dari dalam pesta. Kemana dia? Nadin pun tanpa sadar mencarinya.
Entah kenapa ia jadi perduli pada pria dingin itu.
***
Aku berusaha
kuat, tapi ternyata tak sekuat itu, aku mencoba bertahan. Tapi ternyata
pertahananku tak sekeras itu.
Rendi keluar
dari rumah Roy. Ia memilih sendiri. Ia duduk di atas kap mobil depan melipat ke
dua tangannya di atas dada. Memejampakan matanya. Mencoba menetralkan kembali
perasaannya.
Nadin hampir
saja menghampirinya. Tapi langkahnya terhenti, saat lebih dulu seseorang
menghampiri Rendi.
“lo kenapa
sih?” tanya pria itu. Pria yang seumuran dengannya. Dia adalah Frans. Sahabat
Rendi dan Agra.
“gue Cuma cari
udara segar.” Ucap Rendi yang masih memejamkan matanya.
“lo jangan
bohongi diri lo sendiri men ..., kalau sakit nangis, jangan di tahan.”
“emang gue
cewek apa.”
“kali aja ...”
“dasar lo ...”
ucap Rendi sambil melayangkan tangannya ke kepala sahabatnya yang berkaca mata
itu.
“katanya lo
sudah rela, kalau rela ya ikhlasin aja, kata lo kebahagiaan Agra kebahagiaan lo
juga. Jadi berbahagialah ...”
“gue bahkan
tidak yakin harus bahagia atau sedih, ini tak seperti pernikahan yang di
landasi cinta.”
“lalu ...?”
“gue harus
mastiin sesuatu.”
“apa itu ..?’
“mereka harus
bahagia ...”
“itu tugas lo
...”
Nadin yang
sedari tadi mendengarkan percakapan dua sahabat itu, tanpa terasa menitikkan
air mata.
“kakak
beruntung ..., dia di cintai begitu besar oleh pria sepertinya. Aku ingin
merasakan cinta yang sama ...”
Entah kenapa
perasaannya kini tak menetu pada p[ria angkuh itu. Pria dingin yang telah
menyita perhatiannya.
“seandainya
boleh. Bolehkah aku menggantikan kakakku di hatimu ...?” ucap Nadin tanpa ada
yang mendengarnya. Seakan pria itu bisa mendengarnya.
*****
. “Berbahagialah, bukan karena segala sesuatu baik. Tetapi karena kamu mampu melihat, hal baik dari segala sesuatu.”
BERSAMBUNG
Jangan lupa kasih like dan komentarnya ya
kasih Vote juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!