NovelToon NovelToon

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Bab 1 – Kalung Misterius

Nayla menatap pantulan dirinya di cermin, senyumnya mengembang. Gaun putih tulang yang ia kenakan sudah terpasang sempurna.

Sedikit lagi, di hadapan orang tua dan Arga, ia akan mengucapkan "ya" dan melangkah ke babak baru dalam hidupnya. Rencana pernikahan yang ia susun rapi selama setahun terakhir terasa begitu nyata.

Ia sudah membayangkan rumah kecil dengan taman di belakang, suara anak-anak yang akan memanggil mereka "Ayah" dan "Ibu," hingga kerutan di wajah mereka saat menua bersama. Semuanya terasa begitu indah, begitu sempurna.

Ponselnya berdering. Nama Arga terpampang di layar. Nayla tersenyum dan mengangkatnya.

"Halo, sayang. Sebentar lagi aku sampai di rumah orang tuaku. Kamu sudah di jalan?" tanyanya lembut.

Namun, yang ia dengar bukanlah suara Arga. Suara seorang wanita. Suara Tania.

"Nayla, maaf. Arga ada di sini, di apartemenku. Dia bilang dia tidak bisa datang ke acara itu."

Nayla terdiam. Jantungnya berdetak kencang, menabuh genderang kecemasan di dalam dadanya. "Tania? Ada apa? Apa Arga sakit?"

Tania tidak menjawab. Yang terdengar hanyalah keheningan canggung, dan Nayla bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Firasat buruk yang selama ini ia tepis, kini datang menghantamnya.

"Aku akan ke sana," kata Nayla, suaranya bergetar.

Ia tidak peduli pada gaun pengantinnya yang indah atau pada tatapan aneh para tetangga. Ia memacu mobilnya secepat mungkin menuju apartemen Tania, yang hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya.

Pikirannya kosong. Hanya satu pertanyaan yang terus-menerus terngiang, 'ada apa sebenarnya?'

Setibanya di sana, Nayla tidak perlu mengetuk pintu. Pintu apartemen Tania terbuka sedikit, seolah menunggunya. Dengan tangan gemetar, ia mendorongnya. Di dalam, keheningan mencekam. Namun, matanya tertuju pada sebuah foto di meja.

Foto Arga dan Tania. Mereka berdua berpelukan mesra. Ada tanggal di sana, satu bulan yang lalu.

Air mata Nayla tumpah. Bukan air mata sedih, melainkan air mata kemarahan. Ia merasa dibohongi. Ia merasa bodoh.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari kamar tidur. Arga muncul. Wajahnya pucat, matanya memerah. "Nayla..." suaranya serak.

"Apa ini, Arga?" tanya Nayla, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunjuk foto itu. "Apa ini?!"

Arga menunduk. "Maafkan aku, Nay. Aku tidak tahu harus bilang apa."

"Jawab aku, Arga. Siapa Tania untukmu?" tanya Nayla.

Tania muncul dari belakang Arga. Perutnya sedikit membesar. Nayla mundur selangkah, napasnya tercekat.

"Nayla, aku minta maaf," kata Tania, suaranya penuh rasa bersalah. "Arga tidak bisa datang ke pernikahanmu karena dia akan menikah denganku."

Dunia Nayla runtuh. Bukan hanya Arga, tetapi juga Tania, sahabatnya. Dua orang yang paling ia percaya, menusuknya dari belakang.

Nayla menatap cincin pertunangannya yang kini sudah tidak berarti. "Hidup macam apa ini? Sahabat... tunangan... semua berkhianat."

Sambil terisak, ia melepaskannya dari jari manis.

...----------o0o----------...

Butuh waktu lama untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak boleh hancur selamanya. Di tengah kekacauan itu, ia teringat pada satu tempat yang selalu membuatnya tenang: rumah neneknya di desa kecil di Jawa Barat.

Rumah itu sudah kosong sejak neneknya wafat setahun lalu. Namun, bagi Nayla, rumah itu bukan sekadar bangunan tua. Ada aroma kayu, suara serangga malam, dan kenangan manis masa kecil.

Dengan langkah berat, Nayla memutuskan untuk meninggalkan hiruk pikuk kota. Ia menyalakan mobilnya, meninggalkan apartemen penuh kenangan, menuju desa tempat hatinya mungkin bisa sembuh.

Rumah neneknya masih sama: dinding kayu yang sedikit mengelupas, jendela berukir khas Sunda, dan halaman yang dipenuhi bunga melati. Aroma tanah basah setelah hujan sore menyambutnya.

"Sudah lama sekali aku tidak pulang ke sini…" gumam Nayla sambil membuka pintu dengan kunci yang masih ia simpan.

Di dalam, debu menempel di meja, kursi, dan lemari tua. Tapi ada rasa hangat. Ia menyalakan lampu minyak kecil di ruang tamu, karena listrik rumah sudah lama diputus.

Malam itu, setelah membersihkan sebagian ruangan, Nayla beristirahat di kamar neneknya. Kasur empuk meski sudah tua masih bisa dipakai. Ia menarik napas panjang.

"Akhirnya… sedikit tenang."

Namun, ketika hendak merapikan bantal, tangannya menyentuh sesuatu yang keras di bawah kasur.

"Apa ini?"

Nayla menarik benda itu. Sebuah kotak kayu kecil, tertutup rapat. Di atasnya terukir simbol-simbol kuno yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dengan penasaran, ia membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, tergeletak sebuah kalung tua. Rantai peraknya sudah sedikit kusam, tapi liontinnya… entah terbuat dari batu apa, berwarna hijau zamrud, berkilau meski hanya diterpa cahaya redup.

Nayla mengernyit. "Kalung siapa ini? Kenapa nenek menyimpannya di bawah kasur?"

Ia menggenggam kalung itu, merasa ada energi hangat menjalari kulitnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa aneh, seolah kalung itu mengenalnya.

"Terlalu indah untuk dibiarkan berdebu," gumamnya. Ia menaruh kalung itu di atas meja samping tempat tidur, lalu merebahkan diri.

Malam semakin larut. Angin desa berhembus lembut, membawa suara jangkrik. Nayla terlelap dengan kalung itu berada tak jauh darinya.

Namun tidurnya tidak biasa.

Ia bermimpi.

Dalam mimpinya, ia berada di tengah hutan lebat. Pohon-pohon tinggi menjulang, terdengar suara gamelan samar-samar dari kejauhan. Ia berjalan tanpa arah, hingga sampailah ia di sebuah lapangan luas di depan keraton megah.

Di sana, seorang pria berbusana kerajaan berdiri menunggunya. Rambut hitam panjang, mata tajam namun penuh kerinduan, pakaian kebesaran dengan hiasan emas dan kain batik kuno.

"Nayla terperanjat. "Siapa… kau?"

Pria itu tersenyum lembut, lalu melangkah mendekat. Tangannya terulur seolah ingin menyentuh wajah Nayla. "Akhirnya… kita bertemu lagi, Puspa… cintaku…"

Suara itu dalam, berwibawa, dan penuh kasih.

Puspa? Nayla menatap pria itu, bingung. "Aku… Nayla… bukan Puspa."

Namun, pria itu tidak bergeming. Senyumannya tetap sama, hangat namun menyedihkan. "Aku mengenal matamu. Kau adalah Puspa."

Detik itu juga, dada Nayla terasa sesak, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeram paru-parunya. Sebuah kilasan memori asing tiba-tiba menghantam pikirannya, bukan sekadar gambaran, melainkan sebuah sensasi yang terasa nyata.

Ia melihat sosok perempuan berbalut kemben kain putih yang lusuh dan kotor. Rambutnya terurai, wajahnya dipenuhi air mata dan jelaga. Perempuan itu diikat pada sebuah tiang di tengah lapangan, nyala api mulai menjilat-jilat kakinya. Asap tebal mengepul, menyesakkan napas. Ia tidak bersuara, hanya menangis, menatap lurus ke arah seorang pria yang berdiri tak jauh darinya.

Pria itu, yang sama persis dengan sosok di hadapan Nayla, berteriak-teriak histeris, berusaha menembus kerumunan orang-orang bersenjata yang menghalanginya. Matanya memerah, air mata mengalir deras di pipinya. Ia berusaha meraih perempuan itu, tetapi sia-sia.

Lalu, sebuah suara bergema, tajam dan penuh wibawa. "Jaga wibawamu, Pangeran. Gadis itu anak dukun! Tidak pantas untukmu!"

Perempuan itu menggeleng lemah, tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia menatap mata Pangeran itu, seolah ingin menyampaikan pesan terakhir. Kilasan itu begitu cepat, tetapi Nayla bisa merasakan setiap detik penderitaan, setiap tetes air mata, dan setiap hembusan rasa sakit yang terasa begitu personal. Itu adalah pengkhianatan yang jauh lebih kejam dari yang ia alami di kehidupan ini.

Nayla terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi keningnya. Kilasan mimpi itu masih terbayang jelas. Ia menoleh ke meja samping tempat tidur. Kalung hijau zamrud itu berkilau terang, seolah hidup dan menantang. Tangannya gemetar saat meraihnya.

"gara-gara gagal nikah kenapa jadi mimpi aneh begini…?"

Bab 2 – Bayangan dari 669

Seminggu sudah Nayla berada di rumah almarhum neneknya. Seminggu itu pula ia mencoba merajut kembali kepingan hatinya yang hancur. Aroma tanah basah dan suara jangkrik di malam hari perlahan menyembuhkan, tetapi tidak sepenuhnya. Luka pengkhianatan dari Arga dan Tania masih terasa perih, mengendap di dasar hatinya.

Belum sembuh luka hatinya, kini ia dihadapkan pada sebuah rutinitas baru. Sejak penemuan kalung hijau zamrud itu, Nayla tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap malam, mimpi-mimpi aneh itu datang, makin jelas, makin terasa nyata. Ia tidak lagi menjadi penonton. Dalam mimpi itu, Nayla merasakan seolah ia adalah seorang gadis bernama Puspa. Ia merasakan kehangatan terik matahari di kulitnya, hembusan angin yang membawa aroma hutan, dan detak jantung yang berdebar kencang. Ia bukan sekadar melihat, ia merasakan.

Malam itu, Nayla kembali terlelap, kalung hijau zamrud masih tergeletak di meja samping tempat tidur. Seperti magnet, ia menarik Nayla ke dalam masa lalu.

Dalam mimpi, Nayla menemukan dirinya berdiri di tengah hutan lebat. Udara terasa lembap, dan bau tanah basah bercampur dengan aroma herbal yang kuat. Ia memakai kemben putih yang sederhana, rambut hitamnya terurai dikepang longgar. Di tangannya, sekeranjang penuh rempah-rempah yang baru dipetik. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena kebahagiaan yang aneh.

Di hadapannya, seorang pria tampan duduk bersandar di pohon. Rambutnya diikat rapi, wajahnya bersih dan berwibawa. Matanya menatap lurus ke arahnya. Pria itu bernama Wira.

Dia mendekat, lalu duduk di sebelahnya. "Kakimu sudah tidak sakit?" tanya Nayla, suaranya terasa begitu lembut, begitu berbeda dari suaranya sendiri di dunia nyata.

Pria itu tersenyum. "Sudah jauh lebih baik, berkat ramuan yang ibumu berikan."

Beberapa hari sebelumnya, Wira sedang berburu seorang diri. Ia mengejar seekor rusa, tetapi kakinya terjerat perangkap yang dibuat penduduk sekitar. Ia berjalan tertatih, tapi kakinya terluka parah. Di tengah keputusasaan, seorang wanita tua dan anak gadisnya menemukannya. Mereka membantu Wira melepaskan diri dari jerat, dan membawanya ke pondok mereka.

Puspa adalah anak seorang tabib hebat, dan nyatanya Puspa mewarisi bakat ibunya. Mereka dengan telaten menolong Wira tanpa tahu bahwa Wira adalah seorang pangeran. Wira juga tidak menyebutkan identitasnya, takut Puspa menjauhinya.

Selama hampir seminggu di sana, Wira merasa seperti menemukan jati diri. Ia tidak perlu berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirinya, seperti saat berada di kedaton. Ia membantu Puspa dan ibunya memanen sayur, membelah kayu bakar, dan mencari ramuan di hutan. Hal-hal yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya.

"Aku akan kembali ke desa sebelah besok," kata Wira, memecah keheningan. "Aku harus segera kembali, karena jika satu purnama aku tidak kembali dari berburu, maka pasti..." Ia menghentikan kalimatnya, teringat pada prajurit setia yang nanti akan dipenggal ayahandanya karena membiarkan Wira berburu sendirian.

Puspa menyeringai jahil, menyenggol lengannya. "Tentu... kau harus cepat kembali setelah pulih. Karena kau harus membayar jasa kami, kau ingat? Tanaman yang kami buat untuk lukamu jika kami tukar dengan singkong bisa untuk makan satu bulan."

Wira tertawa, suaranya dalam dan menenangkan. Tawa itu tulus, membuat matanya berkerut di sudut. "Baiklah... akan ku bayar sesuai maumu. Asal kau tahu, aku tidak pernah bekerja sekeras ini seumur hidupku."

Puspa menggeleng, senyumnya meluruh menjadi kelembutan. "Kalau begitu, kau harus sering-sering ke sini agar terbiasa. Memanen sayur, membelah kayu... hal itu membuat tubuhmu kuat."

"Aku setuju. Tapi aku tidak yakin prajuritku akan senang jika mereka melihatku sedang membelah kayu," balas Wira, suaranya mengandung nada geli.

"Prajuritmu?" Puspa menatapnya dengan bingung.

Wira menggeleng cepat, nyaris tak sadar. Ia takut rahasianya terbongkar. "Kau tidak ingin mengenalku lebih jauh?" selidiknya, suaranya berubah serius, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Puspa mengangkat bahu, berpura-pura santai. "Kau? Dilihat dari pakaian yang kau kenakan, kau pasti keluarga saudagar atau salah satu lurah di kerajaan Galuh ini. Iya kan?"

Wira tertawa lepas, membayangkan dirinya yang adalah pangeran mahkota dari Kerajaan Galuh dianggap sebagai anak lurah. Dia tersenyum geli. "Kau benar-benar yaa.....sudahlah lupakan..."

"Kapan kau berangkat? Akan ku siapkan bekal perjalanan," kata Puspa, suaranya kembali lembut.

"Aku lebih senang jika ada kamu di perjalananku..." goda Wira, dan Nayla merasakan pipi Puspa merona.

Puspa menunduk, jantungnya berdebar. Wira meraih tangan Puspa, Hangat, lembut, dan penuh kasih. "Jangan sedih. Aku akan kembali."

Puspa mendongak, matanya bertemu dengan mata Wira. "Janji?"

Wira tersenyum. "Janji."

Puspa membalas senyuman Wira. Senyuman itu tulus, tanpa keraguan. Namun, Nayla, yang merasakan setiap emosi di mimpi itu, tahu bahwa senyuman itu tidak akan bertahan lama. Di balik senyuman itu, ada ketakutan, ada kekhawatiran yang hanya bisa ia pahami sekarang.

Tiba-tiba, mimpi itu berakhir. Nayla terbangun, napasnya tersengal-sengal, kilasan mimpi itu masih terasa nyata, bahkan setelah Nayla membuka matanya. Ia merasakan perasaan Puspa, juga kerinduannya pada Wira.

"Itu... bukan mimpi," gumam Nayla. "Itu... kenangan..."

Kalung hijau zamrud di meja samping tempat tidurnya berkilau, seolah membenarkan ucapannya. Nayla meraihnya, menggenggamnya erat-erat.

"Puspa... Wira... siapa kalian?"

Rasa penasaran mengalahkan kepedihan hatinya. Nayla memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang kalung itu. Ia mencoba mencari di internet tentang kerajaan Galuh. Ada beberapa artikel sejarah tentang kerajaan kuno di Jawa Barat itu. Namun, ketika ia mencoba mencari nama Wira atau Puspa, tidak ada hasil yang relevan. Seolah-olah mereka tidak pernah ada, seolah-olah kisah mereka sengaja dihapus dari sejarah.

Lelah dan frustrasi, Nayla mengeluarkan buku hariannya. Ia mulai menulis, mencatat semua mimpinya, semua perasaannya. Ia menulis tentang Wira yang tampan, tentang Puspa yang ceria. Ia menulis, berharap bisa menemukan jawaban di antara kata-kata, berharap bisa menemukan petunjuk yang bisa membawanya lebih dekat pada kebenaran. Ia tak peduli lagi apakah ini kegilaan atau bukan.

Saat ia sedang asyik menulis, pena di tangannya seolah bergerak sendiri.

Tangannya menuliskan sesuatu yang tidak ia sadari. Sebuah tulisan kuno, mirip dengan ukiran pada kotak kayu yang ia temukan.

Nayla terkejut, ia mencoba mengulanginya, tapi pena itu hanya bisa menuliskan tulisan biasa. Ia menatap tulisan kuno itu, perasaannya campur aduk.

"Apa... ini?" gumamnya, suaranya tercekat. Ia mengambil foto tulisan itu dengan ponselnya.

Sesaat kemudian, Nayla mencoba mencari di Google Translate, tetapi hasilnya nihil. Tidak menyerah, ia mencoba lagi dengan kata kunci yang berbeda: "huruf kuno", "aksara nusantara", "tulisan Sunda kuno".

Hingga akhirnya ia menemukan forum-forum kuno yang membahas aksara Sansekerta. Setelah membandingkan, ia berhasil menemukan kesamaan dengan tulisan yang ia buat.

Dengan tangan gemetar, Nayla memasukkan satu per satu karakter ke dalam penerjemah online khusus. Ia menunggu beberapa detik, dan di layar ponselnya, muncul sebuah tulisan.

"Cinta kita tidak terbatas waktu."

Nayla terdiam. Matanya menatap tulisan itu, lalu beralih pada kalung hijau zamrud yang masih ia genggam.

Bab 3 – Pangeran dan Gadis Desa

Malam demi malam, Nayla tak lagi merasa terganggu. Kegelisahan yang dulu membelenggu kini berubah menjadi rasa rindu. Ia menanti setiap jam bergeser menuju tengah malam, menuju jam-jam hening antara pukul 12 hingga 3 dini hari, saat alam seakan bersepakat untuk membawanya kembali ke masa lampau. Tidur bukan lagi kebutuhan, melainkan sebuah gerbang. Gerbang menuju dimensi lain di mana ia menjadi Puspa, dan dunianya terasa lebih nyata daripada kenyataan yang ia jalani kini.

Dalam mimpi itu, ia menemukan dirinya di tengah alam yang begitu hidup. Hutan terasa seperti rumah, dan pondok sederhana yang ia tinggali bersama ibunya terasa lebih hangat dari apartemen di kota. Namun, kehangatan yang paling ia nantikan berasal dari kehadiran Wira. Nayla, sebagai Puspa, tahu betul pola kunjungannya. Setiap musim berburu tiba, Wira akan kembali. Tidak lagi sebagai pemburu yang tersesat, melainkan sebagai sosok yang hatinya telah terikat.

Setiap pertemuan adalah lukisan baru. Kadang, mereka menghabiskan waktu di ladang, Wira memegang cangkul dengan canggung, lalu tertawa lepas saat tangan mulusnya kotor oleh lumpur. Nayla bisa merasakan kegembiraan Puspa saat melihat sisi lain dari pria itu—sisi yang bebas dari beban dan wibawa.

Wira terlihat seperti pemuda biasa, dan Nayla sadar, itulah yang membuatnya merasa nyaman. Ia juga menikmati interaksi dengan Ibu Puspa, seorang tabib tua yang bijaksana. Sikapnya yang penuh kasih sayang dan tatapan lembutnya terasa begitu mirip dengan almarhum nenek Nayla, membuatnya merasa betah dan damai di sana.

Suatu sore, Wira datang menjemputnya. "Ayo ikut aku," katanya, matanya berbinar penuh rahasia.

Nayla, sebagai Puspa, terkejut. "Ke mana?"

"Katanya membeli beberapa bibit tanaman?" jawab Wira. Ia menarik tangannya, mengajaknya menaiki kuda gagah yang sudah menunggunya. Mereka melaju membelah rimbunnya hutan, menuju sebuah pasar kecil di tepi sungai.

Puspa terpana. Ia tidak pernah melihat begitu banyak orang dari desa lain berkumpul di satu tempat. Suara riuh pedagang, aroma rempah dan buah-buahan, semua terasa begitu asing dan memukau. Wira mengajaknya berkeliling, membelikan pernak-pernik sederhana dan jajanan pasar. Untuk sejenak, semua terasa sempurna.

Namun, kebahagiaan itu buyar seketika. Seorang lelaki tua berlutut di hadapan Wira, wajahnya penuh keputusasaan.

"Ampun, Pangeran! Beri desa hamba keringanan upeti. Panen kali gagal, semua tak berbuah, kemarau panjang membuat kami kekurangan!"

Puspa terkejut. Pangeran? Siapa yang disebut Pangeran oleh lelaki tua ini? Puspa menatap Wira, dan Nayla merasakan kebingungan yang sama. Wira terlihat tak terkejut. Dengan tenang, ia membantu lelaki tua itu berdiri.

"Bangunlah Ki. Aku akan menyampaikan ini pada ayahanda. Tahun ini aku menjamin kalian bebas dari upeti hingga panen kembali berlimpah. Pulanglah, dan beri tahu yang lain," kata Wira, suaranya penuh wibawa.

Lelaki tua itu bersujud sekali lagi, kali ini penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Pangeran!"

Puspa mematung. Pangeran? Pangeran... Wirabuana? Jantungnya berdebar kencang, bukan karena cinta, melainkan karena rasa takut dan terkejut. Setelah lelaki tua itu pergi, dia tertegun. Wajahnya pucat pasi.

"Kau... kau seorang pangeran?" tanyanya, suaranya bergetar.

Wira menunduk, matanya menunjukkan rasa bersalah. "Ya."

Tiba-tiba, Puspa berlutut di hadapan Wira. "Ampun, Pangeran! Hamba mohon ampun karena kurang ajar menyentuh kaki Pangeran! Hamba tidak tahu..."

"Puspa, jangan begitu!" Wira mencoba membantunya berdiri, tetapi Puspa menolaknya.

"Maafkan hamba, Pangeran," sindir Puspa. Suaranya terasa dingin dan penuh kekecewaan. "Hamba tidak tahu Tuan adalah Pangeran yang mulia."

Wira merasa sakit hati. "Puspa, aku minta maaf karena menutupi jati diriku, karena... aku takut... seperti ini... kau menjauh atau marah."

Puspa tertawa sinis. "Kenapa Pangeran sebegitu khawatirnya gadis desa yang hina ini menjauh dan marah? Bukankah seharusnya Pangeran senang jika hamba menjauh? Hamba hanyalah anak seorang dukun, Pangeran.."

Wira meraih tangan Puspa, memaksanya berdiri. "Karena aku menaruh hati padamu sejak kita bertemu..."

Mendengar pengakuan itu, Puspa tertegun. Nayla juga, dalam mimpinya, merasakan jantungnya berdebar. Tapi Puspa tidak bisa menerima. "Sepertinya hamba tidak layak menerima hati Pangeran..."

"Panggil aku Wira seperti biasa," pintanya.

Wira tidak membiarkan Puspa menolak. Ia menarik Puspa, mengangkatnya ke atas kuda. "Aku akan tunjukkan seberapa besar cintaku padamu," bisiknya. Kuda itu dipacu menjauh, ke tepi hutan dekat aliran sungai.

Angin menerpa wajah Puspa, tetapi ia tidak takut. Ia memeluk Wira erat-erat, membiarkan hatinya berkecamuk. Di tepi sungai, Wira kembali menyatakan perasaannya, kali ini dengan kata-kata yang lebih tulus dan penuh janji.

Puspa akhirnya menyerah. Ia tidak bisa menyangkal perasaannya. "Wira... kau harus memberitahu ibuku."

Wira mengangguk, lalu membawa Puspa kembali ke pondok mereka. Di hadapan Ibu Puspa, Wira akhirnya mengakui siapa dirinya. Ia tidak lagi menggunakan bahasa kasual, melainkan bahasa yang penuh hormat dan keseriusan. "Ibu, saya Pangeran Wirabuana dari Kerajaan Galuh. Saya mohon maaf karena menyembunyikan jati diri saya."

Ibu Puspa tersenyum. Ia menatap putrinya, lalu beralih menatap Wira. "Ibu tahu Puspa juga menyukaimu, Pangeran. Ibu selalu melihatnya gelisah saat lama tidak berjumpa..."

“Ibu….” Puspa tampak malu, menundukkan kepalanya.

Ibu Puspa menatap Wira, matanya penuh harapan, tetapi juga ada keraguan yang mendalam. "Ibu merestui, Pangeran. Tapi… Puspa hanya anak dukun desa. Dunia di sana... berbeda. Ibu takut Puspa tak akan kuat." Ada nada ketakutan dalam suaranya, seolah ia membayangkan putrinya akan hancur di tengah intrik dan strata sosial yang kejam.

Wira berlutut di hadapan Ibu Puspa, sebuah tindakan yang sungguh mengejutkan dan penuh penghormatan. Ia menatap lurus ke mata Ibu Puspa, penuh ketulusan. "Dan dukun desa inilah yang menyelamatkan saya, Ibu...'

Wira kembali berlutut di hadapan Puspa, menggenggam tangan gadis itu erat-erat. Ia menatap Puspa dan Ibunya bergantian. "Saya tidak meminta izin untuk menikahi Puspa sekarang. Ayahanda saya masih memimpin kerajaan, dan sebagai putra mahkota, saya harus menaati adat dan kewajiban. Tapi yang tidak saya sembunyikan adalah cinta saya untuk Puspa."

Wira berdiri, lalu menatap Ibu Puspa. Matanya penuh tekad. "Saya meminta izin untuk membawanya ke Galuh. Saya akan menjamin keselamatannya, Ibu. Saya akan melindunginya. Biarkan dia melihat dunia saya, dan biarkan saya mengajarinya segala yang ia butuhkan. Puspa berhak memiliki tempat di samping saya."

Ibu Puspa terdiam. Ia memandang Wira yang begitu gigih, begitu meyakinkan. Ia melihat ketulusan di mata pria itu, dan ia tahu, Wira sungguh-sungguh ingin melindungi putrinya. Akhirnya, senyum tulus merekah di bibirnya.

"Bawalah dia, Pangeran. Ibu percaya padamu. Ibu serahkan putri Ibu kepadamu."

Wira tersenyum, lalu mencium tangan Ibu Puspa dengan penuh hormat. "Saya berjanji, Ibu. Saya akan menjaga Puspa dengan nyawa saya."

________________________________________

Nayla terbangun, air mata membasahi pipinya. Bukan air mata kesedihan, melainkan keharuan.

Ia meraih buku hariannya. Dengan tangan gemetar, ia menuliskan setiap detail mimpi itu, setiap percakapan, setiap emosi. Ia merasa, dengan menuliskan kisah mereka, ia bisa mengabadikan cinta mereka, cinta yang tidak terbatas waktu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!