Hanabi Watson adalah wanita cantik berusia 24 tahun dengan tinggi sekitar 168 cm. Dia dikenal sebagai Queen of Mafia, pemimpin dari organisasi kriminal bernama Nitro.
Saat itu, Hanabi tengah dilanda banyak masalah yang membebani pikirannya. Tiba-tiba, Razka wakil ketua Nitro datang sambil membawa dua gelas wine.
“Minum dulu, Bi. Sepertinya lo butuh sesuatu buat nyegerin otak,” ucap Razka.
Tanpa menaruh curiga, Hanabi pun meneguk minuman itu. Razka adalah orang yang paling dia percayai setelah sahabatnya, Gentha.
Senyum miring muncul di wajah Razka ketika melihat Hanabi menghabiskan minumannya.
Beberapa menit kemudian, Hanabi mulai merasa pusing, tenggorokannya panas. Razka berpura-pura panik dan khawatir.
Hanabi berusaha menahan tubuhnya agar tetap tegak, tapi kepalanya terasa berat, pandangannya mulai kabur. Nafasnya tersengal.
“Apa yang lo kasih ke gue, Raz?” suaranya parau, hampir tak terdengar.
Razka hanya tersenyum samar, matanya penuh arti. “Tenang aja, Bi. Gue kan orang yang selalu ada di sisi lo. Cuma sedikit penenang biar lo bisa istirahat dengan tenang selamanya.”
Hanabi mencoba melangkah, tapi lututnya melemah. Tubuhnya terhuyung dan tanpa bisa menolak, dia jatuh ke dalam dekapan Razka.
Dengan penuh kepura-puraan, Razka merangkul tubuh sang Ketua yang tak berdaya. Dari luar, terlihat seolah ia sedang menyelamatkan Hanabi. Tapi di balik wajah yang tampak khawatir itu, tersimpan senyum puas.
“Maafkan gue, Queen,” bisiknya lirih di telinga Hanabi, yang kini sudah hampir kehilangan kesadaran. “Dunia ini nggak bisa terus lo kuasai sendirian.”
Razka kemudian membawa Hanabi masuk ke kamar ketua Nitro, menutup pintu perlahan. Lampu redup menyinari ruangan, dan detik itu juga, permainan kekuasaan dalam keluarga Nitro berubah arah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kesadaran Hanabi perlahan kembali. Pandangannya buram, langit-langit kamar yang asing terlihat di atasnya. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba mengatur napas. Tubuhnya terasa ringan, berbeda… aneh.
“Di mana gue…?” gumamnya lirih.
Saat bangkit, dia melihat pantulan dirinya di cermin kecil di samping ranjang. Rambutnya kini panjang berwarna cokelat tua, wajahnya lebih muda, sekitar 19 tahun. Dan kacamata bulat besar terpampang di kedua matanya. Tubuh itu jelas bukan miliknya.
Jantungnya berdegup keras. “Apa ini tubuh orang lain?”
Ingatan samar menyeruak. Gadis ini pemilik tubuh barunya adalah anak dari keluarga berada. Namun, dia selalu dianggap remeh oleh orang tuanya, tak pernah mendapatkan kasih sayang. Lebih buruk lagi, calon tunangannya pun terang-terangan merendahkannya, menganggapnya hanya beban.
Hanabi terdiam lama. Dulu, di kehidupannya sebagai Queen of Mafia, dia disegani, ditakuti, bahkan dikagumi. Sekarang, dia harus menjalani hidup sebagai seorang gadis muda yang tak dianggap, terbuang dari lingkungannya sendiri.
Namun bibirnya perlahan melengkung. Ada api yang menyala di matanya.
“Kalau ini kesempatan kedua gue…” Hanabi bergumam pada dirinya sendiri, nada suaranya tegas penuh ambisi.
“Maka gue bakal bikin semua orang yang ngeremehin tubuh ini berlutut di depan gue. Queen of Mafia lahir kembali.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hanabi menatap pantulan dirinya sekali lagi di cermin. Gadis berusia 19 tahun dengan wajah pucat, kulit kusam, dan tubuh yang tampak lemah. Dia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis.
“Mulai sekarang nggak ada lagi yang bisa meremehkan gue.”
Dengan tegas ia melepas kacamata tebal yang menutupi wajah barunya. Dia tahu, penampilannya harus diperbaiki. Kulit kusam ini akan dirawat, tubuh yang lemah akan ditempa kembali lewat gym. Dia tidak akan membiarkan tubuh ini terlihat seperti orang yang kalah.
Setelah membersihkan diri di kamar mandi, Hanabi segera bersiap. Ada hal yang jauh lebih penting aset-asetnya di kehidupan sebelumnya. Sebelum Razka atau siapapun dari Nitro menyadari, dia harus bergerak cepat.
Hanabi melangkah keluar, menuju apartemen pribadinya yang dulu menjadi tempat ia menyimpan segala sesuatu yang paling berharga. Dari mobil sport kesayangannya, koleksi motor besar, hingga surat kepemilikan apartemen dan saham—semua masih atas nama dirinya yang lama.
Tak banyak yang tahu, bahkan orang-orang Nitro sekalipun, bahwa di balik identitasnya sebagai Queen of Mafia, Hanabi juga adalah CEO dari perusahaan properti ternama, HB Group. Aset yang nilainya triliunan.
Matanya berkilat penuh tekad.
“Kalau Razka pikir dia bisa ngerebut semua ini dari gue”Hanabi mengepalkan tangan. “Dia salah besar. Sekarang, permainan baru saja dimulai.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat keluar dari apartemennya, Hanabi tak sengaja melihat Gentha duduk di taman dengan pakaian serba hitam kemeja hitam, kacamata hitam wajahnya tampak sembab, sepertinya baru menangis.
Rasa penasaran menarik Hanabi mendekat dan bersembunyi di balik tembok taman untuk mengintip. Dari jarak agak jauh dia mendengar suara Gentha yang menatap ke arah gedung apartemen.
“Kenapa lo ninggalin gue, Bi? Kalau lo ada masalah, kenapa gak cerita ke gue? Malah lo bunuh diri.”
Hanabi terkejut mendengar kata-kata itu. Hatinya berdenyut.
‘Gue nggak bunuh diri, Gentha. Gue dibunuh Razka’ gumamnya dalam hati. Dia sangat ingin mendekati Gentha dan memberitahu Gentha kebenarannya—tetapi bukan sekarang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hanabi mengepalkan tangannya, menahan gejolak emosi saat melihat Gentha yang masih larut dalam kesedihan. Betapa dia ingin berlari dan mengatakan kebenaran saat itu juga. Namun, pikirannya segera jernih kembali.
Bukan sekarang. Gue nggak boleh gegabah.
Dia tahu, langkahnya harus terencana dengan matang. Yang utama adalah menjatuhkan Razka—menangkapnya, membongkar semua pengkhianatan yang berujung pada kematian dirinya sebagai Hanabi Watson. Itu adalah tujuan besarnya.
Namun sebelum melangkah sejauh itu, ada hal lain yang tak kalah penting. Dia kini hidup sebagai Moira Evander, gadis muda yang tak dianggap oleh keluarganya, tidak di pedulikan oleh tunangannya, dan dipandang rendah oleh semua orang di sekitarnya. Jika ingin punya pijakan kuat, Hanabi harus membangun ulang kehidupan Moira.
“Gue bakal bikin hidup Moira jadi sesuatu yang bahkan dunia nggak bisa remehin lagi,” ucapnya dalam hati dengan tekad menyala.
Baru setelah itu, dia akan mendatangi Gentha. Akan tiba waktunya bagi Gentha untuk tahu kebenaran, untuk tahu bahwa Queen of Mafia tidak pernah menyerah bahkan setelah kematian.
Hanabi menghela napas panjang, lalu melangkah pergi dengan langkah tegap.
Semoga rencana ini berhasil. Karena kali ini, gue nggak akan kasih Razka kesempatan kedua.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Hanabi Watson...
...Gentha...
...Razka...
...Moira Evander...
Saat Moira melangkah masuk ke rumah besar keluarga Evander, suara langkahnya terhenti mendadak. Di ruang tamu, berdiri Tuan Evander, sang ayah, dengan wajah merah padam menahan amarah. Di sampingnya ada seorang gadis muda berpenampilan anggun, dengan senyum miring yang menusuk senyum yang jelas bukan ramah, melainkan penuh ejekan.
“Moira!” suara Tuan Evander bergemuruh.
Belum sempat Moira berkata apa-apa, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Tubuhnya terhuyung, pipinya panas, tapi matanya tetap menatap lurus, dingin.
Plakkkk!!
“Anda kenapa nampar saya hm?” suara Moira terdengar dingin.
Tuan Evander menunjuknya dengan tatapan penuh tuduhan.
“Jangan pura-pura sok dingin! Berani-beraninya kau bikin malu keluarga dengan berusaha membatalkan pertunanganmu dengan Arlend Kaiden Gavintara putra tunggal keluarga Bagaskara! Apa kau pikir keluarga kita bisa hidup kalau mereka menarik dukungan?”
Moira membeku. Nama itu Arlend Kaiden Gavintara tersimpan jelas dalam ingatannya yang baru. Jadi dia Tunangan Moira, lelaki yang terang-terangan merendahkannya, seolah dia hanyalah beban tak berharga.
Sementara itu, gadis di samping ayahnya dengan senyum puas menatapnya penuh kemenangan.
“Kasihan sekali, Moira,” ucapnya lembut namun menyengat. “Bahkan keluarga lo sendiri sudah tahu kalau lo tidak pantas untuk Arlend.”
Pipi Moira masih terasa perih, tapi hatinya sama sekali tidak runtuh. Sebaliknya, dalam hati Hanabi yang kini menjadi Moira, api menyala semakin besar.
Jadi ini permainan kalian? Kalian pikir Moira Evander akan terus jadi korban? Salah besar.
Dia menunduk sejenak, menyembunyikan kilatan tajam di matanya.
“Baiklah, kalau ini yang kalian mau…” gumamnya dalam hati. “gue akan bikin kalian semua nyesel udah meremehkan gue.”lanjutnya dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan itu hening sejenak setelah tuduhan Tuan Evander terlontar. Moira menegakkan tubuhnya, pipinya masih memerah bekas tamparan, namun tatapannya dingin seperti es.
Dengan langkah perlahan tapi mantap, ia berjalan mendekati Tuan Evander. Setiap langkah membuat suasana di ruang tamu semakin tegang. Gadis di samping Tuan Evander sempat terkejut, senyumnya perlahan memudar, tapi Moira tidak menghiraukannya.
“Nada suara Papah terlalu cepat menyalahkan,” ucap Moira datar, namun penuh tekanan. “Siapa bilang aku membatalkan pertunangan itu?”
Dia berhenti tepat di hadapan Tuan Evander, menatap lurus ke matanya tanpa gentar. Aura yang terpancar dari Moira berbeda bukan lagi gadis penakut yang biasa mereka hina.
“Kalau Papah menamparku hanya karena omongan orang lain tanpa bukti,” lanjutnya, nada suaranya dingin menusuk.
“Maka sebenarnya yang memalukan di sini bukan aku… tapi Papah sendiri, karena begitu mudah dipermainkan.”
Ucapan itu membuat suasana kaku. Tuan Evander terdiam, genggaman tangannya mengeras, sementara gadis di sampingnya—yang tadinya tersenyum smirk mendadak menggigit bibirnya kesal.
Dalam hati, Hanabi yang kini hidup sebagai Moira tersenyum tipis. ‘Kalian pikir gue akan terus jadi boneka yang bisa diinjak? Salah besar. Dan pastinya di sebelah Tuan Evander itu saingan Moira oke gue akan layani kalian.’
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah kejadian di ruang tamu, Moira kembali ke kamarnya. Dia melepaskan sepatu dan melemparkan tubuhnya ke ranjang, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, baru saja dia ingin merebahkan diri, suara pintu berderit terbuka tanpa ketukan.
“Ck” decak Moira.
Seorang gadis melangkah masuk begitu saja, lalu duduk santai di sisi ranjang Moira. Senyum manis mengembang di wajahnya, seolah-olah tak ada ketegangan apa pun yang baru saja terjadi.
“Moira…” ucapnya lembut. “Lo nggak apa-apa? Gue tadi lihat Papah lo marah banget. Gue cuma khawatir.”
Moira menoleh, menatapnya datar. Gadis itu Stella. Gadis yang tadi berdiri di samping Tuan Evander.
Hanabi baru ingat namanya saat kepingan memori milik Moira terlintas diotaknya.
Stella menyentuh punggung tangan Moira, matanya tampak tulus, meski Moira bisa membaca ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu.
“Lo tahu, kan? Arlend itu orangnya keras kepala. Kalau lo terlalu dingin atau menolak, dia bisa salah paham. Gue cuma nggak mau hubungan kalian berantakan karena kesalahpahaman kecil.”
Moira terdiam, membiarkan Stella bicara. Dia ingin tahu cara bicara Stella di depan Moira, tapi menusukkan racun di balik kata-kata manisnya.
Dengan nada pelan namun tajam, Moira akhirnya menjawab, “Stella… orang yang terlalu peduli sama urusan orang lain biasanya punya kepentingan pribadi. Jadi gue tanya sekali sebenarnya, lo peduli sama gue… atau sama Arlend?”
Senyum Stella menegang sejenak, tapi cepat-cepat dia tertawa kecil untuk menutupinya.
‘Ck sudah gue duga lo pasti demen sama Arlend dan gak mau Moira yang mendapatkan nya kan?’ucap Hanabi dalam hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Begitu sampai di rumahnya, Stella menghempaskan pintu kamar dengan kasar. Nafasnya memburu, wajahnya merah penuh amarah. Dia menatap meja rias yang dipenuhi dengan aneka make up mahal lalu tanpa pikir panjang, dia menyambar satu per satu dan membantingnya ke lantai. Pecahan kaca, bedak, dan lipstik berhamburan, memenuhi lantai kamarnya.
“Arlend bukan buat Moira! Dia harus jadi milik gue!” teriak Stella dengan mata berkilat penuh dendam.
Tangannya bergetar, dada naik turun. Selama ini, bayang-bayang Moira selalu menghantuinya. Dulu, keluarga Evander begitu menyayangi Moira kecil nenek dan kakeknya selalu membanggakan Moira, membandingkan setiap pencapaian Stella dengan sepupunya itu. Apa pun yang Moira inginkan, selalu ada. Apa pun yang Moira lakukan, selalu dipuji.
Sementara Stella… selalu dianggap pelengkap. Tak pernah cukup.
Api iri itu tumbuh menjadi kebencian. Baginya, semua yang dimiliki Moira harus dirampas. Termasuk Arlend Kaiden Gavintara sosok yang Stella anggap jalan untuk mengalahkan Moira sekali untuk selamanya.
Dia menatap wajahnya sendiri di cermin yang retak, lalu tersenyum miring meski air matanya masih mengalir.
“Moira lo udah bikin gue hidup di bawah bayangan lo terlalu lama. Gue nggak peduli harus kayak gimana, gue bakal rebut semuanya dari lo.”
Dan di dasar hatinya, ada kebencian yang lebih dalam.
Gara-gara Stella juga, Tuan Evander sejak dulu selalu menyalahkan Moira atas kematian istrinya saat melahirkan. Stella lah yang meniupkan racun itu, membuat sang paman percaya bahwa Moira adalah penyebab hilangnya wanita yang dia cintai. Sejak itu, kasih sayang Tuan Evander pada putrinya berubah jadi dingin dan penuh tuduhan.
Stella menutup matanya sejenak, lalu bergumam dengan nada penuh ambisi.
“Kalau harus jatuhin Moira, gue bakal mulai dari ngerampas hatinya… dan bikin keluarganya sepenuhnya milik gue.”
Stella melangkah anggun memasuki restoran mewah yang sudah dia pilih dengan matang. Dia mengenakan gaun sederhana namun elegan, wajahnya dihias makeup tipis yang menonjolkan kesan lembut dan natural.
...Stella...
Saat melihat sosok pria berjas hitam dengan aura tegas dan tatapan tajam duduk di salah satu meja, senyum puas muncul di bibirnya. Rambut berwarna putih seperti idol korea membuat ketampanan Arland semakin tumpah-tumpah.
...Arlend Kaiden Gavintara...
Arland Kaiden Gavintara.
Putra tunggal keluarga Bagaskara. Calon Tunangan Moira.
Dia berjalan seolah tak sengaja, pura-pura baru menyadari keberadaan Arland.
“Hei.., Arland?” suaranya dibuat seolah terkejut, lembut dan penuh sopan santun. “Gue nggak nyangka ketemu lo di sini.”
Arland mengangkat kepalanya sekilas. Tatapannya dingin, suaranya datar.
“Kebetulan.”
Stella tersenyum manis, lalu menarik kursi seolah meminta izin dengan sikap malu-malu.
“Boleh gue duduk sebentar? Restorannya penuh, gue bingung mau di mana…”
Arland tidak menjawab, hanya mengangkat alis. Sikapnya cuek, tapi Stella tahu itu bukan penolakan mutlak. Dia pun duduk dengan hati-hati, menjaga setiap gerak-geriknya agar terlihat anggun. Bodoh amat sama sikapnya Arland.
“Arland…” Stella mencoba membuka percakapan, menundukkan kepala dengan ekspresi polos.
“Gue sering dengar orang bilang lo itu… dingin. Tapi sebenarnya, gue rasa lo cuma salah dimengerti. Cewek yang nggak tahu cara bersikap aja yang bikin lo kelihatan keras dan dingin.”
Arland menatapnya tajam, seolah menembus kepura-puraan itu.
“Kalau lo mau ngobrol basa-basi, cari orang lain. Gue nggak punya waktu untuk hal bodoh.”
Seketika wajah Stella sedikit kaku, tapi ia cepat-cepat menutupinya dengan tawa lembut.
“Ah, lo emang tegas banget, ya… gue suka cowok yang kayak gitu. Nggak semua orang berani bicara jujur.”
Namun dalam hati, Stella mendengus kesal. Dia tahu Arland bukan tipe yang mudah terpikat oleh kepolosan murahan. Bagi pria itu, wanita bodoh dan tidak menarik hanyalah buang-buang waktu. Maka, jika ingin mendapatkannya, Stella harus main lebih halus dan lebih berbahaya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langkah Gentha bergema pelan di markas Nitro. Lorong itu masih sama dingin, penuh bayangan, dan menyimpan kenangan yang terlalu banyak tentang Hanabi Watson. Tangannya menyusuri dinding, seolah mencoba meraba kembali jejak sahabat yang kini sudah tiada.
Dia masuk ke ruang kerja Hanabi. Aroma samar parfum khas Hanabi masih tertinggal di udara, membuat dadanya terasa sesak. Di meja, masih ada beberapa berkas, foto, bahkan cincin kecil yang pernah dipakai Hanabi saat rapat penting. Gentha meraih cincin itu, menggenggamnya erat.
“Bi…” bisiknya lirih, matanya memerah. “Kalau gue kangen lo, paling nggak gue masih bisa lihat barang-barang lo.”
Tiba-tiba suara langkah terdengar dari arah tangga. Gentha menoleh, dan dari kaca ruangan Hanabi terlihat Razka menuruni anak tangga dengan senyum manis menghiasi wajahnya. Senyum yang bagi orang lain mungkin menenangkan, tapi bagi Gentha terasa aneh, dingin.
“Gentha…” panggil Razka dengan nada seolah ramah masuk ke dalam ruangan tersebut. “Lama nggak kelihatan. Kangen sama tempat ini?”
Gentha menatapnya dalam diam, genggaman pada cincin semakin kuat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berteriak entah firasat atau sekadar kebencian mendalam bahwa di balik senyum manis itu, Razka menyimpan rahasia besar.
“Gue cuma mampir,” jawab Gentha singkat, nadanya dingin. “Ngambil barang peninggalan Hanabi. Buat kenangan.”
Razka mendekat dengan tatapan penuh arti. Senyumnya tetap terjaga, tapi matanya menyorot tajam.
“Kenangan, ya? Bagus kalau lo masih inget dia… meski dia sendiri udah milih ninggalin kita dengan cara yang bodoh.”
Kata-kata itu membuat Gentha menahan napas, rahangnya mengeras.
Hanabi nggak mungkin bunuh diri, batin Gentha.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suasana supermarket sore itu ramai. Moira mendorong troli dengan santai, matanya sibuk memilih barang-barang kebutuhan. Namun, tanpa sengaja bahunya menyenggol seseorang.
“Ah, maaf” ucapnya refleks, lalu matanya membeku saat melihat wajah pria yang disenggolnya.
Razka.
Sosok yang pernah dia percaya sepenuhnya, sosok yang ternyata menjadi penghianat dan penyebab kematiannya.
Tanpa sadar, Moira bergumam lirih, “Razka…”
Sialnya, pria itu mendengar. Razka menoleh cepat, alisnya terangkat curiga. “Hm? Lo kenal gue?”
Sekejap jantung Moira serasa berhenti. Tapi dengan cepat, dia mengubah ekspresi wajahnya menjadi kagum penuh semangat, matanya berbinar.
“Tentu aja kenal! Lo kan Razka, penyanyi cafe yang lagi naik daun, kan?” katanya dengan nada riang seolah seorang fans.
Razka menyipitkan mata, menimbang. Lalu senyum miringnya muncul, sama seperti dulu senyum yang bagi orang awam terlihat menawan, tapi bagi Hanabi terasa beracun.
“Oh? Jadi lo fans gue, ya?”
Moira tertawa kecil, mencoba memainkan perannya. “Iya dong! Gue sering nonton lo manggung di cafe, suara lo keren banget. Gue sampe hafal beberapa lagu lo, lho.”
Razka tertawa ringan, menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
“Wah, gue nggak nyangka ketemu fans di sini. Nama lo siapa?”
Dalam hati Moira menahan emosi. Ia ingin menjeritkan siapa dirinya sebenarnya Hanabi Watson, pemimpin Nitro yang dia khianati. Tapi dia hanya tersenyum manis, mengulurkan tangan.
“Nama gue… Moira.”
Razka menjabat tangannya. Cengkeramannya kuat, matanya meneliti wajah Moira seolah mencoba mengingat.
“Moira, ya? Nama yang cantik. Seneng kenal lo.”
Moira tersenyum tipis, tapi dalam hatinya bergejolak. Permainan baru dimulai, Razka. Kali ini… gue yang akan ngeliat lo jatuh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!