"Selain sering berbicara kaku seperti Google translate, kamu juga tidak peka, Peony. Mengertilah, Aku menyukaimu sejak awal!!" — Van Jeffdan Admaja.
"Maaf, Saya hanya berusaha bersikap profesional, Tuan.” — Peony Thamyta Sedjatie.
...Ωprologue-startΩ...
Peony adalah tuan putri manja yang segala sesuatunya selalu di siapkan oleh para pelayan.
Makan dari sendok emas. Kehidupan layaknya tuan putri yang keinginannya selalu di turuti sang raja. Itulah Peony Thamyta.
Hidupnya serba mewah, apa yang dia inginkan hanya perlu dia katakan dan beberapa menit setelahnya akan menjadi kenyataan.
Setidaknya, hal itu terus berlanjut sebelum Ayahnya —Darius Maximilian Sedjatie, tiba-tiba menjodohkan Peony dengan anak teman bisnisnya.
Peony yang merasa belum siap menikah pun seketika menolak!
Berharap keinginannya kali ini akan terkabulkan, tapi sayangnya kali ini keberuntungan Peony seolah hilang. Darius tak mau menurutinya lagi, sehingga lelaki paruh baya itu menawarkan sebuah perjanjian gila.
“Keluarlah dari rumah ini tanpa membawa nama Sedjatie. Kalau kamu bisa mengumpulkan uang sebesar satu juta dollar dalam kurun waktu enam bulan, perjodohan itu akan Ayah batalkan dan kamu boleh kembali ke rumah.”
DUAR!
Perjanjian yang terdengar sangat mustahil untuk terpenuhi. Sebab, dalam waktu setengah tahun sangat mustahil sekali bagi Peony bisa mengumpulkan uang sebanyak itu.
Tapi, Peony tak akan pantang menyerah. Dia akan menemukan bos kaya raya yang suka rela memberinya uang sebanyak itu untuk membatalkan perjodohannya. Meskipun Peony harus menjadi budaknya sekalipun.
...Ωprologue-endΩ...
TOK! TOK! TOK!
Terdengar suara ketukan pintu yang berasal dari luar kamar milik seorang laki-laki tampan yang kini tengah sibuk berkutat dengan para lembaran-lembaran kertas yang di duga adalah dokumen penting.
Sesosok laki-laki tampan itu, tampaknya tak mendengarkan suara ketukan tadi, dapat di lihat, dirinya malah semakin fokus pada layar yang kini menyala terang tepat di hadapannya.
Tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik, lantas seseorang yang sedari tadi mengetuk pintu, kini tengah berjalan santai ke arah pemuda tampan tadi, setelah benar-benar menutup pintu kamar putranya itu.
Kini, Jun Yunho Admaja, berjalan santai. Tampak masih terlihat awet muda di usianya yang kini menginjak kepala lima. Ia mendudukkan diri tepat di sebelah kanan meja putra bungsunya, hingga membuat pemuda itu dengan segera menoleh ke arahnya, meninggalkan sesaat para lembaran-lembaran kertas yang terasa semakin menumpuk.
“Apa ada masalah, Dad?” Tanya pemuda itu, dia telah memfokuskan pandangannya kepada sosok pria yang di duga ayahnya.
“Bagaimana? Apakah sudah sepakat dengan keputusan Daddy?” Tanya Jun Yunho Kepada Van Jeffdan Admaja.
Jeffdan terdiam, Daddy-nya sudah puluhan kali membahas persoalan perjodohan antara dirinya dengan anak dari teman Jun Yunho itu. Sampai muak Jeffdan mendengarnya.
Lelaki itu bingung, bagaimana cara membuat keputusan? Sedangkan dirinya saja tidak pernah memikirkan permasalahan ini —karena pekerjaannya selalu mengejar-ngejarnya kemanapun.
Dan juga, Jun Yunho sama sekali tidak mengenalkan siapa wanita yang akan di jodohkan dengannya. Bagaimana Jeffdan mau memikirkan?
“Van Jeffdan!” Seru sang Jun Yunho tajam, merasa heran. Kenapa sang anak belum juga menyepakati keputusannya itu?
Apakah ada yang salah?
Atau kah anaknya itu telah mendapatkan tambatan hatinya sendiri? Sejauh ini, belum pernah, bahkan tidak pernah sama sekali.
“Dad, aku sedang sibuk sekarang, bisakah jangan membahas hal itu ... Lagi!”
Jun Yunho semakin mendengus, tak suka dengan balasan sang anak, “Lalu kapan? Sampai Daddy mati?!” Gerutunya, kesal.
Jeffdan masih diam, hingga dirinya memutuskan pergi dari sana, kembali ke ruang tengah mansionnya. Jeffdan tak menghiraukan kekesalan Daddy-nya, dia lanjut mengerjakan beberapa pekerjaan yang tidak bisa dirinya tunda hingga besok.
Kepalanya pening, Jun Yunho yang terus menerus menerornya agar menerima perjodohan, dan pekerjaannya yang terbilang sangat penting. Akhir-akhir ini jadwalnya juga beberapa kali sering bentrokan, di tambah memikirkan tentang perjodohan. Membuatnya hampir gila rasanya.
“Sayang?”
Sapaan halus Mommy-nya membuat Jeffdan menoleh singkat. Kali ini dia lebih memilih menutup layar laptopnya dan beranjak menuju Tzuyu Admaja —Mommynya, yang kini tengah duduk di pinggiran kasur. Wanita itu menepuk bantal di sebelahnya, memberi isyarat agar Jeffdan merebahkan diri di sana.
Di usapnya lembut surai panjang Jeffdan, terasa sangat nyaman, di tambah suara Tzuyu bagai sebuah cerita dongeng yang mengantarnya menuju alam bawah sadar.
“Jangan terlalu lelah, Jeff. Mommy tidak ingin melihat kamu sakit.” Ucapnya lembut dan manis, bagai permen kapas.
Si bungsu keluarga Admaja pun memegang tangan Mommy-nya untuk di bawa ke bibir, mencium punggung tangannya. “Mom, menurut Mommy bagaimana?”
“Mommy pikir kamu cukup dewasa untuk memahami keinginan kami,” katanya tersenyum tulus.
Jeffdan dengan lesu menggeleng. “Mommy tau kan, aku sibuk akhir-akhir ini, seluruh jadwal ku juga sering ber bentrokan. Sungguh, aku pusing!” Tutur Jeffdan penuh kebimbangan.
“Sampai mau mati rasanya.” Lanjutnya, lesu.
Tzuyu kembali tersenyum, wanita itu cukup memaklumi kondisi putra bungsunya. Karena memang, beberapa hari lalu perusahaan yang di pimpin oleh anaknya itu sedang ada sedikit masalah.
“Yasudah, selesaikan dulu, nanti Mommy yang akan memberitahu Daddy. Sekarang tidurlah.” Papar Tzuyu, menenangkan anaknya.
“Jeff, menurut Mommy, kamu sepertinya harus memperkerjakan asisten pribadi.”
Alis Jeffdan memincing, “kenapa?”
“Supaya kamu tidak terlalu lelah juga, lagian beberapa hari ini Mommy perhatikan kamu sepertinya lebih terlihat tertekan.” Ucapnya, kembali mengusap kepala putra bungsunya dengan penuh kasih sayang.
“Benarkah?” Tanya Jeffdan. Memangnya dia terlihat seperti itu, kah?
Tzuyu pun mengangguk, tidak masalah kan? Lagian dengan adanya asisten pribadi, itu bisa sedikit meringankan beban putranya.
“Baiklah, akan aku minta sekretaris ku yang mencarikannya.” Ujarnya, kini Jeffdan kembali menutup matanya, kemudian tak lama terlelap.
...•TUAN&NONA•
...
“Bunda ayolah, suamimu itu terus saja mengganggu waktu belajarku!! Huh!”
Pekikan penuh kesal terdengar dari bibir manis seorang Peony Thamyta Sedjatie. Gadis cantik dan manis itu berjalan menuju Bundanya yang tengah menonton siaran berita. Duduk di antara Bundanya dan kakak sepupunya. Menyempil bagai anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan ibunda.
Oh ayolah, ini bukan pertama kali ayahnya itu meminta Peony segera menyetujui perjodohannya dengan anak teman Ayahnya. Sudah sering kali, bahkan sudah tak bisa terhitung. Apakah laki-laki tua itu tidak lelah? Pikir peony.
Sudah berbagai alasan dirinya menolak, tetapi ayahnya masih saja memaksanya. Merayunya dengan berbagai macam godaan, “Hei, Sweetie, ayolah terima saja, apa susahnya?” Celetuk Darius Sedjatie, Ayahnya.
Peony merotasi kan bola matanya malas, “Ayah! Bisa berhenti membujukku? Aku sungguh lelah, aku juga masih harus belajar dan kuliah!” Seru Peony kesal.
“Kamu masih bisa belajar dan kuliah nanti, Ayah akan membicarakannya dengan calon suamimu nanti.” Tutur Darius semeyakinkan mungkin.
Tak menjawab, Peony memilih mengacuhkan ayahnya yang tengah berbicara panjang lebar, Bundanya hanya melirik singkat, begitu pula kakak sepupunya yang malah kabur, masuk ke dalam ruang dapur.
Ayolah, Peony itu cantik, dia bisa mencari pasangan hidupnya sendiri kelak. Lagian, dirinya juga tengah menyelesaikan kuliahnya. Dia juga ingin bekerja —meskipun malas— jatuh cinta, dan mencari pasangannya sendiri.
Peony tak habis pikir! Kenapa di masa sekarang orang-orang malah lebih memilih di jodohkan dari pada memilih pasangannya sendiri? Tidakkah mereka berpikir jika perjodohan itu terlalu kuno untuk mereka, di jaman milenial seperti sekarang.
Huftt ... Menghembuskan nafas panjang, lantas Peony hendak berdiri, melewati ayahnya yang terus berbicara. Tidak bisa diam sekali! Bundanya pun masih diam, sesekali terkekeh melihat kelakuan suaminya yang terlalu ... uh, menjengkelkan!
Memasuki ruang kamarnya yang maha luas, Peony duduk sejenak, sebelum kembali membuka lembaran-lembaran tugas yang harus di berikan kepada dosennya esok hari.
Setelah selesai mengerjakan, beserta merevisinya ulang, gadis itu beranjak ke kamar mandi; membersihkan diri, mengganti pakaiannya menjadi lebih santai, lalu tidur. Karena hari yang sudah cukup larut juga.
Hingga keesokan paginya, Peony di kejutkan dengan kehadiran kakak sepupunya yang amat berisik itu, dia jelas terganggu; Tani, kakak sepupunya itu terus-menerus mengguncang kan bahunya keras, hingga membuatnya mau tak mau harus cepat-cepat bangkit.
Kesal setengah mati!
“Hei, sweetie, cepatlah bangun! Dosen mu sudah menunggu sejak tadi!” Pekiknya, masih dengan mengguncang tubuh kurus Peony. Membuat sang empunya mengeram marah, lalu di tepisnya kasar tangan yang terus menggoyangkan kedua bahunya itu.
“Brisik!”
Tani mendengus, “Yak! Dasar Nona muda menyebalkan! Cepat bangun atau aku akan mengusir dosenmu dan mengatakan padanya kalau kamu sudah tidak ingin melanjutkan kuliah lagi. Dan biarkan saja mereka tidak membuat nona pemalas ini lulus.” Gerutu perempuan itu panjang lebar.
Peony masih bersembunyi dibalik bantalnya. Sampai Tani mengeluarkan kalimat terakhirnya. “Dalam hitungan ke tiga! Satu ... Dua ... Tiga! Baik, segera aku katakan!” Tani sedikit meninggikan suaranya.
Dan berhasil. Peony langsung terduduk dengan wajah bantal dan cemberut. “Aisshh, bisakah kau diam sebentar? Telingaku sakit mendengar ocehan kamu yang seperti burung beo!”
“Lagian dosenku tidak akan mempermasalahkan.” Karena Peony sudah sering kali telat bangun; jadilah dosennya itu harus menunggu beberapa saat.
Lalu, setelah mengatakan sederet kalimat di atas, Peony pun segera berdiri menuju ruang kamar mandi; membersihkan diri, lalu memakai pakaian yang layak seperti mahasiswa biasanya. Setelah itu dia pun menghampiri dosennya dan memulai mata pelajaran yang akan di pelajari hari ini.
Peony terlihat amat serius kala dosen itu menjelaskan beberapa materi. Berbeda dengan Tani yang malah duduk sembari ngemil, dan menonton drama favoritnya.
Pelajaran singkat pun telah usai, kini Peony tengah membereskan buku-bukunya, menyusunya menjadi satu tumpukan; membiarkan asisten rumah tangganya yang membawa buku-buku itu ke kamar, sekalian menyusunya ulang.
Gadis itu menghampiri sepupunya yang tengah fokus-fokusnya menonton, ikut bergabung dan sesekali merebut paksa makanan ringan dari tangan Tani.
Hingga fokus keduanya kini teralihkan pada tuan besar pemilik mansion yang tengah di tempati kini. Darius Maximilian Sedjatie. Ayah dari Peony yang tengah menatap tajam ke arah dua perempuan di depannya.
Darius menatap Peony penuh, seperti tengah menginterogasi. “Peony Thamyta Sedjatie, Ayah sudah memikirkan ini sejak lama, jadi, Ayah harap kamu bisa memutuskan keputusan yang tepat.”
Peony terdiam, dia tak tahu arah pembicaraan yang di maksud ayahnya sekarang. “Maksud, Ayah?”
Darius memijat pelan pelipisnya, lalu duduk di depan kedua perempuan yang kini menatapnya heran dan penuh tanda tanya?
“Jadi ...?”
“Ayah akan memutuskan dua pilihan untuk kamu, sweetie ... Yang pertama adalah—"
“Jadi ...?”
“Ayah akan memutuskan dua pilihan untuk kamu, sweetie ... Yang pertama adalah— kamu menerima perjodohan yang Ayah tentukan! Atau ... Kamu Ayah tantang untuk pergi dari rumah ...” Ucapnya sengaja menggantung.
“Dan hanya bisa pulang jika kamu bisa mengumpulkan uang senilai sepuluh juta dollar.” Lanjut Darius, dia tersenyum miring melihat tatapan terkejut anak tunggalnya itu.
“Ayah jika berniat mengusirku, tidak perlu memakai alasan konyol seperti ini!” Sahut Peony dengan sengit.
Berbeda dengan Peony yang berwajah masam, Tani justru tersenyum semringah, dia lantas angkat bicara, “Angkel, jika taruhannya hanya uang senilai 10 juta Dollar, itu gampang. Dia bisa saja meminjam kepada seseorang, lalu kembali ke rumah dan mengatakan dia berhasil.” Ucap Tani. Membuat Peony seketika protes.
“Yak!! Apa kau buta?! Ayah selalu mengurung ku di dalam rumah ini, bagaimana cara aku bisa meminjam uang pada orang lain! Hah!!” Seru Peony, kesal dan pasrah.
“Sepertinya aku perlu membawa mu ke rumah sakit jiwa.” Lanjutnya, mencebik kan bibir kesal.
“Ya ya ya, itu bisa saja terjadi Angkel, bukankah Nona muda pemalas ini pandai merayu orang? Apa lagi dengan parasnya yang terbilang cukup lumayan, jadi siapa pun pasti akan memanfaatkan kesempatan, lalu mendekati Peony kita dengan alibi meminjamkan uang padanya.” Tutur Tani, dia sepertinya tengah berusaha mengusir Nona muda Peony dari kerajaannya sekarang.
Darius memikirkan perkataan keponakannya barusan, ada benarnya juga; bisa saja Peony malah meminjam uang kepada orang, itu bisa saja terjadi kan? Bagaimanapun juga anaknya itu gadis manis dan cantik tentu saja, jadi tidak ada alasan seseorang tidak membantunya.
“Baiklah, sudah Ayah putuskan, terima kasih Tani. Ternyata kamu berguna juga tinggal lama-lama di sini.”
...•TUAN & NONA•...
Sore harinya, Peony benar-benar di kirim ke sebuah apartemen kecil yang sekiranya hanya bisa muat untuk ditinggali dua orang. Setelah keputusan untuk mencari uang senilai 10 juta dolar atau setara 166.794.542.000,00 kalau di rupiahkan.
Rasanya mustahil sekali uang sebanyak itu bisa Peony dapatkan hanya dalam waktu enam bulan. Tapi tak apa, setidaknya dia akan berusaha. Meskipun mustahil.
Barang bawaan Peony hanya sedikit. Dia sengaja tidak membawa semuanya karena terlalu banyak.
Membuka kopernya, Peony mendengus dengan wajah horor. Tak percaya jika Darius akan membawakan pakaian lamanya, sedangkan pakaian yang masih baru di tinggalkan di rumah.
Ini semua gara-gara kakak sepupunya itu, Tani. Dia yang telah memonopoli Ayahnya agar mempersulit Peony. Sudah tidak di beri uang, kini dirinya juga dilarang membocorkan identitas aslinya.
Kata Tuan Darius yang terhormat, hal itu dilakukan agar tidak membahayakan keselamatannya! Tapi nyatanya itu malah semakin mempersulit Peony sendiri!
“Kenapa Kakak Tua itu malah mempersulit hidupku sih!? Seharusnya dia membantuku!”
“Apa dia juga yang menyuruh Ayah merencanakan perjodohan-perjodohan kolot dengan anak temannya?"
“Dan merencanakan untuk mengusir ku juga?”
Peony terus mengoceh sembari membereskan pakaiannya. Berkali-kali dia berdecak kesal, sembari memasukan lipatan-lipatan pakaiannya ke dalam lemari. Hal yang tidak pernah Peony lakukan sendiri, ternyata melipat pakaian sangat menguras tenaganya!
Hari sudah mulai gelap, Peony memutuskan untuk segera membersihkan dirinya. Lagi-lagi wajahnya berkerut tak suka dengan bentukan kamar mandi yang sangat berbeda jauh dengan miliknya di rumah.
Rasanya Peony seperti jatuh miskin.
Besok Peony juga di perintah agar datang ke kantor, entah milik siapa. Yang jelas itu perintah Ayahnya sendiri. Mungkin untuk mendapatkan pekerjaan.
Gadis dengan rambut blonde itu keluar dari dalam kamar mandi, hanya di balut dengan setelan sederhana berupa celana pendek dan kaos berwarna putih dan handuk kecil yang menggantung di kedua bahunya.
Dia berjalan menuju sofa kecil yang tersedia di apartemen yang kini menjadi miliknya. Ruangan yang cukup kecil baginya, bahkan tidak bisa menandingi besar kamarnya yang berada di mansion. Haah! Sudahlah, jangan di bahas.
Hghhh ... Peony lagi-lagi mendengus sebal ketika perutnya berbunyi nyaring. Sekarang sudah jam enam, tetapi Peony belum mengisi perutnya sama sekali. Biasanya dia tak pernah menyiapkan makananya sendiri, terbiasa di layani membuat Peony kepayahan.
Gadis itu memutuskan untuk pergi ke minimarket depan saja, membeli makanan yang sekiranya bisa dia makan. Saat keluar dari area apartemen, dia sedikit tercengang. Merasa baru dengan suasana ini.
Ya, ini adalah kali pertama Peony keluar rumah sendirian. Bahkan untuk pengucapan keluar rumah pun baru kali ini. Dia masih merasa baru, suasananya cukup ramai di depan sana. Jalanan kota yang di penuhi kendaraan yang berlalu lintas.
Dia berjalan menuju zebra cross untuk menyebrangi jalan. Di rasa sudah sepi, gadis itu pun segera berlari menuju minimarket di depan apartemen nya.
Masuk ke dalam dan segera mencari apa saja yang dia inginkan. Beruntung Bundanya itu memberinya sedikit uang saku —tentu nya tanpa sepengetahuan Darius— Jika tidak? Entah bagaimana nasib nya itu?.
BRUKH!
Peony sedikit tersentak kala seseorang di belakang menabrak punggung sempitnya, hingga membuat keranjang belanjaannya sedikit oleng dan tumpah. Dia memungut kembali makanan ringan pilihannya, memasukannya kembali ke dalam keranjang.
Lalu segera pergi menuju kasir, tanpa menoleh sedikit pun. Bahkan pria yang menabraknya pun belum sempat meminta maaf?
“Kenapa, Tuan Muda?”
Seseorang berbadan tegap dengan seragam hitam tiba-tiba datang, dia menanyakan hal apa yang membuat Tuan-nya itu terdiam.
“Tidak apa-apa, ayo segera kembali." Jawabnya. Dia segera berlalu ke luar minimarket itu, dan membiarkan bodyguardnya yang membayar belanjaannya.
Saat di luar, dia kembali melihat sosok yang di tabrak nya tadi. Dia ingin meminta maaf, “Permisi, nona?”
“Permisi, Nona?”
Peony yang tengah menunggu jalanan sepi itu menoleh, mengangkat sebelah alisnya, dia heran kenapa laki-laki di sebelahnya itu memanggilnya nona?
Apakah pria berbadan tinggi besar itu adalah mata-mata yang di kirim Darius untuk mengawasinya?
“Apakah anda berbicara dengan saya, Tuan?”
Tanya Peony, menunjuk dirinya sendiri. Dengan tangan kiri yang memegang seplastik penuh makanan ringan? Laki-laki di depannya itu tersenyum, “Tentu.”
“Ada apa? Apakah kamu mata-mata? Mau melaporkan kegiatan ku, heh?!” Todong Peony begitu saja. Sontak lelaki tegap itu berdecak dan terkejut geli.
“Apakah saya terlihat seperti itu?” Laki-laki itu malah melempar pertanyaan.
“Iya. Sedikit.”
“Langsung saja, ada apa anda memanggilku?” Tanya Peony, to the point.
Laki-laki di sebelahnya itu masih tak bergerak, hanya mengulas senyuman geli dan menatapi Peony dengan tatapan yang ... Berkilat-kilat, seperti Peony adalah barang lucu yang hadirnya sangat menarik di perhatikan.
“Ah—”
Belum sempat lelaki itu menyelesaikan ucapannya, Tani di sebrang jalan sudah berteriak memanggil nama Peony. Membuat keduanya serentak menoleh.
“PEONY! KEMARI!”
Wanita itu tengah melambai-lambaikan tangannya bermaksud memerintah Peony mendekat. Lalu tanpa ba-bi-bu Gadis itu pun berlari ke sebrang, meninggalkan si laki-laki yang ternganga tidak sempat bersuara.
Saat laki-laki tadi akan mengejar, bodyguard nya tiba-tiba datang dan memintanya untuk segera pulang atas perintah dari Tuan besarnya.
“Tuan Muda, nyonya Tzuyu meminta agar Tuan segera pulang.”
Laki-laki yang di ketahui bernama Van jeffdan itu menoleh, dia mengusap tengkuknya canggung. Lalu segera mengangguk. “Baiklah, ayo segera pulang.” Ajaknya. Kemudian berlalu lebih dulu.
***
“Yak!! Nona muda pemalas, siapa yang menyuruhmu untuk keluar rumah sendirian!!” Seru Tani, kini dia dan Peony tengah duduk berhadapan di sebuah sofa yang tak terlalu besar ruang apartemen.
Peony tak menghiraukan seruan-seruan kesal kakak sepupunya itu, dia sibuk memakan makanan yang di bawakan Tani tadi karena sudah terlalu lapar.
“YAK!”
Peony tersentak kaget, “Apa!” Sahutnya datar.
“Ishh, bukannya sudah aku katakan tidak keluar rumah dulu? Kamu ini keras sekali? Kalau nanti ada yang menculikmu bagaimana?! Bisa-bisa aku tidak jadi menikah karena Angkel Darius lebih dulu memenggal kepalaku!” Ocehnya tak di hiraukan Peony.
“Memangnya ada yang ingin menikah denganmu?! Wanita berisik dan banyak tingkah!” Sahut Peony sinis.
Tani sontak memekik. “YAK!! Begini-begini aku masih laku yaa!”
“Tidak peduli!” Gumam Peony sembari menyumpal telinganya dengan earphone. Teriakan kakak sepupunya itu terlalu memekakkan telinga.
Seketika perasaan kesal pun kembali menghampiri Tani. Tidak ada gunanya juga berbicara pada adik sepupunya. Selain Nona pemalas yang manja, Peony juga suka sekali menghancurkan hati seseorang dengan perkataannya yang kelebihan cabai.
Bahkan selama bertahun-tahun Tani dekat dengan Peony, Gadis itu masih saja terlihat sok cuek dan tak peduli. Membuat Tani geram dan sesekali mempunyai niat buruk pada anak Angkelnya itu.
Untung saja tidak dia lakukan, jika iya? Bisa habis dia dicincang oleh Yang Mulia Darius Maximilian. Walaupun kenyataannya tidak begitu! Tani saja yang terlalu banyak menonton drama. Jadi pikirannya suka sekali berimajinasi liar.
Berbeda dengan Peony, Gadis itu akan selalu menghabiskan waktunya dengan belajar. Karena cita-citanya dari dulu adalah menjadi pengusaha sukses seperti ayahnya. Lebih tepatnya, suka dengan kekayaan yang melimpah seperti Ayahnya.
Selain itu, dia juga ingin bebas pergi ke mana pun. Karena keluarganya itu tidak pernah mengizinkan keluar rumah sekalipun. Kasihan sekali Nasib Nona Muda manja dan pemalas itu? Ada yang ingin seperti Peony??
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!