NovelToon NovelToon

Beyond Blessed

BB 1 - Awal

“Lo nggak mau ketemu dulu, Is? Temen gue cantik parah. Asli potong kuping gue kalo gue bohong. ” seru Ilham kepada Faiz.

“Saya tidak pacaran, Ham.” kata saya.

Namanya Muhammad Faiz Al Ghifari. Dia biasa di panggil Faiz. Dia kini tinggal di salah satu pesantren milik teman ayahnya yang ada di Jakarta. Hari ini adalah hari liburnya di pesantren. Jadi, dia memilih untuk pergi ke rumah salah satu sahabatnya, Muhammad Ilham Ramadhan, yang biasa di panggil Ilham.

Sebetulnya, orang tua Faiz juga memiliki pondok di pedalaman Jawa. Alasan Faiz tidak ‘nyantri’ di sana adalah karena Faiz tidak mau diistimewakan di pesantren ayahnya itu. Dia mau mendapatkan perlakuan yang sama seperti santri-santri lain, hal ini pasti sulit didapatkan bila dia tetap berada di pesantren ayahnya yang biasa ia panggil Abah.

***

“Abah, Umi, bolehkah Faiz meminta satu permintaan?” kata Faiz.

Sekarang Faiz dan kedua orang tuanya sedang berada di ruang keluarga. Abah dan Umi yang mendengar pertanyaan anaknya langsung memfokuskan perhatian mereka ke arah Faiz. Faiz kecil menelan ludah. Dia benar-benar tidak mengerti apakah yang akan disampaikannya ini akan membuat kedua orang tuanya sedih atau tidak. Namun, satu keyakinan di hatinya terus menyuara untuk meneruskan apa yang hendak dikatakannya.

“Ada apa, Nak?” tanya Umi sambil membelai putra semata wayangnya dengan penuh kasih-sayang.

Faiz meremas ujung bajunya cemas.

“Boleh, Faiz pindah pesantren?” tanya Faiz.

“Lho, memang kamu ada masalah apa, Nak?” tanya Umi.

Abah memilih diam, mendengarkan percakapan antara Faiz dan istri tercintanya. Faiz melirik wajah Abahnya. Mencoba membaca situasi. Namun, yang ditemukannya hanyalah raut wajah ayahnya yang sedang menanti jawaban atas pertanyaan Uminya.

“Tidak ada, Umi. Hanya saja, Faiz merasa semakin tidak nyaman di sini.” kata Faiz. Dia merutuki kata-katanya dalam hati.

Melihat wajah cemas Uminya, dia buru-buru melanjutkan, “Bukan karena santri atau ustaz di sini memperlakukan Faiz dengan buruk, Umi. Sungguh. Justru mereka sangat baik pada Faiz dan selalu mengistimewakan Faiz, namun karena hal ini Faiz menjadi tidak nyaman.” Kata Faiz.

Faiz menunduk. Dia adalah anak yang sangat baik, tidak pernah membantah atau melawan kedua orang tua, dan tidak pernah meminta apapun kepada orang tuanya. Ini adalah kali pertama dia meminta permintaan kepada orang tuanya. Meski masih kecil, Faiz tidak pernah muluk-muluk meminta ini dan itu seperti anak seusianya pada umumnya.

“Biar nanti Abah yang bicara pada ustaz-ustazmu.” kata Abah.

Faiz menggeleng. “Mohon maaf Abah, bukan maksud Faiz menentang Abah. Namun, menurut Faiz selama Faiz masih di sini dan semua orang tahu kalau Faiz anak Abah, tidak akan merubah keadaan. Faiz mohon Abah, pindahkan Faiz ke tempat yang jauh, tempat yang tidak ada seorangpun yang mengenal Faiz. Faiz ingin mengukur kemampuan Faiz secara murni.” kata Faiz.

Faiz adalah anak yang pandai. Dia pendiam, namun sekalinya berbicara bahasa yang digunakan begitu teratur hingga kadang mengalahkan orang dewasa yang ketika berbicara, struktur kalimatnya tidak jelas dan berantakan.

“Bagaimana ini, Abah?” tanya Umi kepada Abah.

“Kamu serius, Nak?” tanya Abah.

Mendengar pertanyaan Abah, Faiz langsung mendongak dan mengangguk mantap.

“Seorang anak laki-laki harus berani memegang kata-katanya. Abah tanya sekali lagi, kamu serius mau pindah ke pesantren yang jauh dari sini?” tanya Abah.

“Iya, Abah. Faiz serius. Insyaallah, Faiz akan belajar dengan rajin, tidak akan menjadi anak nakal, dan tidak akan mempermalukan Abah selama di pesantren itu.” kata Faiz.

Melihat tekad yang kuat dari putranya. Abah tersenyum. Jujur dalam hati Abah begitu bangga kepada putranya. Ketika banyak orang yang begitu bangga dan nyaman saat diistimewakan, putranya justru tidak menginginkan itu walaupun secara objektif sebetulnya Faiz memang benar-benar anak yang istimewa dan patut dibanggakan.

Umi memeluk anaknya. Air matanya menetes.

***

“Sumpah, gue nggak nyuruh lo buat pacaran sama temen gue.” kata Ilham.

“Lalu apa? Bukannya kamu minta saya bertemu dia dan menjalin hubungan dengan dia?” tanya Faiz.

Telak. Berdebat dengan Faiz sepertinya tak akan membuahkan hasil. Ilham terdiam dengan raut frustasi. Ilham seumuran dengan Faiz. Sekolah Ilham berdekatan dengan pesantren Faiz. Namun, Ilham selalu mengatakan pada keluarganya kalau Faiz adalah teman sekolah.

Belakangan ini, Faiz memang terus-terusan di terror Ilham untuk bertemu dengan sahabat Ilham. Meski berulang kali Faiz mengatakan kalau dia tidak mau bertemu dengan gadis itu, namun Ilham tetap saja mengatakan kalau Faiz harus bertemu dengan sahabatnya itu.

Faiz adalah anak pesantren. Seorang santri yang taat tentu tidak tertarik dalam hal pacaran. Karena baginya selain dalam islam tidak ada istilah pacaran sebelum menikah, diapun merasa pacaran itu hanya mendekatkan diri kepada zina. Tentunya, zina termasuk perbuatan yang tidak di sukai Allah SWT.

“Ya, lo liat aja gitu dulu. Ntar-ntarnya terserah lo dah.” kata Ilham.

“Saya lebih baik kembali ke pesantren.” Kata Faiz, malas menanggapi Ilham lebih jauh.

“Gak asik lo, Is.” kata Ilham.

“Lagian, kenapa tidak kamu pacari saja dia.” kata Faiz.

“Dia sahabat gue, udah gue anggep sebagai adek gue sendiri. Rasa sayang gue ke dia sama kayak rasa sayang gue ke Linda. Mana mungkin gue pacarin adek gue sendiri?” kata Ilham.

“Memang ada ya, persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan?” tanya Faiz.

Ilham terdiam. Kali ini Ilham tak bisa berkata-kata. Dalam hati ia membenarkan perkataan Faiz. Lagi-lagi dia kalah berdebat dengan Faiz. Ilham menghempaskan tubuhnya ke sofa.

“Eh, ada Nak Faiz.” sapa Yeni pada Faiz.

Faiz mengangguk.

Yeni adalah Ibu Ilham. Beliau adalah sosok yang baik hati dan selalu baik pada siapa saja, terlebih Faiz. Bagi Yeni, Faiz adalah sosok putra idaman setiap orang tua. Dia begitu tampan, sopan, dan cerdas. Selain itu Faiz juga taat beragama. Yeni selalu mendukung anak-anaknya untuk berkawan dengan Faiz.

“Aaron pulang!” teriak Aaron.

Aaron adalah adik kembar Ilham. Ilham memiliki dua adik yang satu bernama Aaron, dan yang satu lagi bernama Linda. Aaron bisa dikatakan sebagai kembaran Ilham, karena mereka hanya berbeda satu hari saat dilahirkan. Meski kembar, wajah Ilham dan Aaron tidaklah sama. Wajah Ilham hampir sempurna mengikuti ibunya sedangkan Aaron berwajah gabungan antara ibu dan ayahnya.

“Aduh, anak Mama. Mbok ya kalo masuk salam dulu, tho. Contoh itu Nak Faiz.” kata Yeni sambil menjewer telinga anaknya.

“Aduh, sakit, Ma.” kata Aaron sambil memengangi telinganya. Yenipun melepaskan tangannya dari kuping Aaron.

“Salam dulu, coba!” kata Yeni.

“Iya, Ma. Assalamualaikum.” salam Aaron dengan terpaksa.

“Waalaikumsalam.” semua orang menjawab salam Aaron. Hanya jawaban salam Faiz terdengar lebih panjang.

“Emang enak lo! Hahahaha.” seru Ilham yang senang melihat adiknya tersiksa.

Diam-diam Aaron mengacungkan jari tengah pada Abangnya tanpa sepengatahuan Yeni. Namun, sebenarnya bila Yeni melihat pun, rasanya Yeni tak akan mengerti maksud jari tengah yang dimaksudkan Aaron sebagai umpatan.

“Wah, Ma. Parah, Ma.” Ilham sengaja ingin mengadukan kelakuan adiknya.

“Aaron ada PR, ke atas dulu ya, Ma.” kata Aaron sambil mencium pipi Yeni, lalu buru-buru lari ke atas.

Sebelum lari Aaron melirik Faiz. Pandangannya tak menyatakan kalau dia suka melihat Faiz. Faiz yang merasa tatapan Aaron berbeda padanya, tak begitu memperdulikan. Dia memang seperti itu. Tak banyak bicara. Dia lebih menyukai diam.

BB 2 - Keinginan Linda

Dari balik pintu, Linda mengintip melihat siapa yang datang ke rumahnya. Melihat ada sahabat tampan abangnya yang bernama Gus Faiz, dia buru-buru lari ke mobil ayahnya dan mengaca di sana. Dia merapikan rambut dan pakaiannya. Setelah dirasa oke, diapun mulai masuk ke dalam rumah.

“Assalamualaikum.” salam Linda dengan suara yang disengajakan lembut.

“Waalaikumsalam.” semua orang menjawab.

“Tumben kamu salam dulu, Sayang?” tanya Yeni.

Faiz kini sibuk dengan ponsel jadulnya. Tak begitu memperhatikan apa yang terjadi. Dia memang masih bisa mendengar percakapan antara ibu dan anak itu, hanya saja Faiz tidak berniat untuk menimbrung.

Linda melirik Faiz. Dalam hati dia merutuki ibunya yang tidak mengerti arti sikapnya.

“Hehehe. Biasanya juga begini kan, Ma?” tanya Linda. Meski kata-katanya ditujukan kepada Ibunya namun mata Linda terus mengarah pada Faiz.

Lindapun berjalan ke arah Ilham, kakak tertuanya.

“Bang..” kata Linda mengulurkan tangan.

“Minta ama Mama ahela, Abang lagi gak ada duit.” kata Ilham.

“Ih, Bang Ilham, akukan mau salim.” kata Linda.

“Lha, tumben amat.” kata Ilham sambil mengulurkan tangannya.

“Sttt, Abang!” kata Linda, berbisik sambil melirik Gus Faiz.

Linda buru-buru mencium tangan kakaknya.

“Buseh, adek gue genit amat.” kata Ilham.

Linda terus mengisyaratkan Ilham untuk diam. Linda menghampiri Gus Faiz, lalu mengulurkan tangan. Faiz menatap tangan itu lalu beralih ke Ilham.

“Dia minta salim.” kata Ilham.

Alih-alih mengambil uluran tangan Linda, Ilham hanya menyatukan tangannya di depan dada. Lalu kembali berkutat dengan ponsel.

“Udah tau temen gue super alim, masih aja ganjen.” kata Ilham tanpa memperdulikan perasaan Linda.

Linda melotot kepada Ilham sambil mengepalkan tangan. Mengancam untuk memukulnya kalau Ilham tidak mau diam. Linda buru-buru menurunkan tangannya dan tersenyum saat Faiz meliriknya.

“Nak Faiz..” panggil Yeni.

Faiz meletakkan ponselnya di atas meja lalu menoleh ke arah Yeni.

“Iya, Tante?” tanya Faiz.

Tanpa disuruh, Linda langsung duduk di samping ibunya. Kini Yeni berada di seberang Faiz sedangkan Linda berada di sebrang Ilham.

“Kata Ilham, Nak Faiz pesantren ya?” tanya Yeni.

“Iya, Tante.” jawab Faiz.

“Begini, Nak Faiz. Ini Linda minta masuk pesantren juga. Kira-kira menurut Nak Faiz baiknya Linda masuk pesantren mana ya?” tanya Yeni.

“Memang mau yang dekat atau jauh, Tan?” tanya Faiz.

“Yang jauh saja, Nak. Kalau bisa di pedalaman. Agar dia tidak cepat minta pulang.” kata Yeni.

“Lho, Ma. Tap-tapi..” Linda protes.

***

Linda mendekati sang ibu, Yeni, yang sedang asyik menonton film azab di salah satu stasiun televisi di ruang tengah.

“Ma.” panggil Linda.

“Iya, Sayang?” tanya Yeni. Matanya masih terfokus pada film azab.

“Kualat baru tau rasa kamu tong. Nyolong kotak masjid masuk neraka!” teriak Yeni, mengomentari film azab yang sedang ditontonnya.

Tak ubahnya ibu-ibu di luaran sana, Yeni juga termasuk ibu-ibu yang suka berteriak mengomentari film atau senetron yang di tonton, gregetan.

“Mamamah. Udah matiin dah.” kata Linda.

“Eh, jangan. Lagi seru!” seru Yeni. Sambil menyembunyikan remot.

*Linda terkekeh melihat sikap ibunya. Benar-benar ajaib. Linda pun terdiam.

Linda gelisah. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Yeni. Namun, dia begitu bingung harus memulainya dari mana. Selain itu, Lindapun tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk mengutarakan* keinginannya atau tidak.

“Ma, Linda mau pesantren dong.” kata Linda pada ibunya.

Mendengar kata-kata anaknya, Yeni menoleh.

“Lho, kenapa tiba-tiba mau masuk pesantren?” tanya Yeni bingung.

“Ya, nggakpapa, Ma. Aku pengen bisa ngaji.” kata Linda.

“Bener, kmau mau masuk pesantren?” tanya Yeni.

“Iya, Ma. Mama nggak mau apa anaknya pinter ngaji, salatnya rajin, terus jadi anak salihah?” kata Linda.

Yeni menatap Linda dengan serius. Dia mencari keseriusan dari mata anaknya. Linda, yang ditatap balas menatap mantap.

Memang sedari dulu, diam-diam Yeni memiliki keinginan untuk memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Namun, karena takut anak-anaknya tidak mau dan perasaan masih belum bisa jauh dari anak-anaknya, iapun mengurungkan niatnya.

“Mama nggak mimpi kan?” tanya Yeni.

“Nih.” Linda langsung mencubit ibunya.

“Heh, sakit.” kata Yeni.

Linda tertawa. Melihat ibunya mengomel.

“Boleh ya, Ma?” kata Linda lagi.

“Nanti Mama bilang Papa dulu ya, lagian Mama juga gak tahu pesantren yang bagus di mana.” kata Mama.

Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sang ibu, Lindapun tersenyum penuh hati. Dia tentu tahu kalau ibunya pasti akan mengatakan hal demikian. Karena perkiraannya itu, dia sudah mempersiapkan jawaban.

“Ngapain tanya Papa, Ma?” kata Linda. Otak liciknya mulai jalan.

“Terus Mama harus tanya siapa dong?” tanya Yeni.

“Tanya temannya Bang Ilham aja, Ma. Itu lho.” kata Linda.

“Teman Ilham? Siapa? Akbar?” tanya Yeni.

“Waduuuh, Bukan, Ma. Diamah mana ngerti pesantren-pesantren.” kata Linda.

“Terus siapa?” tanya Yeni.

“Faiz, Ma.” kata Linda.

“Faiz?” tanya Yeni.

Linda mengangguk semangat.

"Faiz bukannya teman sekolah Ilham?" tanya Yeni.

"Dia diem-diem meski satu sekolah sama Bang Ilham, tapi dia pesantren, Ma." kata Linda.

"Oh, pantas, dia sopan sekali anaknya." kata Yeni.

"Iyamah. Tanya dia aja ya, Ma." kata Linda.

“Oke. Nanti Mama tanya dia deh kalau ke sini.” kata Yeni.

“Yeay, terima kasih, Mama.” kata Linda, seraya mencium pipi ibunya.

***

“Kalau bisa, Nak Faiz. Linda kan anak perempuan tante satu-satunya. Jadi, tempat yang Kyainya kamu kenal saja, biar tante bisa tenang.” kata Yeni.

“Lho, pesantren, Ma?” tanya Ilham.

Dia baru tahu. Kalau Linda minta dimasukkan ke pesantren.

“Iya, Sayang. Linda minta sendiri ke Mama.” kata Yeni.

“Hebat juga, Lo.” kata Ilham kepada Linda.

“Iyalah, Linda. Calon anak salihah ya, Ma.” kata Linda, sambil melirik-lirik Faiz.

Yeni hanya tersenyum menanggapi. "Amin."

“Gimana, Nak?” tanya Yeni pada Faiz.

“Kalau mau, bisa masuk ke pesantren milik Abah saya.” kata Faiz.

Keluarga Yeni sangat baik padanya. Jadi, Faiz merasa harus sedikit membantu Ibu sahabatnya itu. Lagipula pesantren Abahnya termasuk pesantren yang sangat bagus dan hampir setiap lulusan-lulusannya selalu menjadi, ‘orang’. Namun, ya balik lagi kepada pribadi masing-masing.

Setidaknya lebih banyak yang berhasil setelah keluar dari pesantren Abahnya Faiz.

“Lho, Nak Faiz anak Pak Kyai?” tanya Yeni.

Faiz hanya tersenyum mengangguk.

“Waduh, Nak. Kami harus panggil kamu Gus.” kata Yeni.

“Panggil Faiz saja tidak apa-apa, Tante.” kata Gus Faiz.

“Lo serius, Is? Kok lo nggak kasih tau gue kalo lo anak Kyai?” tanya Ilham.

“Untuk apa saya beri tahu kamu?” tanya Faiz.

“Iya dah, kalah mulu guemah.” Kata Ilham.

Melihat Ilham yang tidak bisa menjawab pertanyaan Faiz membuat Yeni dan Linda tertawa. Mata Linda terus tertuju pada Faiz. Bukan, Gus Faiz.

“Wah, mimpi apa tante ya, sampai temannya anak tante anaknya Kyai yang punya pondok.” kata Yeni.

“Dek!” teriak Ilham pada Linda.

Linda menoleh ke arah Ilham.

“Mingkem. Jangan mupeng begitu.” kata Ilham, jahil.

“Ih, Abang. Ngeselin banget sih!” teriak Linda.

“Hahahahaha.” Ilham tertawa.

Dalam hati Ilham tahu persis kalau adiknya menyukai Gus Faiz dengan sepenuh hati. Namun, dia merasa ada yang lebih membutuhkan Gus Faiz dibandingkan dengan adiknya.

Sorry, Lin. Gue emang jahat sama lo. Gue tau lo suka sama Faiz tapi gue tetep pengen nantinya Gus Faiz sama Nindy. –batin Ilham.

BB 3 - Tertabrak Gadis Tirai

Ilham dan Gus Faiz kini asyik berkutat dengan PS milik Ilham. Permainan yang mereka mainkan tentu saja bukan ‘harvest moon’. Di usia mereka, mereka lebih memilih permainan yang menantang dan bisa battle dengan kawannya. Kali ini mereka sedang bermain bola.

“Jago juga lo. Gue kira lo cuma bisa main harvest moon.” kata Ilham.

“Sudah jangan pecah konsentrasi saya.” kata Gus Faiz.

“Eh, tapi jangan salah lo. Harvest moon itu permainan paling real menurut gue. Nih, dari permainan itu kita diajarin buat kerja keras. Kalo kita pengen apapun kita juga harus kerja keras, termasuk dapetin cewek. Mau nikahin cewek pun kita gak bisa langsung nikah, kita kudu kerja keras dulu cari uang yang banyak, kasih love atau bunga buat nunjukkin kasih sayang, bangun ini itu biar keluarga hidup nyaman. Iya gak si?” kata Ilham.

“Iya.” kata Gus Faiz.

“Buseh, gue ngomong panjang lebar kayak penceramah, dijawab iya doang.” kata Ilham.

Gus Faiz malas menanggapi.

“Kata lo kekurangan harvest moon apa, Is?” kata Ilham.

Tanpa mengalihkan pangangannya pada layar dan pegangannya pada stik PS, Ilham pun bertanya lagi pada Faiz.

“Kurang salat.” kata Gus Faiz.

“Hadeeeh, susah emang temenan ama anak Pak Kyai.” kata Ilham.

Gus Faiz tidak marah. Karena dia tahu gaya bicara sahabatnya memang seperti ini. Dan Ilham hanya sedang bergurau.

“Lo kapan balik ke pondok, Is?” tanya Ilham.

“Kamu usir saya?” tanya Gus Faiz.

“Ayolah, Is. Jangan kayak balok es begitu. Bega banget gue dengernya.” kata Ilham sambil memutar bola mata.

“Saya merasa nyaman seperti ini.” kata Gus Faiz.

Melihat tim sepak bolanya hampir kalah, Ilham buru-buru memutar otak untuk mengacaukan konsentrasi Gus Faiz.

“Temen gue kasian juga kalo lo begini terus.” kata Ilham. "Berubah ya, jadi cair biar temen gue betah sama lo." lanjut Ilham.

Gus Faiz melirik Ilham dengan tajam. Gus Faiz tahu ke mana percakapan ini akan berlabuh. Gadis itu lagi, sahabat Ilham yang terus dijodohkan dengannya. Konsentrasi dia pun terpecah. Meski tak pernah melihat wajah atau fotonya, gadis itu sukses membuat Gus Faiz tidak konsentrasi.

“Gol! Yes, seri!” teriak Ilham.

“Ck, curang.” kata Gus Faiz. Menyadari Ilham yang hanya memecah konsentrasinya.

Di dapur Linda sedang sibuk menunggu Ibunya menghidangkan kue kering ke piring. Kue itu untuk Gus Faiz di kamar Ilham. Linda bermaksud untuk mengantarkannya. Setelah selesai ditata di piring, Lindapun ke kamar Ilham.

Dia mengetuk pintu.

“Assalamualaikum.” salamnya.

“Waalaikumsalam.” Gus Faiz dan Ilhampun membalas salam Linda, hanya saja jawaban salam Gus Faiz lebih panjang.

“Ini, Bang, eh Gus. Ada kue.” kata Linda kepada Gus Faiz.

“Terima kasih.” Gus Faiz menjawab singkat.

“Dengan senang hati, Bang. Eh Gus.” kata Linda.

Ilham mengisyaratkan adiknya untuk keluar kamar. Setelah cemberut, Linda pun menuruti permintaan Ilham. Namun, dia tidak benar-benar pergi. Linda penasaran dengan apa yang sedang dikatakan Ilham dan Gus Faiz di dalam.

“Lo suka sama adek gue, Is?” tanya Ilham.

“Suka.” kata Gus Faiz.

Linda menggigit bibir. Rasanya dia ingin berteriak. Dia memegangi dada, memerika degup jantungnya. Linda buru-buru pergi masuk ke kamar yang cukup jauh dari kamar Ilham. Dia sangat bahagia.

Bang Faiz suka sama gue! Gue janji, Bang. Gakpapa deh gue gak jadi satu pondok sama lo. Gue janji bakalan jadi anak alim di pondok orang tua lo. Gue bakalan jadi calon istri paling sempurna buat lo. –batin Linda.

Linda terkikik sendiri, dia masih SMP namun pemikirannya sudah sampai tahap menikah. Memikirkan umurnya, Linda tertawa lagi.

Linda yang sempat ragu karena misinya gagal untuk membuat dia masuk pesantren yang sama dengan Gus Faiz, kini seakan mendapat pencerahan baru dan cita-cita baru. Dia merasa dunia sedang berpihak padanya, awalnya hanya ingin berdekatan dengan Gus Faiz dengan masuk pesantren itu, akhirnya akan masuk ke pesantren keluarga Gus Faiz.

“Bukan itu maksud gue, Malih. Maksud gue lo cinta gak sama adek gue?” tanya Ilham.

“Tidak. Adikmu baik tapi saya tidak mencintainya.” jawab Gus Faiz.

Di satu sisi Ilham mengasihani adiknya namun di sisi lain dia merasa lega karena masih punya peluang menjodohkan Gus Faiz dengan Nindy.

“Sebentar lagi Azan Zuhur, ayo ke Masjid!” kata Gus Faiz.

Gus Faiz berdiri dan meletakkan stik PS Ilham lalu mulai beranjak. Ilhampun mengikuti langkah Gus Faiz. Semenjak bertemu Gus Faiz, sedikit demi sedikit Ilham banyak mengalami perubahan. Salah satunya jadi rajin salat.

Setelah mengikuti salat jemaah di Masjid, telepon Ilham berbunyi.

“Ham!” teriak suara di sebrang sana, Nindy, dengan panik.

“Kenapa, Nin?” tanya Ilham panik.

“Gue ke rumah lo ya? Urgent banget!” seru Nindy.

“Ke rumah gue? Yaudah-yaudah gue balik sekarang.” kata Ilham.

"Yaudah cepet, gue udah deket banget!" seru Nindy.

"Oke-oke." kata Ilham langsung mematikan sambungan telepon

Ilham menatap Gus Faiz. Sebetulnya ini peluang Nindy bisa bertemu Gus Faiz. Namun, Ilham sadar Gus Faiz tak mau bertemu dengan Nindy. Walau begitu, untuk memastikan, dia berniat kembali mengajaknya.

“Balik yuk, Nindy mau ke rumah.” kata Ilham.

“Saya ke rumah Akbar saja.” kata Gus Faiz.

“Yaudah, nih, pake aja motor gue. Gue balik duluan ya, Assalamualaikum.” kata Ilham sambil memberikan kunci motor dan langsung berlari pulang ke rumahnya.

Jarak antara Masjid dengan rumah tidak terlalu jauh namun tidak terlalu dekat. Karena Ilham mengajak naik motor jadi Faiz menurut.

“Waalaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.” jawab Gus Faiz.

Di jalan menuju parkiran Gus Faiz mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Akbar. Namun, tiba-tiba seseorang menabraknya hingga ponselnya terlempar jauh dan rusak.

Bukan hanya ponselnya, ponsel penabrak pun tak kalah naasnya. Ternyata yang menabrak Gus Faiz adalah seorang gadis. Gadis itu memungut ponselnya cepat, hingga semua rambutnya terjulur ke depan.

“Aduh. Sorry Mas. Sorry. Aduh gimana ya. Saya lagi buru-buru banget. Aduh, saya nggak bawa uang cash. Aduh.” kata seseorang menabrak Gus Faiz.

Gus Faiz tidak bisa melihat wajah gadis yang sudah menabraknya karena rambut lurus gadis itu menutupi wajah cantiknya.

“Iya tidak apa-apa. Pergilah.” kata Gus Faiz.

“Terima kasih, Mas. Saya janji saya akan ganti rugi.” kata perempuan itu sambil memengang kedua pipi Guz Faiz, lalu langsung berlari pergi.

Gus Faiz hendak protes namun gadis itu sudah berlari sangat jauh. Dia memegangi pipinya. Ntah mengapa pipinya menghangat. Ini kali pertamanya ada seorang perempuan yang bukan Uminya berani menyentuh pipinya.

Gus Faiz memandangi gadis itu. Meski sudah jauh, gadis itu menyadari kalau Gus Faiz memperhatikannya dari belakang. Gadis itupun berbalik, mengangkat tangannya sambil melambai, dan membuat tanda hati dengan menyatukan jari telunjuk dengan jempol, di kedua tangannya.

Gus Faiz tidak mengerti lambang tangan itu. Pemikirannya tidak sampai hati.

Gadis itupun berbelok ke sebuah gang. Dan hilang.

Gus Faiz mengambil ponselnya yang sudah naas tak berbentuk. Dia merakit ponsel tersebut agar menyatu, lalu memasukkannya ke dalam kantong.

Sebaiknya saya pergi ke rumah Akbar terlebih dahulu. –batin Faiz.

***

Visual Gadis Tirai

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!