NovelToon NovelToon

Heroes

Penyanderaan

Sudah lima hari lamanya Agam berada di Wadi Halfa. Pria itu sedang menjalankan tugas barunya di sana. Wadi Halfa hanyalah jalan masuk baginya menuju tempat tugasnya yang baru. Tujuan sebenarnya Agam adalah Bir Tawil.

Agam ditugaskan menyusup ke dalam organisasi internasional Oscuro. Oscuro adalah sebuah organisasi yang memiliki dan mengelola rahasia banyak negara di dunia. Selain itu, Oscuro juga memiliki tentara bayaran yang terlatih. Pendapatan yang mereka hasilkan diperoleh dari menjual rahasia negara dan juga tentara bayaran. Agam ditugaskan menyusup ke sana sebagai mata-mata. Memastikan tidak ada rahasia negara yang bocor. Kalau pun ada, maka dirinya harus memusnahkan rahasia tersebut.

Lokasi markas Oscuro diketahui berada di Bir Tawil. Untuk sampai ke sana, Agam memilih Sudan sebagai pintu masuk. Dari sana dia akan memasuki Bir Tawil yang dekat dengan Segitiga Hala’ib. Wilayah itu adalah daerah sengketa antara pemerintah Mesir dan Sudan. Karena wilayah ini juga yang membuat Bir Tawil menjadi tanah tak bertuan.

Menurut penggambaran ulang peta di sepanjang garis administratif yang dibuat Inggris tahun 1902, Segitiga Hala’ib dan Bir Tawil adalah perbatasan kedua negara. Tapi hanya satu wilayah yang bisa diakui sebagai bagian wilayahnya. Jika Mesir atau Sudan mengakui Bir Tawil sebagai bagian dari negaranya, maka Segitiga Hala’ib yang ada di dekatnya tidak bisa diakui.

Dibanding Segitiga Hala’ib, baik dari luasnya daratan sampai sumber daya alam yang dimiliki, tentu saja Bir Tawil tidak sebanding. Bir Tawil lebih banyak didominasi daratan gurun pasir yang kering dan tandus. Berbeda dengan Segitiga Hala’ib yang memiliki berbagai spesies unik, memiliki hasil bumi berupa mangan dan memiliki akses ke Laut Merah yang merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Akses inilah yang tidak dimiliki Bir Tawil, hingga tidak ada yang mau meng-klaim wilayah tersebut.

Wadi Halfa terletak di Sudan bagian utara, tepatnya di tepi sungai Nil. Secara geografis, Wadi Halfa lebih dekat dengan Mesir. Kota ini memiliki musim yang panas dan kering sepanjang tahun. Pria itu menyewa sebuah kamar di Guesthouse yang ada di kota itu. Selain menyewa kamar, dia juga menyewa mobil untuk mempermudah mobilitasnya.

Hari ini Agam tengah menikmati kopi dingin di tengah teriknya cuaca di Wadi Halfa. Pria itu duduk di bagian luar kedai, memandangi beberapa bangunan yang berdiri di atas tanah yang tandus dan kering. Di depan kedai, nampak beberapa anak tengah bermain bola dengan riang. Sesekali terdengar teriakan mereka saat berhasil menembakkan bola ke gawang buatan sendiri.

Seorang pria berkulit hitam datang mendekati kedai, di atas kepalanya terdapat taqiyah atau topi yang biasa digunakan oleh pria Sudan. Dia masuk ke dalam kedai dan tak lama kemudian keluar sambil membawa minuman di tangannya.

“Apa kamu seorang turis?” tanya pria itu pada Agam menggunakan bahasa Inggris.

“Yes.”

 “Dari mana?”

“Indonesia.”

“Indonesia? Apa kamu akan tinggal lama di sini?”

Agam dibuat terkejut ketika pria yang menyapanya langsung mengubah kalimatnya menggunakan bahasa Indonesia. Pengucapan pria itu bahkan begitu jelas dan fasih. Agam mempersilakan pria itu duduk di dekatnya.

“Kamu bisa bahasa Indonesia?”

“Ya.”

“Di mana kamu belajar?”

“Aku belajar dari tentara perdamaian Indonesia di Darfur.”

Kepala Agam mengangguk. Dalam hatinya ada perasaan bangga, bahasa negaranya sekarang sudah diketahui dan dikuasai di banyak negara.

“Aku Abdo.”

“Mario.”

Keduanya saling berjabat tangan. Dengan cepat kedua pria itu langsung terlibat percakapan seru. Abdo menceritakan pengalamannya ketika belajar bahasa Indonesia dari tentara Indonesia. Menurutnya, di antara tentara perdamaian yang diutus ke Darfur, tentara Indonesia yang paling ramah dan bersikap terbuka pada warga lokal. Mereka juga dengan senang hati mengajari orang-orang belajar bahasa Indonesia, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.

“Apa kamu tahu, berapa lama dari sini ke Segitiga Halayeb?”

“Kamu mau ke Segitiga Halayeb?”

“Ya. Selain ke sana, aku juga mau ke Bir Tawil.”

“Untuk apa kamu ke sana? Tidak ada yang menarik di Segitiga Halayeb, apalagi di Bir Tawil.”

“Aku hanya penasaran saja. Bagaimana cara bisa ke sana?”

“Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan mobil. Lumayan lama, bisa sampai 24 jam. Tapi untuk bisa ke sana, yang paling penting harus ada surat ijin dari pemerintah Sudan. Dan untuk mendapatkan surat ijin cukup sulit.”

“Apa kamu bisa membantu ku?”

“Bisa. Tapi kamu harus siap uang juga.”

“Uang bukan masalah.”

“Kalau begitu besok aku akan bantu mengurus perijinannya.”

Agam mengangkat ibu jarinya. Pria itu senang ada yang bisa membantunya ke Segitiga Halayeb. Sudah beberapa hari ini dia mencoba mendapatkan akses tapi gagal. Dan ketika bertemu orang yang mau membantunya, tentu saja Agam tidak menyia-nyiakan hal tersebut.

Keduanya masih lanjut mengobrol santai. Namun perbincangan mereka terputus ketika suara teriakan anak-anak yang sedang bermain bola, berubah menjadi teriakan ketakutan. Belum sempat mereka menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tiga orang menghampiri mereka seraya menodongkan senjata.

“Jangan bergerak!”

Kompak Agam dan Abdo mengangkat tangan. Keduanya diseret dari kursi yang diduduki. Dipaksa berlutut di lantai dengan kedua tangan berada di belakang kepala. Sementara pria yang satu masuk ke kedai. Dia menodongkan senjata ke kasir, meminta pegawai tersebut mengeluarkan semua uang dari mesin kasir.

Sambil terus berlutut, Agam melihat situasi di sekelilingnya. Orang yang datang mengacau dan merampok kedai terdiri dari lima orang. Dua orang menjaga anak-anak, dua orang menjaga dirinya dan Abdo, sementara yang tersisa mengambil uang di kedai.

“Hei!”

Panggil Agam pada pria yang sedang menodongnya. Pria itu semakin mendekatkan pistol ke kepala Agam. Dengan cepat Agam menarik pistol tersebut, tangan pria itu dipukul dengan cukup kencang hingga berteriak kesakitan. Dalam waktu singkat pistol sudah berpindah tangan pada Agam. Pria itu menembak punggung kaki itu.

Belum sempat rekan pria itu menyadari apa yang terjadi, tangannya sudah ditembak Agam hingga pistolnya terlepas. Pria yang merampok kedai baru saja keluar, tapi dia juga langsung terkena tembakan Agam. Pahanya yang dijadikan sasaran. Lalu Agam membidik seorang lagi yang hendak menembaknya. Lagi-lagi tangannya yang terluka.

Empat orang pria yang datang untuk melakukan perampokan sudah dibuat terkapar oleh Agam. Hanya tersisa satu orang lagi. Dengan cepat dia menarik salah satu anak untuk dijadikan sandera.

“Letakkan senjata mu!” teriaknya seraya menodongkan senjata ke kepala sang anak.

Dilanda ketakutan yang begitu sangat, membuat anak itu menangis. Pelan-pelan Agam menaruh senjata ke tanah sambil terus melihat pada pria yang tengah menyandera.

“Lepaskan dia,” ujar Agam.

“Jangan macam-macam atau aku akan menembaknya!”

“Dia hanya anak-anak. Lepaskan dia, jadikan aku sebagai ganti sandera mu.”

Pemilik kedai yang melihat ketegangan di luar kedainya segera menghubungi polisi. Sementara Agam masih berusaha membebaskan anak yang disandera.

“Lepaskan dia, bawa aku sebagai gantinya. Aku yang sudah melukai teman-teman mu, bukan dia. Oke?”

“Cepat kemari!!”

Perlahan Agam bangun lalu berjalan mendekati penyandera tersebut. ketika jarak mereka sudah dekat, dengan cepat pria itu menarik Agam lalu mendorong tubuh sang anak. Abdo segera berlari, menangkap anak itu agar tidak terjatuh.

“Ayo pergi!!” ujar pria itu pada empat rekannya.

Sambil menahan sakit di bagian tubuhnya yang tertembak, keempat pria itu berjalan mendekati temannya. Mereka mengambil kembali senjata yang dibawa. Salah satunya segera menuju mobil yang ada di sana. Sementara penyandera Agam menarik pria itu mendekati mobil.

Perhatiannya teralihkan ketika mendengar suara sirine polisi. Hal tersebut dimanfaatkan Agam untuk bertindak. Dia menggerakkan kepalanya dengan lentur, menjauh dari pistol yang berada di samping kepalanya. Kemudian dia menarik pistol di tangan penyanderanya.

Terkejut dengan apa yang dilakukan Agam, jarinya tanpa sengaja menekan pelatuk. Terdengar bunyi letusan senjata diiringi teriakan seseorang.

“AAAAAAA!!!”

***

Siapa yang ketembak?🫣

Hai.. Aku kembali dengan karya baru. Lagi dan lagi aku buat novel genre action. Mudah²an kalian suka ya. Jangan lupa like, komen dan rate bintang limanya ya🤗

Perjalanan Berbahaya

“AAAAAAA!!!”

Pria yang tadi menyandera Agam terkejut saat tahu peluru yang tak sengaja terlepas mengenai adiknya sendiri. Semula pria itu sudah mengalami luka tembakan di tangan, sekarang perutnya yang tertembak.

“Gabiiirrr!!!”

Pria itu segera melepaskan diri dari Agam dan langsung menghampiri adiknya yang terkapar di tanah. Dari perutnya terus mengeluarkan darah. Agam bergerak cepat menghampiri.

“Beri aku kain!!” teriak Agam.

Dengan gugup pria itu melepas kaos yang dikenakannya lalu memberikannya pada Agam. Dilipatnya kaos tersebut lalu ditaruh ke lukanya.

“Tekan terus lukanya, jangan lepaskan!” titah Agam.

Sambil menangis pria itu melakukan apa yang dikatakan Agam. Polisi yang sudah tiba langsung membekuk tiga orang yang tersisa, sementara polisi lain menghubungi ambulans. Wajah Gabir semakin pucat karena banyaknya darah yang keluar.

“Apa kalian punya kasa?!” tanya Agam pada pemilik kedai.Pria itu hanya mengangguk lalu berlari masuk ke dalam kedai.

“Bawakan kain panjang!!” teriak Agam selanjutnya.

Tak lama kemudian pria itu kembali dengan membawa kasa dan pashmina milik istrinya. Agam menyingkirkan kaos yang sudah basah oleh darah. Dia menutup luka tembak dengan kasa yang cukup banyak lalu mengikatnya dengan pashmina.

Dari arah kejauhan terdengar suara sirine ambulans. Dalam hitungan menit kendaraan itu sudah sampai di dekat kedai. Petugas medis bergerak cepat membawa Gabir ke dalam ambulans. Sang Kakak yang hendak mengikuti ditahan oleh polisi. Pria itu akan dibawa ke kantor polisi bersama empat rekannya. Dan luka meraka juga akan diobati di sana.

Polisi yang lain mulai menanyakan saksi yang ada di tempat. Abdo dan anak yang disandera tadi kompak menyebut kalau Agam yang sudah menyelamatkan mereka. Polisi itu berbincang sebentar dengan Agam, kemudian segera kembali ke kantor polisi. Sepeninggal petugas polisi, Abdo segera menghampiri Agam.

“Wow kamu hebat sekali. Apa kamu pernah di militer sebelumnya?”

“Hanya sebentar. Aku sudah keluar sekarang.”

“Kenapa?”

“Masalah pribadi.”

Hanya anggukan kepala yang diberikan Abdo. Anak-anak yang tadi bermain bola mengucapkan terima kasih pada Agam lalu segera kembali ke rumah masing-masing. Agam mengambil ransel di kursi yang didudukinya tadi. Pria itu bermaksud kembali ke penginapan.

“Di mana kamu menginap?” tanya Abdo.

“Tidak jauh dari sini. Berapa uang yang kamu butuhkan untuk mengurus perijinan?”

“Berikan saja dulu 200.000 pound.”

Agam mengeluarkan amplop dari dalam ransel. Dia menghitung dulu uang di dalamnya. Saat tiba di Sudan, pria itu memang langsung menukar rupiah dengan pound Sudan agar memudahkan transaksi di negara ini.

“Kalau perijinan sudah selesai, aku akan menemui mu di penginapan.”

“Oke.”

***

Dua hari kemudian perjalanan menuju Segitiga Halayeb. Perjalanan dari Wadi Halfa ke Segitiga Halayeb memakan waktu cukup lama. Perjalanan ditempuh melalui jalur darat. Keduanya berangkat menggunakan mobil sewaan. Agam dan Abdo bergantian menyetir karena perjalanan memakan waktu dua puluh empat jam lebih. Terkadang mereka terpaksa berhenti untuk beristirahat.

Sebelum lebih jauh memasuki Segitiga Halayeb, lebih dulu Agam dan Abdo beristirahat di Pasar Shalateen yang berada di dekat Segitiga Halayeb. Agam dan Abdo beristirahat di kios susu unta dan menikmati makanan yang disajikan toko yang dekat kios tersebut. Sambil menikmati susu unta, full medames dan kisra atau roti pipih.

“Dari sini kamu mau lanjut kemana?” tanya Abdo.

“Abu Ramad. Tapi kita istirahat dulu sebentar di sini. Kamu juga pasti lelah.”

“Aku akan mencari penginapan untuk kita istirahat.”

Agam hanya menganggukkan kepalanya. Abdo segera beranjak dari tempatnya. Dia berbicara dengan penduduk lokal untuk mencari penginapan. Tak butuh waktu lama, pria itu sudah berhasil mendapatkan penginapan.

Setelah beristirahat di Shalateen, Agam dan Abdo melanjutkan perjalanan menuju Abu Ramad. Sepanjang perjalanan hanya terlihat gurun tandus saja. Di bagian sisi nampak deretan pegunungan yang membentuk landscap unik. Agam membuka kaca jendela dan membiarkan angin memenuhi kabin mobil jenis Jeep Desert Hawk yang disewanya. Pria itu terpaksa mematikan air conditioner untuk mengirit bahan bakar.

“Kira-kira berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh?” tanya Agam pada Abdo yang sedang menyetir.

“Kalau tidak ada halangan, mungkin empat jam. Tapi daerah di sini terkenal rawan. Kadang ada saja bahaya mengintai.”

“Bahaya seperti apa?”

“Segitiga Halayeb adalah wilayah sengketa. Kadang ketegangan terjadi antara tentara Sudan dan Mesir. Kadang ada pihak lain yang mencoba mengambil keuntungan dari keadaan tersebut. Pokoknya kita harus berhati-hati.”

Agam hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu kembali mengarahkan kepalanya ke jendela samping, menikmati pemandangan gurun pasir yang dilewatinya. Ketika mereka telah menempuh setengah perjalanan, mereka dikejutkan dengan suara tembakan yang berasal dari arah depan mereka. Suara tembakan berjarak sekitar seratus meter. Mendengar itu, sontak Abdo menghentikan mobilnya.

“Sepertinya situasi di depan cukup berbahaya. Bagaimana ini?” Abdo melihat pada Agam.

“Lebih baik berhenti dulu. cari tempat aman untuk menyimpan mobil. Aku akan melihat keadaan di depan sana.”

“Lalu bagaimana dengan aku?”

“Kamu tunggu dan bersembunyi sampai aku datang.”

Setelah mengatakan itu, Agam keluar dari mobil. Abdo segera mengarahkan mobil menuju sebuah batu besar yang ada di sisi jalan dan menyembunyikan kendaraan roda empat itu di sana. Agam berjalan perlahan sambil memegang pistol di tangannya. Pria itu bersembunyi di balik bebatuan sambil melihat ke arah sumber suara.

Dari tempatnya mengintai, Agam bisa melihat empat orang pria bersenjata seperti tengah mencari seseorang. Mata Agam menangkap seorang pria berlari ke arah di mana mobilnya berada. Secepat kilat Agam kembali ke tempat di mana Abdo berada. Khawatir kalau pria itu menyakiti Abdo.

“Bagaimana?” tanya Abdo setelah Agam kembali ke dekatnya.

“Situasi kurang baik. Ada empat orang bersenjata di depan sana. Lebih baik kita tunggu mereka pergi lebih dulu.”

“Apa mau kembali ke Shalateen?”

“Tidak. Kita sudah melewati setengah perjalanan. Tunggu saja sebentar lagi.”

Mau tidak mau Abdo mengikuti saran Agam walau sebenarnya pria itu takut setengah mati. Inilah yang membuatnya enggan mengunjungi Segitiga Halayeb. Namun karena Agam mengiming-imingi bayaran besar, akhirnya Abdo nekad menerima pekerjaan ini. Perbincangan keduanya terhenti ketika mendengar suara senjata dikokang tepat di belakang kepala Agam.

“Angkat tangan dan jangan coba bergerak,” ujar seorang pria yang ada di belakang Agam.

Kompak Agam dan Abdo mengangkat kedua tangan. Wajah Abdo nampak pucat. Melihat senjata di tangan pria itu, tak ayal membuat Abdo ketakutan. Dia merasa kalau ajalnya sudah dekat.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Agam.

“Aku butuh mobil kalian.”

“Lalu bagaimana dengan kami?”

“Itu urusan kalian, bukan urusan ku. Serahkan mobil kalian atau aku akan membunuh kalian.”

“Itu bukan mobil ku. Aku menyewanya.”

“Aku tidak peduli! Kamu memilih mobil ini atau nyawa mu?!”

“Berikan saja, Mario. Nanti aku akan bantu bicara dengan Ibrahim tentang mobil ini.”

Abdo memberikan sarannya. Dia tidak mau mati konyol hanya karena mobil sewaan. Barang yang hilang bisa diganti, tapi nyawa yang hilang, tidak aka nada gantinya.

“Kuncinya ada di dalam,” jawab Agam sambil melirik ke belakang.

Sambil terus mengarahkan senjatanya, pria itu berjalan mendekati mobil. Dia membuka pintu di bagian kemudi. Ketika pria itu membuka pintu, dengan cepat Agam bergerak. Dia menutup pintu hingga tubuh pria itu terjepit pintu. Dengan sikunya Agam menghajar wajah orang yang hendak mengambil mobilnya sebanyak tiga kali. Senjata di tangan pria itu terlepas. Dengan cepat Abdo mengambilnya. Kini posisi terbalik, orang itu yang berada di bawah ancaman senjata.

***

Si Bobi sekarang udah hebat ya😂

Bir Tawil

“Dengar, aku hanya membutuhkan mobil kalian.”

“Sayang sekali, kami juga membutuhkan mobil itu. sebaiknya kamu menyingkir sebelum teman ku menembak mu,” ancam Agam.

Perlahan pria itu menjauh dari mobil. Dia mengangkat tangannya karena Abdo terus mengarahkan senjata kepadanya. Agam memberi isyarat pada Abdo untuk masuk ke dalam mobil ketika sayup-sayup terdengar suara langkah kaki mendekat. Pria yang bersama Agam semakin panik. Dia tahu kalau orang yang mengincarnya yang mendekat.

“Tolong aku. Ada orang yang mau membunuh ku.”

“Bukan urusan ku,” jawab Agam acuh tak acuh.

“Aku minta maaf atas apa yang kulakukan tadi. Nama ku Fellipe, aku benar-benar membutuhkan bantuan mu. Tolong aku,” pria bernama Fellipe itu menangkupkan kedua tangannya.

“Aku tidak mengenal mu dan aku tidak mau terlibat urusan apa pun dengan mu.”

“Aku lihat kemampuan bela diri mu baik. Tolong aku, selamatkan aku, maka aku akan memberi mu banyak uang.”

“Aku punya cukup banyak uang,” Agam membalikkan tubuhnya, seperti hendak masuk ke dalam mobil.

“Tolonglah, aku akan memberikan apa saja asal kamu mau menolong ku.”

Sebuah senyum tipis tercetak di wajah Agam. Dia sudah menunggu momen ini sejak tadi. Sebenarnya dia tahu pria yang bersamanya. Pria itu adalah Fellipe, orang yang bertanggung jawab mengurus logistik Oscuro. Dia juga salah satu orang kepercayaan Daniel Ortega. Tujuannya ke Segitiga Halayeb memang melacak keberadaan Fellipe. Pria itu bisa membantunya menyusup ke dalam Oscuro.

“Apa yang kamu tawarkan pada ku?” Agam membalikkan tubuhnya.

“Apa saja. Informasi tentang seseorang, rahasia negara, apa saja.”

Kening Agam mengernyit, seolah dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Fellipe barusan.

“Aku adalah anggota Oscuro. Aku orang kepercayaan Daniel Ortega.”

“Siapa dia?”

“Dia pimpinan Oscuro. Dengar, organisasi kami memiliki banyak informasi penting. Aku akan memberikannya pada mu asal kamu mau menolong ku.”

“Baiklah. Aku pegang janji mu. Sekarang katakan, siapa yang tengah mengejar mu.”

“Mereka anggota mafia Diabo. Tiga tahun lalu aku membunuh anak ketua Diabo dan sekarang mereka menginginkan nyawa ku.”

“Mereka ada berapa orang?”

“Empat orang dan mereka semua bersenjata.”

“Abdo, berikan kembali pistolnya. dan kamu masuklah ke dalam mobil. Jangan keluar apapun yang terjadi. Kalau terjadi sesuatu pada kami, kamu cepat pergi.”

Kepala Abdo mengangguk cepat. Dia memberikan senjata di tangannya kemudian masuk ke dalam mobil. Dia duduk di depan kemudi dengan kedua tangan memegang erat setir mobil. Agam mengambil senjatanya yang ada di balik pinggangnya, melihat isi pelurunya kemudian mengokangnya. Dengan isyarat kepala, dia meminta Fellipe segera menjauh dari mobil agar Abdo tidak berada dalam bahaya.

Sambil mengendap keduanya berjalan menjauhi mobil. Empat pria yang mengincar Fellipe semakin mendekat. Jarak di antara mereka hanya terpaut beberapa meter saja. Agam menggerakkan jarinya, meminta Fellipe menuju bebatuan yang ada di sisi kanan. Ketika hendak menuju ke sana, tanpa sengaja kakinya menginjak ranting pohon dan suaranya terdengar oleh empat orang yang mengejarnya.

“Itu dia!” teriak salah satunya.

Agam dan Fellipe berlari cepat menuju bebatuan ketika keempat orang itu memberondong dengan peluru. Fellipe melepaskan tembakan setelah berhasil bersembunyi di balik batu besar. Agam yang berada di seberang Fellipe mengintip dari celah bebatuan. Pria itu membidik salah seorang pengejarnya. Sebuah tembakan dilepaskan olehnya dan berhasil mengenai perut pengejarnya.

Satu orang telah tumbang, tersisa tiga orang lagi. Fellipe terus menembakkan senjatanya ketika sisa pengejarnya semakin mendekat ke arahnya. Salah satu pelurunya berhasil mengenai paha salah satu pengejarnya. Dua orang tersisa terkena peluru di bagian dada dan satu lagi di bagian lengan. Peluru tersebut berasal dari Agam.

Melihat lawannya sudah tidak berdaya, Fellipe dan Agam keluar dari persembunyian. Tidak disangka, pria yang tangannya terluka masih bisa menyerang Fellipe. Terkejut dengan serangan tiba-tiba, Fellipe terjatuh. Pria itu mengangkat tangannya ketika pria tadi menodongkan pistol ke arahnya.

Dari arah belakang Agam muncul. Pria itu memukul tengkuk pria yang tengah menodongkan senjata pada Fellipe. Kerasnya pukulan Agam, membuat pria itu langsung jatuh pingsan.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Agam seraya mengulurkan tangannya.

“Thanks,” Fellipe menyambut uluran tangan Agam. Pria itu menarik Fellipe hingga terbangun.

“Siapa nama mu?”

“Mario.”

“Sekarang ikut dengan ku. Aku akan mengenalkan mu pada Daniel Ortega.”

“Maksud mu kita ke Oscuro sekarang?”

“Ya.”

“Apa lokasinya di dekat sini?”

“Di Bir Tawil.”

“Bukankah tidak ada apa-apa di sana?”

Hanya senyuman saja yang diberikan Fellipe. Pria itu menggerakkan jarinya, meminta Agam untuk mengikutinya. Mereka kembali ke tempat tadi. Rupanya Abdo masih setia menunggu mereka. Agam dan Fellipe segera masuk ke dalam mobil.

“Kita kemana sekarang?”tanya Abdo.

“Bir Tawil.”

“Apa? Tapi akses ke sana sulit, dan kita butuh ijin dari pemerintahan Mesir.”

“Tenang saja. Kamu cukup mengantarkan kami sampai ke perbatasan. Setelah itu kamu boleh pulang.”

Abdo masih belum menjalankan kendaraan. Pria itu melihat sejenak pada Agam, seakan meminta persetujuannya. Agam pun menganggukkan kepalanya. Mau tidak mau Abdo menyalakan mesin mobil.

Perjalanan menuju Bir Tawil membutuhkan waktu lama. Perjalanan menuju ke sana melalui padang pasir tandus di antara Danau Nasser dan Laut Merah. Sebelum memasuki perbatasan Segitiga Halayeb dan Bir Tawil, mereka mengunjungi otoritas Mesir dulu untuk meminta ijin memasuki Bir Tawil.

Fellipe yang mengenal para petugas itu, tentu saja dengan mudah mendapatkan ijin. Pria itu sudah sering keluar masuk Bir Tawil melalui jalur Mesir. Setelah mendapat ijin, mereka melanjutkan perjalanan. Fellipe meminta Abdo menghentikan mobil ketika mereka sudah memasuki Bir Tawil.

“Abdo, terima kasih atas bantuan mu. Tolong wakili aku mengembalikan mobil ini pada Mr. Ibrahim.”

“Berapa lama kamu berada di sini?”

“Aku tidak tahu.”

Agam mengeluarkan amplop dari dalam tasnya. Kemudian dia mengambil uang sebanyak 100.000 pound lalu memberikannya pada Abdo.

“Apa ini?”

“Anggap saja ini bayaran mu karena sudah menemani ku.”

“Terima kasih, Mario.”

Agam menepuk lengan Abdo, lalu keluar dari mobil. Pria itu melambaikan tangannya ketika Abdo melajukan kembali kendaraan roda empat tersebut. Setelah mobil yang dikemudikan Abdo tak terlihat lagi, Fellipe mengajak Agam berjalan menuju markas Oscuro.

Sepanjang jalan, Agam hanya melihat hamparan gurun tandus dan dikelilingi oleh gunung. Tidak ada akses jalan, karena di daerah ini hanya ada hamparan padang pasir saja. Fellipe terus berjalan hingga kemudian dia berhenti di dekat sebuah batu besar. Di balik batu besar itu ternyata ada sebuah pintu besi di atas hamparan padang pasir.

Fellipe mengusap bagian atas pintu yang tertutup pasir. Di atas pintu tersebut terdapat panel yang baru muncul setelah disentuh. Fellipe memasukkan enam digit angka. Setelah kode angka dimasukkan, pintu baru bisa dibuka. Dapat Agam lihat terdapat tangga ke bawah begitu pintu terbuka. Fellipe mempersilakan Agam masuk lebih dulu, baru kemudian menyusul. Fellipe menutup kembali pintu dan pintu besi itu langsung terkunci secara otomatis.

Kaki Agam menjejak sesuatu yang diyakini sebagai lantai baja. Tepat di bawah kakinya terdapat pintu seperti di atas. Fellipe membuka pintu lalu terjun ke bawah. Ternyata ini adalah sebuah kotak baja. Fellipe menekan tombol yang ada di sana dan kotak baja itu bergerak turun ke bawah. Lima menit kemudian mereka sudah sampai di dasar. Pintu lift yang terbuat dari baja itu terbuka.

“Selamat datang di Oscuro!” seru Fellipe.

***

Agam berhasil masuk Oscuro nih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!