NovelToon NovelToon

Pangeran Bodoh Dan Putri Barbar

Bab 1 - kekaisaran Siu

Di tengah kemegahan istana Kekaisaran Siu, matahari pagi memantulkan cahaya keemasan ke genteng-genteng berlapis giok hijau. Balairung utama berdiri anggun dengan tiang-tiang merah menjulang, sementara para kasim dan dayang berlarian mengatur rutinitas harian. Dari luar, istana ini tampak sempurna, penuh kemegahan dan ketertiban. Namun di balik dinding berukir naga dan phoenix itu, tersembunyi rahasia kelam: pertarungan diam-diam demi kekuasaan.

Pangeran Siu Wang Ji, satu-satunya putra dari Kaisar Siu Ming dan Permaisuri Xu Jia, tumbuh di tengah pusaran itu. Sejak ia lahir, banyak mata memandangnya dengan iri. Bagaimana tidak? Sebagai putra sah permaisuri, ia adalah pewaris sah takhta Kekaisaran Siu. Tapi sejak kecil, hidupnya justru dipenuhi bahaya yang datang dari dalam istana sendiri.

---

Usianya baru lima tahun saat pertama kali ia merasakan pahitnya racun. Hari itu, ia sedang duduk di taman kecil di belakang paviliun permaisuri. Angin bertiup lembut, membawa wangi bunga plum. Wang Ji kecil yang masih polos memandangi kupu-kupu, sambil memegang kue beras yang baru saja diberikan seorang dayang.

“Pangeran kecil, silakan dimakan,” kata sang dayang dengan senyum lembut.

Wang Ji menggigit satu potong. Awalnya manis, tapi sesaat kemudian tenggorokannya terasa terbakar. Ia terbatuk keras, wajahnya memerah, tubuhnya bergetar. Dayang itu pura-pura panik, tapi tatapan matanya berkilat aneh. Beruntung, seorang pengawal pribadi permaisuri segera datang dan menyadari ada yang salah. Tabib dipanggil, racun berhasil dikeluarkan, dan nyawa kecil Wang Ji terselamatkan.

Sejak hari itu, Permaisuri Xu Jia semakin waspada. Ia tahu betul siapa dalang di balik usaha pembunuhan itu—Selir Ma Linkin, wanita licik yang sejak awal masuk istana selalu menaruh iri. Selir Ma memiliki seorang putra, Siu Rong, sebaya dengan Wang Ji. Bagi Selir Ma, hanya satu tujuan hidupnya: memastikan Siu Rong menjadi Putra Mahkota, menggantikan Wang Ji.

Tapi bagaimana cara menyingkirkan anak sah permaisuri? Racun adalah senjata yang paling mudah, dan sejak kecil, Wang Ji harus menelan pahitnya upaya pembunuhan itu berkali-kali. Makanan yang ia makan, teh yang ia minum, bahkan mainan yang ia pegang—semua bisa menjadi alat pembunuh.

---

Bukan hanya racun. Lidah orang-orang istana juga lebih tajam dari pedang.

Wang Ji tumbuh dengan telinga penuh hinaan.

“Pangeran itu lemah.”

“Lihatlah, ia sakit-sakitan. Tidak pantas jadi pewaris.”

“Lebih baik Siu Rong saja yang menjadi Putra Mahkota.”

Kata-kata itu sering ia dengar ketika berpura-pura tidur atau saat berjalan melewati koridor panjang. Bahkan, beberapa kasim dan dayang yang seharusnya melayaninya terkadang berani meremehkan. Mereka mengira Wang Ji terlalu kecil untuk mengerti, padahal hatinya merekam setiap kata dengan jelas.

Permaisuri Xu Jia selalu berusaha melindunginya. Di balik senyum anggun seorang permaisuri, ia adalah ibu yang terus gelisah. “Anakku, kau harus kuat,” bisiknya suatu malam ketika Wang Ji menangis diam-diam. “Suatu hari nanti, kebenaran akan berdiri di pihakmu.”

Kaisar Siu Ming sendiri? Ia seorang penguasa yang sibuk dengan urusan negara. Meski sesungguhnya menyayangi Wang Ji, namun intrik istana membuat kasih sayangnya tak pernah benar-benar sampai. Apalagi Selir Ma pandai bersandiwara, selalu menunjukkan wajah manis di hadapan kaisar, membuat seolah Wang Ji hanya membesar-besarkan.

----

Siu Rong, putra Selir Ma, menjadi bayangan hitam dalam kehidupan Wang Ji. Di depan ayahanda Kaisar, Siu Rong selalu bertingkah manis, sopan, dan rajin. Tapi di belakang, ia menunjukkan wajah asli angkuh, iri, dan kejam.

“Aku yang seharusnya jadi Putra Mahkota,” bisiknya suatu kali saat mereka berdua bermain di halaman istana. “Kau hanya bocah lemah. Cepat atau lambat, semua orang akan meninggalkanmu.”

Wang Ji menggenggam erat mainannya, menahan air mata. Ia masih kecil, belum mampu melawan. Tapi jauh di lubuk hatinya, api kecil mulai menyala. Api itu bukan sekadar marah, melainkan tekad untuk bertahan hidup.

----

Waktu berlalu. Wang Ji beranjak remaja, usianya menginjak enam belas tahun. Ia tumbuh cerdas, meski tubuhnya sering sakit-sakitan karena racun yang masuk sejak kecil. Hari itu, ia baru saja pulang dari perjalanan ke kuil leluhur bersama beberapa pengawal. Udara sore dingin, langit mulai gelap.

Tanpa diduga, sekelompok orang bersenjata menghadang di jalan setapak menuju istana. Panah-panah melesat, pedang berkilat. Pengawal berusaha melindungi, tapi jumlah musuh terlalu banyak.

“Lindungi Pangeran!” teriak salah satu pengawal.

Wang Ji berlari, jantungnya berpacu. Ia tahu serangan ini bukan kebetulan. Dari bayangan pepohonan, seseorang melompat dan mengayunkan pedang ke arahnya. Wang Ji menangkis dengan belati kecil pemberian ibunya, tapi tubuhnya terhempas. Ia tersandung batu, lalu kepalanya membentur keras di tanah. Pandangannya berkunang-kunang, suara pertarungan semakin menjauh.

Sebelum gelap menelannya, ia mendengar samar-samar suara seorang musuh berbisik, “Tuan besar akan senang mendengar kabar ini. Pangeran lemah itu akhirnya mati.”

----

Tapi Wang Ji tidak mati. Ia dibawa pulang ke istana dalam keadaan tak sadar. Tabib istana datang memeriksa, wajahnya pucat pasi. “Ampun, Yang Mulia… luka di kepala Pangeran terlalu berat. Ia mungkin… tidak akan sadar lagi.”

Permaisuri Xu Jia jatuh berlutut, menggenggam tangan anaknya erat-erat. Air mata tak henti menetes. Kaisar Siu Ming berdiri kaku, sorot matanya campuran antara marah dan putus asa. Sementara itu, jauh di balik tirai emas, Selir Ma menahan senyum tipis.

Hari-hari berubah menjadi bulan, bulan berubah menjadi tahun. Selama satu tahun penuh, tubuh Wang Ji terbaring tak bergerak di ranjang istana. Tubuhnya hangat, nafasnya teratur, tapi matanya tertutup rapat. Semua orang menganggapnya tak berbeda dari boneka hidup.

Namun, yang tak diketahui siapapun Wang Ji mendengar segalanya.

Ia mendengar suara ibunya yang menangis setiap malam.

Ia mendengar kasim dan dayang yang berbisik menghina.

Ia mendengar Selir Ma tertawa lirih, menganggapnya mati sebelum waktunya.

Ia mendengar Siu Rong berseru di luar kamar, “Kakak, biarlah kau tidur selamanya. Takhta akan menjadi milikku.”

Hatinya sakit, tapi ia tak bisa bergerak. Ia ingin berteriak, ingin bangkit, tapi tubuhnya tak mau mendengar. Hingga akhirnya, di dalam kegelapan itu, Wang Ji berjanji pada dirinya sendiri:

Jika suatu hari aku bangun, aku tidak akan membiarkan mereka menang.

Aku akan membuat mereka semua menyesali apa yang telah mereka lakukan padaku.

----

Tepat setahun kemudian, pada musim semi ketika bunga plum kembali mekar, sesuatu berubah. Mata Wang Ji perlahan terbuka. Cahaya menyilaukan menusuk retina, membuatnya mengerjap pelan. Suara ibunya yang sedang membaca doa terdengar jelas, lalu terhenti mendadak.

“Wang Ji…?!” seru Permaisuri Xu Jia dengan suara bergetar.

Tabib dipanggil, seluruh istana gempar. Kaisar datang tergesa-gesa, Selir Ma berpura-pura menangis, Siu Rong menatap penuh kejutan.

Tapi yang lebih mengejutkan bukanlah kebangkitannya—melainkan cara ia bangun.

Wang Ji menatap sekeliling dengan senyum polos. “Ibu… aku… aku ingin makan permen…,” katanya dengan suara kekanak-kanakan. Gerak-geriknya lugu, matanya berbinar layaknya anak kecil berusia lima tahun, bukan remaja lima belas.

Semua orang tertegun. Tabib gemetar, lalu berkata, “Ampun, Yang Mulia… sepertinya Pangeran… kehilangan sebagian akalnya. Ia kembali seperti anak kecil.”

Suasana menjadi kacau. Para pejabat mulai berbisik, “Bagaimana mungkin seorang pewaris bertingkah bodoh? Kekaisaran dalam bahaya!”

Selir Ma menundukkan kepala, menyembunyikan senyum puasnya. Siu Rong bahkan menatap Wang Ji dengan penuh ejekan.

Namun, tak seorang pun tahu kebenarannya. Siu Wang Ji hanya berpura-pura.

Di balik mata yang tampak polos, tersembunyi kecerdasan tajam. Ia sadar sepenuhnya, ingat semua hinaan, semua pengkhianatan. Pura-pura bodoh adalah perisai sekaligus senjatanya. Dengan itu, ia bisa mengamati tanpa dicurigai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang balik.

Hanya dua orang pengawal pribadinya yang mengetahui rahasia ini, beserta pasukan rahasia kecil yang setia padanya. Bagi dunia luar, Wang Ji hanyalah pangeran kekanak-kanakan yang suka bermain dan tertawa tanpa arti. Tapi bagi dirinya sendiri, ini adalah permulaan.

Permulaan sebuah permainan panjang, Permainan untuk mengungkap siapa kawan, siapa lawan. Permainan untuk menjatuhkan Selir Ma, keluarganya, dan Siu Rong.

Permainan untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya: takhta Kekaisaran Siu.

Bersambung

Bab 2 - Rahasia

Istana Kekaisaran Siu selalu tampak megah dengan dinding merah bata, atap berlapis emas, dan halaman luas yang dijaga ketat oleh para pengawal. Namun di balik kemegahan itu, tersembunyi permainan politik yang kejam. Di tengah semua itu, pangeran yang setiap hari dicibir, ditertawakan, bahkan dianggap sebagai aib keluarga kekaisaran Pangeran Siu Wang Ji.

Hari itu, matahari baru naik ketika istana mulai ramai. Para dayang sibuk membawa air, kasim berlari-lari kecil mengantar perintah, dan para menteri bergegas menuju aula utama untuk persidangan pagi. Di sudut istana timur, terdengar suara riang yang mengganggu keheningan.

“Lihat, lihat! Burung itu lucu sekali, kepalanya seperti punya topi!” seru Wang Ji sambil menunjuk seekor burung jalak yang hinggap di dahan.

Ia mengenakan jubah sutra kuning pucat, namun bagian bawahnya kotor karena ia sengaja duduk di rumput. Para kasim yang bertugas mendampinginya saling pandang, antara bingung dan jengkel.

“Pangeran, mohon berdiri. Tanahnya lembab, nanti pakaian baginda kotor,” ucap salah satu kasim dengan suara hati-hati.

Namun Wang Ji hanya tertawa lebar, matanya berkilat seperti anak kecil. “Apa salahnya kotor? Aku suka duduk di sini. Hei, kalau aku tarik ekor burung itu, kira-kira bunyinya jadi berbeda tidak?”

Beberapa dayang menahan napas, takut pangeran benar-benar melakukan itu. Mereka semua tahu, Putra Mahkota Siu Rong, adik tirinya, sering menjadikan kebodohan Wang Ji sebagai bahan olok-olok di depan pejabat istana.

Tapi kenyataannya, di balik senyum polos dan tawa riang itu, pikiran Wang Ji tajam seperti pedang. Ia tahu siapa saja yang diam-diam memperhatikannya, siapa yang menyebarkan kabar, dan siapa yang sedang mengatur siasat. Semua kepura-puraannya adalah topeng untuk menutupi kebenaran: bahwa ia sebenarnya tidak pernah kehilangan akal sehat.

-----

Di malam hari, saat semua orang mengira ia sudah tidur, Wang Ji biasanya duduk di ruang rahasianya. Hanya dua orang yang boleh menemuinya, Pengawal Jian dan Pengawal Luo, keduanya bersumpah setia bahkan rela mati untuk melindungi sang pangeran.

“Pangeran, hari ini Selir Ma memanggil tabib kerajaan. Alasannya ingin memeriksa kesehatan Pangeran Siu Rong. Namun kami curiga, tabib itu juga membawa ramuan beracun,” bisik Pengawal Jian dengan wajah serius.

Wang Ji, yang siangnya tampak kekanak-kanakan, kini berubah total. Wajahnya tenang, tatapannya tajam, dan suaranya rendah penuh wibawa.

“Seperti biasa. Mereka tidak pernah puas hanya dengan satu cara membunuhku,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Tapi jangan buru-buru bertindak. Biarkan mereka merasa menang. Semakin lama mereka yakin aku bodoh, semakin banyak kesalahan yang mereka buat.”

Pengawal Luo menunduk hormat. “pangeran, kapan rencana kita akan dijalankan?”

“Belum saatnya,” jawab Wang Ji. “Untuk sekarang, aku hanya ingin semua bukti terkumpul. Bukan hanya tentang racun yang mereka berikan padaku, tapi juga hubungan rahasia keluarga Ma dengan negeri utara. Jika itu terbongkar di depan ayahanda kaisar, tidak ada alasan bagi mereka untuk lolos dari hukuman.”

Setelah memberi perintah, Wang Ji kembali melamarnya dan berbaring. Ketika seorang kasim masuk membawa lampu, ia langsung kembali berakting menggelosor ke lantai, tertawa sambil memainkan bayangan tangannya di dinding.

“Lihat, lihat! Tanganku jadi naga! Roaarrrr~!” ujar Wang Ji

Kasim itu menghela napas, lalu melapor pada permaisuri bahwa pangeran masih bertingkah laku kekanak-kanakan.

-----

Keesokan harinya, Kaisar Siu Ming mengadakan jamuan pagi bersama para pangeran. Wang Ji duduk di sisi kanan, sementara Siu Rong dengan percaya diri duduk di sisi kiri, didampingi Selir Ma yang selalu menatap Wang Ji dengan senyum sinis.

“Pangeran Wang Ji,” suara kaisar berat, “kemarin aku mendengar kau membuat keributan di taman timur. Apa benar kau berteriak-teriak ingin menangkap burung?”

Wang Ji tersenyum lebar, mengangguk tanpa malu. “Benar sekali, ayahanda! Burung itu lucu sekali, aku ingin menjadikannya teman. Kalau burung bisa bicara, pasti aku tidak akan kesepian lagi, kan?”

Beberapa menteri menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan tawa. Siu Rong justru menyahut dengan nada mengejek, “Ayahanda, bagaimana mungkin seorang pangeran berperilaku seperti anak kecil? Ia sudah dewasa, tapi pikirannya tetap kekanakan. Bagaimana rakyat bisa menghormati pangeran yang seperti itu?”

Selir Ma menambahkan, “Yang Mulia, hamba mohon ampun jika bicara lancang. Tapi demi masa depan kekaisaran, mungkin sudah saatnya dipertimbangkan siapa yang lebih pantas untuk mendampingi Baginda dan menjadi penerus tahta.”

Ruangan hening. Semua orang tahu apa maksud. Selir Ma ingin putranya, Siu Rong, diangkat sebagai pewaris sah.

Wang Ji menundukkan kepala, pura-pura tidak mengerti. Ia mengambil buah anggur dari piring emas, lalu dengan polos berkata, “Kalau aku jadi kaisar, aku akan biarkan semua orang makan anggur sepuasnya, hahaha!”

Semua tertawa, sebagian mengejek, sebagian merasa iba. Kaisar Siu Ming hanya menghela napas panjang. Ia mencintai Wang Ji karena ia anak dari permaisuri sah, namun keadaan Wang Ji yang dianggap “bodoh” membuatnya goyah.

Tapi hanya Wang Ji yang tahu, setiap kata yang ia ucapkan hanyalah bagian dari sandiwara panjang.

---

Di balik semua tekanan itu, Wang Ji tetap menjalani hidupnya dengan caranya sendiri. Ia sering membuat kekacauan kecil menyembunyikan topi kasim, menumpahkan teh ke baju dayang, atau tiba-tiba berlari ke tengah lapangan sambil tertawa keras. Semua orang menganggapnya sekadar pangeran gila yang tidak berbahaya.

Namun diam-diam, setiap langkah itu ia gunakan untuk mengamati. Ia tahu selir mana yang berbisik dengan keluarga Ma, ia tahu pejabat mana yang menerima suap, bahkan ia tahu jalur rahasia yang digunakan Siu Rong untuk bertemu mata-mata dari negeri utara.

Malam-malamnya ia habiskan menuliskan catatan rahasia, menyusun daftar nama, dan merencanakan hari ketika semua musuhnya akan tersungkur.

Dan meskipun hidupnya penuh kepura-puraan, Wang Ji masih menyimpan sebersit harapan: suatu hari nanti ia akan bertemu seseorang yang melihat dirinya bukan sebagai pangeran bodoh, melainkan sebagai pria yang sesungguhnya.

Bersambung

Bab 3 - kekaisaran Bai

Sedangkan di tempat lain tepatnya di kekaisaran Bai, sebuah paviliun Giok Putih di Kekaisaran Bai selalu dipenuhi aroma obat-obatan. Wangi pahit ramuan ginseng dan akar kering menempel di udara, bercampur dengan semerbak bunga peoni yang sengaja ditaruh di vas-vas besar. Di sanalah Putri Bai Xue Yi tinggal, putri sulung Kaisar Bai Zeng dan Permaisuri Yi Zhu.

Sejak kecil, tubuhnya rapuh. Hanya sedikit angin dingin atau hujan tipis sudah cukup membuatnya demam berhari-hari. Karena itulah, hampir seluruh masa kecilnya ia habiskan di paviliun itu, ditemani tabib, dayang, dan sesekali kunjungan keluarga.

Meski disayang, ia merasa kesepian. Orang-orang menatapnya dengan iba, bukan kagum. Mereka melihatnya sebagai “putri lemah” yang tidak berguna.

----

Suatu pagi, Permaisuri Yi Zhu masuk ke kamar putrinya sambil membawa semangkuk bubur hangat. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya lembut namun lelah.

“Yi’er, ayo makan dulu,” ucapnya penuh kasih.

Putri Bai Xue Yi yang duduk bersandar di ranjang berukir, tersenyum lemah. “Ibu, aku tidak lapar….”

“Tidak boleh begitu,” sang permaisuri mengusap pipi anaknya. “Tubuhmu harus kuat. Kalau tidak makan, bagaimana bisa sehat?”

Saat itu, Kaisar Bai Zeng masuk dengan langkah mantap. Jubah naga emasnya berkilat, tapi wajahnya lembut saat melihat putrinya. “Putriku, ayah datang membawakan kabar baik. Besok, kita akan mengadakan jamuan keluarga. Kau harus ikut, meski sebentar.”

“Jamuan keluarga?” Xue Yi tampak ragu. “Tapi Ayah, kalau aku keluar terlalu lama, aku bisa sakit lagi.”

Kaisar tersenyum hangat. “Tak apa. Ayah hanya ingin semua orang tahu, betapa berharganya dirimu. Kau adalah putri pertama kekaisaran ini, darah daging ayah. Jangan biarkan siapapun meremehkanmu.”

Xue Yi terdiam, matanya berkilat haru. Ia tahu keluarganya sungguh menyayanginya. Hanya saja, cinta keluarga tak bisa menghapus tatapan orang luar yang selalu menilainya rapuh.

---

Sore itu, kakaknya, Putra Mahkota Bai Xiang, datang menjenguk. Ia membawa sekotak kecil manisan.

“Yi’er, aku tahu kau suka manisan plum. Ini kubawa khusus dari pasar,” katanya sambil duduk di sisi ranjang.

Xue Yi tersenyum. “gege selalu tahu caraku tersenyum. Terima kasih.”

Bai Xiang menepuk kepalanya lembut. “Yi’er, jangan bersedih terus. Kau memang sering sakit, tapi itu bukan salahmu. Ingat, kau tetap adik kesayanganku.”

Xue Yi menunduk. “Tapi Xiang Ge… semua orang menganggap aku lemah. Mereka bilang aku tidak pantas jadi tunangan anak penasehat istana. Bagaimana jika suatu hari dia meninggalkanku?”

Bai Xiang menatapnya serius. “Kalau ada yang berani menyakitimu, biar aku yang menghukum mereka.”

Xue Yi tersenyum tipis, tapi di hatinya, kegelisahan tetap ada. Ia tidak pernah benar-benar yakin pada tunangannya.

---

Beberapa hari kemudian, tunangannya, Li Wen, datang berkunjung. Ia adalah putra satu-satunya Penasehat Agung Li, pejabat tinggi istana. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan tutur katanya halus. Setidaknya, itulah yang dilihat orang luar.

Di hadapan Xue Yi, ia menunduk sopan. “Putri, apakah hari ini kesehatanmu membaik?”

Xue Yi tersenyum lembut. “Sedikit. Terima kasih sudah datang, Wen-ge.”

Li Wen duduk di kursi samping, tetapi tatapannya sekilas melirik dayang pribadi Xue Yi, Mei Hua, yang berdiri di belakang. Xue Yi tidak menyadarinya, tapi sebenarnya setiap kali ia menunduk, senyum tipis muncul di bibir Li Wen.

“Putri,” kata Li Wen pelan, “kau tidak perlu memaksakan diri ikut jamuan keluarga nanti. Jika tubuhmu tidak kuat, aku akan bicara pada Ayah Kaisar agar kau diizinkan beristirahat.”

Xue Yi menunduk. “Tapi aku ingin ikut. Aku tidak mau membuat Ayah kecewa.”

Li Wen pura-pura menghela napas prihatin. “Baiklah. Asalkan kau tidak sakit lagi. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”

Kata-kata itu membuat Xue Yi terharu. Ia benar-benar percaya bahwa tunangannya tulus.

----

Namun begitu Li Wen keluar dari kamar, ia tidak pergi jauh. Di halaman samping paviliun, Mei Hua menunggunya. Dayang itu berwajah cantik, lebih muda dari Xue Yi, dengan mata penuh ambisi.

“Bagaimana? Putri percaya padamu?” tanya Mei Hua sambil tersenyum genit.

Li Wen tertawa kecil. “Tentu saja. Ia terlalu polos untuk menyadari apapun.”

Mei Hua mendekat, membisik, “Kapan kau akan memberitahu keluargamu tentang aku?”

Li Wen mengelus rambutnya. “Sabar. Kalau Putri Xue Yi jatuh sakit lagi, cepat atau lambat ia tidak akan bertahan. Setelah itu, aku bebas memilihmu.”

Mata Mei Hua berkilat puas. “Aku sudah mulai memberi ramuan pada minumannya. Tubuhnya akan semakin lemah.”

Li Wen menepuk dagunya dengan lembut. “Bagus. Segera, kau akan jadi milikku.”

Mereka tertawa pelan, tak menyadari ada seorang dayang lain yang diam-diam melihat percakapan itu dari balik dinding bambu. Dayang itu bernama Lan Er, sosok pendiam yang jarang diperhatikan, tapi setia tulus pada Putri Xue Yi.

----

Malam itu, Putri Xue Yi kembali merasakan tubuhnya melemah. Tangannya gemetar saat memegang cangkir teh, wajahnya pucat.

“Ibu… kenapa aku selalu sakit?” bisiknya pelan saat Permaisuri menemaninya.

Yi Zhu menatapnya dengan mata berkaca. “Anakku, kau hanya kurang kuat sejak lahir. Jangan salahkan dirimu.”

Xue Yi menatap jendela, melihat bulan yang bulat sempurna. “Tapi semua orang menertawakanku. Mereka bilang aku hanya beban.”

Suaranya pecah, air mata jatuh di pipinya. “Kalau aku tidak ada… mungkin semua orang akan lega.”

Yi Zhu langsung memeluknya erat. “Jangan pernah berkata begitu, Yi’er! Kau cahaya dalam hidup Ibu dan Ayah. Tanpa kau, kami tidak punya kebahagiaan.”

Xue Yi terisak di pelukan ibunya, merasa hangat namun tetap kesepian di dalam hati.

----

Beberapa hari kemudian, saat jamuan keluarga hampir tiba, Mei Hua dengan wajah penuh perhatian menyajikan teh khusus pada Putri.

“Putri, ini ramuan tonik baru dari tabib. Katanya bisa menambah tenaga,” katanya lembut.

Xue Yi yang lemah hanya mengangguk dan meneguknya. Rasanya pahit, lebih pahit dari biasanya. Ia merasa aneh, tapi tubuhnya terlalu letih untuk mencurigai.

Tak lama setelah itu, pandangannya berkunang-kunang. Napasnya sesak, tubuhnya lemas. Ia terjatuh di ranjang, wajahnya pucat pasi.

“Putri!” Mei Hua berpura-pura panik, berteriak keras. Dayang lain berlari masuk, termasuk Lan Er yang langsung menangis ketakutan.

Tabib dipanggil, keluarga kerajaan datang tergesa-gesa. Kaisar Bai Zeng mengguncang tubuh putrinya, tapi tidak ada jawaban. Permaisuri Yi Zhu menjerit putus asa.

“Tidak! Putriku! Jangan tinggalkan Ibu!”

Putra Mahkota Bai Xiang menahan amarah dan kesedihan. “Siapa yang berani melakukan ini pada adikku?!”

Namun tabib hanya bisa menunduk. “Ampun, Yang Mulia… putri telah tiada.” Suasana paviliun berubah menjadi lautan tangis,

Ketika jenazah Putri Bai Xue Yi dibaringkan untuk disemayamkan, semua orang berkabung. Kaisar, Permaisuri, Putra Mahkota, bahkan selir-selir lain menangis. Tapi di tengah tangisan itu, ada perbedaan.

Mei Hua menangis dengan suara keras, tapi air matanya tak jatuh. Li Wen berwajah murung, tapi sorot matanya tenang.

Justru Lan Er, dayang yang jarang diperhatikan, menangis paling tulus. Ia berjongkok di samping ranjang, menggenggam tangan dingin sang putri, air matanya tak berhenti mengalir.

“Putriku… kenapa kau pergi begitu cepat? Aku hanya dayang kecil, tapi aku benar-benar menyayangimu. Andai aku bisa menggantikanmu….” Tangisannya begitu murni hingga membuat suasana kamar terasa lebih memilukan.

bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!