Nama gue Ayuna, tapi sebagian dari populasi manusia di bumi yang kenal sama gue manggil dengan sebutan 'Ayu' atau 'Yuna'. Gue tekankan kalo hanya sebagian ya, terkecuali keluarga gue, dan orang yang baru gue kenal satu bulan lalu.
Laki laki yang lagi berdiri diambang pintu rumahnya, memegang segelas kopi hangat di tangan, dan jangan lupa wajah khas bangun tidur itu. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh!
Oh astaga, sejak kapan dia berubah jadi kelelawar? Ya ga bisa disangkal kalo kemarin malam minggu. Tapi emang wajar ya?
"Abiyan!"
Kali ini bukan cuma Biyan yang menoleh pada sumber suara, gue pun demikian. Menatap seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk mengangkat jemuran disamping rumahnya. Biyan dengan rambut acak acakannya itu segera meletakkan kopi di meja.
"Kenapa, Bun?"
"Tolong bantu matiin kompor"
Untuk kesekian kalinya gue tersipu dengan senyuman yang Biyan punya. Gue ngga akan munafik, ga akan jauh berbeda dari cewek cewek yang memuja ketampanan pria itu disekolah. Biyan memang memiliki senyuman yang manis, berbanding terbalik pas waktu lagi sama gue, sok cool!
"Dek Nana"
"Apa?!"
"Kaget begitu, ngeliatin siapa?" Kali ini Bunda clingak clinguk, menatap jalanan yang cukup sepi. Terutama pada rumah Biyan yang berada tepat didepan rumah gue.
"Ngga ngeliatin siapa siapa" ucap gue sedikit gugup. Gue kembali menyantap kudapan makan siang sebelum lauknya dingin.
"Makan di dalem ih, ntar debunya masuk ke makanan"
Gue hanya diam, menikmati makanan tanpa peduli dengan suruhan Bunda. Tak bisa di sangkal dan tidak ada yang bisa menyangkal saat gue makan di teras. Lagian makan sambil ngeliatin pemandangan depan rumah lebih enak dari pada sambil nonton youtube kan?
Huh, tapi engga bagi Jihan! Dan itu juga salah satu alesan gue kenapa lebih suka makan sendiri di teras. Karena ngga mau kebrisikan sama suara dari HP Jihan.
"Bunda ngapain panggil?"
"Cuma mau minta tolong antar makanan ke rumah Abiyan"
"Kenapa ga Jihan?"
"Kakak kamu katanya lagi ngurusin skripsi"
"Skripsi apaan kok main oli?" Selain suka nonton, Jihan juga suka bermain motor. Sejenis modifikasi? Atau apalah itu. Dia bahkan sering ngebuat gue jengkel dengan suara kenalpot setannya itu di pagi hari.
"Bunda juga ga tau, makannya kamu ya?"
"Idih ga mau, lagian bunda ada hajatan pake bagi bagi makanan segala?"
"Masak kebanyakan"
"Sejak kapan?" Kali ini tatapan gue mengintimidasi.
"Waktu mereka pindah kan sempet bagi makanan sama kita, bunda belum sempet balikin" Bunda menyentuh rantang yang sembari tadi dia pegang. Oh ternyata itu milik bundanya Biyan?
"Kenapa ga bunda aja yang balikin?"
Bukannya ngga mau, tapi setiap gue ketemu sama Biyan rasanya jadi agak canggung karena sikap dia yang cuek. Bahkan setelah satu bulan dengan mode tetanggan dan satu sekolahpun ngga pernah bisa ngebikin kita temenan kaya yang lain.
"Bunda bagian cuci piring aja" Bunda kali ini meletakkan rantangnya dimeja dan meraih piring kosong yang masih gue genggam.
"Lagian supaya akrab"
"Sama siapa?" Gue berdiri, menenteng rantang itu sebelum beranjak.
"Sama calon mertua"
Gue menghela napas, menatap bunda yang sudah lebih dulu masuk. Ekspresi apa yang harus gue tunjukkan? Bahkan saat kedua emak emak itu sering menjodohkan kita berdua, tidak ada satupun ekspresi yang bisa kita sama sama tunjukkan.
"Permisi!" Gue membuka gerbang rumah Biyan sebelum seseorang keluar dari dalam rumah. Lagian gue juga ga mau lama lama kepanasan diluar, terlebih gue akui suara gue ga cukup keras untuk terdengar sampe dalem.
"Bunda mau balikin rantang"
Sebenernya gue terkejut, tapi gue berusaha mengontrol ekspresi wajah saat ngelihat Biyan dari dekat. Masih dengan baju yang sama dan keberantakan rambut yang sama, namun kali ini picingan mata terlihat lebih jelas dari sebelumnya.
"Kok berat?"
"Kata bunda masak terlalu banyak"
"Siapa, Biyan?!"
Pria itu sejenak berbalik, ga tau siapa yang lagi dia lihat tapi gue bisa pastiin dia lagi ngelihat ke arah Bundanya.
"Nana, bawa makanan" ga salah kan omongan gue diawal tadi, kalo cuma keluarga gue sama Biyan aja yang manggil gue dengan sebutan 'Nana'.
"Mampir?"
Gue refleks menggeleng, "langsung aja, salam buat tante"
"Oke"
Panggilan itu terjadi karena saat hari pertama keluarga Biyan pindah, bunda panggil gue dengan nama itu cukup keras. Tepat saat Biyan lagi nganterin makanan juga dan gue yang nerima itu.
Ga terlalu ekspek bakal jadi keterusan, karena bisa gue akui kalo itu emang nama yang cuma orang rumah aja yang pake.
Atau mungkin suatu hari nanti, dia bakal jadi serumah sama gue? Oh bahkan ngebayanginnya aja gue hampir gila.
...***...
Gue sama Biyan emang satu sekolah, tapi kita beda kelas. Selain tetanggan di komplek, gue sama Biyan juga tetanggaan kelas. Jadi ga jarang gue sering liat dia lewat pas gue sama temen lagi nongkrong didepan kelas.
Bahkan dihari inipun, disaat yang lain bengong setiap ketemu sama Biyan, gue justru bingung apa yang pantas di bengongin dari laki laki itu.
Tidak ada yang berubah dari kemarin. Bahkan wajah Biyan masih sama seperti saat satu bulan dia datang kesekolahan ini. Tapi mereka selalu tidak habis topik jika membicarakan Biyan.
"Biyan anggota basket disekolah lama ya?"
Gue mendengus, setiap apapun aktivitas yang gue lakuin sama ni anak. Selalu saja membahas Biyan. Tentang makanan kesukaan Biyan, Biyan berangkat sekolah naik apa, Biyan pelihara anjing galak, Biyan mantan ketua tim basket.
Oh ayolah, gue bahkan sampe bosen denger nama 'Biyan' terus dari mulut Kara.
Gue tau sebagian dari manusia yang ada disekolahan ini obses sama anak baru itu. Tapi cuma Kara yang terlihat lebih dari seorang panggemarnya Biyan untuk saat ini.
"Eh, Na! Menurut lo Biyan lebih suka coklat mint atau engga?"
"Kaya makan odol" entah apa yang baru aja gue omongin. Cuman sepekan yang lalu, saat Biyan datang kerumah dan lagi main game sama Jihan. Gue sekilas denger kali Biyan ga suka coklat mint, ya kurang lebih sama kaya yang barusan gue bilang ke Kara.
"Tau dari mana lo?"
Gue menoleh, "cuma nebak"
Karamel, dia harusnya ga seheboh ini sama cowok! Karena dia udah punya pacar yang bisa gue bilang lebih ganteng dari Biyan.
Gue menghela napas, Kara lebih sibuk dengan ponselnya. Sebelas dua belas sama Jihan! Dengan dalih lagi chatan sama Daffa, pacarnya. Padahal mah lagi sibuk stalk instagram Biyan yang ga ada postingan satupun. Bahkan ga ada profilnya, cuma ada satu sorotan ga jelas yang sampai detik ini gue aja ga ngerti kenapa dia masih nyimpen video itu.
"Daffa di kantin, join ga?"
Gue menggeleng pelan. Ini masih pagi dan gue udah sarapan nasi goreng buatan Bunda tadi. Demi menyelamatkan uang saku yang di potong Ayah karena seling telat bangun subuh, gue lebih baik jarang datang ke kantin, atau akan tamat gue ga bisa balik.
Ya! Gue ga ada di beliin motor. Katanya biar sama kaya Jihan waktu SMA, Jihan bahkan baru punya motor setelah kuliah. Kata Bunda sih dari uang tabungannya semasa sekolah, tapi gue ga percaya! Pasti ada campur tangannya bunda. Lagian Jihan emang anak kesayangan bunda. Bikin iri aja!
"Siapa tau ketemu Biyan, yuk!"
"Gue udah kenyang!" Seruan gue membuat Kara sedikit mendegus kesal.
Gue tau dia kemana mana harus sama gue, tapi emang boleh seharus ini?
"Ya udah iya!" Decak gue sebal. Kali ini permintaan Kara tidak bisa gue tolak lagi, lagi, dan lagi.
Sesuai dugaan, Biyan ada disana bersama teman temannya. Kayanya yang lebih tepat adalah teman teman barunya ga sih? Haris, Daffa, dan Gibran, cuma itu.
Pria kutup utara itu harus berkelahi dengan tiga pria menye menye. Bahkan udah gue pastiin kalo sebentar lagi Biyan akan jadi buaya seperti ketiga manusia itu.
"Bu, nasgor level satu!"
"Sayang!"
Gue menghela napas saat Kara meneriaki nama Daffa. Membuat seisi kantin menatap kearah ini tanpa ragu. Gue udah biasa, tapi Biyan? Pria itu memang memasang raut wajah biasa saja, tapi gue yakini dia pasti heran dengan kelakukan Kara yang bar bar itu.
"Kamu belum makan?"
"Pesen buat Haris, sayang"
"Level satu cupu amat" Kara melirik pada Haris yang sembari tadi berkutat dengan ponselnya. Tentu saja saling mengumpati lawan mainnya, si Gibran yang sembari tadi diam saja.
"Bangs,"
"Haris gue pukul ya pala lo!" Siapa lagi kalau bukan Karamel. Gadis yang duduk ditengah antara Daffa dan Haris.
Sementara gue? Mojoklah biasa, berusaha bodo amat dengan kebucinan kedua manusia itu, dan ga begitu akrab dengan manusia sisanya.
"Na, pesen apa?" Kara menatap ke arah gue yang udah lebih dulu menggelengkan kepala.
"Gue traktir"
Engga deh! Lagian gue udah sering banget di traktir Kara. Gue tau Kara anak orang kaya, kalo bisa disebut keturunan konglomerat yang uangnya ga akan habis sampe tujuh turunan. Tapi bukan karena itu kan persahabatan gue sama Kara terjalin?
"Udah deh, ice black kaya biasa?"
Gue menghela napas pasrah saat Kara memesan, bersamaan dengan pandangan Biyan yang tertuju ke arah gue.
"Inget asam lambung!" Seru Haris dibarengi dengan ponselnya yang sudah tegap. Pria dengan potongan undercut itu kali ini meletakkan benda pipihnya dimeja, sebelum membuka kotak rokok yang baru saja dia beli diwarung depan sekolah.
"No smoking area, Ris" sindir Kara.
"Gua ga ada riwayat asam lambung" sela gue, kali ini gue bisa melihat Haris memasukkan kembali rokok yang sudah dia buka kedalam saku celana.
Gue baru ingat kalo dia satu satunya yang berani membawa rokok ke sekolah.
"Siapa tau?"
"Ga ada yang tau" kali ini Gibran menyimpan ponselnya disaku, tepat saat pesanannya datang, segelas kopi susu yang dibarengi dengan pesanan Haris.
"Makasih, Bu"
"Njih sama sama, Mas"
"Kar, gue ke kelas deh"
"Apaan masih lama lagi"
"Fisika gue!" Bukan menghindar atau pengalihkan isu. Jam masuk akan bunyi lima belas menit lagi dan gue baru ingat kalau ada PR fisika. Gue otomatis meraih ice black coffee dan membawanya pergi dari kantin secepat mungkin.
"Nana!"
"Apa sih, bang" pemandangan apa ini? Bahkan gue baru saja bangun dan ngambil wudhu sudah harus dihadapkan dengan manusia berpeci diteras rumah?
Detik dimana Adzan berkumandang, gue mengedipkan mata. Tak biasanya Biyan datang sepagi ini?
"Ambilin sarung, gue mau ke mesjid"
"Ambil sendiri napa sih" gerutu gue sambil berjalan masuk. Tepat saat Bunda dan Ayah yang baru saja keluar dari kamar, untuk mengambil wudhu.
"Ambilin!"
Mau tidak mau! Dasar Jihan kampret!
"Masih subuh udah teriak teriak"
"Anak Ayah tuh" sindir gue, sebelum akhirnya meraih sarung yang biasanya di gantung dibelakang pintu kamar Jihan.
"Tumben bangun duluan, Dek?"
"Ntar dipotong lagi uang sakunya!" Seruan suara gue mungkin terdengar sampe luar, bahkan saat gue mau ngelempar sarung itu ke Jihan aja dia udah lebih dulu mengerutu.
"Itu sholatnya ga ikhlas, cuma demi uang satu"
"Sok tau banget, udah sana keburu telat jama'ah-nya"
"Dari tadi nungguin lo lama, mlekom" ucapnya sambil melangkah keluar gerbang.
"Yang bener, abang!"
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam" gue memelankan suara saat lampu didepan rumah Biyan menyala.
Keluarga Biyan saja baru bangun, tumben pria itu udah lebih dulu bangun? Biasanya saja masih molor dan bangun dzuhur atau gue aja yang akhir akhir ini sering telat subuh?
"Adek ayo jama'ah"
"Iya, bunda!"
Gue ga tau apa yang selama ini gue tekanan sama diri gue sendiri. Sesuai omongan Jihan yang bilang ini semua demi uang saku, atau memang karena gue udah terbiasa dengan rutinitas ini?
Gue akui, keluarga gue ga seagamis itu. Cuman sejak kecil, Ayah selalu ngajarin kalo lebih baik sholat mepet dari pada engga sama sekali. Tapi selagi bisa diawal kenapa engga?
Ya walau habis itu gue milih buat tidur lagi sih, tapi buat hari ini gue kayanya ga terlalu ngantuk. Mungkin karena kemarin habis isya' langsung tidur kali ya?
Tepat saat gue baru saja keluar bawa derijen buat nyiram tanaman, Jihan dan Biyan pulang. Tentu dengan Jihan yang acak adut dan Biyan yang masih rapih seperti awal berangkat tadi.
"Pake cinta, biar tumbuhnya sehat"
"Sini gue siram juga lo biar sehat" sindir gue sambil melirik ke arah mereka berdua.
"Buatin kopi item dong"
"Lo nyuruh gue?" Ucap gue sambil terus menyiram tanamanan yang belum kena air.
"Gue ga ada nyuruh kunti disebelah lo ya"
"Jirih amat!" Desis gue, dengan sekali lagi terpaksa gue masuk dan membuat dua gelas kopi hitam panas. Tentu untuk Jihan dan Biyan yang katanya akan main game di teras. Kayanya ini akan jadi rutinitas baru Jihan! Tapi ga papa juga karena sepet lama lama kalo cuma ngeliatin temennya Jihan doang.
Sebelum gue bener bener naruh dua gelas kopi itu, Jihan sudah mulai berkutat dengan gamenya. Sementara Biyan? Bahkan pria itu baru saja ingin duduk setelah mengembalikan peci dan sarung. Tersisa kaus hitam dan celana cargo army yang dia pakai.
"Lo minum kopi kan?"
"Thanks" Biyan mengangguk.
Tapi kayanya, biskuit lebih menarik dari pada kopi buatan gue. Gue emang sempet ambil setoples biskuit juga buat jadi temen ngopi.
"Bang kemarin Sarah kesini" gue kembali melanjutkan aktivitas gue yang belum selesai, sambil bicara dengan manusia penuh ego seperti Jihan.
"Ngapain?"
"Sekarang gue tanya, lo uninstall WA apa gimana sih?"
"Kagak!"
"Dia ada WA ga lo bales, bego"
"Iya ya? Ntar gue buka"
Jihan itu bego sekaligus tolol, tapi kalo gue boleh bilang, Sarah yang lebih dari itu. Bisa bisanya suka sama modelan kaya Jihan.
Sudah berapa kali Sarah datang hanya untuk menanyakan dimana Jihan, karena tidak membalas pesannya hampir dua hari penuh. Padahal ya kerjaan dia cuma main game sama main motor aja? Sesimple itupun susahnya minta ampun buat ngabarin sebentar?!
Oh ayolah, bahkan gue gedhek sama ni anak!
"Gimana, Yan? Sekolah lo seru ga?"
Kali ini gue sedikit memasang telinga.
"Lumayan cepet sih adaptasinya" gue bisa lihat kali ini Biyan sudah memposisikan ponselnya.
"Adek gue gathel ya"
"Dih enak aja!" Seru gue.
"Gathel tu kuping, nguping mulu kerjaan lo!"
Gue bisa lihat Biyan tersenyum. Seperti biasa, manis. Berbeda saat tersenyum bersama teman temannya atau menyahuti panggilan Bundanya. Kali ini Biyan tersenyum disela bermain game. Bukankah itu, ah bahkan gue ga tau harus deskripsiinnya gimana lagi!
"Oh ya katanya Bu Sella pensiun?"
"Hooh" kali ini gue kembali bersuara. Melangkah kembali masuk setelah semua tanaman tersiram.
"Dia ngajar matkul seni, dikelas lo ada ga?" Senggol Jihan.
"Permintaan sih, kayanya gurunya bukan itu"
Buat saat ini kayanya energi gue udah cukup habis, walau cuma nyiram tanaman aja sih. Tapi gue memilih buat tidur walau ngelihat bunda sibuk nyiapin sarapan dan ayah yang ngurusin ikan peliharaannya di kolam belakang rumah.
Bahkan gue melewatkan sarapan sama Biyan karena kata Jihan susah di bangunin.
...***...
Selepas anterin Bunda ke pasar sore. Gue milih nongkrong di teras, sama Kara. Ya, gadis itu datang sepuluh menit sebelum gue sampe rumah. Bahkan ditemani Daffa dan Biyan.
Kenapa sih hari ini gue harus ketemu Abiyan terus? Kaya bosen tapi engga, ngerti ga?
Biyan dengan hoodie dongker dan celana panjang abu abu, stelan yang tentu berbeda dari pagi tadi. Wangi vanilla yang mulai sekarang akan jadi ciri khasnya Biyan mulai semerbak.
"Kalian mau minum apa?"
"Ngga usah, tante. Kita mau keluar kok" kali ini suara Kara mendominasi. Tidak ada breafing apapun, kenapa gadis itu mengatakan hal demikian? Membuat tatapan Bunda jadi aneh saja!
"Boleh ga?" Nada bicara gue terdengar cukup pelan.
"Oh begitu ya"
"Bun,"
"Kamu tanya Ayah," ucap Bunda pelan sebelum kembali masuk ke dalam.
"Kar, lo yang bener aja! Jam berapa ini?!" Suara gue emang pelan tapi penuh tekanan. Daffa dan Biyan yang sembari tadi ngeliatin kita berdua hanya bisa diam.
"Jam lima"
"Kalian pergi aja bertiga, gue pasti ga bakal diijinin" gue sedikit menunduk.
"Biar gue bantu omong"
Kara, Daffa, dan gue bersamaan menoleh. Menatap Biyan yang justru memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
"Yang penting jangan lupa sholat kan, Na?"
Gue diem, sejak kapan Biyan memperhatikan hal hal tentang gue? Oh atau gue aja yang ke-pd-an?
Pria itu beranjak saat Ayah datang sambil membawa sekotak rokok di tangannya. Jangan lupa korek api yang ada di sisi rokok itu. Gue dan pasangan sejoli itu lebih memilih menjauh dari pada harus menerima fakta yang tidak sesuai ekspektasi nantinya.
Gue ga tau apa yang Biyan omongin sama Ayah sampe akhirnya dibolehin keluar jam segini. Padahal biasanya, jam lima sore adalah jam terlarang bagi gue dan Jihan melewati gerbang rumah.
Jadi, disinilah gue sekarang. Diatas motor vario berdua bersama Biyan dengan keadaan canggung. Mengikuti Daffa dan Kara yang jadi petunjuk arah.
"Lo bilang apa ke Ayah?" Tanya gue sedikit berteriak, bersamaan dengan kaca helm yang gue naikin.
"Kalau Adzan pasti mampir dulu ke masjid, jangan lupa ga boleh sampai jam sepuluh"
Gue tersenyum. Ga tau kenapa, tapi rasanya sedikit sejuk aja pas dia ngomong kayak gitu. Walaupun gue ga tau yang Biyan omongin itu fakta atau cuma omongan yang dibuat buat buat.
"Kenapa?"
"Apanya?" Gue sedikit mendekat.
"Kok diem?"
"Engga, tumben aja Ayah ngijinin. Biasanya sebelum magrib rumah udah harus dikunci"
"Takut maling masuk?"
"Takut setannya masuk ga bisa keluar, kata Ayah ntar malah anak anaknya ngikutin jadi setannya" gue menatap spion, menampilkan Biyan yang tersenyum sambil terus fokus nyetir. Bukannya seneng gue malah jadi ragu, ga mungkin kan tadi pas gue senyum senyum dia ga ngeliat
Oh ayolah! Gue malu!
"Kita mau kemana?"
"Ga tau" ucap gue.
"Bisa request jangan jauh jauh ga sih?"
"Kenapa?"
"Takut kemaleman nganterin lo lah"
"Bukan perkara jauh atau deket, perkara nongkrongnya lama atau engga" degus gue. Gue ga akan bisa nyangkal hal itu. Kalau udah sama Daffa dan Kara ditambah kehadiran dua kurcaci itu pasti akan berujung main game berjam jam.
Untung saja hal yang sudah gue pastikan terjadi tidak terjadi buat hari ini. Ngga ada Haris ataupun Gibran dan itu artinya kita bisa pulang lebih awal. Walaupun dengan dalih takut dimarahin Ayah dan ninggalin dua bucin itu di cafe.
Kurang lebih, jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Tepat saat Biyan berhenti di depan gerbang rumah.
"Udah ngantuk?"
"Dikit"
"Gih, besok upacara"
"Emang lo yakin besok upacara?"
Biyan mengangguk pelan. Bukannya kembali menyalakan motor dan pulang, dia justru membuka ponselnya.
"Nomor lo?"
"Aneh ya kita," gue terkekeh sambil mengisi nomor WA gue di ponselnya "udah hampir dua bulan tetanggan ga saling save"
"Sebenernya buat apa juga, kalo apa apa tinggal saling teriak"
Gue tergelak, menyerahkan kembali ponselnya.
"Ya kali kalo misal lo minta di bangunin gue teriak kaya orang tolol"
"Boleh dicoba besok"
"Perlu pake pentungan ga?"
"Iya, kan sambil ngeronda buat bangunin saur" Biyan menyalakan motornya dan mulai beranjak.
"Mimpi indah"
Gue tersenyum, ga reflek tapi beneran senyum yang gue buat dari diri gue sendiri. Rasanya kaya ngelihat diri Biyan yang beda aja dari hari hari lalu. Dia jauh lebih sweet semenjak ngobrol sama Ayah tadi. Ya walau ga cuma sekali dua kali gue tau dia sering ngobrol sama orang rumah.
"Abi!"
Gue menoleh, bukan kaya suara Bundanya Biyan. Tapi suara perempuan, itu terdengar lebih lembut, dan seperti panggilan yang dia serukan karena sudah lama gak saling sapa, sedikit bergetar.
Kita ketemu lagi di malam minggu berikutnya, setelah minggu lalu pergi bersama sejoli bucin itu. Kali ini gue justru malah ngelihat Biyan yang dipeluk seorang gadis, tepat didepan gerbang rumahnya yang hampir di buka.
Sepuluh menit lalu Biyan datang untuk ngasih brownis buatan Bundanya, dan ngobrol sedikit sama gue. Salahnya gue justru nungguin dia dulu biar sampe masuk kerumah. Kenapa ga langsung gue pergi aja, dari pada harus ngelihat hal semacam ini?
Cemburu? Iya sedikit, karena gue ngerasa udah deket sama Biyan. Tapi justru faktanya, ada yang jauh lebih deket sama Biyan. Udah sampe peluk pelukan segala, kalau Bundanya Biyan tau gimana?
"Hayo nangis?"
Gue mendongak saat Jihan baru saja keluar dari kamarnya, dengan jaket yang masih dia sampirkan dibahu.
"Sok tau!"
"Emang udah berhak cemburu padahal ga ada status?"
Kamar Jihan emang bisa diakses untuk ngelihat jalanan. Yang otomatis bisa ngelihat pelataran rumah Biyan juga, itu artinya dia tadi ngeliat cewek itu meluk Biyan kan?
"Kalo mau cemburu minimal pacaran"
"Siapa yang pacaran?"
Sebelum pertanyaan Bunda barusan, gue udah lebih dulu melayangkan pukulan ke Jihan. Pria itu memang! Ish! Rasanya selalu ingin gue buang ke laut yang jauh sampai di makan Paus Orka.
"Sarah sama Jihan!"
"Abi sama Nana!"
Bunda menghela napas, tepat saat gue berteriak pada Jihan yang sudah lari keluar rumah.
"Masih sekolah loh, Na"
"Nana ga ada pacaran sama Abiyan, Bun"
"Percaya, tapi batasi kedekatan kamu ya"
Padahal waktu itu, Bunda sendiri yang bilang kalau mau dijodohin? Tapi kenapa disisi lain jauh berbeda omongan?
Gue menghela napas resah. Lagi pula gue juga ga berharap, kenapa kesannya kaya gue berharap banget?! Padahal gue sama Biyan aja udah jauh beda dari sisi manapun. Dibandingkan cewek itu? Huh, melelahkan jika harus bersaing.
"Nanti kalau sudah lulus SMA gapapa"
"Sama Abiyan?"
Bunda kali ini tergelak, "memang harus sama Abiyan?"
"Nana emang suka sama Abiyan, karena mirip Ayah"
Polos sekali, seperti Bunda waktu muda. Itu yang sering Bunda bilang saat percakapan percakapan kaya gini tercipta antara gue sama Bunda.
Tapi dari awal gue ga pernah bilang kalo ga suka kan sama Biyan? Biyan agamanya bagus, anaknya pinter akademik dan non akademik, ganteng juga. Siapa yang ngga suka sama Biyan?
"Bilang suka boleh, tapi kalau pacaran jangan dulu ya" Bunda kali ini menepuk puncak kepala gue, sebelum meninggalkan gue menuju dapur.
Kalau saja gue berani bilang ke Biyan. Mungkin besar kemungkinan pria itu akan menolak, tapi sedikit kemungkinan diterimapun pria itu tetap tidak bisa menjadi pacar gue.
Seperti Sarah dan Jihan. Bahkan kedua manusia itu baru dapat restu dari Ayah satu tahun setelah Jihan kuliah. Bagaimana kabar gue nanti? Pasti akan jauh lebih lama, dan ga akan ada yang bisa nunggin gue. Termasuk Biyan.
Gue menghela napas, merebahkan tubuh ke ranjang dari pada harus memikirkan hal hal bodoh seperti barusan. Terlebih dengan gadis itu. Walau tidak bisa dipungkiri gue juga penasaran siapa dia.
Tepat saat mata gue terpejam, suara dering ponsel terdengar. Tanpa tau nama dilayar itu, gue langsung mengangkatnya.
"Lo dimana?"
Dengan kejut, gue terduduk, menatap ke arah pantulan diri gue di kaca yang bertengger di depan.
"Kenapa, Na?"
"Oh enggak, gue di kamar" gue sedikit menormalkan nada bicara gue, bangkit dari duduk sambil menutup jendela karena waktu sudah hampir larut.
"Kenapa, Bi?"
"Tadi Bang Jihan pergi sama Mbak Sarah?"
"Gue ngga tau" ucap gue pelan.
Lagian kenapa sih dia telfon? Kaya rumah gue sama dia dari sabang sampe merauke aja. Ngebahas Jihan lagi, emang ga ada topik yang lebih penting?
"Ada hal penting?"
"Engga, cuma lagi bosen aja"
"Tumben, Bi" gue duduk dikursi belajar, bermain dengan pulpen "ngga jama'ah ke masjid?"
"Hari ini libur dulu"
Kenapa jadi secanggung ini? Kita sama sama diam sampai gue bisa denger suara Bunda Biyan memanggil namanya.
"Bunda panggil tuh"
"Udah tau, lagian males turun juga"
Gue baru tau kalo kamar Biyan ada di lantai dua. Tapi gue udah lebih dulu tau rumah itu memang punya lantai tingkat. Berbeda dari rumah gue yang luas namun hanya memilki satu atap.
"Bunda ada buat salah ya?" Gue mendongak, menatap lampu yang sampai kapanpun tidak akan berpindah dari posisinya. Jujur gue selalu bingung kalo cuma dihadapkan sama pria ini, ditambah topik percakapan bersama Bunda tadi.
"Engga"
"Terus?" Dengan pelan gue kembali beranjak, berjalan keluar kamar tanpa mempedulikan Bunda yang masih saja sibuk masak. Tentu untuk duduk di kursi teras.
Kali ini pandangan gue tertuju pada motor yang cukup asing bertengger di halaman rumah Biyan.
"Lagi males aja"
Sebelum seorang gadis muncul dari balik pintu bersama Bunda nya Biyan. Gue ngga tau pasti percakapan apa yang terjadi. Tapi gadis itu memang seperti sedang berpamitan untuk pulang.
Dimana Biyan?
"Ngapain di teras?"
Gue sedikit mendongak, menatap jendela kamar yang gue yakini milik Biyan itu terbuka. Pandangan pria itu tertuju pada gue setelah menatap kedua manusia lainnya di halaman rumah.
"Cari angin"
"Bukannya cari penyakit?"
Gue cuma diem saat Biyan kembali melihat ke arah gadis itu, saling tatap.
"Gue matiin deh"
Sebelum akhirnya panggilan kita bener bener selesai. Gue menatap raut wajah Biyan yang berubah masam. Bersamaan dengan suara terakhir Biyan di panggilan, tangannya pun menutup jendela itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!