NovelToon NovelToon

Gadis Desa Kesayangan Sang Suami

Terpaksa menikah

“Saya terima nikah dan kawinnya Khansa Mazaya dengan mas kawin uang sebesar lima juta dibayar tunai!!”

“Sah?”

SAH!!!!

Airmata Khansa meneteskan air mata saat dirinya dinyatakan sah menjadi istri seseorang, yang tidak lain adalah Zidan Amar. Teman masa kecilnya yang sudah pergi selama bertahun-tahun, tapi sekarang saat dia sudah menjadi suaminya.

“Sayang, selamat ya? Sekarang, kamu sudah menjadi seorang istri. Ingat pesan mama, jadilah istri yang baik.” Khansa hanya mengangguk, menatap suaminya yang hanya duduk tanpa ekspresi.

“Khansa, terima kasih karena sudah mau menerima permintaan nenek, sehingga pernikahan ini bisa terjadi. Maaf, jika pernikahannya hanya sederhana. Kamu tau sendiri, jika ini terjadi begitu cepat. Semua persiapan hanya seadanya. Tapi, tante janji. Saat kamu kita ke jakarta nanti, tante akan adakan pesta pernikahan yang meriah.”

Dengan cepat Khansa dan Zidan menggeleng bersamaan. Tentu saja mereka tidak ingin melakukan itu, dengan alasan yang berbeda.

Yang dimana Zidan tidak ingin semua teman-temannya tau pernikahannya, apalagi sampai kekasihnya mengetahui jika dirinya telah menikah saat pergi ke kampung halamannya.

Sedangkan Khansa sendiri, sangat tidak menyukai acara besar. Apalagi itu akan membuatnya lelah. Lagipula, akan lebih baik jika uangnya ditabung daripada harus digunakan untuk mengadakan acara yang menurutnya tidak begitu penting.

Semua orang terlihat bahagia begitu juga dengan nenek Fatimah yang kini terbaring lemah, di ranjang rumah sakit.

Yap! Benar sekali. Pernikahannya terjadi di rumah sakit, tempat dimana nenek Fatimah. Yang tidak lain nenek Zidan dari ibunya.

Karena kondisinya yang lemah, mengharuskan mereka semua melakukan akad di hadapan beliau.

Namun, kedua mempelai terlihat tidak bahagia. Karena memang pernikahan ini terjadi tidak atas kehendak hatinya.

“Nak Zidan. Sekarang, Khansa sudah menjadi tanggung jawab kamu sepenuhnya. Bahagiakan dia, jangan pernah menyakitinya. Jika suatu hari nak Zidan merasa pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan, kembalikan Khansa dengan baik-baik. Atau, beritahu bapak. Detik itu juga bapak akan menjemput Khansa.” Zidan hanya mengangguk pelan.

Khansa kembali terisak, menatap sang ayah yang dengan tabahnya harus menyerahkan putrinya kepada laki-laki yang, dirinya sendiri tidak begitu mengenalnya.

Meskipun, ayah Khansa juga tau jika Zidan adalah teman masa kecil putrinya yang sudah lama tinggal di jakarta.

Flasback

“Khansa!” Panggil seseorang dengan nada yang tinggi. Hingga membuat sang punya nama terjingat kaget.

“Mama, kenapa si ma? Bikin kaget aja, Khansa masih nyari-nyari universitas buat lanjut kuliah.”

“Sayang, ikut mama sekarang! Ada hal yang sangat penting. Semua orang sedang nunggu kamu,” beritahu Farah selaku ibu Khansa.

Khansa mengernyitkan keningnya bingung, apa yang dikatakan ibunya tidak sampai ke kepalanya.

“Ada apa si ma? Semua orang sedang nunggu Khansa? Memangnya apa yang Kansa lakukan?” tanya Khansa yang benar-benar bingung.

“Sudahlah, ikut mama. Kamu akan tau nanti, tapi sekarang kamu ikut mama.” Farah menarik tangan Khansa agar beranjak dari meja belajarnya.

Dengan gontai Khansa berjalan mengikuti ibunya menariknya. Saat tiba di halaman depan rumah yang sangat ramai. 

Khansa menegakkan tubuhnya, melihat sekeliling yang terdapat begitu banyak orang. Matanya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang duduk menatapnya.

Tiba-tiba Khansa merasa sangat canggung, karena semua orang melihat ke arahnya.

“Ma, ini ada apa sih? Kenapa semua orang ada di sini?” bisiknya sambil menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal.

“Kamu akan tau, sekarang kita duduk dulu. Semua udah nunggu kamu, ada hal sangat penting yang akan mereka sampaikan.”

“O-oke, bisa katakan sekarang? Khansa nggak bisa lama-lama di sini. Ada hal penting yang akan Khansa lakukan.”

“Khansa, akan lebih baik kamu duduk lebih dulu,” pinta Tama yang tidak lain adalah ayah Khansa.

Khansa langsung duduk di kursi yang ada di dekatnya. Kembali menatap sekitar yang masih melihat ke arahnya.

Tunggu! Khansa melihat orang yang duduk di depannya. Ia merasa tidak asing dengan seorang wanita dan laki-laki yang duduk bersebelahan.

“Khansa, kamu ingat sama tante?” tanya wanita yang sejak tadi menatap Khansa.

Khansa terdiam, ia masih mencoba mengingatnya. Baginya sangat tidak asing, mungkinkah mereka pernah bertemu?

“Khansa minta maaf tante,” ucapnya yang merasa tidak enak hati.

Wanita itu tidak marah, ia justru memperlihatkan senyumannya pada Khansa. Hal itu membuat Khansa semakin bingung.

Khansa terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tidak memahami situasi sekarang ini, membuatnya semakin canggung. Apalagi melihat laki-laki yang duduk di sebelah wanita itu.

Yang diperkirakan usianya sama dengannya, sejak tadi laki-laki itu terus menatap Khansa dengan tatapan yang Khansa sendiri tidak mengerti.

“Khem!! Apa bisa katakan sekarang? Situasinya sedikit kurang nyaman.”

“Baiklah, ayah akan mulai. Ayah akan perkenalkan lagi, wajar aja kamu lupa. Ini tante Ais, anak dari nenek fatimah. Dan disebelahnya itu putranya, Zidan. Dia teman masa kecil kamu yang pergi ke jakarta. Sekarang apa kamu ingat?” jelas Tama.

Khansa menelan salivanya, menatap dua orang yang terlihat tidak asing baginya— ternyata memang Khansa sangat mengenalnya.

Astaga! Jadi itu tante Ais sama Zidan? Khansa! Kamu gimana sih! Kenapa bisa lupa? Oh ya ampun! Ini sangat malu, batin Khansa. Saat ini ia merasa ingin lari dari mereka semua.

Tidak hanya mereka saja, melainkan ada beberapa tetangganya yang ikut duduk bersama mereka saat ini. 

Situasinya seperti akan diadakan rapat penting, dan Khansa merasa jika dirinya sedang melakukan kesalahan sehingga dipanggil untuk hadir.

“Eee… tante, Khansa minta maaf. Khansa tidak bermaksud—"

“Tidak apa-apa sayang, tante sangat mengerti. Lagipula kita sudah lama tidak bertemu, jadi wajar aja kamu tidak mengingatnya. Tante pergi saat kamu masih kecil, dan sekarang kamu sudah sangat besar.” Khansa tersenyum kikuk.

Suasana macam apa ini? Sangat canggung, dan satu hal lagi yang membuat Khansa ingin segera pergi. Tatapan datar dari Zidan membuatnya ingin memaki-nya.

“Oke, langsung saja. Kami semua ingin kamu menikah dengan Zidan.”

“Apa?!! Nggak! Papa apa-apaan sih! Khansa nggak mau ya! Khansa masih mau kuliah, masih banyak jalan yang belum Khansa lewatin!! Khansa nggak mau! Titik!” Khansa menolak tegas permintaan ayahnya.

Khansa langsung masuk ke dalam rumah, pergi ke kamarnya. Tidak lupa mengunci pintu kamarnya.

“Yang bener aja! Masa iya aku harus nikah sama dia? Dia! Aku tau dia teman masa kecil, tapikan itu sudah sangat lama. Sejak dia pergi, tidak ada komunikasi diantara kita. Ya walaupun aku masih stalker sosmed dia si.”

Khansa melemparkan tubuhnya ke kasur, menenggelamkan wajahnya di tengah-tengah kedua bantalnya.

“Eh! Kenapa tu orang diam aja, jangan-jangan dia setuju lagi. Tapi… mana mungkin sih, diakan punya pacar. Jadi, sangat tidak mungkin. Akh! Sudahlah! Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang tidak aku cintai.”

“Eh! Tapi dulu aku memang sempat suka sama dia, tapi itu sudah lewat. Aku nggak mau jadi orang ketiga dihubungan dia dan orang yang dia cintai.”

Penolakan Sebelum Pernikahan

Khansa beranjak, berjalan dan berhenti di depan jendela. Yang dimana ia bisa melihat semua orang yang sedang membicarakannya, karena sudah sangat lantang menolak perjodohan itu, tanpa mendengar penjelasannya lebih dulu.

“Apa aku salah melakukan itu? Aku tau, dengan sikapku ini tanpa sengaja aku sudah mempermalukan papa. Tapi aku juga tidak bisa diam! Mana mungkin aku menikah dengan orang yang sudah mempunyai kekasih! Semua itu diluar prinsipku selama ini!”

Beberapa jam yang lalu…

Zidan Amar, teman Khansa sewaktu Zidan masih tinggal di desanya. Datang bersama dengan ibunya, Ais. Baru saja tiba dari jakarta. Mereka berdua sengaja datang karena nenek Fatimah, yang tidak lain nenek dari Zidan.

Kedatangan ibu dan anak itu datang untuk menjenguk nenek Fatimah yang sedang dirawat di rumah sakit sejak satu minggu yang lalu.

“Ma, jadi nenek sakit apa?” tanya Zidan yang melihat nenek Fatimah terbaring dengan alat-alat medis di seluruh tubuhnya.

Terdengar samar-samar pertanyaan Zidan mengenai neneknya.

Hahh…

Khansa menghela nafasnya, kenapa disaat seperti ini ia dihadapkan dengan situasi yang membuatnya rumit.

Situasi yang tidak pernah ada di dalam pikiran Khansa saat ini. Karena saat ini yang menjadi tujuannya bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

“Pak Tama, sepertinya Khansa tidak akan setuju dengan ini. Kami minta maaf karena harus melibatkan keluarga pak Tama dan bu Fara.”

Zidan hanya diam, tidak ada yang bisa ia lakukan. Sebelumnya ia juga sudah menolak dengan keras, tapi neneknya memaksa.

Nenek Fatimah menginginkan Zidan menikah dengan Khansa agar hubungan kedua keluarga terus terjalin setelah beliau pergi dari dunia ini.

Itulah kenapa Zidan hanya bisa diam dan pasrah. Ia berpikir, apakah tidak ada cara lain? Menjalin sebuah hubungan tidak harus dengan pernikahan.

Zidan masih ingat benar apa yang dikatakan neneknya “pak Tama dan keluarganya sudah sangat baik. Mereka menjaga nenek yang selama ini hidup sendiri, nenek hanya ingin kamu menjaga putri mereka. Bukankah kalian berdua berteman dulunya?”

“Ma, apa tidak ada cara lain? Khansa sudah menolaknya, jadi kita tidak perlu memaksakan pernikahan yang sama sekali tidak kami inginkan,” bisik Zidan.

“Kamu diamlah! Kita akan coba katakan alasannya pada Khansa, mama yakin dia pasti akan mengerti.” Zidan memutar matanya jengah.

“Mas, bagaimana sekarang? Khansa sudah menolaknya. Lagipula kita tidak bisa memaksanya, dia punya pilihannya sendiri,” ucap Fara pada Tama, suaminya.

Tama menatap istrinya, lalu melirik sekilas ke arah Zidan yang hanya duduk diam. “Kita akan coba bujuk lagi, ini permintaan dari bude Fatimah. Aku sudah menganggap beliau sudah seperti ibuku sendiri.”

Farah mengangguk paham, memang benar jika selama ini keluarganya sudah menganggap nenek Fatimah sebagai bagian keluarga mereka.

Apalagi saat keluarga anaknya memilih untuk merantau ke jakarta. Nenek Fatimah tinggal seorang diri, terkadang Khansa yang menemani selepas pulang sekolah.

“Ais, tunggu sebentar. Aku akan coba bicarakan lagi dengan Khansa. Siapa tau kali ini dia akan setuju.”

Ais tersenyum, lalu mengangguk. Sedangkan Zidan masih tetap diam. Tidak ada sepatah kata apapun yang ia keluarkan.

Farah beranjak meninggalkan mereka semua, menyusul Khansa yang berada di dalam kamar.

Tok

Tok

Tok

Fara mengetuk pintu kamar Khansa, “sayang! Mama perlu bicara sama kamu. Bisa buka pintunya?”

“Nggak ma! Khansa nggak akan buka kalo mama cuma mau bahas pernikahan!” balas Khansa dari dalam kamar.

“Sayang, ayolah! Mama akan kasih penjelasan. Setelah itu, terserah apa keputusan kamu nantinya. Sayang, please! Buka ya?” Farah terus memohon agar putrinya membuka pintu kamarnya.

“Khansa bilang nggak, itu artinya Khansa nggak mau!”

“Kamu yakin?”

“Sangat yakin ma!”

“Baiklah, mama cuma mau bilang karena ini ada kaitannya dengan nenek Fatimah.”

Cklek…

Khansa langsung membuka pintunya saat mendengar nama nenek Fatimah.

“Nenek Imah?” tanya Khansa yang kini berdiri diambang pintu.

“Iya, tapi kamu tidak ingin mendengar. Jadi, mama akan sampaikan ke papa kamu.” Farah berbalik ingin meninggalkan Khansa.

Namun, dengan cepat Khansa menahan tangan mamanya. “Tidak!”

Farah berbalik, menatap sang putri. Terlihat dengan jelas rasa ketakutan yang saat ini Khansa rasakan.

“Nenek Imah, baik-baik ajakan ma?” tanya Khansa yang saat ini sudah terisak.

“Nenek baik-baik aja kok, apa mama boleh masuk?” Khansa mengangguk.

Khansa membuka pintu kamarnya lebar-lebar, mempersilahkan ibunya untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Jadi? Apa yang ingin mama bicarakan mengenai nenek Imah?” tanya Khansa to the point.

Saat ini Khansa dan Farah duduk di tepi kasur. Dengan Farah yang menghadap ke arah putrinya.

“Dengarkan baik-baik, mama tidak akan mengulanginya lagi.” Khansa mengangguk setuju, bersiap untuk mendengarkan penjelasan.

“Yang papa kamu minta untuk menikah dengan Zidan, bukanlah tanpa alasan. Itulah kenapa papa ataupun mama tidak punya pilihan. Yang menentukan perjodohan akan terus berlanjut atau tidak, semua keputusannya ada pada kamu.” Farah menatap putrinya yang masih setia mendengarkannya.

“Nenek Imah meminta hubungan keluarga kita dan keluarganya tetap terjalin. Dan caranya hanya dengan kamu menikah dengan Zidan. Anggap saja ini permintaan terakhir nenek Imah. Karena sekarang, kondisinya sangat kritis. Dan sangat tidak mungkin tante Ais membawanya ke jakarta,” jelas Farah panjang lebar.

Air mata Khansa mengalir begitu saja tanpa permisi. Dua kata yang membuat Khansa begitu sedih “permintaan terakhir”. Sebuah kata yang memiliki makna yang mendalam.

Tidak pernah terpikirkan Khansa akan mendengarnya. Khansa meremas kuat ujung baju yang dikenakan.

Ada perasaan sakit dan takut yang sulit Khansa jelaskan saat ini. Seketika, hati dan pikiran Khansa tidak bisa sejalan. Kacau, sudah pasti! Khansa benar-benar kacau saat ini.

Selama ini, Khansa selalu menamani nenek Fatimah. Terkadang, jika ia ada tugas kelompok. Khansa mengajak teman-temannya untuk mengerjakannya di rumah nenek Fatimah.

“A-apa? Jadi, nenek Imah kritis sekarang?” Farah mengangguk saat putrinya menanyakan pertanyaan itu.

“Ma, tapi Khansa tidak bisa menerimanya. Bukan tanpa alasan Khansa menolaknya. Selain Khansa ingin kuliah, sangat tidak mungkin Khansa menikah dengan Zidan yang notabennya mempunyai pacar.

“Sayang, dengarkan mama. Tidak ada yang tau dengan takdir. Dan ini sudah menjadi takdir kalian berdua. Dan untuk kekasih Zidan, mama yakin dia akan mengerti jika kamu sudah menjadi istrinya.”

Seberapa keyakinan itu ma? Bahkan aku sendiri tidak yakin. Aku tau benar jika Zidan sangat mencintai kekasihnya.

“Khansa tidak yakin.”

Farah memegang tangan putrinya, meyakinkan untuk menerima jika semua akan baik-baik aja.

“Khansa tidak bisa memutuskan sekarang. Khansa perlu bicara dengan Zidan, apa bisa?”

“Ya! Tentu saja. Mama akan panggilkan Zidan. Kalian berdua memang harus bicara berdua.” “Tunggu disini, mama akan minta Zidan datang ke kamar kamu.”

Khansa mengangguk, menatap ibunya yang mulai menghilang dari balik pintu kamarnya.

Sebuah Syarat

“Bagaimana?” tanya Tama yang melihat kedatangan istrinya.

“Ee… itu… Khansa ingin bicara dengan nak Zidan. Itupun jika nak Zidan bersedia.”

“Tentu saja. Zidan! Pergilah! Dan bicara dengan Khansa,” suruh Ais pada putranya.

Tanpa penolakan, Zidan mengangguk. Berjalan mengikuti Farah yang menuju ke kamar Khansa.

“Nak Zidan, ini kamar Khansa. Masuklah dan bicarakan ini dengan Khansa. Tante akan keluar.” Zidan mengangguk.

Sungguh! Saat ini Zidan sangat irit untuk bicara, bahkan saat neneknya memintanya untuk memenuhi permintaan terakhirnya. Zidan hanya diam membisu, tidak mengatakan sepatah kata apapun.

Namun, berbeda dengan hatinya yang selalu mengumpat. Sungguh, Zidan tidak menginginkan pernikahan ini. Apalagi menikah dengan gadis dari desa.

Pikirnya, Khansa gadis desa seperti yang dibicarakan oleh banyak orang-orang yang ada di sekolahnya.

Saat pertama kali melihat Khansa setelah tidak bertemu sekian lama, membuat pikiran Zidan semakin yakin. Khansa bukanlah tipe yang dia inginkan.

“Dia masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Cara bicara dan penampilannya juga masih sama— dan mungkin aja letak benda di kamarnya masih tetap sama.”

Zidan menatap pintu kamar yang dulunya pernah ia masukki. Tapi sekarang, kenapa rasanya begitu asing dan sangat canggung.

Sebisa mungkin Zidan menetralkan rasa gugupnya. Khansa memang teman masa kecilnya, tapi dia sudah sangat lama tidak bertemu ataupun berkomunikasi dengannya.

Dan sekarang, Zidan merasa sangat gugup untuk bicara dengan Khansa. Apalagi membahas sesuatu yang tidak pernah ada di bayangan keduanya.

Tok

Tok

Tok

“Iya?! Siapa?” sahut Khansa dari dalam kamar.

“ini gue, Zidan!” tanya Zidan yang masih setia menunggu di depan kamar Khansa.

Cklek…

Zidan menatap Khansa yang saat ini berdiri dihadapannya. “A-apa gue bisa masuk?” Khansa mengangguk.

“Silahkan aja,” Khansa mempersilahkan Zidan untuk masuk ke dalam kamarnya dan mempersilahkannya untuk duduk di kursi yang sebelumnya untuk ia belajar.

Dengan ragu-ragu, Zidan duduk di kursi itu menatap Khansa yang juga duduk di sebelahnya yang fokus pada laptopnya.

Zidan masih enggan untuk bicara, antara bingung untuk memulai, atau memang dia menunggu Khansa untuk bicara.

Khansa menggeser kursinya untuk menghadap Zidan yang masih duduk diam tanpa suara.

“Khem!! Mau sampai kapan kamu akan duduk diam seperti ini, Zi?” tanya Khansa yang akhirnya memulai pembicaraan.

“Jangan salah paham karena aku yang meminta untuk bicara denganmu. Seharusnya kamu yang berinisiatif, karena ini bukan hanya tentang aku.”

Aku? Bagi Zidan kata aku sangatlah tidak nyaman untuk didengar. Apalagi dirinya tidak pernah menggunakan kata itu. Pasalnya, selama ini ia tinggal di kota, dengan pergaulan yang cukup bebas.

Di kalangannya, tidak ada yang memanggil dirinya dengan kata aku. Karena mereka mengedepankan bahasa gaul mereka dengan menggunakan lo gue saat berbicara.

Dan saat bicara dengan orang tua, Zidan memanggil namanya sendiri jika itu diperlukan.

“Maaf, apa kita bisa bicara lebih santai? Gue nggak terbiasa dengan kata aku kamu,” ucap Zidan yang akhirnya menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya.

“Tidak bisa, sama halnya dengan kamu. Aku juga tidak terbiasa. Karena aku dan teman-teman yang lainnya seperti ini. Lagipula, ini bukan kata spesial yang digunakan oleh orang-orang yang tinggal di kota. Kami disini satu arah,” jelasnya.

Mendengar penjelasan dari gadis yang duduk di hadapannya saat ini membuatnya sedikit kikuk. Karena memang di kota, aku kamu digunakan untuk orang yang spesial.

“Sudahlah, itu bukan masalah penting. Sebaiknya, kita membicarakan masalah yang ada di depan kita. Jadi? Kenapa kamu hanya diam? Apa kamu setuju dengan pernikahan ini?” tanya Khansa to the point.

“Eh? Sangat tidak mungkin jika kamu setuju bukan? Kamu sudah memiliki seseorang yang istimewa di hatimu. Jadi, sangat tidak mungkin kamu hanya diam dan menerimanya bukan? Aku benar?” Ucap Khansa berhasil membuat Zidan diam.

“G-gue nggak bisa…” lirihnya.

“Kenapa?”

“Ini permintaan terakhir nenek,” ucapnya menatap mata Khansa.

“Aku tau, beliau juga sudah seperti nenekku sendiri. Diantara kita berdua, aku yang paling sering menemaninya. Setelah bertahun-tahun kamu dan keluargamu pergi. Sekarang, kamu ingin menjadi cucu yang baik di hadapannya?”

“Sebelumnya maaf, jika ucapanku terdengar kasar. Tapi, seharusnya kamu tidak tersinggung dengan apa yang aku katakan. Setelah kamu pergi, hari ini kamu baru menginjakkan kakimu lagi di desa ini. Bahkan saat tante Ais pulang, kamu tidak pernah ikut pulang.”

Zidan memalingkan wajahnya, saat ini ia merasa setiap kata yang dilontarkan Khansa begitu menusuk di hatinya.

“Jadi? Apa kamu akan tetap menerima pernikahan ini? Sedangkan kamu sendiri sudah mempunyai kekasih. Jangan tanya aku tau darimana, kamu pasti sudah tau jawabannya. Di sosial media kita saling berteman, mungkin kamu tidak menyadarinya.”

Lagi dan lagi, Zidan tidak bisa berkutik. Setiap ucapan Khansa selalu tepat sasaran.

Zidan menatap Khansa dengan tatapan bingung. Gadis di depannya ini bukanlah gadis desa yang ada di dalam pikirannya.

Dia berani, dan setiap yang dia ucapkan adalah sebuah fakta yang belum tentu semua orang bisa menerimanya.

“Jika kamu tidak setuju, aku akan bilang ke mama sama papa. Dan aku yang akan bertanggung jawab. Nenek Imah hanya mengatakan agar keluarga kita berdua bisa berhubungan dengan baik, meskipun nenek Imah pergi ninggalin kita semua. Tapi…

“Tapi apa?” tanya Zidan penasaran.

“Tergantung dengan keputusanmu. Jika kau setuju, aku ada syarat yang harus kamu penuhi. Jika tidak, aku akan bicarakan ini sama papa, bila perlu aku sendiri yang akan bicara ke nenek Imah.”

Khansa balas menatap Zidan. Satu kata yang muncul di pikirannya untuk memberikan kesan pertama nya bertemu dengan Zidan adalah “tampan”.

“Gue udah bilang, kalo gue nggak bisa nolak permintaan nenek. Anggap aja untuk menebus semua kesalahan gue. Gue ingin nenek bisa pergi dengan rasa bahagia.”

“Dengan mengorbankan dua kehidupan sekaligus? Ah! Tidak-tidak, mungkin tiga kehidupan termasuk kekasihmu.”

“Gue akan melakukan apapun, asalkan nenek gue bisa bahagia.”

“Kamu yakin? Jika memang seperti itu aku ada syaratnya.”

Aku nggak punya pilihan lain, dan ini adalah jalan keluar yang pas, dengan memberikannya syarat padanya.

“Katakan, aku akan memenuhi syarat itu,” ucap Zidan, walau dalam hatinya ia tidak menginginkannya.

Sebelum datang ke rumah Khansa, Zidan sudah dipaksa untuk menerima pernikahan ini oleh ibunya. Jika tidak, Zidan tidak akan mendapatkan warisan dari orangtuanya.

“Aku seorang wanita seperti pada umumnya. Jadi, aku ingin kamu memutuskan kekasihmu. Meskipun diantara kita tidak ada rasa cinta, tapi kita bisa mulai semuanya dari awal. Aku akan kasih waktu kamu selama satu bulan untuk menyelesaikan hubunganmu dengan kekasihmu. Apa kamu bisa melakukannya?”

“Gue—

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!