NovelToon NovelToon

Jobku Adalah Seorang Pencuri

Yang Berbeda ( Bagian 1 )

...Prologue...

Setiap manusia mempunyai perannya sendiri dalam menjalani kehidupan mereka. Tak ada yang bisa menolak, maupun menentang kehendak 'Sang Takdir'.

Bagaimanapun juga, seperti apapun juga, peran yang kita dapat di kehidupan ini harus kita jalani sampai akhir dari nafas manusia. Tak perduli jika peran itu adalah peran terburuk yang pernah ada di dunia ini.

“Putri Es! Siapkan rapalan sihir tingkat menengahmu! Aku akan mengalihkan perhatian mereka, dan pastikan seranganmu mengenai mereka semua!”

“Dengan siapa kau bicara?! Hah?! Jangan remehkan aku!”

Bagi mereka yang bernasib baik, akan dianugerahi sebuah takdir dimana kehidupan mereka dapat dijalani dengan begitu mudah. Harta, tahta, kekuatan, kebijaksanaan, kehormatan, untuk mereka yang mendapatkan itu semua, mereka tidak akan mereasakan rasa sakit dan perih untuk menjalani kehidupan singkat ini.

Sementara di sisi lain, mereka yang terlahir kurang berutung akan mendapatkan kehidupan yang penuh dengan penderitaan, pengorbanan, dan pahitnya kehilangan.

Tentu saja mereka bisa sedikti merubah itu. Tapi bayaran untuk merubah kualitas hidup mereka tidaklah murah, di sana ada lebih banyak pengorbanan sebagai harga untuk merubah alur kehidupan.

“Sihirku sudah siap! Menjauh dari mereka!”

“Tu-tunggu sebentar, para orc ini mengepungku dari berbagai arah!”

“Ce-patlah!”

“Oi! Tu-tunggu!”

Berbeda dari cara kerja di duniaku dulu yang dapat merubah status kehidupan mereka hanya dengan berusaha. Di dunia ini, sekalinya kau adalah seorang pencuri, sampai mati kau tetaplah seorang pencuri.

*Duarr!!!*

Jika ada seseorang dari dunia ini mengetahui takdirmu yang buruk, pada saat itu juga kau sudah kehilangan harga dirimu sebagai manusia. Dan mereka takkan segan untuk mengorbankanmu kapanpun mereka mau.

Karena kau, adalah kehadiran yang cacat di dunia kejam ini.

...----------------...

Hai! Selamat datang di kisahku!

Namaku Rosario Ellio, aku adalah seorang pengangguran yang kerjanya hanya menghabiskan uang milik orang tuaku.

Tidak, tidak... Itu tidak terdengar bagus.

Aku ulangi...

Namaku Rosario Ellio, aku seorang pemuda yang memiliki cita-cita besar dalam hidupku. Aku ingin memiliki karir bagus, aset berlimpah, dan kehidupan masa depan yang terjamin.

Setidaknya itu yang akan aku katakan ketika aku berusia 16 tahun.

Tidak ada salahnya dengan memiliki mimpi yang menjulang tinggi di masa muda mu. Aku yakin semua orang pasti pernah memimpikan hal seperti itu juga. Tak terkecuali aku, salah satu orang dengan tingkat optimisme yang tinggi pada masanya.

Sekarang usia ku 22 tahun.

Dan aku sudah bukan lagi remaja dengan ambisinya untuk meraih mimpi yang cemerlang.

Baiklah, mari kita mulai dengan perkenalan diriku lebih lanjut. Aku adalah seorang pengangguran yang sudah tidak peduli lagi untuk bekerja. Jangankan bekerja, memperbaiki diripun enggan rasanya. Jarangnya aku mandi, rambut hitam agak bergelombang aku biarkan memanjang hingga menutupi sebelah mataku, dan tubuh kurus karena kurangnya makan menjadi bukti betapa aku tidak mempunyai keinginan untuk berubah jadi lebih baik.

Ini terjadi setahun setelah kelulusanku dari SMA. Saat itu aku masih bekerja di sebuah perusahaan besar yang cukup terkenal di Indonesia. Aku mendapatkan penghasilan yang layak dan kehidupan yang nyaman. Bahkan aku bisa bekerja sambil kuliah. Tentu saja aku sudah cukup mapan untuk membiayai kuliahku dengan hasil jeri payah sendiri.

Aku cukup bangga dengan pencapaianku yang luar biasa.

Namun, semua itu tak berlangsung lama. Aku mendapati diriku yang tertimpa banyak masalah karena beberapa hal yang aku lakukan. Dan semua itu menyebabkanku kehilangan kepercayaan diri beserta semangatku untuk lanjut bekerja.

Singkat cerita aku memutuskan berhenti dari pekerjaan. Aku mengalami tekanan mental yang luar biasa setelah kehilangan rasa percaya diri yang sudah aku bangun bertahun-tahun bahkan sebelum aku masuk SMP.

Mimpi yang aku genggam erat setelah sekian lama pun hilang tak membekas. Perasaan hampa terus menyelimuti ku dan mendorongku untuk menutup diri dari pergaulan sosial.

Aku juga terpaksa berhenti kuliah karena tidak sanggup untuk mendatangi kampus.

Pada akhirnya... Aku jatuh dalam lubang gelap yang dingin, menghabiskan hari-hariku di atas kesendirian.

Setiap hari selama kurang lebih 3 tahun belakangan ini, aku jarang sekali keluar rumah untuk pergi main ataupun mengunjungi saudaraku. Aku selalu menghabiskan hari-hariku di depan laptop dan smartphoneku untuk menonton film atau membaca komik.

Bagi orang seusiaku, ini adalah hal yang terlalu kekanakan untuk dilakukan. Namun aku tidak peduli soal itu, mau aku dianggap bocah, aib keluarga, ataupun sampah masyarakat.

Aku juga... Aku melakukan semua ini juga ada tujuannya, dan ini juga karena salah semua orang di sekitarku.

Aku takkan berakhir menjadi ampas jika aku terselamatkan saat itu.

Orang-orang hanya menuntut ku untuk menjadi apa yang mereka mau, tapi mereka tidak pernah melihat seberapa besar luka yang sudah aku terima. Mereka dengan mudahnya bilang “ya udah tinggal semangat lagi aja!” padaku tanpa mengetahui seberapa dalam aku terjatuh, dan seberapa lelahnya aku bangkit.

Toh, aku juga manusia biasa yang juga bisa merasakan kelelahan, entah itu fisik ataupun batin.

Aku menghabiskan waktuku untuk menonton atau baca komik juga salah satu usahaku untuk menghibur diri dan melupakan semua rasa sakit yang aku alami.

Setidaknya bisa untuk meredakan tekanan mental pikirku.

Namun, tahun dan tahun sudah berganti...

Hanya sedikit.... Perubahan yang terjadi padaku...

Sangat sedikit...

.

Okeh... Mari kita lupakan tentang background ku. Maafkan aku yang terlalu banyak curhat dipembukaan kisah ku.

Hiruk pikuk kota Semarang terlihat seperti biasanya, aku yang terduduk di pojok mobil dengan setengah niat memandangi jalanan kota dari sudut jendela.

Hari ini aku memutuskan untuk keluar rumah demi menikmati sinar mentari di musim panas.

Dengan menggunakan kaos polos warna abu-abu lengan pendek, celana jeans hitam, rambut di kuncir belakang, tas selempang kecil dan sendal japit, aku pergi meninggalkan kamarku yang lembab.

Jika kalian bertanya-tanya tentang apa yag terjadi, ini karena teman-temanku saat SMA mendadak datang kerumah dan menyeretku untuk menemani mereka berlibur.

Yah... Mereka serius tentang menyeretku.

Tanganku saja sampai memerah karena berpegangan pada lemari saat mereka memaksa menarikku keluar dari kamar.

Dan dalang dari semua ini adalah Dino!

Dia benar-benar semangat untuk mengajakku berlibur. Aku juga di sogok olehnya satu slop rokok dengan merek favoritku. Tentu saja aku tidak bisa menolak dengan tawarannya. Apa boleh buat kan? Aku cuma seorang pengangguran yang menggantungkan hidup pada orang tuaku.

Kami pun akhirnya pergi untuk berlibur. Tujuan kami adalah kawasan pegunungan Dieng yang terletak dekat kota Wonosobo.

Dengan menggunakan mobil milik Dino, kami pergi menuju tempat yang sudah di rencanakan. Sebenarnya aku agak merasa heran dengan keseimbangan dunia ini.

Yang aku maksud adalah, perbedaan jelas diantara manusia seperti aku dan Dino

Dino itu tipe pria yang disukai banyak orang dan di cintai oleh para wanita. Kepribadiannya yang kalem dan tenang membuat semua orang merasa nyaman di dekatnya. Dia juga sangat bisa diandalkan untuk berbagai hal. Buktinya, dalam perjalanan ini semuanya diatur oleh Dino. Dan juga.... Dia ganteng plus tajir.

Di sisi berlawanan ada aku. Tipe pria yang banyak dihindari oleh orang-orang dan tidak di sukai oleh para wanita (enggak sanggup buat bilang dibenci). Kepribadianku yang... Kadang kalem kadang terlalu bersemangat sampai lupa situasi tak jarang membuat orang merasa tak nyaman bersamaku.

Aku juga jarang-jarang bisa diandalkan, itu pun baru kusadari ketika aku keluar dari pekerjaanku. Disamping itu.... Aku ganteng juga enggak, tajir apalagi.

Haaahhh.... Dunia ini sudah hilang keadilannya.

Balik lagi ke perjalanan kami. Waktu yang kami tempuh dalam perjalanan kali ini sekitar 4 jam perjalanan (?). Disana juga kamiakan menyewa villa untuk menginap.

Maaf bukan kami.... Tapi Dino yang sudah menyewakannya untuk kami.

Dia benar-benar perfect dalam segala hal... kadang aku merasa iri dengan semua yang dia punya.

Di dalam perjalanan yang cukup lama kami menghabiskan waktu dengan mengobrol ringan sembari mengingat masa-masa sekolah kami dan bernyanyi bersama diiringi melody gitar yang dipetik oleh salah satu dari kami.

Hmm...

Sebenarnya sih, yang melakukan semua hal itu Dino dan kawan-kawannya saja, sementara aku hanya duduk diam di pojokan mobil sambil melihat pemandangan dijalan.

Dan sepertinya mereka sangat asik dengan perbincangan mereka masing-masing sampai lupa untuk mengajakku berbicara.

Apa kehadiranku sudah dilupakan disini? Entahlah...

Disisi lain aku juga merasa nyaman dengan keadaan ini.

Pada siang hari, akhirnya kita sampai di tempat tujuan.

Dino yang memimpin perjalanan kali ini memberikan kami instruksi untuk segera membereskan barang bawaan kami dan menaruhnya di vila yang telah di pesan jauh-jauh hari.

Kemudian dia mengajak kami untuk berburu spot terbaik di pegunungan Dieng. untuk melepas kepenatan kami semasa perjalanan.

Kami memutuskan untuk berjalan kaki sambil mencari tempat yang pas untuk bersantai.

Semuanya terlihat sangat bersemangat....

Kecuali aku.... Mungkin karena efek dari jarangnya aku beraktifitas fisik, ini malah menjadi sesuatu yang sangat melelahkan bagiku.

....

Yang Berbeda ( Bagian 2 )

Angin yang menerpa lembut, ditambah suasana asri pegunungan, dan suara air yang mengalir menjadi perpaduan yang sungguh menenangkan hati kali ini.

Kami memilih salah satu curug untuk beristirahat melepas penat atas kegiatan sehari-hari kami yang membosankan.

Bersama Dino dan 4 orang lainnya, kami menikmati suasana nyaman ini dengan duduk di bibir sungai.

“Eh main air yuk!” celetuk seseorang diantara kami.

Yup.. Itu Rina

Salah satu teman (?) wanita yang ikut bersama kami.

Aku ragu menyebutnya sebagai temanku. Dia tidak terlalu akrab denganku sewaktu SMA.

Hanya sebagai teman kelas...

Ngomong-ngomong ada 2 wanita lain yang ikut bersama kami. Dan...

Mereka juga salah satu alasanku untuk ikut berlibur kali ini.

Ayolah... Aku hanya penasaran, seberapa cantik Rina saat ini.

Saat SMA dulu dia benar-benar jadi primadonanya kelas kami.

Jadi aku sedikit bersemangat tentang liburan kami ketika Dino membisikan sesuatu tentang Rina kepadaku.

Seperti yang aku duga, dia melebihi ekspetasiku sekarang.

Wajahnya yang semakin dewasa, cantik, namun tidak kehilangan sisi keimutannya...

Ditambah tubuhnya yang... Ehem...Mueheheheheh.

Aku sampah seriusan.

........

“Hey, bisa enggak berhenti ngeliatin gitu?!”

Eh?!

Suasana mendadak menjadi tegang. Tatapan semua orang tertuju kepadaku.

“Eh maaf Rin, Bu-bukan gitu.... Eh.”

Suaraku tak mau keluar. Aku tergagap menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Rina.

Aku sadar, ini salahku karena menatapnya dengan tatapan yang kurang mengenakan.

Tak pernah terlintas di benakku kalau dia akan menegur secara terang-terangan.

Semuanya menjadi terasa sangat sunyi, meski begitu aku merasakan semua mata sedang tertuju padaku.

Sambil aku mencoba untuk menjelaskan pada Rina, yang aku lakukan hanya tambah memperburuk suasana. Aku yang hanya tertunduk dan tak berkata apapun, menegaskan bahwa memang itu adalah salahku...

Suaraku tertahan di ujung tenggorokanku.

Udara yang tadi terasa menyejukkan, berubah menjadi sangat berat dan menyakitkan.

Perlahan aku mengangkat wajahku dan mencoba untuk melirik Rina.

Alih-alih penasaran, aku melihat Rina menatapku dengan kesal dan sambil bergumam.

(Jijik)

Tidak ada orang yang mendengar apa yang di katakan Rina barusan.

Namun aku tahu persis itu yang ia katakan.

Satu kata, meski begitu itu cukup untuk membuat suasana hatiku kacau.

Ah.... Aku tahu akan menjadi seperti ini akhirnya.

Tapi aku tidak menduga akan jadi secepat ini aku membuat kesalahan.

Aku pun mengambil sebungkus rokok milikku dan memilih pergi dari tempat kami bersantai.

Sungguh tidak sanggup aku menahan malu.

Rasanya aku ingin pulang dan masuk kedalam selimutku untuk waktu yang lama.

“Rio!”

Sambil ikut berdiri Dino memanggilku seakan dia ingin menegaskan bahwa tidak ada yang perlu di permasalahkan.

“Aku cuma mau jalan-jalan bentar kok” jawabku sambil tersenyum dan pergi.

.......

Cukup jauh aku berjalan, anehnya aku tidak merasakan lelah pada tubuhku.

Otakku dipenuhi pikiran tentang bagaimana mana aku harus menyelesaikan masalah ini.

Mungkin itu yang membuatku tidak merasakan lelah.

Aku berjalan menelusuri hutan. Dengan sebatang rokok di mulut, aku mencoba untuk meredam rasa sesak di dadaku karena perkataan Rina tadi.

Ah... Aku benci diriku yang terlalu sensitif ini.

Seandainya aku lebih tidak peduli, mungkin aku akan menjawab pertanyaan Rina tadi dengan beberapa candaan dan berakhir untuk tidak memperdulikannya.

Kenapa coba aku memasukannya dalam hatiku.

Selemah ini kah aku?

Desiran air mengalir terdengar jelas dari arah depan...

Aku mendekati itu, dan menemukan sebuah sungai disana yang deras airnya.

Kuputuskan untuk istirahat sebentar. Duduk di atas batu besar pinggir sungai.

Masih bersama rokokku, aku menatap langit dengan tatapan yang tidak bersemangat.

Menyadari kesalahanku, aku berpikir seperti...

Ah, mungkin sudah bawaanku dari lahir untuk jadi orang semacam ini-.

“Meong...”

Suara anak kucing baru saja ditangkap oleh telingaku. Sontak aku palingkan wajahku tuk melihat sekitar.

Tidak ada?

Mataku masih mencari asal dari suara kucing itu. Sayangnya, aku tidak menemukan sosoknya.

Perasaanku kah?

Pikirku sesaat...

“Meow!”.

“Huh”.

Mendengar suara kucingnya yang meninggi, aku terkejut dan sempat berpikir kalau itu makhluk halus-.

“Heh?!”

Belum sembuh dari keterkejutan sebelumnya, aku di buat kaget saat melihat seekor anak kucing tidak jauh dari semak sedang berpegangan erat pada ranting kayu, sementara setengah badannya sudah terendam di sungai.

Aku yang melihat pemandangan itu bergegas menggerakan tubuhku untuk menyelamatkannya.

Tapi sesaat sebelum aku meraih anak kucing itu-.

“Eh kenapa?”

Pikiranku mendadak kosong, tidak, lebih tepatnya bingung melihat anak kucing tadi terbawa arus sungai.

Kenapa anak kucingnya terlepas dari pegangannya?

Tidak...

Aku yakin dia tidak terlepas... Melainkan sengaja melepaskan pegangannya.

Sementara itu, aku yang buru-buru mendekati anak kucing itu, menginjak pijakan yang kurang tepat...

Pergelangan kakiku terasa sakit, dan akhirnya terkilir.

Bersama anak kucing tadi, kami berdua jatuh ke dalam aliran sungai yang deras.

Aku terus mencoba mencari pegangan sambil menaikan wajahku ke permukaan. Tidakku sangka sungainya lumayan dalam.

Jika saja kakiku tidak terkilir, mudah bagiku untuk berdiri dan mengambil nafas.

Rasa sakit dari kakiku yang terkilir benar-benar menahan ku di dalam air.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk meraih pegangan.

Bahkan untuk mengambil nafas pun terasa sangat susah!

Siapa aja tolong! Tolong aku!

“Tolo-”.

Belum selesai aku menyelesaikan perkataanku, tenggorokanku sepenuhnya telah terisi dengan air.

Terbawa arus sungai dan tenggelam semakin dalam, tanganku mencoba meraih permukaan... Tapi sayang, itu hanyalah tindakan bodoh.

Tanpa kusadari gelapnya rasa keputusasaan sudah menyelimutiku.

Kesadaranku hampir lenyap karena banyaknya air yang masuk kedalam dadaku.

Sesak rasanya, sakit...

Aku akan mati?

Begitukah?

Aku benar-benar akan mati sebagai orang yang gagal?

Entah kenapa, sepintas aku berpikir bahwa anak kucing tadi melepaskan cengkeramannya karena takut kepadaku...

Setidaknya aku ingin minta maaf....

Aku merasakan airmataku mengalir keluar

Apa yang membuatku menangis, aku pun tak mengetahuinya. Yang aku rasa dadaku sakit, tapi bukan sakit karena air yang masuk ke paru-paruku.

Semakin lama semakin seperti teriris.

Apa ini?

Apa mungkin ini yang dinamakan penyesalan?

Apa yang aku sesali-?

Ah.... Aku menyesal karena sampai akhir hidup aku tidak bisa berguna untuk siapapun, aku hanya menjadi penghalang, atau keburukan bagi siapapun yang ada di dekatku.

Sedikit demi sedikit, suara riuh gemericik air tergantikan dengan suara yang tenang nan menghanyutkan.

Umurku 22 tahun. Tapi aku masih merepotkan orang tuaku.

Aku bahkan masih ingat saat sebelum berangkat berlibur tadi.

Ingat betul raut wajah Ayahku yang terlihat lesu dan kecewa saat aku menghadapnya untuk pamit pergi.

Sungguh itu raut wajah yang sangat kecewa padaku...

Tapi aku tak peduli dan tetap meminta uang padanya...

Aku sampah...

Senyum kecil melukis wajahku yang perlahan kehilangan kesadaran.

Sampai akhir... Aku bahkan tetap menjadi sampah.

Atau.... mungkin ini yang terbaik?

Mungkin... Hilangnya aku dari dunia ini akan menjadi lebih baik.

Benar..

Semuanya akan lebih baik......tanpa....a...ku....

.

Siulan angin, gemericik air, dan hangatnya sinar mentari yang menyirami tubuhku membuat aku sedikit merasa nyaman dengan situasi ini.

Aku terduduk di pinggir sungai sambil menghadap padang rumput hijau yang luas setelah aku dapati diriku terbaring tak sadarkan diri di tengah sungai yang sangat dangkal.

"Aku masih hidup?" tanyaku pelan sambil melihat sekitarku dan meraba-raba seluruh tubuhku.

Pakaianku basah, dan ponselku juga mati karena terendam air.

Masih dengan pandanganku yang kosong, aku sedang menduga-duga tentang apa yang telah terjadi.

Aku ingat bahwa aku hanyut dalam arus sungai yang deras, lalu kehilangan kesadaran... Lalu aku terbangun di tengah sungai yang arusnya tidak terlalu deras dan dasar sungainya yg sangat dangkal?

Tunggu, tunggu, tunggu sebentar... Candaan macam apa ini?!

Aku yakin aku ada ditengah hutan di pegunungan dengan sungai yang deras nan dalam.

Namun sejauh yang aku lihat......

Padang rumput yang luas....

Pepohonan... Hanya beberapa butir yang terlihat...

Bukit rumput kecil....

Dan sungai dangkal dengan arus yang menenangkan....

Jadi, seberapa jauhkah aku telah hanyut?

Kemana perginya hutan dan pegunungan tadi coba?!

.

Cukup lama aku terduduk ditempat aku pertama kali tersadar, hingga aku memutuskan untuk berjalan mencari pemukiman terdekat.

Namun... Sejauh aku berjalan, aku tidak menemukan apapun.

“Panas.... Laper.... Ugh!”.

Awalnya aku berencana untuk pergi ke hulu dengan tujuan menemukan tempat awal ku terhanyut..

Tapi aku menyerah...

Aku yakin berjalan ke hulu pasti lebih jauh dan melelahkan karena jalannya yang naik.

Setelah berjalan untuk waktu yang cukup lama, aku menemukan secercah harapan. Jauh dari pandangan, terlihat sebuah jalan raya? Sepertinya bukan.

Memaksakan seorang pengurung diri dan anti sosial untuk berjalan jauh, sungguh bukan lawakan yang terdengar lucu aku rasa.

Jalanan itu tak beraspal, hanya tanah yang diratakan.

Sesampainya disana, aku segera membaringkan tubuh di atas rumput sambil menunggu kendaraan warga melintas.

Kalau boleh memilih, mobil adalah pilihan terbaik untuk mengangkut orang yang sedang sekarat ini.

"Rasa lapar dan lelah ini sungguh kembunuhku", gumamku sembari mengganjal perut dengan kedua tanganku.

Rasanya seperti nostalgia... Apa aku akan mati? Dan mati karena kelaparan?

Selepas dari jurang maut tadi tentu belum sempat aku memulihkan mentalku.

Dan sekarang aku dihadapkan dengan situasi yang serupa.

Lalu aku tak sengaja tertidur....

Yang Berbeda ( Bagian akhir )

.....

“Nak bangun nak! Nak? Oi?”

Samar-samar aku mendengar suara seseorang.

Dengan pelan aku membuka mataku.Di depan ku yang terbaring, terlihat seorang pria paruh baya sedang membangunkanku.

Aku menatapnya lalu mengalihkannya keatas langit.

Warnanya jingga, dan agak sedikit kemerah-merahan.

Sudah sore kah...

Aku kembali menatap pria itu yang terus mencoba untuk berbicara padaku.

Melihat aku yang tersadar, wajahnya menggambarkan perasaan yang lega.

“Nak kenapa kau tidur ditempat seperti ini?

Dan dari mana asalmu?”

Ingin ku jawab pertanyaan itu, tapi karena terlalu lelah dan lapar aku cuma bisa memandangi pria itu.

Singkat cerita, aku dibawa oleh beliau.

Dengan menggunakan kereta kuda, aku duduk di belakang dekat barang-barang sambil di beri makan dan minum.

Jujur.... Yang aku harapkan tadi itu mobil, bukan kereta kuda.

Meski begitu, aku terselamatkan berkat kehadiran beliau yang mau memberikanku tumpangan.

Agak sedikit aneh bagiku, sudah sangat lama aku tidak melihat kendaraan ini beroperasi. Namun sekarang aku menemukan satu kereta kuda yang kelihatannya masih terawat baik. Bahkan aku merasa kalau kereta kuda ini masih dipakai untuk kegiatan sehari-hari.

Beliau juga memberikanku beberapa makanan.

Ya makanan... walau makanan ini terlihat aneh.

Seperti roti tapi bukan roti.

Yup... Makanan ini punya tekstur yang aneh, keras seperti ban dalam sepeda motor (jangan berpikir kalau aku pernah memakan itu, ok? ini hanya perumpamaan).

Dan juga... Hambar.

Aku tak punya pilihan lain selain memasukan semua itu kedalam perutku meski harus menelannya bulat-bulat.

Suasana hening mengiringi perjalanan kami. Hanya suara tapak kuda yang mendominasi kehadiran saat ini.

Ngomong-ngomong, paman itu berada didepan kereta kuda sembari mengendarainya.

Waktu terus berjalan bersama kami. Tanpa terasa warna jingga yang tadi menguasai langit telah tertutup sepenuhnya oleh gelap malam dan tumpahan cahaya bintang.

Aku masih sedikit memikirkan tentang Rina, entah wajah apa yang akan aku tampilkan saat bertemu dengannya.

Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Aku benar-benar telah merusak liburan kami. Padahal sudah sangat lama kita berlibur bersama, gumamku dalam hati.

Perasaan bersalah terus bersarang, aku akan bersyukur jika ada mesin pemutar waktu di dekatku saat ini. Semuanya ingin ku ulang, aku ingin menolak ajakan Dino dan berakhir melanjutkan tontonanku depan laptop.

Lagi pula, sekarang aku ada dimana? Semua yang kulihat terasa asing bagiku.

“Anu.... Nak, Apa kau baik-baik saja?” tanya paman dari balik kemudinya.

Nampaknya paman ini masih sedikit khawatir denganku.

“Ehm... Ya aku baik-baik saja, hehe terimakasih paman buat makanannya (walaupun enggak enak makanannya)” sahutku sambil merasa bersalah sudah sedikit mengeluh.

“Yah sama-sama, tapi maaf aku cuma bisa memberimu beberapa roti. Jujur aku sedikit khawatir tentang keadaanmu, dari tadi kau hanya diam sampai malam begini. Aku pikir kau tidak sadarkan diri lagi.”

Ah... ternyata tadi benar roti tah?

“Ah tidak paman, aku cuma menikmati suasana malam saja, dan selebihnya aku baik-baik saja.”

Tidak seperti itu... Aku hanya sedang memikirkan beberapa hal yang mengganjal perasaanku. Dan juga aku bukan tipe orang yang akan memulai sebuah pembicaraan dengan orang lain. Sedikit malu? Entahlah... tidak mudah bagiku untuk melakukan itu.

“Ngomong-ngomong nak, apa yang kau lakukan dipadang Zavira?”

Padang Zavira? Ah padang rumput tadi kah?

Aku baru tahu ada yang namanya padang Zavira di daerah Wonosobo.

Tunggu sebentar, emang benar ada kah padang rumput seluas itu di daerah dekat pegunungan Dieng?

Setahuku, pegunungan Dieng tidak memiliki padang rumput seperti itu... Tapi masa iya  terbawa arus sampai ke daerah lain? Kalau benar begitu, pastinya aku sudah mati.

“A-aku tenggelam di sungai dan hanyut sampai padang rumput itu.”

“Hanyut dalam sungai?!”

Paman itu entah kenapa terkejut dan menatapku dari depan kereta kuda.

“I-iya seperti itu, kaki ku terkilir dan aku hanyut dalam sungai.”

Dengan wajah paman yang terheran-heran entah kenapa, dia seperti tak punya pilihan lain untuk percaya kepadaku karena aku terlihat tidak berbohong sama sekali.

“Se-seperti itu kah? Y-ya mulai sekarang lebih berhati-hatilah... Dan bersyukurlah kau masih hidup.”

“Y-ya.”

Apa yang aku jelaskan adalah hal yang benar-benar terjadi. Jadi aku menjawabnya dengan seadanya.

Aku benar jatuh dan hanyut di sungai karena kaki ku terkilir-

Eh?

Loh kok bisa?!

Kakiku tidak terasa sakit sama sekali... Da-da-dan aku sama sekali tidak sadar tentang ini?!

Benar juga, tadi aku berjalan sangat jauh, seharusnya aku merasakan sakit di pergelangan kaki.

Tapi kok bisa aku tidak merasakan apapun? Apa aku sembuh? Atau aku hanya berhalusinasi tentang kaki yang terkilir?

Tunggu sebentar! Aku yakin aku terkilir, lalu kenapa sekarang sembuh?!

Keringat dingin mulai menetes dari keningku yang sedang memikirkan apa yang sedang terjadi sebenarnya.

Ini aneh!

“Oh ya nak, sebentar lagi kita akan sampai Kota Lexa, dan aku akan beristirahat disitu... Jadi, ehmm.... sepertinya aku hanya bisa memberikan tumpangan sampai kita tiba di kota."

“Ah... oke paman-

-Eh?!”

Kota apa dia bilang? Lexa? Kota Lexa?

Dimana Kota Lexa berada? Aku baru mendengar ada kota bernama Lexa di sekitar Dieng.

“Ada apa nak? Suaramu tadi seperti kau baru saja terkejut?”

“Ehhh.... Itu.... Apa, tadi apa nama kotanya?”

“Kota Lexa.”

“Kota Lexa?!”

“Iya Kota Lexa, ada apa nak?”

“Eh eng- enggak ada paman, hanya sedikit terkejut aja.... Ngomong-ngomong, dimana itu?”

Lanjutku bertanya mencari tahu.

“Itu di depan... Bentar lagi kita sampai.”

BUKAN ITU MAKSUDKU!

Aku hanya ingin tahu dimana kota Lexa berada?! Di kabupaten mana dan provinsi mana?! Atau sebelah mananya kota Wonosobo?!

Tapi sayang aku tidak bisa bertanya sambil teriak seperti itu pada paman baik hati ini.

Aku coba mengingat tentang Kota Lexa berada, tapi di dalam memoriku aku tidak menemukan nama kota atau daerah yang bernama Lexa didekat pegunungan Dieng. Jangankan Dieng, di pulau Jawa pun tidak ada kota dengan nama seaneh dan seasing itu.

Ada apa ini?

Dimana aku?

“Nak, oi nak.”

“Huh?! Heh?!”

Panggilan paman menyadarkanku yang sedang bergumam sendiri sambil memegangi kepalaku.

“Ada apa paman?”

“Ah tidak, aku cuma ingin tahu... Mungkin ini terlambat untuk bertanya, tapi... Dari mana kau berasal dan mau kemana?”

“Dari Semarang mau ke Wonosobo” balasku cepat.

“Apa? Darimana?”

“Semarang.”

"Semarang?"

"Iya.. Semarang."

“Dimana itu?”

“Eh?!”

“Huh?”

Kami terdiam saling pandang. Kereta kudanya pun mendadak berhenti dan diam seketika.

Lalu suasana jatuh pada kesunyian yang cukup dalam.

Tidak, ini terlalu sunyi sampai aku bisa mendengar detak jantungku.

Keringat dingin mulai mengalir deras dari keningku. Aku hanya bisa menerka-nerka tentang apa yang sedang terjadi saat ini.

Otakku bekerja sangat keras untuk memikirkan tentang hal ini. Mencari jawaban tepat untuk menjelaskan situasi absurd yang menimpaku. Sebuah kesimpulan dari pemikiran gila mendadak hadir dalam benak.

Meskipun sangat tidak masuk akal, hanya ini jawaban yang bisa menjelaskan semua hal yang aku alami.

Mustahil... Itu mustahil!

Beberapa kali aku pikirkan itu jelas diluar nalarku.

Tidak mungkin sesuatu yang bersifat fiksi dan hanya ada di komik atau anime bisa menjadi kenyataan.

Jawaban itu adalah, aku telah berpindah tempat ke dunia lain.

Dunia lain yang aku maksud disini ada 2 macam.

Dunia Ghaib, dan Dunia Parallel.

Mungkin kalau jawabannya dunia ghaib, itu masih masuk akal karena banyak cerita-cerita dari zaman dulu yang menjelaskan eksistensi dari dunia ghaib. Bahkan banya orang Jawa yang masih mempercayainya.

Disisi lain ada Dunia Parallel

Sebuah dunia yang berbeda dari dunia yang kita tempati. Biasanya itu didalam sebuah cerita fiksi, dunia yang penuh dengan keajaiban. Dunia ini di perkenalkan oleh cerita-cerita fiksi dalam novel yang eksistensinya masih sangat-sangat diragukan.

Jadi tak mungkin sesuatu seperti itu bisa terjadi!

Kata ku sambil meyakinkan diri diiringi senyum masam yang timbul dari wajahku.

Aku mungkin penggemar anime atau komik. Tapi aku tidak pernah sedikitpun berpikiran kalau semua itu nyata.

Nah sekarang, Bagaimana tuk menjelaskan situasi seperti ini?

“Nak, maaf soal ini. Aku tidak tahu apa yang kau katakan barusan. Jadi sebaiknya setelah sampai ke kota kau harus segera memeriksakan diri ke dokter.”

“Hmm... Baiklah paman.”

Sambil tersenyum aku membalas saran paman...

BAIKLAH MATTAMU!!!!

Kau pikir aku gila?! Hah?! Justru semua ini yang terdengar gila! Kau dengar paman?! Hah?!

“..........”

Tentu saja dia tidak mendengarnya, aku hanya berteriak di dalam hatiku. Aku tidak mungkin berkata seperti itu dengan orang yang baru saja kutemui.

Kami pun melanjutkan perjalanan.

Sepertinya paman tidak terlalu memusingkan tentang perkataanku tadi.

Sementara itu, aku masih berpikir keras tentang ini. Dalam hatiku masih ada 60% bagian yang tidak percaya bahwa aku ada di dunia lain.

Namun aku mencoba untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah aku lalui. Dan aku juga melihat sekitarku untuk memastikan sesuatu-

"M-mustahil... A-aku berada di dunia lain."

Kali ini sambil menatap langit, aku yakin dan makin yakin setelah melihat pemandangan yang belum pernah aku lihat. Dua buah bulan di langit yang sama.

Satu bulan berwarna merah dan satunya berwarna biru terang.

Aku benar-benar tercengang melihat kenyataan ini. Tanpa ku sadari, aku mencubit pinggulku... Dan itu sakit.

Aku pikir semua itu fiksi dan tidak mungkin terjadi.

Malah apa yang aku pikirkan adalah kenyataan yang aku alami sekarang.

Aku ada di dunia parallel.

Kenapa aku berasumsi jika ini di dunia parallel? Mudah saja, semua ini terlalu nyata, dan sangat nyata jika aku asumsikan ke Dunia Ghaib. Rasa lapar, kenyang, makanan yang keras dan hambar, rasa sakit saat aku mencubit diri sendiri, dan paman yang berwujud manusia normal dengan sangat sempurna seperti manusia pada umumnya.

Dengan guncangan mental yang luar biasa, aku terduduk dengan lemas sambil menundukan wajahku.

Nafasku mulai berat, dan keringat dingin membanjiri tubuhku.

Semua ini sudah jelas, tinggal bagaimananya aku yang akan menerima kenyataan ini.

Hal-hal yang ku alami tadi juga menjelaskan tentang keadaan sekarang.

Dari mulai aku tenggelam di sungai yang deras dan dalam sampai aku bangun di tengah padang rumput yang sangat luas dengan sungai yang beraruskan tenang dan dangkal.

Setelahnya aku menjumpai kereta kuda yang seharusnya sudah tidak ada dizamanku.

Lalu makanan yang disebut roti walau itu lebih mirip dengan kulit hewan yang sudah di keringkan.

Dan terakhir kota yang belum pernah aku dengar namanya.

“Nak kita sudah sampai di depan gerbang, apakah kau punya tanda pengenal atau semacamnya? Para penjaga itu mungkin mengira kau adalah tahanan lepas jika kau tidak memiliki tanda pengenal."

Ditengah lamunanku, paman baik hati ini memberitahukanku tentang tanda pengenal agar aku bisa di ijinkan untuk masuk kedalam kota.

Sayangnya, aku tidak memiliki hal semacam itu. Yang aku miliki di dompeku hanya KTPku dan SIMku. Apakah kedua benda ini bisa di gunakan?

Jelas tidak.

Aku menatap paman itu dan berkata

“Tidak ada satupun, aku cuma membawa kartu pengenalku dari tempat asalku. Aku tidak berpikir itu akan bekerja untuk mereka” jawabku sambil menunjukkan KTPku pada paman.

“Ah...”

Dengan respon yang merasa iba, aku yakin bahwa paman ini serius menganggapku aneh atau gila karena aku membawa benda aneh yang mungkin tidak ada di dunia ini.

Entah kenapa firasatku buruk soal ini. Aku merasa ada di situasi yang gawat.

Sebelumnya juga aku pernah lihat klise ini di beberapa anime, ketika kau tidak memiliki tanda pengenal kau tidak diijinkan untuk masuk ke dalam kota.

Itu artinya aku harus menghabiskan malamku di luar batas kota, atau lebih buruknya aku akan masuk penjara karena di anggap orang asing yang akan membahayakan kota.

Yah, memikirkan aku yang tinggal di penjara.... Sebenarnya itu bukan hal yang terlalu buruk juga sih, karena aku pikir aku akan dapat makan gratis disana...

Meski begitu, aku tetap mempunyai perasaan enggan untuk tinggal di dalam penjara.

.......

Aku menatap paman itu dengan ekspresi putus asa. Dan nampaknya paman mengerti tentang keadaanku.

“Baiklah, kau bisa masuk denganku. Tapi sebelum itu, bisa kau sebutkan dulu namamu?”

“Oh iya, namaku Rosario Ellio.”

“Oke" balas paman itu dengan percaya diri.

Kereta kuda pun berhenti dan aku lihat di depan ada 2 penjaga gerbang dengan baju zirah.

Paman baik hati yang mengetahui penjaga itu langsung turun dari keretanya dan menghampiri mereka.

Sementara aku? Aku terkesima menatap tembok kota yang besar yang membatasi kota.

Perlahan-lahan aku mulai menerima semua ini. rasa cemasku mulai reda dengan melihat pemandangan yang menakjubkan. ini hanya bagian luar kota Lexa, namun semuanya terlalu epic bagiku.

Saat ini, pertama kalinya aku melihat tembok sebesar ini dan seluas ini. Walaupun saat ini malam hari, aku bisa melihatnya dengan jelas seberapa besar tembok itu sambil mengeluarkan kepalaku dari kereta kuda.

Tiba-tiba sesosok pria tinggi kekar berjalan menuju kereta kuda yang aku tempati.

Pria itu menatapku dan aku memberikan senyumku seakan menyapanya.

Setelah itu pria itu kembali ke pos penjaga yang ada di sudut pintu masuk gerbang.

Yah, pria itu salah satu dari penjaga gerbang.

“Ayo nak kita masuk gerbang.”

“Baik paman.”

Kita berdua akhirnya masuk kedalam kota.

Aku sempat berpikir apa alasan yang paman berikan agar aku diijinkan masuk kedalam gerbang.

Ingin aku menanyakannya, tapi tetap saja aku masih merasa sungkan bertanya.

Ah... Aku benci diriku yang terlalu lama menjadi anti sosial.

Sesaat kemudian kami pun berhenti.

“Nak sepertinya hanya sampai sini aku bisa mengantarmu, aku sungguh minta maaf tentang ini... Ehm aku punya beberapa urusan setelah ini, jadi aku tidak bisa mengantarmu lebih jauh lagi.”

Mendengar itu, aku hanya bisa mengangguk iya dan memberinya senyuman.

“Eh paman, aku lupa sesuatu... Dimana aku bisa menjual barang antik di kota ini?”

Dengan memberanikan diriku, aku bertanya soal ini. Aku tidak punya pilihan karena aku butuh uang. Ya kalian tahulah betapa susahnya seorang sepertiku untuk terus berada di sebuah percakapan.

“Ah soal itu... Kau tinggal berjalan lurus dari sini sampai kau bertemu tugu, lalu belok ke kiri. Di situ akan ada toko bertuliskan barang antik.”

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih paman!”

“Nah aku pergi dulu yah. Jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa untuk pergi ke dokter."

“Oke paman!”

Teriakku sambil melambai kearah paman yang perlahan mulai menjauh.

Paman...

Satu hal yang perlu aku tegaskan...

Aku bukan orang gila.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!