NovelToon NovelToon

MAS BERONDONG, I LOVE YOU

BAB 1

Megantara Samudra Laksa. Tingginya sekitar 180cm dengan kulit putih keturunan asli Korea-dari sang ayah- bibir tipis ranum yang jarang sekali digunakan untuk tertawa.

Dia tidak bisu. Tentu. Hanya saja tidak punya kesenangan lebih untuk mengoceh seperti teman-temannya yang lain. Beberapa menganggapnya anti sosial, tapi bagi Abel Kalula, dia hanya seorang laki-laki yang errr mungkin akan sedikit menghangat jika diperhatikan olehnya.

Terlalu percaya diri? Memang. Seluruh penghuni SMA Dream Catcher juga tahu kalau tingkat kepercayaan Abel memang berada di atas rata-rata. Sinting-sinting begitu, dia menjabat sebagai anggota OSIS loh. Ya, meskipun sempat dikatai lolos tanpa melewati tes kejiwaan sih.

"Bel?"

"Apaan?"

"Itu anak gugus lo lagi sariawan apa gimana dah? Perasaan diem mulu dari tadi," ujar Anjani. Dia satu komplotan dengan Abel perkara kesintingan ini.

"Yang mana? Perasaan pada hebring semua."

"Itu yang paling belakang. Yang kalau kata si Dito kayak gapura kabupaten."

"Ohh. Laksa?"

"Iya kali, gue nggak gitu hafal sama nama-namanya."

"Kata gue mending dia diem deh. Kalau udah buka suara, bawaannya pengen ngajak sleep call mulu."

"Tayi. Najis amat baru hari pertama udah ngincer berondong."

"Daripada gue ngincer bapak lo?"

Anjani geleng-geleng kepala. Berteman dengan Abel memang semakin membuatnya gila.

"Samperin kek. Suruh agak ramean dikit kayak yang lain. Kalau ketahuan sama Bian, yang ada malah diceramahin di depan anak-anak lain dan dikatain anti sosial. Tahu sendiri motto kepengurusan kita, tak kenal maka harus kenalan."

"Kalau gue samperin tapi malah kegandeng tangannya, gimana?"

"Itu mah emang elu yang sengaja modus!"

Dengan pita pink yang tergantung menjuntai sampai ujung rambut, Abel menghampiri Laksa. Senyum lebarnya berubah jadi sedikit mentereng, hampir-hampir membuat Abi tertawa cekikkan.

"Lagi nggak enak badan?"

Abel berjongkok. Punggung tangannya menempel di bagian dahi tanpa izin seolah ini bukan kali pertama bertemu dengan Laksa.

"Enggak."

"Terus kenapa diem aja? Sibuk kenalan sama yang lain dong! Apa malah mau kenalan sama gue aja?"

"Masih pagi."

"Kenapa? Senyum gue kelewat cerah ketimbang matahari?"

Laksa menyangga tubuhnya dengan tangan. "Lo kelewat berisik buat pertemuan pertama."

"Bagus dong! Biar nanti di pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya lo mulai terbiasa."

"Terbiasa sama ocehan lo?"

"Terbiasa sama kehadiran Abel Kalula yang akan bertugas mewarnai hari-hari lo ke depannya."

"Penjual krayon?"

Abel mengangguk yakin setelah meletakkan susu kotak ke atas pangkuan laksa.

"Kalau lo yang jadi kanvas putihnya, gue siap jadi penjual krayonnya kok."

Ketika Abel mengerling manja, semua orang dibuat tertawa karenanya.

"Beneran gila itu orang," dengus Anjani.

"Meskipun suara lo terlalu sleepcall-able tapi ngomong lebih banyak dong. Kenalan sama yang lain atau ngobrol-ngobrol juga boleh. Jangan cuma diem-diem doang nanti malah kena semprot sama kakak ketos yang galak itu. Oke, Megantara?"

"Gue juga bisa ngomong sendiri meskipun tanpa disuruh-suruh. Kayak anak kecil aja."

"Ya, kalau bentukannya kalau lo begini sih emang udah nggak cocok jadi anak-anak lagi, tapi cocoknya jadi bapak dari anak-anak gue nanti."

"Lo habis makan kecubung?"

Abi tertawa semakin kencang. Pipinya mendadak kaku gara-gara mati-matian menahan diri agar tidak terlalu bahagia dengan makian itu.

"Habis makan nasi kuning sih. Tapi mungkin kewarasan gue agak sedikit terguncang setelah lihat wujud Megantara Samudra Laksa secara langsung. Ternyata jauh lebih dingin dari profil fotonya yang kosongan itu, ya?"

Laksa betulan merotasikan bola matanya secara terang-terangan. Tak peduli sekalipun Abel lebih tua dibandingkan dirinya.

"Kalau mau eye roll mah eye roll aja kali, jangan malah tambah menarik kayak gini."

Eye roll : Memutar mata

"Gue bukan magnet."

"Loh, kata siapa yang bisa tarik menarik cuma antar kutub magnet doang? Setahu gue yang namanya Samudra Laksa juga paling jago buat narik Abel Kalula sampai nggak bisa lari ke mana-mana."

"Mending lo tes kejiwaan deh."

"Biar apa?"

Abel menelengkan kepala dengan ekspresi tengil. Karena terlanjur sebal, Laksa sampai harus menoyor agar kepala Abel bisa kembali ke posisinya.

"Biar byur."

"Ahahah. Emang boleh selain tinggi dan sleepcall-able begini masih ketambahan humoris juga? Jangan diembat semua dong, nanti cowok lain nggak kebagian apa-apa."

"Stres."

"Apa? Grogi?"

"Ck!"

Abel tertawa sekali kali. Dia tahu kalau Laksa tengah merasakan perasaan yang lain-malu-malu- sampai telinganya tak sengaja memerah.

Alih-alih menggoda lebih lama lagi, dia segera bangkit. Ketika tepukan pelan mendarat di atas puncak kepala, semua orang kembali menyorakinya.

"CIEEEEEEE~"

Laksa kontan melenguh. "Kayaknya emang paling bener gue masuk ke sekolah yang kemarin aja."

Selepas kepergian Abel, Abi kontan menyenggol lengan Laksa dengan senyum yang tak kalah mentereng.

"Darah Korea lo ternyata berguna juga, ya? Baru hari pertama udah diincer sama kakak pendamping aja."

"Kalau bentukannya kayak dia, mending nggak usah."

"Emang kenapa? Dia cantik kok. Lucu malah."

"Lucu apanya? Stress sih iya."

"Hati-hati, Lak. Yang begitu biasanya bisa bikin lo kesengsem sampai ke serat inti DNA."

"Berisik."

Sama seperti dugaan Laksa, MPLS hari pertama ternyata benar-benar membosankan. Seperti tengah ditimang-timang dengan lagu nina bobo paling merdu di seluruh peradaban.

"Lak?"

"Hm."

"Kalau gue merem sebentar, kira-kira bakal kena sembur atau kena lempar pointer, ya?" tanya Abi. Dia sudah terkantuk-kantuk, paling nyender sebentar langsung molor.

"Kena panggil pake mic."

"Emang iya? Kata siapa?"

"Ngga tahu, gue ngarang aja."

"Yeuuu."

"EKHMM!"

Abi langsung kicep apalagi saat seksi kedisiplinan melotot cukup tajam.

"Kalau mau ngobrol mending cabut. Di sini bukan tempat nongkrong yang isinya cuma buat haha hihi doang."

"Baik, Kak."

"Anak gugus mana lo?" Dia bertanya sembari mengarahkan pointer ke dahi Abi.

"Gugus Harimau."

"Ketemu sama gue setelah sesi ini berakhir." Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Kalau ada yang ngobrol waktu pemaparan materi, gue suruh gantiin pematerinya."

"SIAP KAK!"

Laksa melirik dengan alis naik sebelah. "See?"

Abi langsung mecucu. "Harusnya lo ngasih tau gue kalau sekdisnya galak kayak macan baru lahiran."

"Abiiii!"

Seorang gadis berkuncir dua menoleh dengan wajah sebal. Michie namanya.

"Bisa diem dulu nggak? Lo nggak ingat omongannya Kak Abel tadi malem kalau ada yang bikin masalah, nanti satu gugus kena hukum juga?"

"Emang iya, Lak?"

"Nggak tahu."

"Huu, dasar cowok-cowok!"

Ketika Michie kembali menghadap depan, Abi mepet-mepet ke Laksa lagi.

"Emang ada peraturan kayak gitu? Perasaan gue nyimak grup terus tapi nggak pernah baca peraturan itu deh."

"Mana tahu? Gue nggak baca grup."

"Emang semprul!"

BAB 2

Laksa baru saja selesai buang air kecil ketika tidak sengaja menemukan Abel tengah bercengkerama dengan seseorang. Kalau dilihat dari perubahan atmosfer di sekitar, agaknya obrolan mereka cukup serius.

Meskipun cukup penasaran-sedikit sih, namun Laksa memilih berlalu ketimbang si petasan banting itu menciptakan masalah baru untuknya. Gini-gini, Laksa punya misi khusus : Berjauhan dengan Abel minimal 1m jaraknya.

"LAKSA!"

Yang dipanggil kontan memejamkan mata.

Harus banget dia mencium keberadaan gue sekarang?

"Eh, jalannya jangan cepet-cepet dong! Gue tahu lo tinggi kayak menara sutet, tapi plis, hargai kakak pendamping lo yang kecil, mungil dan amat sangat menggemaskan ini."

"Nggak penting banget."

"Jangan gitu. Gini-gini, gue yang bakal menanggung bala dari kesalahan lo-lo pada."

"Oh, ya, trims."

Abel berusaha menyejajari langkah Laksa dengan kepala goyang-goyang. Bentukannya sudah sebelas dua belas dengan boneka penghias mobil. Laksa jadi tidak tahan untuk tidak mendengus sebal karenanya.

"Lo sama Abi tadi ngobrolin apa?"

Dengan tinggi tak seberapa itu-180cm vs 160cm- Abel jadi harus mendongak setiap kali mengajak Laksa bicara.

"Kepo."

"Hah, lo ngomong apa? Jangan kecil-kecil dong suaranya, gue nggak bisa denger kalau lo ngomong kayak gitu."

"Bukan urusan lo."

"Eh, ini tuh bukan masalah urusan gue atau nggak, tapi lo sama Abi tuh sama-sama anak gugus gue. Udah jadi tanggung jawab gue buat ingetin kalian biar nggak kena tegur kayak tadi."

"Gue nggak akan takut cuma karena teguran kayak gitu."

Abel menarik lengan Laksa sampai si jangkung itu hampir menabraknya.

"Megantara Samudra Laksa, anak gugus gue yang paling sleepcall-able dibandingkan yang lain, selama tiga hari ini tolong jaga sikap dulu, ya? Gue tahu pemaparan materinya agak bikin ngantuk, tapi plis jangan ngobrol sendiri apalagi sampai tidur. Hargain temen-temen gue yang udah susah payah siapin ini buat kalian. Sama-sama menghargai aja, oke?"

Laksa menarik lengannya cukup kasar, membuat Abel malah tertarik hingga menabrak dadanya.

"Berisik."

"Laksa?"

Yang lebih muda menjawab dengan mengangkat alisnya.

"I love your smell, btw. Rasanya cukup nyegerin di tengah cuaca panas yang bikin sakit kepala ini."

"Out of topic," ujarnya setengah gugup.

"Tapi serius, gue suka sama baunya."

"Kayaknya lo emang mabuk kecubung deh."

Laksa berlalu. Dia sempat mengepalkan tangan untuk melampiaskan rasa gugupnya. Sial! Ternyata Abel jauh lebih merepotkan daripada dugaannya.

***

"Bisa-bisanya baru hari pertama udah ada yang berani nginjek-injek kita. Pendamping gugus pada becus ngurusin anak-anaknya nggak sih? Malu-maluin kepengurusan aja. Kalau keberatan jadi kakak pendamping, mending cabut! Gue nggak butuh anggota nggak kompeten kayak gini. Sekali lagi kejadian, siap-siap terima hukuman dari gue."

Pernyataan Bian terdengar seperti ultimatum yang tidak bisa dibantah sekalipun harus mengguncangkan dunia. Meskipun peringatan itu ditunjukkan untuk Abel seorang, tapi semua orang jadi tegang karenanya.

"Paham, 'kan, Bel?"

"Paham."

"Ingetin anggota gugus masing-masing buat berangkat lebih pagi dan bawa peralatan sesuai kesepakatan bersama. Yang kelewatan atau kurang tertib langsung jemur di lapangan. Gue nggak mau lihat anak-anak yang susah diatur."

"SIAP!"

"Eval gue cukupkan sampai di sini. Gue harap nggak ada yang main-main sekalipun dilarang pake kekerasan."

"SIAP!"

Sekretariat mulai sepi, hanya menyisakan Bian, Anjani dan Abel. Itu pun karena dua gadis itu sempat berbincang-bincang sembari memakai sepatu.

"Bel, pulang bareng yuk?"

Yang menoleh lebih dulu bukan Abel, melainkan Anjani. Gadis IPA 3 itu bahkan sempat bolak-balik menatap dua insan di sampingnya.

"Gue pulang bareng Anjani."

"Bel."

Abel ditarik hingga dia hampir terpelanting. Ketika berhadapan, dia pandangi Bian dengan wajah kesal. Meskipun bukan pertama kali, sengatan kalimat Bian tetap saja menyakitkan.

"Gue mau pulang."

"Gue tahu nggak seharusnya gue ngomong kayak tadi, tapi kalau harus kelihatan lembut, nanti orang-orang bakal berpikiran kalau gue pilih kasih sama lo. Gue bener-bener nggak bermaksud kayak gitu, Bel. Maafin gue, ya."

"Hak lo mau ngomong kayak gimana. Terlepas dari cara penyampaian lo, anak gugus gue emang bikin salah."

"Bel, jangan kayak gitu. Lo tahu, 'kan, apa posisi gue sekarang? Udah nggak bisa condong ke lo meskipun kita cukup dekat."

"Lah, nggak akan yang nyuruh lo buat memprioritaskan gue tuh!" Abel menelengkan kepala. Sekilas seringaian tipis terbit dari ujung bibirnya.

"Gue tahu kalau lo marah, tapi gue nggak punya pilihan lain. Situasinya bener-bener-"

Abel lebih dulu memotong ucapan Bian dengan mengangkat tangannya.

"Bi, kayaknya lo yang terlalu overthinking deh. Gue nggak mikir apa-apa, jadi jangan minta maaf mulu."

"Makanya ayo pulang sama gue."

Anjani kontan melambaikan tangannya. "Hello, Anjani masih ada di sini. Meskipun belum punya surat izin, tapi gue nggak pernah ugal-ugalan kok, Pak. Jadi bisa dipastikan kalau Abel akan pulang dengan selamat aman sentosa meskipun nggak dianterin sama lo. Dramatisnya udahan dulu, ya. Keburu maghrib nanti kena omel emak gue. Bye."

"ABEL!"

Begitu sedikit menjauh, Anjani langsung bergidik tanpa perlu menyembunyikannya lagi.

"Dramatis banget, anying! Daripada jadi ketua OSIS mending suruh casting jadi pemeran film pintu berkah aja deh."

"Ahaha, sial."

"Kenapa lo bisa deket sama manusia kayak dia sih, Bel? Jadi anggotanya aja udah ngerepotin, malah ketambahan jadi temen deketnya juga. Nggak gantung diri di pohon toge aja udah sujud syukur lo."

"Kalau kayak gitu, berarti lo setuju dong kalau gue sama Laksa?"

Anjani yang tengah menyalakan mesin motor kontan mendengus. "Lo beneran mabuk kecubung, ya?"

"Ahahaha, kenapa sih?"

"Omongan lo kayak orang nge-fly anying!"

"KAMPRET!"

BAB 3

"Hoaaaaaaammmm!"

Abel merenggangkan otot sembari menguap lebar. Gara-gara ultimatum Bian semalam, ia jadi harus bangun kelewat pagi demi nongkrong di depan gerbang. Tujuannya hanya untuk mengecek perlengkapan anak gugus masing-masing, tapi kok ya harus menyiksa diri seperti ini?

"Kayaknya yang bakal kena hukum Bian gue deh, Jan."

"Kenapa gitu?"

"Lo lihat aja gimana bentukan gue sekarang. Lemas dan tidak bertenaga, pucat dan kurang asupan nasi kuning favorit kita semua. Yakin deh, jangankan kasih komando PBB buat anak-anak, mau teriakin yel-yel aja kayaknya suara gue kagak nyampe."

"Halah pret! Ntar kalau udah lihat si Laksa juga ijo lagi itu mata."

"Ett, jangan meremehkan rasa ngantuk gue dong! Gini-gini gue sempet bikin bekel meskipun ujungnya malah diusir dari dapur."

"Bikin huru-hara apalagi lo?"

"Mau goreng endog tapi endognya diceplok duluan sebelum minyaknya masuk wajan."

"Emang buduhi!"

Sama seperti dugaan Anjani, semangat Abel seketika berubah jadi semangat 45 setelah Laksa datang. Cowok bermata sipit itu mendekat sembari mengemut permen. Satu hal yang pasti, aroma citrus menguar kuat dari tubuhnya. Abel, 'kan, jadi pengen deket-deket biar matanya melek terus.

"Selamat Pagiiiiiii."

"Pagi."

"Mulai ganjen dah tuh. Kata gue juga apa? Melek, 'kan, matanya kalau udah lihat Laksa."

"Namanya juga ketemu sama ayang, Jan. Kalau mata nggak ngejreng pasti bibir reflek senyam-senyum. Dah hafal banget gue sama kebiasaan si Abel takobel-kobel. Curiga banget bentar lagi kita tumpengan," ujar Dito.

"Et, suka bener kalau ngomong. Ntar, ye, gue ajakin kalian tumpengan tapi pake tumpeng mainan."

"Dih, pelit."

Laksa yang masih tertahan, akhirnya protes juga. Dengan tangan terselip di kantong celana, dia pandangi Abel dengan alis naik sebelah.

"Udah belum ngocehnya? Gue mau lewat."

"Aww. Jangan main lewat-lewat gitu aja dong, minimal ceritain dulu tadi udah sarapan pakai apa. Kakak Abel, 'kan, penasaran sama kebiasaannya Megantara Laksa."

"Gue baru tau jadi pembimbing gugus harus sekepo itu."

"Itu mah bukan kepo, Lak. Tapi modus doang. Jawab gih, takutnya anak dia jadi ileran setelah lahir nanti." Anjani jadi tertawa karena celotehan Dito. Memang sama-sama gila, jadi maklum saja kalau kebiasaannya suka asbun.

"Dikiranya gue hamil!" 

Abel mendengus, tak urung tetap mengangkat kepala untuk berhadapan dengan Laksa. Yah, namanya juga botol yakult vs menara sutet.

"Bawa perlengkapan apa?"

"Kayak ketentuan OSIS."

"Coba gue cek dulu. Jangan sampai ada yang ketinggalan terus kena hukum sama anak OSIS. Gugus kita udah ditandain gara-gara lo ngobrol sendiri sama Abi kemarin. Jadi jangan bikin masalah lagi."

Laksa mendengus. Pada akhirnya ia tetap membuka isi tasnya sekalipun dengan wajah datar. Tidak suka saja jika barang pribadinya disentuh-sentuh oleh orang lain apalagi bentukannya kayak si Abel Kalula.

"Ih, pinter banget nggak ada yang ketinggalan. Langka nih cowok yang bisa dengerin instruksi kayak lo begini."

"Kalau langka, langsung masukin penangkaran aja, Bel."

"Apa sih, Dito? Ikut campur banget soal urusan rumah tangga orang lain. Aku nggak suka, ya, lihatnya."

Dito langsung geleng-geleng. "Emang stres."

"Ke mana aja, Dit? Kok baru nyadar sekarang?" tanya Anjani.

"Gue kira nggak sesinting ini."

"Enak aja dikatain sinting sama biangnya sinting."

"Udah belom?" tanya Laksa. Muak juga kelamaan ada di antara mereka.

Abel mengangguk sok-sokan menggemaskan. "Tapi ada satu sih yang belom."

"Pa'an?"

"Gandengan sama lo di pelaminan."

"Masih jam segini, mabok kecubungnya nanti dulu."

"Oh, bilang aja kalau lo kepengen ketemu sama gue lagi. Ya, elah. Baru hari kedua nih, Bos, masa udah mau bikin kisah kasih di sekolah aja? Buru-buru amat, mau ke mana sih?"

Laksa langsung melirik Dito. "Kandangin temen lo. Kayaknya dia beneran sinting."

"Perawat RSJ juga angkat tangan kalau bentukan pasiennya kayak dia. Apalah gue yang anak baik tampan dan bersahaja ini?"

"HUEKK!"

"Mending lo masuk, Lak. Udah nggak ada yang bener di sini," ujar Anjani.

"Gue juga masih waras buat nggak ikut sinting sama kalian," gerutunya dengan langkah lebar.

Sekilas, Abel pandangi punggung lebar Laksa dengan senyum mengembang. Takjub? Pasti. Tapi lebih dari itu, dia jadi kepengen nyender di sana untuk waktu yang lama. Pasti empuk dan menenangkan banget deh.

"Oy, Kak. Perlengkapan gue perlu dicek juga nggak nih? Lihatin punggung temen gue mulu," ujar Abi yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapan mereka bertiga. Dia bahkan sempat ikut-ikutan memandangi Laksa juga.

"Eh, ada anak gugus gue yang gantengnya nomer dua. Selamat pagi, Fabian Dhanunendra."

Abi geleng-geleng tidak percaya. "Bau-bau mau deketin buat dapetin temen gue, ada banget nih. Curiga banget bentar lagi bakal dijadiin kambing congek."

"Emang Laksa masih jomblo?" tanya Anjani.

"Nggak tau sih. Gue cuma ngarang aja biar temen lo tambah kegirangan."

"Rese lu!" maki Abel.

"Jyakh, udah berharap, ya?" Abi menunjuk Abel dengan wajah tengil. "Sebenarnya bisa-bisa aja sih, tapi mungkin aja seleranya Laksa bukan lo."

"Emang seleranya Laksa yang kayak gimana?"

"Yang agak warasan dikit, misalnya. Btw, kaos kaki lo tinggi sebelah, Kak. Dan dengan cuaca yang bakal cerah bersinar ini, kayaknya parfum lo bakal matiin orang lain deh. Nyegrak banget soalnya."

"Hah?"

Abi melambai dengan senyum mentereng—setengah ngakak. Begitu dia berlalu, Dito dan Anjani mulai mengendus-endus.

"Buset! Kembang tujuh rupa juga kalah semerbak ama bau parfum lo, Bel." 

Meskipun katanya semerbak, Dito tetap menjepit hidungnya juga. Sekarang mulai menggeser posisinya pelan-pelan, ternyata bau yang sedari tadi mengganggu penciuman berasal dari kawan sintingnya ini.

"Bel, kayaknya lo perlu mandi ulang deh."

Abel tersenyum tipis. Dia hampir menangis. "Emang sebau itu, ya?"

"Nyegrak banget woelah. Jangankan Laksa, gue sama Dito aja udah kepengen muntah darat. Kalau deket-deket sama lo waktu cuaca terik, kayaknya gue bakal pingsan deh, Bel. Jauh-jauh dari gue, ya?"

"JANIII, GUE HARUS GIMANAAA??"

Matahari menyingsing semakin tinggi, para siswa baru juga telah berbaris sesuai gugus masing-masing. Kakak pendamping sendiri, berbaris memanjang di bagian depan, menyisakan Abel yang tengah senggol-senggolan dengan Anjani terkait bau parfum yang aduhaiii, bikin adek pusing, Bang.

"Selamat pagi semuanya," sapa Bian lewat pengeras suara.

"PAGIIII."

"Di hari kedua MPLS ini, kita akan belajar baris-berbaris untuk meningkatkan kedisiplinan. Masing-masing peleton akan berisi 30 orang dengan dua kakak pendamping. Selama proses PBB dimohon untuk mematuhi peraturan yang berlaku."

Bian sempat mengedarkan pandangan, sebelum menyambung kalimatnya lagi.

"Di antaranya : 1) Dilarang mengobrol di luar sesi istirahat. 2) Pastikan untuk menjaga kekompakan antar peleton. 3) Kurangi menambah gerakan yang tidak perlu. 4) Angkat tangan untuk meminta izin jika ingin bertanya atau melakukan sesuatu. Mengerti?"

"Siap mengerti, Kak!"

"Ada yang ingin ditanyakan?"

Seorang gadis dari gugus Melati mengangkat tangannya.

"Ya?"

"Anggota tiap peleton ditentukan dengan cara apa?"

"Dua gugus akan digabung menjadi satu, sisanya akan digabung ke gugus lain sesuai jumlah yang ditentukan. Jadi bagi teman-teman yang terpaksa harus berpisah dengan teman satu gugus mohon tetap kooperatif sampai kegiatan PBB selesai."

"Yaaah."

"Untuk sementara waktu, lupakan gugus masing-masing dan melebur bersama teman yang lain. Ingat, yang dibutuhkan di sini bukan hanya kedisiplinan melainkan kekompakan juga."

"Baik, Kak."

"Mohon untuk Kak Dito dan kakak-kakak yang lain segera menuju ke peleton masing-masing."

"SIAP!"

"Sana langsung samperin si Laksa. Katanya mau jadi penjual krayon buat mewarnai hari-hari dia ke depannya?"

"Jan, lo jangan rese dulu dong! Gue udah kepalang malu nih."

Anjani kembali cekikikan. "Lagian, siapa yang nyuruh lo buat nyemprot parfum segitu banyaknya sih? Srot srot dua kali juga udah wangi."

"Tadi baunya nggak kecium, makanya gue tambahin tiga kali lagi." Abel menunduk dengan bibir mengerucut sedih. "Pantesan muka Laksa langsung kelihatan nggak enak, ternyata karena hampir keracunan sama bau parfum gue. Ilfeel nggak, ya, dianya?"

"Heh, lu beneran mau caperin Laksa, ya?"

"Kenapa emangnya? Lo naksir Laksa juga?"

"Ganteng sih, tapi buat lo aja. Toh, sekalipun gue ngalah, dia juga belum tentu suka sama lo juga."

"Kampret! Mematahkan hati kecil gue banget lu."

"Ahahaha. Dah, ya, gue cabut dulu. Selamat pacaran sama si Dito sinting. Bye-bye, Hooman!"

Abel mendengus. "Gue do'ain lo jadi ngejar-ngejar Abi."

Sebagai seorang manusia tinggi jangkung, pergerakan Laksa jadi lebih mudah tertangkap mata orang lain. Perbedaan jatuhnya kaki juga sedikit lebih cepat, Dito jadi harus ekstra mengawasi kalau tidak mau membuat gerakan peletonnya jadi berantakan.

"Henti, grak!"

Dengan tangan tersilang di depan dada, Dito memindai proporsi tubuh Laksa selama beberapa kali. Itu pun disertai decakan kecil sebelum mengambil posisi duduk.

"Abi, maju, Bi."

"Mau disuruh ngapain nih?"

"Silat."

"Yah, gue bisanya kungfu doang nih. Kungfu panda."

"Maju dulu elah, belum apa-apa udah ngoceh aja lu."

"Jangan apa-apain gue lah, Bang."

"Fabian Dhanunendra!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!