NovelToon NovelToon

TERKURUNG OBSESI SANG DOSEN

Bab 1 Dia kembali

Bab 1 : Dia kembali

•••

Kehidupan Sanaya Sastra berubah seratus delapan puluh derajat.

Awalnya, ia hanya berniat menolong sahabatnya, Calla, dari cengkeraman seorang dosen muda yang terobsesi padanya.

Namun, niat baik itu justru berbalik menghancurkan dirinya sendiri.

Kini, dosen itu, Ilham Adinata mengejar Sanaya alias Naya tanpa henti. Bahkan sampai memaksa pernikahan yang tak pernah ia inginkan… hingga meninggalkan benih di rahimnya.

Namun, sekarang ia bisa bernafas lega. Sebab, Ilham sudah berada di penjara. Dan semua karna bantuan Calla dan Kaif.

Naya kini sedang berdiri di depan cermin, memandang perutnya yang mulai membuncit. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.

“Aku bahkan gak pernah menginginkan semua ini…” bisiknya lirih.

Lalu, ia mengelus perut tersebut yang usianya mungkin sekitaran masih 3 bulan kurang lebih. Dengan penuh kasih sayang ia mengelusnya perlahan.

"Tenang, sayang... Ini bukan salah kamu, bagaimana pun kamu tetap anak ibu." lirihnya sembari menyeka airmata.

Tak ingin berlama-lama berdiam diri di dalam rumah kos kecilnya, Naya segera memakai jilbab pashmina jumbonya dan mengambil tas selempang dan mengenakannya. Meski, dalam keadaan hamil ia tetap memaksakan untuk kuliah. Bagaimana pun pendidikan nya harus tetap berjalan.

Bukan di kampus yang lama, melainkan ia sudah pindah ke kampus yang baru atas rekomendasi Calla dan suami sahabatnya itu, Kaif.

•••

Semenjak Calla melahirkan dan cuti kuliah. Maya menjalani rutinitas ke kampus hanya sendirian. Sebagi orang yang introvert, ia termasuk tidak banyak memiliki teman. Mungkin hanya sebagian kecil yang ia kenal jelas.

Ibunya berada di Desa bersama dengan kedua adiknya yang masih kecil. Hanya ia seorang yang merantau dan kuliah di Ibukota Jakarta ini.

Naya kembali menulis apa yang diterangkan oleh Dosen didalam kelas. Bahkan, sesekali ia sempat mengacungkan jari telunjuknya untuk bertanya suatu hal.

Tekad Naya saat ini hanya satu.

'Sukses dan membahagiakan orang-orang yang ia sayangi. Termasuk, ibu dan adiknya yang masih kecil di desa'

Jam kampus pun berakhir. Naya kini sedang berdiri di tepi pagar balkon kampus di lantai dua sedang menikmati roti isi kacang Hijau dan sekotak susu segar.

"Semoga kamu kenyang ya, sayang..." lirih Maya berbicara pada perutnya.

Ia menatap matahari sore yang begitu cerah menyinari kulit wajahnya.

"Ibu berharap semoga orang itu tidak kembali lagi. Semoga dia dipenjara lebih lama, kalau bisa selamanya saja." lirih Naya.

Ya Allah, kabulkan doaku yang ini.

Hingga sebuah panggilan telepon membiarkan lamunan Naya. Sebuah panggilan dari nomor asing.

"Halo, assalamualaikum." ucap Naya.

" Wa'alaikumsalam."

Suara itu begitu santai dan tegas. Mata Naya sontak terbuka lebar.

"Apa kabar istriku? I'm back, Sanaya Sastra." suara barintone, datar dan dingin terdengar jelas.

Ponsel Maya langsung terjatuh di lantai.

Suara itu!

Suara itu!

Ia kenal suara itu.

Suara dingin dan berat.

Suara dari seorang pria yang tidak ingin ia temui lagi.

Ilham Adinata.

Dosen gila itu telah kembali.

"Enggak, nggak! Pasti aku salah dengar. Itu gak mungkin dia, 'kan?!" Naya jadi panik sendiri, ia merasa kepalanya jadi sakit sebelah.

Flashback pov

Naya sedang asik meminum kopi di hadapannya didalam sebuah kantin. Didepannya ada seorang gadis seusianya yaitu Calla, sahabat dekatnya.

Meski, masih berusia 20 tahun. Tetapi, Calla sudah menikah. Kini, ia sedang curhat mengenai pertengkarannya dengan sang suami, Kaif.

"Kesel deh! Kenapa sih dia cuek banget sama aku?! Awas aja nanti aku bakalan cuekin balik."omel Calla terus mengomel dengan memakan hamburger di tangannya dengan lahap.

Naya terkekeh mendengarnya.

Tiba-tiba seorang pria dengan dengan kacamata yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Ilham Adinata, dosen muda, tampan, berkharisma dan tentunya tubuhnya tinggi. Dosen idola di kampus tersebut.

Pria tersebut tepat duduk di sebelah Calla.

"Boleh saya gabung?" tanyanya berusaha formal, namun langsung duduk saja sebelum mendapatkan persetujuan dari Calla dan Naya.

Memang saat ini situasi didalam kantin begitu padat dan sesak sekali. Hanya sedikit kursi yang tersisa.

Calla merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh Dosen tersebut. Jarak duduk mereka begitu dekat sekali, bahkan Naya yang melihat hal itu juga tidak suka.

Beberapa bulan berlalu...

"Dosen itu bener-bener sakit jiwa, Nay.Dia sampai bilang suka sama aku!" curhat Calla.

"Trus, gimana? Apa tanggapan Kaif?" tanya Naya yang juga shock mendengar hal itu. Mereka sedang berjalan melewati koridor kampus. Kebetulan Calla kini sedang hamil.

Tiba-tiba, Maya mendapatkan sebuah panggilan telepon di ponselnya. "Sebentar ya, Ibu aku nelpon." ujar Maya mulai mengangkat telepon.

Belum sampai 5 menit ia menelpon, ia menoleh ke samping. Calla menghilang.

Gadis itu tidak ada di sebelahnya.

"Kemana Calla?" tanya Naya mulai panik.

"Calla!" panggil Naya, mengira jika sahabatnya itu sedang mengerjai dirinya.

Ia celingak-celinguk mencari keberadaan Calla di sekitaran koridor kampus yang baru dilewati beberapa mahasiswi saja.

"Permisi, kalian ada lihat Calla nggak?" tanya Naya pada teman sekelasnya.

"Gak ada tuh." jawab mereka.

Naya makin panik, pikirannya jadi negatif.

Ia mencoba menghubungi nomor ponsel Calla. Tapi, tidak aktif.

'Ya Allah, Calla kamu kemana sih? Kok tiba-tiba aja menghilang.' Pikir Naya.

Di dalam kelas, Naya juga begitu gelisah sekali. Ia sudah tidak fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh sang Dosen. Ia pikir mungkin saja Calla akan kembali ke kelas. Namun, tidak.

"Bu!" Naya mulai mengangkat tangan.

"Ada apa Naya?" tanya sang Dosen wanita paruh baya tersebut.

"Bu, saya ijin pulang ya. Kepala saya pusing banget, Bu." bohong Naya.

"Kamu sakit, Naya? Baiklah, kamu boleh pulang." ujar sang Dosen.

"Makasih, Bu." balas Naya langsung merapikan buku dan alat tulisnya kedalam tas ransel miliknya.

"Tumben kamu gak enak badan, Nay? Biasanya kalau sakit juga pasti dipaksain, 'kan?" heran seorang teman sekelas yang duduk di depan Naya.

Naya berusaha memasang wajah lesunya, "tau nih, hari ini aku kayak aneh aja." elak Naya lagi.

•••

Naya keluar dari kelas dengan menentang tas ransel kecilnya, berjalan melewati koridor kelas yang masih sibuk dengan aktifitas kelas. Bukannya, pulang. Naya malah pergi menuju ruang Dosen.

Pikirannya hanya satu.

Mungkin saja jika Calla diculik oleh Ilham. Mengingat sifat dan kelakuan Dosen tersebut yang begitu nekat dan aneh.

Ruang Dosen

Ia hanya menatap papan nama tersebut yang terpampang di depan pintu masuk ruang Dosen. Bukannya masuk, ia memilih untuk mengintip dari arah jendela dengan sedikit berjinjit karna jendela yang lumayan tinggi.

Ia mencari sosok Ilham.

Jika Ilham tidak ada disini, berarti Calla diculik pria itu.

Ketemu.

Namun, Naya tidak menyangka jika Dosen idola tersebut sedang menatap dirinya tajam di balik kacamata tersebut.

Deg!

Naya langsung bersembunyi dibawah jendela. Bisa-bisanya ia bertemu pandang dengan dosen gila itu.

Dosen gila, panggilan dari Calla untuk Dosen itu. Kini, Naya juga ikut-ikutan.

'Dia lihat aku, nggak ya?' batin Naya yang kini mulai gelisah.

Tanpa basa-basi, ia langsung pergi. Meninggalkan ruangan Dosen tersebut dengan jantung yang terus berpacu dengan cepatnya.

Baru beberapa belas meter ia melangkah, sebuah suara memanggil dirinya.

"Sanaya!"

Naya kenal dengan suara itu.

"Pura-pura nggak denger, Naya. Pura-pura nggak dengar aja..." gumam Naya berjalan dengan cepat sembari mengangkat sedikit rok hitam panjangnya.

Naya langsung pergi menuju parkiran motor. Seketika ia berhenti, ia lupa jika sepeda motornya ada di rumah Calla. Dan ia berangkat dengan Calla tadi pagi diantar oleh supir pribadi Calla.

'kok aku bisa lupa sih?!' Naya merutuki kepikunan nya.

"Mau kemana, Sanaya?" tanya Ilham menahan tas ransel milik Naya.

Naya langsung berbalik ke belakang.

Kaget!

Bisa-bisanya Ilham berdiri di belakangnya.

Kapan pria itu mengejarnya hingga kesini?

'Bersikap normal, Naya.' batin Naya berusaha untuk tetap tenang.

"Saya mau pulang, Pak. Ada apa ya, Pak?" tanya Naya pura-pura tidak tau apapun.

"Dari tadi saya panggilan kamu, kenapa kamu gak noleh?"

Naya nyengir, "oh ya, maaf Pak. Saya gak denger, saya mau pulang, kepala saya mendadak sakit."

Wajah pria itu nampak datar, namun tatapannya begitu tajam sekali. Naya sedikit takut menatapnya.

'Serem, bisa-bisanya Calla di obsesiin sama Dosen gila kayak gini.' batin Naya membuang muka.

"Apa yang kamu pikirkan, Naya?" tanya Ilham begitu datar menatap Naya angkuh dari balik kacamata miliknya. Pria tersebut kini malah duduk diatas salah satu motor matic di area parkiran motor tersebut.

"Gak ada apa-apa kok, Pak." jawab Naya begitu canggung.

"...kalau gitu saya mau pulang du—"

"Kamu nyari Calla, 'kan?"

Kata yang keluar dari mulut Ilham langsung membuat Naya menoleh ke arah pria tersebut. Ilham tersenyum miring sembari membetulkan kacamatanya yang sedikit melorot di hidung mancungnya.

Wajah Naya sontak terkejut sekali.

"Jadi Pak Ilham yang nyulik, Calla?" tanya Naya.

Ilham seketika langsung berdiri, tubuhnya yang besar sepenuhnya menutupi tubuh Naya yang kecil.

"Lantas kau mau apa anak kecil?" Ilham mencondongkan tubuhnya menatap lekat wajah Naya yang kini nampak panik.

••• TO BE CONTINUE •••

Bab 2 Kau Obsesiku sekarang

Bab 2 || Kau Obsesiku sekarang

Dulu sebelum kuliah di Jakarta, Naya sempat menolak dengan alasan biaya.

"Lebih gak perlu kuliah, Bu. Daripada kuliah mending aku disini aja bantuin ibu kerja di ladang. " ujar Naya.

Ia sedang duduk di tengah-tengah ladang bersama dengan sang ibu, ibu Wati.

"Jangan, Nak. "

"Daripada untuk uang kuliah aku, mendingan untuk biaya sekolahnya adik-adik aja."

"Jangan Naya. Apa kamu gak inget apa amanah almarhum bapak kamu dulu?"

"Ingat kok, bu. Tapi, bu sekarang kondisinya lagi gak bisa. "

"Pokoknya kamu harus kuliah. Jangan berdiam diri di kampung ini. Bisa bikin sakit kepala ibu,"

Sepertinya keputusan Ibu Wati untuk menguliahkan putrinya ke luar kota, akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya nanti.

•••

"Dimana Calla, Pak?" tanya Naya.

Ilham tersenyum menyeringai menatap Naya dengan remeh. "Tubuhmu kecil, tapi nyalimu gede juga ya..." ucap Ilham ingin meraih wajah Naya.

Dia mesum, pikir Naya.

Ia menatap Ilham dengan tatapan sengit. Sedangkan Ilham masih mempertahankan seringainya menatap remeh kepada Naya.

"Seharusnya pak Ilham itu dasar. Calla itu sudah jadi istri orang, jangan jadi pebinor lah, Pak."

"Trus, kamu mau apa hah?! Mau lapor suaminya? Suaminya aja di penjara, 'kan?"

Naya kaget, dari mana pria ini tau jika Kaif masuk penjara?

Naya nampak berpikir dan kemudian menatap tajam Ilham dengan penuh air.

Ilham yang pintar, tentu saja tau dari maksud dari tatapan Naya tersebut padanya.

"Kenapa? Kamu nuduh aku? Kalau iya, kenapa?" tantang Ilham yang tak kenal takut.

"Akan aku laporkan ke polisi." ancam Naya berbalik arah.

Namun, ia merasa tas ranselnya kembali ditarik.

"Mau kemana anak kecil? Kau pikir bisa kabur dari ini semuanya, hah?"

Naya memberontak, namun sepertinya kekuatannya tak besar seperti Ilham. Ia langsung melepaskan Ranselnya. Namun, lagi-lagi Ilham bisa menarik ujung jilbab yang ia kenakan.

"Akh!"

Rambut Naya terlihat jelas, rambut panjang berwarna hitam legam lurus tersebut terlihat jelas. Rambut kuncir satu tersebut terlihat indah.

Naya tidak menyangka Dosen tersebut akan melakukan hal ini padanya. Ini penghinaan baginya.

Plak!

Naya langsung menampar wajah Ilham dengan keras. Ilham hanya terdiam dengan perlakuan Naya barusan. Sembari memengang bekas tamparan Naya di pipinya.

Bukannya marah, ia terlihat tersenyum miring. Tatapannya masih tajam.

Gadis itu begitu marah sekali, "Kurang ajar!" Naya berhasil merebut jilbabnya dari tangan Ilham. Ia segera mengenakannya.

Tatapannya masih tajam menatap Ilham. Naya berjongkok untuk mengambil tas ransel miliknya. Namun, tidak menyangka Ilham yang memeluknya dari belakang.

Sentuhan yang tidak biasa ini membuat Naya semakin risih. Ini sudah termasuk dalam ranah pelecehan.

"Mau kemana Naya? Kau pikir bisa kabur, hah?!" tanya Ilham dengan suara dinginnya. Begitu menakutkan, namun Naya berusaha untuk tetap berani.

"Lepaskan, Pak!" teriak Naya.

Ia juga heran, kenapa lingkungan kampus ini begitu sunyi. Apa tidak adakah satupun yang mendengar teriakannya disini?

Kenapa seolah waktu tidak mendukung dirinya.

Naya berusaha memberontak melepaskan diri. Namun, kekuatan Ilham begitu besar sekali. Ia kesusahan bahkan untuk bergerak.

Hingga ia meraba sesuatu dan menemukan sebuah debu. Tanpa menunggu lagi, ia melempar debu tersebut tepat ke mata Ilham.

"AAAA!!" Ilham kesakitan sembari mengucek-ngucek matanya.

"AWAS KAU NAYA!"

Ilham nampak begitu marah sekali, matanya begitu sakit sekali akibat debu yang dilemparkan oleh Naya barusan. Namun, ia masih bisa melihat sedikit dengan jelas. Ia melihat Naya yang berlari.

"Aku harus telpon orangtuanya Calla." gumam Naya ketika melihat Ilham yang nampak masuk kedalam mobilnya.

"Aku harus ngikutin dia, mungkin aja dia mau ke tempat Calla di sekap." gumam Naya lagi langsung mengendap-endap melihat Ilham.

Ia langsung keluar dan menyetop sebuah ojek online yang sedang mangkal tepat di depan gerbang kampus.

"Ikutin mobil itu, pak!" tunjuk Naya.

Sedangkan, Ilham yang berada di dalam mobil tersenyum menyeringai sembari menatap kaca spion miliknya.

"Dia polos atau bego?" lirih Ilham tertawa mengejek. Ia mengendarai mobilnya dengan begitu santai sekali.

•••

Naya terus membuntuti mobil Ilham sembari terus mengobrol dengan Ayah Calla. Orangtua Calla begitu khawatir sekali dengan apa yang terjadi.

Hingga mobil Ilham berhenti tepat di sebuah perkebunan tebu. Lokasinya sudah keluar dari kota Jakarta.

Sebelum pergi, Naya memberikan lembaran uang pada ojek tersebut. Meski, uangnya habis untuk membayar ojek yang jaraknya begitu jauh tersebut.

'Uang bisa dicari, tidak dengan teman.' pikir Naya.

Naya terus saja mengintip mengikuti langkah kaki Ilham yang berjalan masuk kedalam perkebunan tebu yang ternyata di tengah-tengahnya ada sebuah rumah kecil.

"Dosen itu benar-benar gila. Nyekap Calla di tengah kebun tebu dalam kondisi hamil." Lirih Naya yang begitu khawatir sekali dengan sahabatnya itu.

Teriakan Calla terdengar jelas dari tempat ia berdiri. Naya melihat ada sebuah batu dan langsung melemparnya kearah kaca jendela tersebut.

Craakk!

Ilham segera keluar.

"Siapa disana?!" Ilham tampak marah sekali.

Naya berjalan dibalik pohon tebu yang masih rimbun, berjalan mengelilingi rumah tersebut. Ia lewat dari belakang rumah itu. Melihat ada sebuah pisau di dapur, ia segera mengambilnya tanpa berpikir panjang. Untuk berjaga-jaga nanti.

"Calla!" panggil Naya pelan.

Ia berjalan mengendap-endap masuk kedalam rumah yang nampak lusuh itu, rumah ini nampak reyot dan terbakar sebagian.

"Calla, ini aku Naya." panggilannya lagi.

"Naya~"

Suara itu berasal dari dalam kamar. Segera Naya membukanya.

Calla didalam, dengan kondisi begitu mengenaskan sekali. Ia duduk di kursi dengan posisi kedua tangan yang sudah teringat di belakang.

"Kamu gak apa-apa, 'kan?" panik Naya memastikan kondisi Calla baik-baik saja.

Ia menggunakan pisau tersebut untuk membuka tali di tangan Calla. Setelah lepas Calla memeluk Naya Dnegan erat.

"Aku takut, Nay." lirih Calla yang tubuhnya bergetar dalam pelukan Naya.

"Tenang, Nay. Ada aku disini, sekarang kamu sudah aman." ujar Naya mengelus pundak Calla.

"Perut aku sakit, Nay~" suara Calla begitu menahan kesakitan sekali sembari memegangi perutnya.

Darah keluar dari balik gamis yang dikenakan oleh Calla.

"Astagfirullah... "

Naya kaget bukan main, apa yang harus ia lakukan. Calla mengalami pendarahan. Jika ia membawa Calla sekarang, Ilham akan tau.

Tanpa mereka sedari bahwa Ilham sedari tadi diluar sedang memperhatikan mereka berdua dari balik jendela luar. Ia sedang mengisap sebatang rokoknya dengan santai, sembari menunggu momen yang tepat untuk masuk.

' Kamu menarik juga, Naya. Aku suka semangat berani mu itu. Rela melakukan apapun demi seorang teman.' batin Ilham.

Ilham menjatuhkan rokoknya ketanah dan mulai menginjaknya. Dan berjalan cepat masuk dari belakang rumah saat melihat Naya yang membawa Calla untuk bersembunyi didalam lemari tua.

Namun, saat ia akan masuk.

Tuk!

"Akh!"

Sebuah batu dilempar ke arahnya, tepat mengenai kepala bagian belakang. Ia pun menoleh.

lham tidak menyangka dengan tindakan berani Naya barusan.

Meski, nampak berani. Ia bisa melihat Naya dengan tubuh sedikit bergetar menatap dirinya tajam.

Mengesankan, pikir Ilham.

"Jadi, ini perbuatanmu ya?" tanya Ilham datar dan langsung mengejar Naya.

Naya berlari dengan cepat.

'Aku harus cepat. Supaya Calla dan anaknya selamat. Semoga bantuan juga segera datang.' batin Naya terus berlari dengan mengangkat sedikit roknya keatas.

Ia berlari dengan tidak tentu arah sama sekali. Ia tidak menemukan apapun, selain hanyalah deretan pohon tebu yang begitu rimbun.

Dor!

Suara tembakan tersebut membuat Naya kaget. Ia lupa bahwa Ilham punya senjata api.

Naya sontak saja terdiam, jarak ia berdiri dengan Ilham hanyalah beberapa belas meter saja.

"Menyerah saja Naya, kau tidak akan bisa lari. Kecuali, kau ingin peluru ini menembus otakmu langsung." ancam Ilham. Ia berjalan dengan cepat menghampiri Naya yang nampak ketakutan.

Terdapat banyak sayatan bekas daun pohon tebu yang tajam di pipi Naya.

“Saya mohon… lepaskan kami, Pak…” suara Naya bergetar, kedua tangannya menggenggam erat, memohon dengan sungguh-sungguh.

"...dan jangan ganggu Calla lagi. Bapak bisa cari wanita lain saja. Kasihan Calla dan kandungannya,"pinta Naya.

Ilham tidak menjawab. Senjata api di tangannya masih terarah tepat di kepala Naya. Tatapan matanya dingin, namun bibirnya tersungging senyum miring yang membuat bulu kuduk Naya meremang.

Perlahan, pria itu menurunkan pistolnya. Naya menghela napas lega, meski masih tegang.

'Aku hanya bisa pasrah jika harus mati hari ini ya Allah.' batin Naya.

Ilham menatapnya lama, dalam jarak yang terlalu dekat. Dari dekat, Naya bisa merasakan nafasnya, dan itu membuat jantungnya berdetak makin kencang.

Ternyata kau cantik juga, batin Ilham, memperhatikan mata bulat dan wajah baby face Naya yang tak membosankan untuk dilihat.

“Baiklah… aku akan melepaskan…” ucap Ilham, sengaja menggantungkan kalimatnya sambil memasukkan pistol ke bagian belakang celananya.

Naya yang semula panik mulai menunjukkan rona kelegaan di wajahnya.

Ia merasa lega.

Namun...

“Tapi… hanya Calla saja.”

Naya mengerutkan dahi, menatapnya bingung.

“Masih bingung, ya?” tanyanya sambil sedikit membungkuk, membuat tinggi mereka sejajar. Tatapannya menusuk tajam dan dingin.

“Aku memikirkan kata-katamu barusan. Dan aku sudah tidak terobsesi lagi padanya…” bisiknya pelan. Jemarinya terulur, menyentuh ujung hidung Naya.

“Tapi kau…”

Naya menelan ludah.

'Aku?' Naya tidak habis pikir dengan kalimat yang keluar dari mulut Ilham.

“Kau obsesiku sekarang, Naya. Mulai detik ini… kau milikku.” Sebuah senyum miring mengembang di wajah Ilham.

Ini petaka, pikir Naya.

To be continue...

Bab 3 Hidup dalam bayang-bayang

“Kau obsesiku sekarang, Naya. Mulai detik ini… kau milikku.” Sebuah senyum miring mengembang di wajah Ilham.

Sampai detik ini, Naya masih saja mengingat apa yang dikatakan oleh Ilham. Rasa takut langsung menyeruak masuk ke tubuhnya. Buru-buru ia menggosok tubuhnya ketika ia kembali mengingat momen dimana Ilham yang telah menyentuhnya secara paksa dulu.

'Kenapa harus aku?' batin Naya.

Dengan segera Naya pergi dari kampus, ia menuruni anak tangga dengan hati-hati.

Lingkungan kampus ini sangat nyaman sekali, lebih islami dan membuat Naya semakin nyaman disana. Termasuk teman-teman yang ramah.

"Nay jadi kan ikut kajian hari ini?" tanya seorang gadis menepuk pundaknya dari belakang.

Gadis bercadar bermata sipit, ia adalah keturunan Chinese. Ia mengenakan pakaian serba hitam.

"Aku hari gak bisa datang, Puspa. Teman aku lahiran, jadi aku harus jenguk." tolak Naya dengan halus.

"Ohh, oke deh. Aku duluan ya..." ucap Puspa melambaikan tangan pada Naya dengan senyuman.

Naya terus melangkahkan kakinya.

'Tenang Nay, tenang. Dia gak akan bisa temukan kamu lagi...' ujar Naya dalam hatinya.

•••

Naya tiba di rumah sakit, ia disambut hangat oleh keluarga besar sahabatnya, Calla. Naya pun sudah dianggap seperti keluarga sendiri disana.

Naya memberikan sesuatu untuk Calla.

"Apaan sih Nay, gak usah bawa kado segala..." cetus Calla.

"Gak apa-apa, ini kan untuk keponakan aku juga." jawab Naya begitu senang melihat bayi mungil didalam box bayi disebelah Calla.

"Makasih auntie."

"Sama-sama, sayang."

Naya membaca papan nama milik bayi tersebut.

Erlanza Putra Safarraz.

" Gendong dong auntie, jangan di lihatin aja. Gini-gini aku calon mantumu loh..." celetuk Calla.

"Hahaha..." Naya tertawa lepas.

"...sok tau kamu kalau calon anakku ini cewek."

"Siapa tau kan," sahut Calla tersenyum penuh arti.

Naya langsung mengendong putra Calla dengan hati-hati.

Naya begitu bahagia sekali mengendong bayi mungil tersebut.

"Erlanza~" sapa Naya ramah.

"Gimana kuliah kamu, nak?" tanya ibunya Calla, Ibu Mazaya.

" Alhamdulillah, baik Ummi." jawab Naya. Ia dan Calla begitu erat sekali, sampai memanggil kedua orangtuanya Calla dengan sebutan Abi dan Ummi.

"Syukurlah."

Naya lalu meletakkan kembali bayi mungil di dalam bid bayi. "Udah ya nak, jangan lama-lama. Nanti kamu malah bau tangan." lirihnya.

Naya duduk disamping Calla, disana juga ada Kaif suami Calla sendiri. "Gimana kuliah kamu , Nay?" tanya Kaif.

"Alhamdulillah, lancar kak." jawab Naya.

"Oh ya, kak Kaif. Sekali lagi aku mau ngucapin terimakasih karna udah biayain kuliah aku dan bantu perekonomian keluargaku di kampung." ucap Naya penuh dengan rasa terimakasih serta rasa canggung.

"Teman Calla adalah teman aku juga. Lagian kamu lagi hamil, gak mungkin kan malah kerja part time di luar. "

"Makasih kak, kelak akan aku balas kebaikan kalian semua." ucap Naya lagi.

Calla menggenggam tangan Naya, "udah dong ahh, jangan bahas hal sedih lagi. Sekarang semua sudah berakhir, kamu hanya harus fokus kuliah dan ngurus calon anakmu saja. Jangan yang lain."

"Iya." balas Naya mantap.

Tok... Tok... Tok...

Cklek!

" Assalamu'alaikum." Pintu terbuka, menampilkan sosok pria bertubuh tinggi, potongan rambut rapi, mengenakan kemeja panjang warna abu-abu dan tak lupa tas ransel yang ia kenakan dengan hanya satu tali di bahu.

Azzam.

Putra kedua ibu Mazaya, sekaligus adik dari Calla.

" Wa'alaikumsalam." balas semuanya serentak.

"Kamu disini juga, Nay?" tanya Azzam tersenyum menatap Naya.

Naya hanya tersenyum.

"Anak ini gak pernah berubah, dia itu temanku. Panggil dia 'kakak'." omel Calla.

Wajah Azzam langsung nyutek, "iya bawel." jawab Azzam dengan malas.

Azzam langsung duduk disamping Ibu Mazaya. "Lancar kuliahnya sayang?" tanya Ibu Mazaya.

" Alhamdulillah, lancar ummi." balas Azzam, namun matanya terus curi curi pandang ke arah Naya yang sedang mengobrol dengan Calla.

"La, kira-kira beratahun lagi dosen itu dipenjara?" tanya Naya.

Calla sedikit mengerutkan dahinya, termasuk Kaif yang mendengar Dnegan jelas disana.

"Tenang saja, Nay. Dia akan dipenjara cukup lama disana," sahut Kaif.

"Bener apa yang dikatakan sama Mas Kaif, Nay." sambung Calla.

Naya hanya tersenyum masam.

"Memang sih sebenarnya kamu butuh pelindung juga, biar kamu aman. Kayaknya kamu harus nikah deh, Nay." kata Calla.

Semuanya menatap Calla, termasuk Azzam.

"Nikah?" tanya Naya.

"Iya, biar ada yang jagain kamu dan juga bayi kamu ini."

"Apa yang dibilang sama Calla itu benar, Nak." sahut Ibu Mazaya.

Naya hanya tersenyum kecut.

"Gak perlu lah. Aku bisa jaga diri kok. Lagian juga ya, siapa juga yang mau sama ibu tunggal kayak aku ini. Dan aku dan Ilham itu kan belum cerai secara agama." kata Naya lagi.

"Tapi, kan kamu nikah karna terpaksa." ucap Azzam yang tiba-tiba nimbrung.

Naya hanya tersenyum, "ya udahlah, jangan dibahas lagi."

"Oh ya, La. Aku mau balik dulu ya, sebelum keburu malam." pamit Naya. Ia juga mengalami Ibu Mazaya.

"Biar aku anter sampe depan." Azzam langsung berdiri.

"Boleh." balas Naya tersenyum tipis.

Mereka pun berlalu pergi dari balik pintu.

"Tumben banget tuh anak, semenjak kuliah ini jadi makin baik banget sama Naya. Biasanya dulu sering banget jahilin Naya, mentang-mentang badannya kecil." heran Calla.

"Sudahlah, biarkan aja." sahut Ibu Mazaya.

•••

Naya dan Azzam berjalan melewati lorong rumah sakit. Dengan Azzam yang selalu menahan senyum. Perbedaan tinggi badan mereka begitu kontras sekali. Naya bagaikan anak kecil di samping Azzam. Padahal usia mereka terpaut hampir 3 tahun.

Azzam 18 tahun.

Naya 21 tahun.

"Kamu makin tinggi ya, Zam." celetuk Naya mencarikan suasana.

"Iya. Enggak kayak kamu kan pendek trus..." ejek Azzam.

Naya memicingkan matanya menatap Azzam tidak terima.

"Iyalah Titan, apalah dayaku yang hanya seorang kurcaci." kata Naya dengan sedih namun maksud menyindir.

Azzam tertawa.

Tak lama mereka sudah sampai di area parkiran motor rumah sakit.

"Makasih ya dek udah dianterin."

"Aku bukan adek."

Naya memutar bola matanya malas.

"Lantas apa? Kakek?" tanya Naya mengerutkan dahinya.

Azzam terdiam dengan wajah cemberut.

"Mentang-mentang tubuh tinggi, bukan berarti kamu lebih tua ya..." cibir Naya.

Naya sudah ingin menaiki motornya, namun ditahan oleh Azzam.

"Ayo kita makan malam, biar aku traktir." ucap Azzam sembari menggaruk tekuknya yang tak gatal.

"Traktir?" tanya Naya, wajahnya langsung berubah senang.

"Boleh." Jawab Naya dengan semangat. Siapa juga yang bisa nolak jika ditraktir makan gratis.

"Kamu mau?" tanya Azzam tak percaya.

Naya mengangguk senyum, ia langsung turun dari motornya.

"Tumben baik banget mau traktir aku?" tanya Naya.

Azzam hanya tersenyum canggung.

"Oh iya kita mau makan dimana?" tanya Naya.

Azzam menatap wajah Naya yang begitu manis dan imut dijaga dilihat dari atas ini. Mengingat jarak tinggi badan mereka yang jauh.

Azzam tak merespon.

"Azzam!" seru Naya melihat bocah itu malah melamun di tempat.

"Eh, iya. Ayo kita makan di cafe di seberang rumah sakit ini aja. Lebih deket," ucap Azzam langsung menarik tangan Naya.

Naya menatap tangannya yang disentuh Azzam.

Plak!

"Bukan mahrom! Dasar anak nakal." cibir Naya.

Azzam tersadar, "astagfirullah'alazim!maaf, maaf, aku lupa. Karena kebiasaan sering makan sama Yumna dulu, tangannya sering aku tarik. " Ia begitu salah tingkah sekali, dan juga malu.

Yumna adalah adik bungsu Azzam dan Calla.

Naya hanya menggeleng sembari tersenyum tipis.

"Udah ayok! Aku udah laper banget nih!" seru Naya.

Azzam merutuki dirinya yang masih berdiri dibelakang Naya. "Bodoh banget sih kamu, Zam!" Lirihnya sembari memukul pelan kepalanya.

•••

Azzam dan Naya menikmati makan malam mereka dengan santai, mereka sudah seperti layaknya seorang kekasih saja. Jika dilihat dari sudut pandang lain.

"Makasih ya, Zam. Atas traktirannya," Kata Naya.

"Sama-sama." balas Azzam yang menatap Naya.

Ting!

Sebuah pesan masuk di ponsel Naya. Nomor baru yang begitu asing.

"Bisa-bisanya kamu makan dengan cowok lain."

Jantung Naya seketika berpacu dengan begitu kuatnya. Perasaannya tidak enak. Ia langsung mengendarakan pandangannya ke seluruh penjuru Cafe.

Mencari sosok keberadaan dari pengirim pesan ini.

Ini pasti nomor Ilham.

Tidak akan salah lagi.

Hanya dialah manusia aneh di muka bumi ini.

Bukan hanya aneh tapi juga gila.

Melihat mimik wajah Naya yang aneh, Azzam langsung bertanya. " Kenapa Naya?" tanya Azzam.

"Ahh, bukan apa-apa." bohong Naya.

"Trus kenapa kamu kayak orang kebingungan begitu?"

"Ohh, nggak. Barusan teman kampus aku ngechat, katanya dia ada di cafe dekat rumah sakit juga. Aku pikir mereka disini." kilah Naya. Ia tidak ingin membuat Azzam juga terlibat.

Untungnya Azzam hanya mengangguk saja.

'Tenang Naya, tenanglah...'

••• TO BE CONTINUE •••

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!