NovelToon NovelToon

Pesan Mini Untuk Hati Dokter Beku

Bab 1

...( Tristan Aurelio Mahesa )...

Pagi itu, rumah sakit Mahesa Medical Center gedung menjulang dengan kaca berkilau di pusat kota sudah ramai meski matahari baru saja menembus ufuk. Di lantai paling atas, ruang kerja bergaya modern minimalis berdiri tenang. Di sanalah Dr. Tristan Aurelio Mahesa, dokter spesialis bedah yang juga pemilik rumah sakit terbesar di negeri ini, tengah menekuni berkas-berkas laporan pasien pasca-operasi semalam.

    Tristan Aurelio Mahesa, Pria berusia 29 tahun anak sulung keluarga Mahesa, bukanlah pria biasa. Sejak muda ia dikenal jenius, menempuh pendidikan kedokteran tercepat di angkatannya, lalu melanjutkan studi di luar negeri. Pulang ke tanah air, ia tidak hanya menjadi dokter bedah terkenal, tetapi juga mendirikan rumah sakit sendiri RS Mahesa Prime yang kini memiliki cabang di berbagai kota besar.

Dikenal sebagai legenda hidup di dunia kedokteran. Tak hanya ahli dalam bedah saraf, ia juga pemilik jaringan rumah sakit yang tersebar di berbagai kota,

Semua orang menghormatinya atau lebih tepatnya, takut padanya.

Wajah tampan dengan garis rahang tegas dan sorot mata dingin membuat siapa pun yang berurusan dengannya tak berani main-main. Tristan tak pernah kompromi pada kesalahan, tak pernah memberi ruang untuk kelalaian. Baginya, satu kesalahan kecil bisa berarti hilangnya nyawa pasien.

Tak cukup sampai di situ, Tristan juga mengembangkan perusahaan farmasi dan mendirikan universitas kedokteran. Semua itu diraih di usia yang belum genap tiga puluh tahun. Namun, kesuksesan itu datang dengan harga mahal: kesendirian dan hidup yang kaku.

Hari itu pun sama. Ia sudah berada di rumah sakit sejak pukul lima pagi. Jas putihnya masih terlipat rapi di kursi, sementara ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi gelap. Rambut hitamnya tersisir rapi, nyaris tak ada helai yang berantakan.

“Dr. Tristan, jadwal Anda penuh hingga tengah malam. Apakah Anda ingin saya atur ulang dua konsultasi sore?” tanya sekretarisnya dengan nada ragu.

Tristan mengangkat kepala sebentar, menatap layar tablet, lalu menjawab dingin.

“Tidak usah. Pasien datang dengan harapan, bukan untuk menunggu. Kalau saya sudah menerima jadwal, berarti saya sanggup.”

Sekretaris itu hanya mengangguk dan segera keluar, lega karena tak kena semprot.

Tristan kembali menunduk, menandatangani berkas. Baginya, pekerjaan selalu lebih penting daripada apa pun. Bahkan untuk makan pun sering ia abaikan. Kopi hitam pekat di meja sudah dingin, hanya tersisa setengah cangkir. Ia tak peduli.

Di luar sana, orang mengenalnya sebagai dokter jenius yang sekaligus miliarder. Usia 29, tapi sudah memiliki rumah sakit, saham perusahaan medis internasional, bahkan klinik elit yang antreannya penuh berbulan-bulan. Namun di balik kesuksesan itu, Tristan hanyalah pria dengan tatapan dingin dan hati beku.

Tidak ada teman dekat. Tidak ada pasangan. Tidak ada ruang untuk tawa atau obrolan kosong.

“Jadwal hari ini?” tanyanya singkat.

Asisten pribadinya, pria bernama Daniel, segera membaca agenda. “Pagi ada operasi di RS Wijaya Prime, siang rapat investor, sore pemeriksaan rutin pasien VIP.”

“Baik. Jangan biarkan ada keterlambatan.”

“Ya, Tuan.”

Itu saja. Tanpa basa-basi. Tanpa senyum. Dunia Tristan adalah dunia hitam-putih, penuh disiplin, tanpa ruang untuk gangguan. Atau begitulah ia kira.

 

Pagi itu Tristan tiba di rumah sakit. Semua dokter muda menunduk hormat, suster-suster menahan napas ketika ia lewat. Aura dingin pria itu seperti kabut tebal, membuat siapa pun enggan mendekat.

“Dr. Tristan datang,” bisik seorang perawat.

“Jangan salah bicara, nanti bisa kena semprot,” balas yang lain dengan wajah tegang.

Memang begitu. Semua orang tahu, dokter sekaligus pemilik rumah sakit itu terkenal perfeksionis. Sekali saja salah bicara, habislah. Tapi justru karena itulah reputasinya tak tergoyahkan.

Tristan masuk ke ruangannya. Meja kerja lebar dari kayu hitam, rak penuh buku medis, dan jendela besar menghadap kota. Semuanya tertata rapi. Semua benda diukur posisinya. Seolah-olah dunia di luar boleh berantakan, tapi ruang Tristan harus sempurna.

Ia baru saja membuka berkas pasien ketika pintu diketuk.

“Masuk.”

Daniel dan suster pendamping masuk dan memberi tau apa saja jadwal hari ini dan berapa banyak pasien hari ini, setelah itu mereka keluar dan mulai melakukan aktivitas mereka masing masing.

...----------------...

Pagi di kediaman mewah milik Tristan Alvaro Wijaya selalu sama: hening, rapi, dan tanpa celah untuk kesalahan. Pria itu duduk di meja makan panjang, di mana setiap sendok, garpu, dan cangkir porselen disusun simetris. Dasi hitam pekat sudah terikat rapi di kerah kemeja putihnya, jas Armani tergantung di sandaran kursi, menunggu dikenakan.

Tristan menatap sekilas layar tablet di depannya. Laporan saham, data investasi, grafik keuangan semuanya dibaca cepat, dipahami, lalu ditutup tanpa ekspresi.

Ia hanya menghela napas singkat, lalu meneguk kopi hitam yang disajikan pelayan.

“Kurang panas,” katanya datar.

Pelayan itu sedikit gemetar. “Maaf, Tuan. Akan segera saya ganti.”

Tristan hanya mengangguk tipis. Bukan marah, bukan pula peduli. Baginya, kesalahan sekecil itu hanya tanda bahwa dunia memang tidak pernah sepresisi dirinya.

Tapi itulah yang membuat para pekerja tidak tahan dan mengundurkan diri, bukan karena Tristan cerewet tapi justru kecuekannya membuat art bingung dan takut salah. Belum lagi Tristan adalah pria yang perfeksionis.

Dan benar saja sorenya sang art meminta izin untuk berhenti dengan alasan anak sakit padahal hanya alasan.

Tristan menanggapinya dengan santai, dan itu membuat sang mama sangat khawatir saat mendapatkan laporan dari Daniel jika art meminta berhenti.

 

Di waktu yang sama, setelah mendapatkan kabar dari Daniel. Tina Mahesa, mama Tristan, tampak mondar-mandir sambil memegang ponsel.

“Anak itu lagi-lagi harus kehilangan art. Semalam saja dia baru pulang lewat tengah malam. Bagaimana jika benar benar tidak ada yang merawatnya, punya istri belum mau. Besok-besok bisa sakit beneran kalau begini terus,” keluh Tina dengan nada khawatir.

Suaminya, Ardian Mahesa, yang sedang membaca koran, hanya menghela napas. “Sudahlah, sayang. Tristan itu keras kepala. Dari dulu memang begitu. Kamu tahu sendiri, dia lebih sayang meja operasi daripada dirinya sendiri.”

Tina mendecak. “Makanya aku bilang, dia perlu seseorang yang bisa mengurusinya. setidaknya ART, jika belum mau nikah. Bayangkan, rumah sebesar itu dia tinggali sendirian. Kalau dibiarkan, bisa-bisa dia hanya hidup dengan kopi dan mie instan!”

Ardian menatap istrinya dengan senyum tipis. “Kamu yakin Tristan mau ada orang asing di rumahnya? Anak itu bahkan tidak suka kalau kamarnya dibereskan orang lain.”

“Itu masalahnya. Tapi aku tetap tidak tenang,” ucap Tina mantap. “Aku akan cari ART. Seseorang yang bisa masak sehat, bersih, dan paling penting… tahan dengan sifat dinginnya Tristan.”

"Baiklah sayang terserah kamu saja, kalau bisa art elit hehehe" ujar papa Ardian bercanda pada istrinya

"Is papa ada ada saja, ya sudah mama mau hubungi Anggun dulu untuk cari art yang elit" ujar mama Tina lalu menghubungi asistennya.

Bersambung

Bab 2

Ardian menatap istrinya dengan senyum tipis. “Kamu yakin Tristan mau ada orang asing di rumahnya? Anak itu bahkan tidak suka kalau kamarnya dibereskan orang lain.”

“Itu masalahnya. Tapi aku tetap tidak tenang,” ucap Tina mantap. “Aku akan cari ART. Seseorang yang bisa masak sehat, bersih, dan paling penting… tahan dengan sifat dinginnya Tristan.”

"Baiklah sayang terserah kamu saja, kalau bisa art elit hehehe" ujar papa Ardian bercanda pada istrinya

"Is papa ada ada saja, ya sudah mama mau hubungi Anggun dulu untuk cari art yang elit" ujar mama Tina lalu menghubungi asistennya.

Telepon genggam di tangan Tina Mahesa berdering pelan, sebelum akhirnya ia menekan nama yang sudah sangat ia kenal, Anggun Wiranto. Wanita berusia 38 tahun janda tanpa anak, suaminya meninggal dan tidak pernah ingin menikah kagi. Anggun yang setia mendampinginya sebagai asisten pribadi sejak bertahun-tahun lalu.

“Hallo, Gun,” suara Tina terdengar hangat, tapi juga tegas.

“Ya, Bu Tina. Ada yang bisa saya bantu?” sahut Anggun cepat, sudah terbiasa dengan ritme bosnya yang langsung ke inti.

“Aku butuh bantuan darurat. Tristan… lagi-lagi ART-nya berhenti. Katanya alasan keluarga, tapi Daniel sudah bilang padaku itu cuma alasan. Kamu tahu, kan? Tak ada yang tahan lebih dari sebulan di rumah itu.”

Di seberang sana, Anggun menghela napas panjang. Ia bisa membayangkan betapa tegangnya bekerja di rumah sebesar itu dengan majikan seperti Tuan Muda Tristan. “Astaga… padahal yang terakhir itu sudah saya pilih dengan seleksi ketat, Bu. Katanya dia kuat mental, terbiasa kerja di rumah orang kaya, tapi ternyata tetap menyerah.”

“Itu dia masalahnya. Aku butuh orang yang… bukan sekadar kuat mental. Tapi juga benar-benar tahan menghadapi sifat dingin anakku. Orang yang telaten, bisa masak sehat, disiplin, dan… jangan gampang nangis. Kalau tiap ditegur langsung kabur, bagaimana nasib Tristan?” ujar mama Tina

Anggun terdiam sejenak. Ia tahu betul maksud nyonya besarnya. Sejak dulu, meski terlihat keras, Bu Tina selalu menyimpan rasa khawatir mendalam terhadap putra sulungnya itu. Tristan boleh saja tampak sempurna di mata publik, tapi hanya keluarga yang tahu betapa kesepiannya pria itu.

“Baik, Bu. Saya akan mulai cari lagi,” jawab Anggun mantap, meski dalam hatinya ada rasa was-was.

“Bagus. Dan Gun… aku minta tolong, kali ini jangan sembarangan. Kalau perlu, wawancara langsung di depanmu. Aku tidak mau anakku berakhir sendirian di rumah tanpa siapa pun yang peduli. Mengerti?” ujar mama Tina menegaskan

“Siap, Bu. Saya mengerti.” jawab anggun pasrah

 

Keesokan harinya, Anggun sudah sibuk dengan catatan di tangannya. Ia mulai menghubungi beberapa agensi penyedia tenaga kerja rumah tangga premium. Semua rekomendasi mengarah pada kandidat yang katanya “berpengalaman”. Namun begitu nama “Tristan Mahesa” disebut, reaksi mereka nyaris sama.

“Maaf, Bu… sepertinya pekerja kami tidak cocok.” ujar mereka

“Waduh, kalau untuk Dr. Tristan Mahesa… rasanya anak buah saya mundur duluan.” ujar yang lainya menyerah

“Hah? Dokter yang itu? Yang katanya perfeksionis? Duh, Bu… pegawai saya baru dengar namanya saja sudah keringat dingin.” yang lain pun ketakutan

Anggun mengusap pelipisnya. Ia bisa merasakan betapa sulitnya tugas ini. Nama Tristan sudah jadi semacam legenda menakutkan di kalangan pekerja rumah tangga kelas atas. Bukan karena ia kejam, tapi karena sikap cueknya yang ekstrem.

Pernah suatu kali, seorang ART salah meletakkan sendok sup satu milimeter lebih miring dari garis tengah piring. Tristan tidak memarahi, hanya menatap sendok itu lalu meninggalkan meja tanpa makan. Esoknya, ART itu mengundurkan diri dengan alasan “tidak sanggup menghadapi atmosfer rumah itu.”

 

Seminggu penuh Anggun berkeliling. Ia mendatangi agen satu ke agen lain, mewawancarai langsung kandidat. Ada yang tampak percaya diri, namun langsung ciut saat mendengar cerita detail. Ada pula yang awalnya tertarik karena bayaran besar, tapi begitu tahu rumah majikannya hening seperti museum, mereka menolak.

Sampai di hari kelima, Anggun benar-benar merasa putus asa.

“Ya Tuhan… siapa yang bisa tahan dengan sikapnya Tuan Muda satu itu?” gumamnya sambil merapikan berkas calon pekerja yang semuanya coret.

Sementara itu, di rumah Tristan, suasana kembali hening seperti biasa. Pria itu baru pulang dari operasi panjang di luar kota. Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Jas dokter yang masih berbau obat langsung ia lepas, lalu digantung dengan rapi.

Ia berjalan menuju meja makan yang kosong. Hanya ada semangkuk sup ayam yang sudah dingin, ditinggalkan ART yang kini entah di mana. Tristan menatapnya sebentar, lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Kacau,” gumamnya singkat, sebelum mengambil sebotol air mineral dan kembali ke kamarnya.

Ruang pribadinya seperti cermin kepribadiannya: serba rapi, serba simetris, dan tidak ada satu pun yang salah tempat. Rak buku disusun berdasarkan abjad, lemari pakaian dibagi berdasarkan warna, bahkan alat tulis di meja disusun seolah garis lurus ditarik dengan penggaris.

Namun semua itu hanya menyembunyikan satu kenyataan: pria itu hidup sendiri dalam kesepian yang sunyi.

Hari ketujuh pencarian, Anggun benar-benar menyerah. Ia duduk di kursi ruang tamu rumah kakaknya, wajahnya lesu.

“Kamu kenapa, Gun? Kok kayak habis lari maraton?” tanya kakaknya, Rani, sambil membawa teh hangat.

“Maraton iya, tapi maraton pikiran,” jawab Anggun sambil mengusap wajah. “Aku dapat tugas dari Bu Tina… cari ART buat Tuan Muda Tristan. Kamu tahu kan, yang dokter itu?”

Rani terbelalak. “Astaga! Itu… itu yang sering muncul di majalah bisnis dan kesehatan itu, kan? Yang katanya jenius, tapi dinginnya kayak kulkas berjalan?”

“Persis,” Anggun meneguk teh dengan cepat. “Aku sudah keliling sepekan. Semua agen menolak, semua calon kabur. Bahkan ada yang langsung batal begitu dengar namanya. Aku benar-benar bingung, Ra. Kalau begini terus, bisa-bisa Bu Tina stres sendiri.”

Rani menghela napas, ikut prihatin. “Ya Allah, Gun… kayaknya tugasmu bukan cari ART biasa, tapi cari orang yang punya nyali setengah dewa.”

Keduanya tertawa kecil, meski lebih karena putus asa.

Anggun menyandarkan punggung ke sofa, matanya menatap langit-langit. “Aku heran… apakah di dunia ini ada orang yang cukup berani, cukup sabar, dan cukup… kuat mental menghadapi Tuan Muda itu? Rasanya mustahil.”

Rani tersenyum samar. “Percaya saja, Gun. Tuhan selalu punya cara yang tidak kita duga. Siapa tahu, nanti justru orang yang tak pernah kamu pikirkan bisa jadi jawaban.”

Anggun mendengus, tak percaya. Tapi entah mengapa kata-kata itu menempel di kepalanya. Seolah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang bisa mengubah jalan cerita.

Bersambung

Bab 3

Di sebuah ruangan kantor dengan dinding kaca tinggi, suasana siang itu terlihat sibuk. Puluhan karyawan duduk menghadap layar komputer masing-masing, mengetik cepat, sementara suara telepon bersahutan. Namun di salah satu meja pojok, terlihat seorang gadis dengan rambut panjang tergerai rapi, mengenakan blazer biru muda, sedang fokus pada layar laptopnya. Matanya jernih, gerak jarinya lincah, dan ekspresi wajahnya penuh semangat.

Dialah Tiwi Putri Wiranto, arsitek muda berusia 22 tahun yang belakangan sering jadi bahan pembicaraan karena kejeniusannya. Gadis cantik dengan senyum menawan itu bukan hanya sekadar pintar menggambar desain bangunan, tapi juga berani, ceplas-ceplos, dan selalu punya jawaban ketika ditantang.

Tiwi sebenarnya tidak perlu bersusah payah bekerja. Orang tuanya, Rani Kusuma dan Tian Wiranto, adalah pemilik jaringan restoran Nusantara yang sudah terkenal di seluruh Indonesia. Dari kecil Tiwi hidup dalam kelimpahan. Namun, sifat mandirinya membuat ia ingin menantang diri sendiri. Ia tidak ingin hanya disebut “anak orang kaya yang manja.”

“Mbak Tiwi, ini gambar konsep hotel resor sudah selesai?” tanya seorang rekan kerja dengan wajah panik.

Tiwi tersenyum lebar, lalu menggeser kursinya. “Tenang, bro. Kalau aku yang pegang, deadline itu bukan masalah. Nih, sudah kelar bahkan dengan alternatif desain cadangan. Bos kita kan suka berubah-ubah kayak cuaca, jadi aku siapkan plan B.”

“Wah, gokil! Kamu penyelamat kantor kita.”

Tiwi terkekeh, membalas dengan gaya santai. “Ya jelas dong. Kalau bukan aku, siapa lagi?”

Semua orang tahu Tiwi adalah bintang di kantor itu. Bahkan bos barunya, seorang pria paruh baya bernama Surya, terang-terangan sering memuji hasil kerjanya. Namun di balik pujian itu, tersimpan tabiat buruk yang baru saja membuat Tiwi naik darah.

Siang itu, ketika Tiwi hendak mengumpulkan laporan desain ke ruang Surya, kejadian tak menyenangkan pun terjadi.

“Pak, ini revisi terakhir. Kalau disetujui, kita bisa langsung kirim ke klien sore ini,” ucap Tiwi sopan, meletakkan map biru di meja.

Surya yang duduk santai sambil menyeruput kopi menatap Tiwi dengan senyum miring. “Kamu memang luar biasa, Tiwi. Cantik, pintar, dan… seksi.”

Alis Tiwi langsung terangkat. Ia tidak suka nada itu. “Pak, tolong fokus ke desainnya.”

Namun bukannya memperhatikan map, Surya malah bangkit mendekat. Dengan gerakan cepat, tangannya meraba bokong Tiwi.

BRUK!

Refleks, Tiwi menepis tangannya, lalu tanpa pikir panjang membanting tubuh sang bos ke sofa. “Kurang ajar!!!” teriaknya, matanya menyala penuh amarah.

Surya terkejut bukan main. “Hei! Kamu berani sama atasanmu?”

“Jangan sebut dirimu atasan kalau kelakuanmu kayak predator!” balas Tiwi, lalu menendang meja kerja hingga gelas kopi terjatuh dan pecah berantakan.

Keributan itu sontak membuat karyawan lain berhamburan ke ruangan. Mereka ternganga melihat Surya terkapar di sofa dengan wajah pucat, sementara Tiwi berdiri tegak dengan napas tersengal.

“Mulai hari ini, aku resign! Aku tidak sudi kerja di bawah orang yang otaknya lebih kotor dari tempat sampah!” ucap Tiwi lantang, membuat semua orang terdiam.

Ia meraih tasnya, lalu melangkah keluar dengan wajah berkobar. Sementara bisik-bisik segera menyebar.

“Gila, itu cewek berani banget!”

“Dia nendang bos, loh! Astaga…”

“Pantas aja nggak ada yang bisa ngalahin Tiwi. Dia bukan cuma pintar, tapi juga punya nyali baja.”

------

Keluar dari gedung kantor, Tiwi berjalan cepat sambil menggerutu. Sepatu hak tingginya berdetak keras di trotoar.

“Kurang ajar! Tangan kayak centong sayur, berani-beraninya nemplok bokong gue! Emangnya gue siapa? Tahu diri dikit napa, umur udah kepala empat, muka juga kayak wajan gosong, masih sok-sok genit!”

Orang-orang yang berpapasan menoleh, bingung mendengar ocehannya. Tapi Tiwi tidak peduli. Ia terus ngoceh panjang lebar, seakan dunia harus tahu kekesalannya.

“Udah gitu sok gaya bos besar. Huh! Kalau jago kerja, mungkin gue masih bisa respect. Lah, kerjaannya aja cuma muter-muter kursi, nunggu laporan anak buah. Dasar bos setan!”

Ia berhenti sebentar, menarik napas panjang, lalu mendengus. “Syukurin tuh kena bantinganku. Untung nggak gue kirim sekalian ke IGD!”

Tiwi lalu tertawa sinis sendiri, membuat orang yang baru lewat semakin heran.

----

Ketika sampai di rumah besar keluarga Wiranto, Tiwi masih kesal. Ia membuka pintu dengan kasar, lalu langsung menjatuhkan tasnya ke sofa.

“Mama! Aku resign! Dunia kerja isinya orang gila semua!” teriaknya, membuat Rani Kusuma, sang mama, buru-buru keluar dari dapur.

“Ya ampun, Tiwi… kenapa lagi ini anak mama?”

“Mama! Bosku kurang ajar! Baru tadi dia coba-coba pegang aku. Mana mungkin aku diem aja? Ya aku banting lah! Habis itu aku resign!”

Rani menepuk dahi. “Astaga, Nak… kamu itu gimana sih? Bukannya salah kalau dia berbuat begitu, tapi kenapa harus sampai banting segala?”

“Kalau cuma ditampar, ma, itu bonus! Ini udah keterlaluan! Aku nggak sudi jadi korban pelecehan. Lagi pula, aku bisa cari kerja lain. Nggak ada ruginya juga!”

Rani hanya bisa menghela napas, meski dalam hati diam-diam bangga dengan keberanian putrinya.

Belum sempat percakapan berlanjut, suara batuk terdengar dari ruang tamu. Ternyata ada Anggun, tante Tiwi, yang sedang duduk dengan wajah lelah.

-----

“Tiwi… kamu pulang kok kayak badai gitu?” tanya Anggun, tersenyum miris.

Tiwi melangkah mendekat. “Eh, Tante Anggun. Lagi di sini toh. Kenapa mukanya lesu banget?”

Anggun menghela napas panjang, lalu mulai bercerita tentang misinya mencari ART untuk rumah Tristan Mahesa. Tentang bagaimana semua agen menolak, semua kandidat kabur, bahkan nama Tristan saja sudah bikin pekerja keringat dingin.

“Aduh, Tiwi… Tante sampai stres. Gimana ini? Bu Tina nggak tenang kalau Tristan sendirian. Tapi mana ada orang yang mau kerja buat dia? Rasanya mustahil.”

Rani ikut duduk di sebelah Anggun, mengangguk prihatin. “Memang susah. Aku juga dengar cerita tentang Tuan Muda itu. Katanya perfeksionisnya kebangetan. Orang salah taruh sendok aja bisa jadi masalah.”

Tiwi menatap keduanya, lalu tiba-tiba tersenyum lebar. “Hmm… jadi masalahnya butuh orang yang tahan banting, nggak gampang kabur, berani, dan… bisa masak sehat?”

Anggun mengangguk cepat. “Iya, persis! Tapi di mana kita bisa cari orang kayak gitu?”

Tiwi mendongak, matanya berbinar nakal. “Ya jelas ada dong… di depan Tante sekarang.”

Rani dan Anggun terperangah bersamaan. “HAH?! Maksudmu… kamu???”

Tiwi mengangguk mantap. “Kenapa tidak? Aku lagi nggak ada kerjaan setelah resign. Aku bisa masak Mama tahu betul itu. Aku juga tahan banting. Lagian, kalau sifatnya dingin, malah cocok buat aku. Biar aku cairin es batunya itu.”

Rani menepuk meja keras. “Tiwi! Kamu ini waras nggak sih? Dari arsitek jadi ART? Itu namanya gila!”

“Gila? Justru jenius! Tante Anggun butuh solusi, kan? Aku lah solusinya. Lagian, kerja di rumah dokter dingin itu kan bisa jadi pengalaman baru buatku. Siapa tahu seru.” jawab Tiwi enteng

Anggun hampir tersedak teh. “Astaga, Tiwi! Kamu bercanda atau serius? Itu Tristan Mahesa, loh! Dia nggak pernah tahan sama satu ART lebih dari sebulan. Kamu bisa kapok nanti!”

Tiwi malah tertawa keras. “Justru itu tantangannya, Tante. Aku kan suka tantangan. Kalau aku berhasil bertahan, berarti aku lebih hebat dari semua ART elit yang pernah ada!”

Rani mengusap wajah, hampir putus asa menghadapi anaknya. “Ya Allah, ini anakku beneran gila…”

Namun, di sudut hati kecilnya, Rani tahu Tiwi memang berbeda. Selalu punya cara aneh untuk melawan arus, dan entah bagaimana, sering kali justru berhasil.

Anggun menatap keponakannya lama, lalu bergumam lirih. “Apa mungkin… ini jawaban dari ucapan kakakku tadi? Orang yang tak pernah kusangka bisa jadi solusi…”

Tiwi tersenyum nakal, lalu menjawab penuh percaya diri, “Siap-siap saja, Tante. Aku akan jadi ART paling kece untuk si dokter dingin itu.”

Dan saat itulah, seakan semesta tertawa. Kata-kata Anggun hari itu benar-benar mulai dimainkan oleh Sang Pencipta.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!