Mohon saran dan kritiknya...
°
°
°
Seorang wanita terlihat sedang menggandeng anak kecil di lorong sekolah. Ia tampak kesal dari raut wajahnya sedangkan sang anak menangis.
"Ibu ...." panggil anak itu manja.
"Ada apa?" Sang ibu menjawab dengan kesal.
"Dia memukul, Bu. Dia mendorongku. Aku menangis. Kan, sakit, Bu kalau didorong," keluh kesahnya ia perlihatkan pada ibunya.
"Anak itu tak akan mencari masalah kalau bukan kau yang mencari masalah duluan." Sang ibu mulai melunak.
"Memangnya apa kau lakukan pada gadis kecil itu, Nak?" Sang ibu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang anak.
Sang anak tersenyum dengan malu, "Aku menciumnya, Bu."
Wanita itu terkejut mendengarkan sang anak.
"Kau tahu dari mana mencium gadis itu?" Sang ibu bertanya dengan hati-hati mengingat ia masih anak usia lima tahun.
"Dari ayah dan ibu kemarin malam," ucapnya polos.
Wanita itu terhenyak dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
****
Di sudut rumah yang megah. Terdengar suara tangisan gadis kecil berusia empat tahun. Sang abdi setianya tak berhasil membujuk Nona mudanya.
"Non, ayo keluar dari sana. Apa Nona tidak takut sama tikus di dalam sana?" bujuk abdi setianya, Mira.
Bukannya keluar dari bawah kolong tempat tidur. Si nona malah menangis kencang.
"Ada apa, Mira?" tanya Tuannya yang mendapatkan gadis kecilnya menangis kencang.
"Tidak tahu, Tuan. Waktu saya jemput di sekolahnya. Nona sudah menangis," gugup Mira saat ditanyai.
"Ya, sudah. Biar saya yang membujuknya."
"Anak ayah kenapa menangis? Ayo ke sini sama ayah. Nanti ayah belikan es krim kesukaan kamu, Nak," kata ayahnya lembut.
Dari dalam kolong tempat tidur. Muncul seorang gadis dengan rambut berkuncir dua menangis dan langsung memeluk ayahnya.
"Ada apa anak ayah menangis?"
"Aku nggak mau dicium sama anak jelek itu, Ayah. Aku memukulnya," ucapnya sambil sesenggukan.
Sang ayah terdiam sejenak mencerna perkataan anaknya. Ia masih belum paham ucapan anak bungsu kesayangan-nya.
"Memang kenapa anak ayah dicium? Memangnya dicium di mana?"
"Kata anak jelek itu, aku cantik. Tapi aku nggak mau dicium sama dia," tangisnya mulai reda.
"Anak jelek itu mencium di sini," ujarnya sambil menunjuk wajah kanannya.
"Kok anak jelek? Dia nggak punya nama?"
"Iya jelek, gendut sama keriting rambutnya." Si gadis kecil itu merangkul pundak ayahnya.
"Lalu kamu menangis?"
"Iya ayah. Aku, 'kan, nggak mau kalau bukan ayah yang menciumku. Ayah itu tampan, nggak gemuk dan nggak keriting rambut."
Rasanya sang ayah ingin tertawa mendengar perkataan anak gadisnya, tetapi ia tahan.
****
Bagaimana prolognya? Apakah ada yang kurang?
Ini saya sertakan karakter dari pemainnya.
Aveliena Josephine Jaya
Gadis Jawa tulen. Berusia 18 tahun. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Cantik dengan rambut panjang sebahu. Memiliki tubuh yang sedang. Proposional. Mata yang seperti bulan. Disukai banyak orang karena keramahannya dan kecerewetannya.
Salim Tubagus Malik
Pria muda campuran Jawa dan Manado. Berusia 19 tahun. Sudah kuliah. Anak tunggal dari seorang pekerja. Memiliki tubuh yang atletis. Hidung yang mancung. Kulit putih. Penyuka sepak bola. Disukai banyak orang karena kesantunannya.
Brata Tjakra Jaya
Ayah dari Aveliena. Pengusaha sukses di kotanya. Proktektif terhadap anaknya terutama kepada putri bungsunya. Berusia 53 tahun masih memiliki wajah yang tampan.
Ambarwati Sekar Jaya
Ibu dari Aveliena. Ibu rumah tangga biasa. Penurut sama suaminya. Tidak bisa marah terhadap anak-anaknya. Wanita yang lembut hatinya. Berusia 50 tahun dengan tubuh yang masih langsing.
Jaka Putra Malik
Ayah dari Salim. Bersahabat dan bekerja dengan ayah Aveliena. Ayah yang penyayang dan penuh perhatian. Berusia 53 tahun.
Wajahnya bisa kalian bayangkan sendiri ya.
\=Bersambung\=
Surabaya, 09 Januari 2020
Semoga kalian suka cerita ini.
Mungkin cerita yang saya buat tidak seperti harapan kalian, membosankan atau terlalu bertele-tele. Tidak apa-apa, semua pembaca memiliki pendapatnya masing-masing.
Saya tidak memaksa kalian menyukai cerita ini, hanya saja berikan vote dan dukungan kalian melalui komentar. Mau komentar apa saja terserah asal sopan. Kalian mau promosi cerita, silakan.
Oke ... sekian dari saya. Terima kasih sudah mengunjungi lapak cerita saya.
Note : Ini dari kisah nyata sahabat nenek saya. Kisah ini merupakan kisah kehidupan Salim dan Ave di masa lalu yang saya kemas menjadi modern.
Mohon saran dan kritiknya....
°
°
°
14 Tahun kemudian
Deru suara mobil memasuki pekarangan rumah khas jawa yang dipadu dengan gaya modern. Seorang gadis dengan wajah masam keluar dari mobilnya dan berteriak kepada inang pengasuhnya. Sang sopir hanya tersenyum melihat tingkah laku sang majikan.
"Mbok Jum ...." teriaknya menaiki anak tangga.
"Mbok Jum ...." panggilnya lagi.
"Ono opo toh, Nduk? Ojo teriak. Ora sopan." Seorang wanita paruh baya menanyakan kepada cucunya dengan bahasa jawa. [Ada apa, Nduk? Jangan teriak. Tidak sopan ]
"Eyang Uti, di mana Mbok Jum?" tanyanya pelan karena ketahuan sama Eyangnya.
"Ing pawon, Nduk. Ono opo toh?" [ Di dapur, Nduk. Ada apa, sih? ]
"Aku lapar, Eyang Uti."
"Yo wes dahar." [ Ya, sudah makan ]
"Mbok Jum, buatin aku sambal pencit, ya," panggilnya di dapur.
Eyang Uti Rahma hanya geleng kepala melihat cucunya.
"Ada apa, Bu?" tanya sang menantu perempuan.
"Biasa toh, Nduk. Anakmu iku teriak-teriak. Kupinge ibu sakit," gerutu Eyang Uti kepada mantunya. [ Biasa anakmu itu teriak-teriak. Telinga ibu sakit]
"Maksud ibu si Ave?"
"Iyo sopo maneh toh?" [ Ya, siapa lagi?]
Sang menantu hanya tersenyum saja.
"Kok iso anak wadon tingkah lakune kayak anak lanang," kata Eyang Uti seraya melangkah menuju teras. [ Kok bisa anak perempuan tingkahnya seperti anak kecil ]
Anak yang dimaksud adalah cucu bungsunya. Sudah beranjak dewasa, tetapi tingkah lakunya seperti anak kecil.
"Tole, wes dahar?" tanya Eyang Uti kepada anak muda yang habis memarkirkan mobil tuannya. [ Kamu sudah makan? ]
"Belum Eyang Uti," jawabnya santun.
"Yo wes dahar sek. Resik-resik mung meko ae," ucapnya sambil memegang kipas di tangannya. [ Ya, makan dulu. Bersih-bersihnya nanti saja ]
"Inggih Eyang Uti," kata anak muda tersebut yang bernama Salim.
*****
"Ya Allah, Non. Kakinya jangan diangkat kalau makan. Nggak sopan, Non." Mbak Mira pengasuhnya dari kecil terkejut melihat kelakuan nonanya.
Mbak Mira lantas menurunkan kaki nonanya.
"Ih, Mbak Mira. Aku 'kan pakai celana bukan rok."
"Ya tetap saja toh, Non. Itu tidak sopan. Kalau ketahuan Eyang Yaya, kamu dimarahi."
Mendengar kata Eyang Yaya membuat nona yang bernama Ave tersebut bergidik takut. Eyang Yaya adalah orangtua dari ayahnya. Terkenal galak. Segera ia menurunkan kakinya.
Seorang pemuda datang dari luar dan duduk di sebelah Ave.
"Salim, jangan ambil sambal pencitku loh." Ave memberi peringatan kepada Salim.
"Iya Nona Ave."
Nona Ave makan dengan lahap. Sambal pencit dan ikan asin adalah kesukaannya.
"Salim makan dulu, Nak," kata Mbok Jum menyiapkan makan buat Salim.
"Terima kasih, Mbok Jum," jawabnya sopan.
"Aku sudah kenyang. Enaknya makanan di rumah." Ave selesai dalam sekejap menyantap makanannya.
"Mbok Jum, terima kasih, ya. Sambal pencitnya Mbok is the best." Ave mengacungkan jempolnya.
Mbok Jum, Mbak Mira dan Salim hanya bisa tersenyum melihat tingkah lakunya sang anak majikan.
Ave nama panggilannya. Ia bukan gadis manja walau dirinya anak dari keluarga ternama. Ia terkenal dengan gaya urakan. Sopan di luar rumah, akan tetapi di dalam rumah terkenal dengan anak yang tak bisa diam. Hal yang ditakuti bukan binatang, tetapi Eyang Yaya. Pernah sekali ia membawa ulat untuk kakak perempuannya. Kakaknya langsung menangis kencang. Eyang Yaya langsung memarahinya dan menghukumnya dengan tak memberinya uang jajan selama seminggu. Sejak saat itu ia kapok jika berurusan dengan Eyang Yaya.
*****
"Arep nang endi, Cah Ayu?" Langkah kaki Ave yang lebar membuatnya berhenti saat seseorang yang ia takuti dan segani menanyakannya. [ Mau ke mana, Nona Ayu ]
"Ave mau ke Pendopo, Eyang Yaya. Salim mau ajarin Ave belajar." Ave berbohong padahal niatnya mau menjahili Salim yang berada di Pendopo untuk belajar.
Eyang Yaya mengangguk. Ave tak bisa bicara Bahasa Jawa. Entah itu Krama Inggil atau semacamnya. Namun, ia tahu artinya. Keluarganya adalah orang Jawa tulen. Apalagi Eyang Yaya masih keturunan Raja. Nama Eyang Yaya adalah Gusti Raden Bayanaka Waskito Jayanatra. Entahlah hanya itu yang diingat Ave tentang Eyangnya.
"Salim ...." Ave memanggil nama Salim, tetapi orang yang dipanggilnya tak ada di Pendopo.
"Duh ... ke mana, sih, Salim Lim?" Memanggil nama orang seenaknya sendiri.
"Salim Lim ...." panggilnya lagi dengan volume suara yang keras.
"Ada apa, Non Ave?" tanya Mas Bowo keluar dari dapur yang dekat dengan Pendopo. Bowo adalah suami dari Mira.
"Mas Wowo, ke mana Salim?"Ave tak lagi berteriak mungkin suaranya tak bisa lagi keluar. Ia terbatuk-batuk.
"Salim mengantar Eyang Uti, Non," jawabnya sopan.
"Loh bukannya ada Pakde Malik." Ave memanggil ayah Salim dengan Pakde. Menurut Eyang Yaya jangan memanggil "Pak" kepada ayah Salim. Tidak sopan kata Eyang Yaya.
"Pakde Malik anterin ayahnya Non Ave ke perkebunan."
"Ya sudahlah." Ave pasrah.
"Emangnya ada apa toh, Non?"
"Aku mau mukulin Salim. Lihat saja nanti si Salim Lim itu, ya." Ave beranjak pergi dengan perasaan jengkel.
Mas Bowo yang ada di belakangnya ada termangu saja.
Sudah menjadi kebiasaan Ave sejak kecil. Jika ia kesal dengan seseorang maka sasaran empuknya adalah Salim yang siap menjadi bahan pukulan tubuhnya dengan pelan.
"Dek, kok wajahnya ditekuk seperti itu. Ada apa?" Mbakyu Raras, kakak pertamanya memandangi wajah sang adik yang masam.
"Bosan aku Mbakyu. Salim nggak ada."
"Ya sudah. Main saja sama Jaka," canda Mbakyu Raras.
Jaka yang dimaksud adalah anak dari Mira dan Bowo.
"Masa aku suruh main sama anak kecil? Ih, Mbakyu ini loh," sewotnya membuat wajahnya tambah masam.
"Mbakyu Raras mau ke mana? Sama Kangmas Bayu?" Ave melirik Raras yang berpakaian rapi.
"Mbakyu sama Kangmas Bayu mau ambil kebaya yang dipakai buat besok lusa," kata Raras dengan wajah sumringah.
Setelah ditinggal Mbakyu Raras, Ave berjalan masuk ke kamarnya. Ia sempat melihat sejenak Eyang Yaya mengajak binatang piaraannya bernyanyi.
Anak pertama keluarga Jaya adalah Raras Anindita Putri Jaya sedangkan anak kedua adalah Bagas Arnawama Putra Jaya. Hanya anak bungsunya yang tidak memakai nama Jawa. Biar berbeda kata ayahnya walau ditentang oleh Eyang Yaya. Karena orang yang dicarinya tidak datang. Ave mendengarkan musik melalui ponsel kesayangannya.
\=Bersambung\=
Menurut kalian bagaimana dengan awal ceritanya?
Beri saran atau kritikannya ya?
Mohon saran dan kritiknya...
°
°
°
Ave's Pov
Hari ini pesta pertunangan Mbakyu Raras dan Mas Bayu. Tidak banyak yang hadir hanya keluargaku dan keluarganya Mas Bayu. Sebenarnya aku tak suka dengan cara ini. Andai bisa kabur, aku kabur saja, tetapi mau ke mana. Memang ada mobil di garasi, tetapi ayah orang yang pelit. Kami hanya memiliki tiga kendaraan saja. Satu mobil untuk mengantarkan ayah ke perkebunan. Satu mobil dipakai untuk kami bersama. Satunya lagi minibus untuk kami berlibur. Sepeda motor hanya milik Mas Bagas. Sedangkan aku hanya memiliki sepeda Ontel. Itupun harus Salim yang membuntuti dari belakang.
"Non Ave, kok tidak ke Pendopo utama." Si Salim mengejutkanku yang sedang duduk di taman.
"Bosan aku di sana, Salim," sahutku malas.
"Jangan begitu, Non? Ini acara pertunangannya Mbakyu Raras, Non."
"Ih Salim ini. Aku akan bosan seharian di sini." Aku menggerutu.
"Ayo Salim. Kita naik sepeda saja," bujukku manja.
"Tidak, Non. Nanti Eyang Yaya marah seperti kapan hari itu loh," tegasnya menolak permintaanku.
"Salim ini bikin aku jengkel. Kan Eyang Yaya nggak lihat kita," rajukku sekali lagi.
"Jangan ah Nona. Nanti marah loh Eyang Yaya."
"Dasar Salim penakut," ejekku dengan memajukan bibir sambil melangkah pergi.
"Non ... ,awas ada....." Salim teriak.
"Apa...!" Aku belum melanjutkan kalimatku tiba-tiba saja ada tangan yang menopang tubuhku agar tak jatuh ke kolam.
Kami saling berpandangan. Canggung.
"Maafkan saya, Non Ave. Saya nggak sengaja," ucapnya malu saat ketahuan memegang pinggangku.
Aku langsung berlari. Malu rasanya ada seorang lelaki yang memegang pinggangku walau itu tak disengaja.
*****
"Cah Ayu, ning endi kowe?" tanya Eyang Yaya kepadaku. [ Nona Ayu. Kamu di mana ?]
"Ave di sini, Eyang Yaya," jawabku di teras.
Eyang Yaya selalu memanggilku Cah Ayu. Kata Eyang Yaya susah menyebut namaku.
"Cah Ayu, Eyang mboten priksa sampeyan mau." [ Tadi eyang tidak lihat kamu tadi ]
"Ave ada di taman, Eyang. Bosan Ave di acara itu," kataku takut.
"Mboten kenging mekoten toh Cah Ayu." [ Tidak boleh seperti itu ]
"Iya Eyang. Maafkan Ave, ya, Eyang."
"Ojo neng di baleni maneh." [ Jangan dilakukan lagi ]
Aku mengangguk.
"Yo wes. Salim ning endi, Cah Ayu?"
"Ada di belakang, Eyang."
"Ayah mau minta tolong sama Salim, Nduk." Suara ayah tiba-tiba ada di belakangku.
"Minta tolong apa ayah?"
"Ambil barang pesanan Eyang Uti di rumah Bude (Tante) Yayuk," kata Ayah sambil duduk di samping Eyang Yaya.
"Ave boleh ikut nggak, Ayah?" Aku merayu ayah.
Ayah diam saja menanggapi permintaanku.
"Ayah boleh, ya. Ave lama nggak bersepeda," rayuku lagi agar didengar.
Aku melirik Eyang Yaya agar memperbolehkanku.
"Yo wes. Ati-ati. Ojo sampai nyemplung maneh ning kali." Eyang Yaya memberi ijinnya. [ Ya sudah hati-hati. Jangan sampai jatuh lagi di sungai ]
"Terima kasih Eyang." Aku pamitan dengan Eyang Yaya dan Ayah.
Eyang Yaya selalu ingat dengan apa yang menimpaku bulan lalu. Aku malu. Aku jatuh di sungai walaupun dangkal dan malu karena banyak anak-anak kecil tertawa.
"Semoga Salim bisa menjaga Ave ya, Romo." ( Ayah)
Eyang Yaya hanya tersenyum.
*****
Di sore hari menjelang maghrib. Eyang Yaya, Eyang Uti dan anak menantunya sedang duduk di Pendopo. Mereka terlihat membicarakan sesuatu.
"Permisi Tuan Wijaya. Maaf saya terlambat," sahut Pak Malik tergesa-gesa.
"Mboten nopo-nopo, Malik." Eyang Yaya mempersilahkan Pak Malik untuk duduk.
"Ada apa Tuan memanggil saya? tanya Pak Malik dengan penasaran. Tak seperti biasanya Eyang Yaya mengundang dirinya dalam rapat keluarga.
"Jangan panggil Tuan, Jaka. Kita sudah berteman lama. Aku tak ingin kau memanggilku Tuan jika di rumah." Pak Brata memberitahu dengan anggukan Eyang Yaya dan Eyang Uti.
"Begini Jaka. Ada hal yang ingin kami katakan kepada Jaka. Ini mengenai Salim." Eyang Uti membuka suara terlebih dahulu.
Salim? Apakah Salim berbuat Salah? Itu yang ada di benak Pak Jaka sekarang.
"Apakah anak saya berbuat salah Eyang?" Panik melanda Pak Jaka.
Eyang Yaya malah tertawa melihat raut wajah Pak Jaka yang panik. Pak Jaka semakin bingung.
*****
Suara roda yang berpadu dengan gesekan jalan terdengar nyaring saat dikayuh oleh Salim. Salim mengayuh sepeda onthelnya di belakang ada yang diboncengnya. Nona Ave yang cerewet. Sejak pulang dari rumah Bude Yayuk. Tak hentinya ia mengeluh karena badannya yang capek terguncang oleh bebatuan di jalan. Salahnya siapa juga yang ikut.
"Eyang Uti ini juga aneh. Masa kita hanya disuruh mengambil barang ini." Ave terlihat kesal dengan barang yang dibawanya. Satu kresek terong belanda.
"Kan bisa beli di pasar," gumamnya lagi. Salim hanya mendengarkan saja.
"Benar tidak Salim?"
Tak ada jawaban.
"Salim Lim ..."
"Iya Nona. Ada apa?" Salim hanya fokus ke arah depan.
"Kebiasaan kamu. Nggak pernah dengar perkatanku." Ave mendengkus kesal.
"Iya Non. Maafin Salim." Tetap dengan pandangan lurus ke depan.
Dengan duduk menyamping di atas sepeda yang dikayuh oleh Salim membuat penat tubuhnya. Perjalanan menuju ke rumah tidak membutuhkan lama hanya sekitar 10 menit saja. Hanya karena jalannya masih licin habis hujan maka Salim harus mengemudikannya pelan-pelan.
"Salim, bagaimana kuliahmu?" Ave membuka suaranya karena terasa sepi.
"Baik-baik saja Nona."
"Apa kau sudah punya pacar?"
Glek ...
Pertanyaan spontan yang meluncur dari mulut gadis cerewet ini sontak membuatnya kaget. Bagaimana bisa ia memiliki kekasih? Pekerjaannya hanya mengantar jemput si Nona Centil dan ke kampus di sore hari. Malamnya Salim langsung tidur karena capek. Lagi pula ia sudah menyukai seseorang yang disukai sejak dulu. Salim tak bisa menjawabnya. Karena mereka sudah tiba di rumahnya.
"Nah itu mereka sudah datang." Pak Brata melambaikan tangannya untuk memanggil Salim dan Ave.
"Apa Eyang Yaya yakin dengan ini semua ini?" Rasa tak percaya terbaca di wajah Pak Jaka saat mereka membahas suatu hal."
"Iyo, Aku iki tenanan. Kuwi kudu percaya karo aku." Eyang Yaya menepuk bahu Pak Jaka.
"Semoga setelah membahas hal ini. Jaka memahami maksud kami." Ambar, Istri Pak Brata memberi keyakinan.
"Jika ini terbaik untuk Salim. Saya serahkan semuanya sama Eyang Yaya saja." Pak Jaka akhirnya mengalah.
Eyang Yaya tersenyum menanggapi perkataan Pak Jaka. Tak lama kemudian orang yang ditunggu. Mereka berdua terlihat bingung dengan pertemuan ini. Apalagi tak seperti biasanya Eyang Yaya mengundang ayahnya Salim. Eyang Yaya mengatakan sesuatu yang membuat mereka kaget hingga Ave menjatuhkan terong belanda ke lantai.
"Kalian berdua akan Eyang jodohkan."
○○○○○○
Tbc.....
Kira-kira Ave nolak tidak ya?
Penasaran kan?
Tunggu cerita selanjutnya.
Jika ada Bahasa Jawa yang kiranya ada yang salah. Boleh beritahu saya ya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!