NovelToon NovelToon

Hangatnya Godaan Boss Duda

Penghianatan

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aluna Laksita.

“Berani sekali kamu, ya, Laksita!” ucap Bu Dewi, perempuan paruh baya dengan balutan daster modern, suaranya bergetar menahan amarah. matanya melotot bahkan biji matanya mungkin akan keluar saking marahnya perempuan itu.

 “Sudah kukatakan, lepaskan Aditya. Anakku bukan untukmu! Kau pikir statusmu yang tidak jelas itu bisa masuk ke keluarga kami?”

Aluna menahan air mata yang mendesak ingin jatuh. Namun, Ia tetap menatap lurus ke arah perempuan di depannya, tidak sudi menundukkan kepala.

Hubungannya dengan Aditya Sudah cukup lama, meskipun mereka memang jarang memiliki waktu tapi mereka sama-sama saling mencintai. Aluna sangat menyayangi Aditya karena dia sangat baik, dia selalu mengajarkannya tentang banyak hal. Aditya juga merupakan muslim yang taat, hal itu membuatnya semakin jatuh cinta kepada pria yang ingin menikahinya.

“Maaf, Bu. Saya tahu saya tidak sempurna. Tapi saya sungguh mencintai Mas Aditya. Dan saya tidak akan mundur hanya karena Ibu menolak saya. Saya akan tetap menikah dengan Mas Adit.”

Pak Hendra yang duduk di sofa empuk di ruangan yang sama hanya menghela napas panjang. Tatapannya dingin, sama sekali tak ada tanda-tanda membela atau menghentikan amarah istrinya. Seakan semua sudah jelas, bahwa Aluna memang tidak pantas, dan ia membiarkan istrinya jadi algojo.

Di sofa yang lain, Nayara, adik perempuan Aditya, santai bersandar sambil memainkan ponselnya. Tangan kanannya sibuk meraih camilan dari toples kaca di meja. Sesekali matanya melirik ke arah keributan itu, tapi tidak ada niatan ikut campur.

“Kamu keras kepala, Laksita!” Bu Dewi kembali maju, tangan kanannya sudah terangkat tinggi, siap mendaratkan tamparan kedua.

Akan tetapi, sebelum tangan itu jatuh lagi, suara salam terdengar dari pintu masuk.

“Assalamu’alaikum.”

Semua kepala serentak menoleh. Dari arah pintu, tampak Aditya berjalan masuk dengan wajah serius. Di sampingnya, seorang perempuan berhijab syar’i berwarna biru lembut melangkah dengan anggun. Wajahnya teduh nan cantik. Benar-benar khas ukhti.

Aluna tertegun, Matanya langsung menatap ke arah pria yang selama ini diperjuangkannya. Pria yang sangat dia cintai.

“Mas Adit,” gumamnya dengan suara bergetar. Ia berharap pria itu segera menghampiri, untuk membelanya, untuk memeluknya, atau sekadar berdiri di sisinya. Namun, yang ia lihat justru sesuatu yang mematahkan hatinya.

Aditya berhenti beberapa langkah darinya. Ia tidak beranjak mendekat. Sorot matanya dingin, ada jarak yang tak pernah Aluna bayangkan sebelumnya.

Sementara itu, reaksi keluarga sungguh berbeda. Bu Dewi langsung tersenyum ramah, seolah amarahnya menguap begitu saja. “Safira sayang, akhirnya kamu datang juga.” Ia menyambut dengan langkah lebar, perempuan yang disebut Safira meraih tangan Bu Dewi dengan penuh hormat.

Pak Hendra yang sedari tadi diam pun ikut berdiri, menyambut Safira dengan senyum tipis yang jarang sekali ditunjukkannya. Nayara bahkan menyingkirkan ponselnya dan meloncat kecil dari sofa.

“Safira!” teriaknya girang. Ia berlari dan langsung memeluk sahabatnya itu. “Ya Allah, aku kangen banget!”

Lagi-lagi Aluna membeku. Safira, Itu nama yang melukai hatinya.

 “Nay, tolong antar Safira masuk ke ruang keluarga di atas, ya. Ibu mau bicara sebentar dengan Laksita.”

“Baik, Bu.” Nayara menurut, meski enggan melepaskan rangkulan. Safira hanya tersenyum tipis, matanya sempat bertemu dengan mata Aluna. Tapi dia hanya mengangguk dan tersenyum.

Setelah mereka pergi barulah Aluna bisa kembali bicara.

“Bu, kalau memang ada yang harus diputuskan, biar saya dengar langsung dari Mas Adit.”

“Hah!” Bu Dewi menoleh ke arah anaknya. “Aditya, katakan pada perempuan ini. Jangan beri harapan palsu lagi. Kamu pilih siapa yang akan menjadi istri sah-mu.”

Jantung Aluna berdentum keras. Ia menoleh, menatap pria yang selama ini selalu ia banggakan di hadapan keluarga. Pria yang menjadi satu-satunya Harapan bahwa tidak semua laki-laki bajingan.

“Mas Adit... jawab, Mas. Apa Mas masih mau menikah denganku?”

Aditya menundukkan kepala sebentar, lalu menghela napas berat. Tak lama setelah itu dia mendongak dan menatap mata Aluna dengan tatapan penuh rasa bersalah.

“Aku sudah menikah siri dengan Safira, Dek. Maaf.”

“Mas, apa maksudmu?” tanya Aluna bingung. Dia mendekati Aditya, tapi pria itu malah mundur menjauh. “Mas bilang, tahun ini Mas janji Mas mau nikahin aku, kenapa Mas bohong? Mas belum nikah kan? Mas lagi bercanda, kan?”

Pelupuk mata Aluna sudah siap meluncurkan air mata. Akan tetapi dia masih berusaha untuk menahannya, karena dia masih berpikir bahwa mungkin Aditya hanya sedang bercanda. Namun, setelah pria itu kembali mengatakan kata maaf, bulir bening yang berusaha ia tahan meluncur begitu saja.

“Kami akan menggelar resepsi bulan depan, Dek.”

Sudah Berakhir

“Alah udahlah, enggak usah banyak drama!” ucap Bu Dewi. Dia kesal sekali karena Aluna ini sangat keras kepala.

“Dasar Anak haram!” Suara Bu Dewi menggema di telinga Aluna. Perempuan paruh baya itu melipat tangan di dada, menatap Aluna dari atas kepala sampai ujung kaki dengan pandangan penuh jijik.

“Lihat dirimu! Kamu bukan hanya miskin, ibumu gila, keluargamu tidak jelas, dan kamu berani-beraninya bermimpi masuk keluarga ini? Mana bisa kamu bersaing dengan Safira?” Penghinaannnya benar-benar tidak tanggung. Mungkin dia sudah tahu kalau itu dosa dan dia merasa sedikit atau banyak sama saja.

“Kamu lihat sendiri, penampilanmu itu murahan. Safira anak orang terpandang, ahli surga! Sedangkan kamu?” Ia tertawa sinis, menunjuk wajah Aluna dengan jari telunjuknya. “Kamu lebih pantas jadi LC di tempat karaoke daripada jadi istri Aditya.”

Aluna menelan ludah, matanya berkaca-kaca saat ia melihat tampilannya di cermin di ruangan tersebut. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Segala cinta yang ia pertahankan terasa tak ada harganya di hadapan keluarga ini.

Dengan langkah goyah, ia mengambil tas kecil di sofa. Tangannya bergetar ketika ia menunduk hormat sekadarnya, lalu berbalik menuju pintu.

Ketika dia keluar dari gerbang rumah tersebut, tepat sebelum gerbang tertutup, sebuah paper bag menghantam kepalanya.

Isi dari paper bag itu berhamburan di aspal. Kue kering dan juga roti buatannya tercecer di genangan air. Hujan mengguyur tubuhnya, membuat dia basah kuyup dan semakin terlihat tidak berdaya.

“Buang saja itu, barang murah seperti itu tidak pantas masuk rumah ini!” pekik Bu Dewi kembali terdengar.

Aluna tercekat, tapi ia tak punya tenaga lagi untuk melawan. Hatinya terlalu sakit karena Aditya hanya menatanya tanpa mau membela.

“Luna.”

Suara hangatnya membuat langkah Aluna terhenti. Aluna menoleh, menatap Aditya yang keluar menghampirinya. Tampak senyum cerah menghias bibir pucatnya.

“Mas, aku enggak papa, kok. Aku enggak papa kalau tadi kamu cuma becanda, kamu enggak bener-bener mau pisah dari aku, kan?”

Namun, pria itu hanya diam dan menyerahkan payung kuning padanya.

“Mas....” Aluna menatap pria itu penuh harap.

Aditya malah mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Ia membukanya, memperlihatkan sebuah gelang perak sederhana yang dulu memang pernah Aluna hadiahkan padanya.

“Ini.” Aditya menyerahkan kotak tersebut. “Kamu simpan lagi. Jangan cari aku lagi, Luna. Sudah cukup. Aku enggak bisa sama kamu lagi, aku udah jadi suami orang.”

“Mas, kenapa? Aku tahu kamu sayang sama aku, aku tahu kamu cinta sama aku, Mas ....”

Aditya menggeleng perlahan. “Sudah. Hentikan, Luna. Kamu perempuan baik, kamu bisa cari laki-laki lain. Tapi bukan aku. Pergilah!”

Pada akhirnya, Aluna hanya bisa menunduk, dia menatap gelang itu cukup lama. Tangannya gemetar ketika menerima. “Baik, Mas. Kalau itu keputusanmu... aku tidak akan mengganggu lagi.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Aditya yang hanya menatapnya dari jauh. Luna bahkan tidak mau mengambil payung dari tangan mantan kekasihnya.

Perempuan itu berjalan sambil menangis, kadang dia terseok, mengasihani hidupnya sendiri yang sangat menyedihkan.

“Ya Allah, dosaku mungkin terlalu banyak, tapi ini benar-benar sangat menyiksa.”

** **

Malam semakin larut ketika Aluna sampai di rumah sederhana milik Budhe Ratna. Lampu teras masih menyala, menandakan ada yang menunggu. Begitu pintu terbuka, sosok perempuan berusia awal lima puluhan dengan wajah tegas menyambutnya.

Dia mengucapkan salam dan salam itu dijawab ketus.

“Dari mana saja kamu? Sudah jam segini baru pulang, hujan-hujanan pula!” marah Budhe Ratna, matanya melebar melihat tubuh keponakannya yang basah kuyup.

“Bu Dhe, aku ....”

Belum sempat ia menjelaskan, sapu lidi yang sedari tadi berada di tangan Budhe Ratna mendarat di betisnya.

Pak! Pak! Pak!

“Kamu pikir hidup ini main-main? Pulang malam, basah kuyup, bikin orang tua cemas! Kamu kira aku ini siapa, hah?!” Ratna menghantam lagi, meski tidak sekeras pertama kali.

“Bu Dhe, sakit.”

“Sudah miskin, tidak punya bapak, ibumu gila, jangan bikin malu keluarga lagi, Luna!” Ratna melemparkan sapu dengan kasar ke dinding. “Kalau kamu terus begini, siapa yang mau nikahin kamu nanti?”

Kini pukulannya berganti dengan tangan. Dia tidak segan untuk memukul pantat dan lengan Luna.

“Kamu itu mau jadi apa, Luna? Mau jadi apa?”

“Bu Dhe udah.”

Aluna menangis sesenggukan, dia yang biasanya sangat tegar dan akan melawan kini tampak tidak berdaya.

“Astagfirullah, Luna. Kamu kenapa?” tanya Ratna sambil mengangkup wajah Aluna. Tadi dia tidak terlalu memperhatikan karena emosi menguasai hati dan jiwa. “Ada apa, Nak? Kamu kenapa, bilang sama Bude!”

“Budhe, aku ditampar sama Bu Dewi. Dia bilang aku miskin, bapaknya enggak jelas, ibunya gila, dan enggak pantes buat Mas Aditya.”

“Tapi itu fakta, Nak.”

“Budeeee .....” Aluna semakin meraung dalam pelukan Bude Ratna. Bukannya ditenangkan, sosok pengganti ibunya itu malah mengompori. “Bude ih, aku kesel.”

Tungau Berbisa

Malam itu, Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka dengan suara berderak. Dua sosok yang biasa menjadi pembela Aluna muncul dengan wajah murka. Keysha, si bungsu yang keras kepala masuk lebih dulu, sambil menggendong anaknya. Diiikuti Raka yang wajahnya merah padam, dia juga menuntun anak laki-lakinya.

“Bu, cukup!” seru Keysha sambil menepis tangan ibunya yang sedang memukul punggung Luna. “Jangan main tangan terus sama Luna! Dia itu bukan anak kecil lagi!”

“Dih, ibu cuma nepuk-nepuk aja, tadi Luna mau sendawa.”

“Bener ibu enggak mukulin kamu?” tanya Raka khawatir.

Kepala Luna menggeleng. “Dari tadi Bude marahin aku, mukulin aku juga pake lidi.”

“Ibuuuuu!” pekik Keysha. Dia menatap ibunya sambil berkacak pinggang. Sang anak sudah hilang entah ke mana.

“Ibu cuma khawatir,” jawabnya enteng.

“Bohong, Ibu pasti bohong.”

“Diam, Key! Kamu pikir ibu tega mukul?” bentaknya sambil membela diri. “Ibu cuma khawatir! Anak ini seenaknya pulang malam, hujan-hujanan, bikin orang tua kepikiran! Mana pulang sambil nangis, siapa yang enggak khawatir.”

“Khawatir?!” Keysha membalas dengan mata berkilat. “Kalau khawatir itu dirangkul, Bu, bukan dipukul! Masa setiap kali Luna salah, solusinya sapu?!”

“Sudah, Mbak ....” Aluna menggeleng lemah, dengan suara serak. “Sudah, jangan marahin Budhe. Aku memang salah.”

“Bukan kamu yang salah, Lun.” Raka bersuara, matanya merah karena menahan marah. “Memangnya kamu kenapa? Siapa yang udah bikin kamu nangis kayak gini?”

“Mas Adit... dia, sudah nikah siri sama Safira,” katanya terbata. “Aku dikhianati, Mas ... aku dihina ... di depan keluarganya, aku ditampar, disuruh pergi kayak sampah. Mereka bilang aku anak haram, miskin, ibuku gila. Sedangkan Safira ... mereka sebut Safira calon ahli surga. Dia emang pake hijab panjang. Mereka pikir aku ini kayak LC.”

“Kurang ajar!” Keysha mengepalkan tangannya erat. “Gila ya mereka? Mentang-mentang Safira berjilbab syar’i, terus kamu dibandingin kayak... kayak LC karaoke?! Mereka pikir mereka siapa, hah?!”

“Aku nggak terima, Lun!” tambah Raka. “Kita kenal Aditya, dia sering sok akrab sama keluarga kita kan? Pura-pura bantuin di warung biar dapet hati ayah sama ibu. Ternyata kelakuannya busuk! Kalau dia berani muncul di depan mataku, aku bersumpah, aku bakal hajar! Dia habis-habisan.”

“Aku juga!” Keysha menimpali. “Aku bakal labrak tuh Ukhti Safira. Yang katanya Cantik, pinter, so what?! Dia nggak berhak ngambil sesuatu dengan cara kotor kayak gitu!”

Mendengar hal itu, Aluna mendongak, ia tersenyum getir sambil menghapus sisa air mata. “Jangan salahin mereka. Mungkin memang aku yang salah. Aku memang nggak sebanding sama Safira. Mereka akan menikah bulan depan, resepsinya sudah disiapkan. Percuma kalian marah, aku capek. Aku mau istirahat. Makasih udah peduli sama aku, Mbak, Mas. Tapi aku udah kalah.”

Raka terdiam, matanya menatap Aluna seakan hatinya ikut terkoyak. Keysha yang biasanya galak kini hanya bisa menggigit bibir dengan mata berkaca-kaca.

Mereka sama-sama menoleh ke arah Bu Ratna, berharap ada sedikit pembelaan. Tapi perempuan paruh baya itu hanya mendesah berat.

“Sudah, lebih baik kalian diam. Luna memang harus belajar menerima kenyataan. Dari awal, ibu enggak suka Luna bergaul sama dia, Adit itu orang kaya. Kita enggak selevel sama mereka.”

Bu Ratna beranjak dari duduknya, lalu berbalik pergi dengan tangan dan bibir gemetar. Dia berusaha menahan air mata, tapi sayangnya dia kalah.

Bukan hanya Bu Ratna, Aluna juga berjalan ke kamar dengan langkah gontai. Sedangkan Key dan Raka, mereka menghela napas, lalu melirik ayah mereka yang sedang menidurkan anak-anak di kasur depan TV.

Begitu pintu kamar tertutup, Luna jatuh terduduk di sisi ranjang. Rambutnya masih basah, belum sempat dia keringkan setelah tadi mandi sebentar. Tangannya gemetar,tidak ingin menangis tapi dia tidak bisa. Luna ingin meraung, dia ingin menjerit, tapi tidak mungkin.

Saat hatinya benar-benar sakit, iba-tiba layar ponselnya menyala. Nada dering video call menggema di kamar sederhana itu. Nama yang sangat dikenal Luna muncul jelas di layar. 'Tungau Berbisa'

Aluna buru-buru menghapus air matanya, merapikan rambut basahnya dengan tangan, lalu menarik napas panjang. Ia menatap wajah sendiri di pantulan layar ponsel, mata sembab, bibir pucat.

“Ngapain sih dia nelpon jam segini,” geramnya. Wajah marah itu langsung berubah saat Dengan kesal, ia menggeser ikon hijau. Layar berubah, menampilkan wajah pria tampan dengan tatapan tegas, Arsena Kusumawardhana, CEO tempatnya bekerja. Lihat dia, begitu tampan dan mempesona, kaca mata baca yang bertengger di hidung mancungnya membuat dia yang sudah matang semakin menawan.

Tapi jangan tertipu, dia itu sangat menyebalkan.

“Aluna?” panggil suara bariton itu sedikit tajam. “Nangis?”

“Enggak kok, Pak. Saya cuma... kecapekan sedikit.” Dia pura-pura tersenyum seperti biasa meski matanya sudah berkaca-kaca.

“Kamu di rumah?”

“Iya,” jawab Aluna singkat.

“Besok pagi, saya mau kamu ke kantor lebih awal. Ada beberapa hal penting yang harus kita bicarakan. Jangan telat.”

“Baik, Pak.” Aluna mengangguk.

Namun, setelah kalimat terakhir, Arsen tak kunjung mematikan panggilan video tersebut. Aluna bingung, menatap Arsen yang malah fokus bekerja di balik meja. Dia hendak berbaring, tapi kembali duduk karena Arsen berdehem.

“Keringkan rambutmu sebelum tidur dan berhenti menangis! Kamu bukan anak kecil, Luna.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!