Kami yang tengah asyik bercengkerama tiba-tiba di kejutkan dengan perkataan abangku yang tiba-tiba ingin melamar seorang wanita, ya kami hanya dua bersaudara dan aku sebagai anak bungsu di sini.
"kau serius ingin melamar wanita itu?" ucap ibuku.
" iya buk, Rama udah klop dengan Sinta."
Sinta? Hmmm, sudah seperti tokoh pewayangan saja namanya. Ku lirik lelaki dua puluh lima tahun itu, cukup matang tapi selama ini dia belum pernah sama sekali memperkenalkan siapa wanita itu, tapi kok tiba-tiba mau melamar.
"sebaiknya kamu kenalkan dulu dia pada ibu mas, masa main lamar aja." cerocos ku.
" iya Ram, bukan ibu tak merestui. Tapi alangkah baiknya kamu bawa dulu dia kesini, silahturahmi lah." ucap ibuku kemudian.
Tampak Abang ku tersebut meraup wajahnya, kalau kesal sih kami tidak perduli. Lagian, siapa suruh gak pakai acara ngenalin dulu. Kalau istri orang bagaimana? Bisa berabe ya kan.
Mas Rama lalu melihat kami berdua, semenjak ayah tidak ada dialah yang menjadi penggantinya. Anaknya baik, tidak pernah marah sebab itu sangat di sayangkan jika dia mendapatkan calon istri yang tak jelas bebet bobot nya.
"besok Rama bawa kesini ya buk, Rama jamin ibu pasti langsung suka."
" orang mana mas?"
" orang kampung sebelah, "
Kampung sebelah? kok aku sampai gak tau mas Rama punya pacar di sana. Masa iya mainku kurang jauh, padahal aku suka wara-wiri keluar masuk kampung tersebut.
"yakin kamu mas, orang kampung sebelah. Kok, aku gak tau?"
" mana mungkin kau tau, wong dia juga baru balik merantau. "
Oh, memang sebagian warga kampung kami maupun sebelah banyak yang merantau. Ya istilahnya mengadu nasib lah, karena yang memiliki sawah atau kebun lah yang masih bertahan di desa ini.
"ya sudah besok kami bawa dia kesini, nanti biar kita makan siang bersama. Bagaimana?"
" Setuju buk, Laras setuju." ucapku seraya memberikan dua jempol tangan pada mereka.
Terlepas dari semuanya, aku berharap semoga pilihan abangku ini tidak salah. Karena seumur hidup itu lama, jangan sampai putus di jalan.
Ke esokannya, aku dan ibu pagi-pagi buta sudah pergi ke pasar. Tidak terlalu jauh tapi lumayan juga sih kalau jalan kaki.
"enaknya masak apa ya Ras," ucap ibu setibanya di pasar.
" yang biasa aja buk, lagian kita juga belum tau dia suka apa tidak dengan masakan kita. " sahutku.
" iya juga ya, kita masak yang simpel tapi enak. Bagaimana? "
" setuju."
Aku dan ibu sama-sama melangkah ke pasar, membeli bahan masakan yang akan di masak untuk makan siang nanti. Dan tak butuh waktu lama, akhirnya kami selesai dan kembali pulang.
Setibanya di rumah,aku dan ibu langsung meracik masakan yang akan di masak. Namun tiba-tiba mas Rama datang menelisik makanan yang akan kami masak.
"masak apa buk?" ucap nya.
"ini mau masak rendang jengkol, semur ayam sama soup jagung."
" masa masak jengkol sih buk, malu tau."
" loh, malu kenapa? Ini kan masakan kesukaan kamu. Ngapain mesti malu." sahut ibu yang langsung membuat aku cekikikan.
Dasar, padahal jengkol itu favorit nya mas Rama, sok jual mahal. Seharusnya dia bersyukur ya kan di masakin begitu, terus pun biar calon istrinya itu tau kalau calon suaminya ini suka jengkol.
Singkat cerita, akhirnya setelah debut beberapa jam akhirnya semua makanan sudah terhidang di meja, mas Rama juga pergi menjemput kekasihnya.
"buk, Laras mandi dulu ya. Sebentar lagi mas Rama pasti datang."
" iya, ibu juga."
Kami masuk ke kamar masing-masing, tak butuh waktu lama akhirnya aku selesai. Dan juga sudah berganti pakaian.
"jadi penasaran, seperti apa sih calon istrinya mas Rama." ucapku sembari menyemprotkan parfum, jangan sampai aku di cap bau ketek nanti.
"Laras!" panggil ibu.
"iya buk."
"cepat, itu Rama sama Sinta udah datang."
Memang suara motor mas Rama sudah kedengaran, aku pun bergegas keluar dan menyambut mereka di depan pintu.
Cantik, kesan pertama yang ku lihat dari calon istri mas Rama, senyum manis mengembang di bibirnya.
"ayo-ayo masuk." ucap ibuku seramah mungkin. Aku juga turut mengangguk, mereka berdua melewati ku, namun seketika nafasku rasanya terhenti saat mencium aroma yang hinggap di hidung ku ini.
Bagaimana tidak, aku seperti mencium aroma yang tak asing. Ya tak asing.
Sambil mengerutkan dahi, aku berjalan mengikuti mereka berjalan menuju rumah tamu. Ku perhatikan dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak ada yang aneh semuanya normal. Tapi aku kok mencium bau yang aneh tadi.
Ah, mungkin aku sedang berhalusinasi. Itulah yang ada di otakku saat ini.
Ya di sinilah kami duduk saling berhadapan, dan tatapan ku tak lepas dari Sinta, calon istri mas Rama.
"nah si ya, kenalkan itu ibu mas dan itu adik mas Laras."
Sinta lantas tersenyum kemudian beranjak menyalami kami namun lagi dan lagi aku harus menahan nafas saat Sinta sudah berdiri di depan ku.
"aku Sinta" ucapnya sembari mengulurkan tangannya.
"Laras," jawabku dengan suara terbata. Tangan Laras saat bersentuhan dengan tangan ku agak sedikit berbeda. Seperti kasar, tapi aslinya tak bersisik.
Dia langsung tersenyum dan duduk kembali di tempat nya. Ku hirup nafas ini dalam-dalam, apa ibu mencium bau yang ada di tubuh Sinta, tapi saat ibu tadi memeluk Sinta ekspresi nya biasa saja.
lama kami bercengkrama, akhirnya jam makan siang pun tiba. Aku sebelah ibu dan Sinta sebelah mas Rama.
"oh iya, kamu di kampung sebelah tinggal dengan siapa Sinta," ucap ibu di sela-sela makannya.
" dengan bapak dan ibu serta adikku, buk. "
Oh, tenyata dia punya adik, berarti dia dan mas Rama sama-sama anak pertama.
Kami mengangguk, tampak mas Rama malu-malu. Saat hendak memakan jengkol rendang buatan ibu, padahal kalau tidak ada orang dia paling banyak makannya.
"oh iya Sinta, jengkol itu kesukaan ram loh. Dia bisa ngabisin sepiring kalau lagi makan." seloroh ibu.
" ibu, jangan buat malu deh." ucap mas Rama kesal.
" ya apa-apa toh mas, bapak Sinta juga suka jengkol. Hampir tiap hari malah masak jengkol. "
Semua tertawa, kecuali aku. Aku cukup tersenyum tipis saja. Aku jadi penasaran siapa sebenarnya Sinta ini. mengapa bau badannya berbeda dengan kami, pikirku hidungku yang bermasalah ternyata bukan.
Setelah menyelesaikan makan, aku dibantu mama membereskan semua, biasanya sehabis makan kami langsung mencuci piring kata ibu, biar gak jadi sarang penyakit.
"sudah buk, biar Sinta saja." ucapnya yang langsung membuat aku mendongak.
Sinta berjalan menuju ke arah aku yang tengah sibuk menata piring di wastafel. Bersiap untuk di cuci, lalu dia dengan entengnya berdiri di sebelahku. Tau bagaimana keadaan ku saat ini, hanya bisa menahan nafsu sambil sesekali mencuri nafas.
"biar mbak bantu ya," ucapnya yang langsung membuat aku menutup hidung.
Astaga bau sekali, sebenarnya dia di rumah makan apa sih? Bangkai? Ya ampun nafasnya bau sekali.
"jawab dong Laras," ucap ibu yang tengah duduk tak jauh dari kami.
"iya-iya mbak!" sahutku sembari terbata.
Dia dengan cekatan membantuku mencuci piring, sambil sesekali menjawab pertanyaan ibu. Kalau aku tidak usah kalian tanya lagi, rasanya mau pingsan.
Perutku rasanya bergejolak, bahkan nasi dan ayam yang ku makan tadi rasanya mau keluar. Bergegas aku lari menuju kamar mandi, dan memuntahkan di sana.
"hoek... Hoeek...Gila bau banget. Itu orang pakai parfum apa sih, bau bangke banget." ucapku seraya membasuh wajah dengan air.
Setelah agak mendingan aku pun keluar, ternyata sudah ada ibu yang menggantikan ku mencuci piring.Tampak ibu tak bereaksi apapun, bahkan mereka terkesan sangat dekat berdirinya.
"astaga, ada apa dengan diriku." ucapku sembari menatap mereka berdua.
Tawa mereka memenuhi ruangan dapur kecil ini, bahkan mas Rama sampai datang ke dapur.
"loh, kok gak kamu yang cuci piring Ras. Malah ibu." ucapnya seraya duduk di sebelah ku.
" Calon istrimu badannya bau bangke mas, perutku sampai mual" batinku sembari meliriknya.
" ye, di tanya malah ngelamun." ucapnya lagi sembari menoyor kepalaku pelan.
"Laras sakit perut mas, kebanyakan makan jengkol." sahutku asal.
Mas Rama kemudian tersenyum, lalu mengacak rambutku yang panjang sebahu.
"makannya kalau makan itu kira-kira, ini semua mau di telan. Itu piring kalau lunak pasti kamu telan juga kan." ejeknya.
Ku cabikkan bibir ini, dasar kakak sialan. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu, padahal aku begini juga karena calon istrinya bau bangke.
Setelah semua selesai, kami kembali ke ruang tamu, kali ini aku lebih memilih membaringkan tubuh di atas karpet depan tv, sementara mereka duduk di sofa tamu.
"bagaimana buk, ibu setuju kan kalau Rama menikah dengan Sinta?" ucap kakakku yang langsung membuat kepalaku mendongak.
"setuju, lagian kalian juga seperti nya cocok." sahut ibu yang langsung membuat mas Rama menggenggam tangan calon istrinya itu.
"gimana Sinta, kamu sudah siapkan jadi istriku?"
" iya mas." ucapnya malu-malu.
Aku yang berada di bawah, hanya bisa menjadi pendengar setia. Entah keturunan siapa wanita ini hingga bisa memilih aroma tubuh yang bau dan membuat perut mual.
"kami gimana Laras, setuju kan kalau Sinta jadi mbak iparmu?"
Diam, itu yang di respon tubuhku. Bahkan untuk mengangguk saja rasanya leherku tak mampu.
"gimana? Di tanya malah bengong."
"udah, Laras pasti setuju kok. Dia kalau ibu setuju dia pasti setuju. Ya kan, Ras?"
Mau tidak mau aku mengangguk, senyum terpaksa terbit dari bibirku. Entah apa jadinya nanti, tapi yang pasti aku tidak kan membiarkan kakakku menjadi tumbal atau apalah itu.
Setelah cukup lama bercengkrama akhirnya mas Rama pamit untuk mengantarkan Sinta, lagi dan lagi aku harus menahan nafas saat Sinta memelukku. Rasanya ingin ku seret wanita ini ke kamar mandi, ku beri satu botol sampo dan sabun agar bau di tubuhnya itu hilang.
"terimakasih atas jamuan nya ibu dan Laras." ucapnya sopan.
" sama-sama sayang, lain kali main sini lagi ya."
Dia mengangguk, dan tak lama motor pun menyala mereka pun hilang dalam pandangan mata.
"huuuffff."
"dia cantik kan Ras, cocok dengan Rama." ucap ibu sembari mendaratkan bokongnya di sofa.
"cantik sih, tapi bau." ucapku sembari membuang nafas dengan kasar.
Tampak ibu mengerutkan dahi nya, seolah tak percaya dengan apa yang barusan ku katakan.
"bau dari mana? Orang wangi begitu."
Aku yang tak percaya, seketika menoleh pada ibu. Kali ini gantian aku yang mengerutkan dahi.
"ibu yakin gak mencium aroma bangkai dari tubuh Sinta?" tanyaku serius.
Ibu menggelengkan kepalanya dengan cepat, aku bahkan sampai menutup mulut karena nya.
"jangan bilang kamu nyium yang aneh-aneh lagi."
" iya buk, bahkan tadi saat cuci piring, ibu lihat sendiri kan kalau Laras masuk ke kamar mandi. Laras itu muntah buk, sangking gak tahannya bau dari badannya Sinta."
Ibu seketika terdiam, tampak wajahnya yang masih terlihat cantik seperti tengah memikirkan sesuatu.
"kau pasti salah Laras, ibu tidak mencium apapun loh. Nanti hidung mu yang bermasalah."
Aku menggeleng cepat, kali ini aku tak Mungin salah. Walaupun awalnya iya, namun siapa sangka aroma itu terus ada di tubuh Sinta.
Tak lama berselang, mas Rama sudah kembali pulang. Wajahnya di selimuti rasa bahagia, bahkan ibu juga turut bahagia melihatnya.
"gimana buk, pilihan Rama mantap kan?"
" iya." jawab ibu sembari melihat ku.
"kalau kau gimana Laras, pastinya senang dong punya calon mbak ipar cantik seperti itu." ucapnya seraya menarik turun kan alisnya.
Ku tatap saudara ku satu-satunya itu, tak tega rasanya jika memisahkan dia dari orang yang di cintainya tapi jika nanti akhirnya membahayakan nyawanya mau tidak mau aku harus bertindak.
"senang mas, tapi boleh aku bertanya sesuatu?" ucapku seraya melirik ibu yang kebetulan melirikku juga.
"apa menurut mas, ada yang aneh dengan mbak Sinta?"
" maksudnya?"
" sesuatu yang mengganjal gitu di depan mata." ucapku berusaha menjelaskan selembut mungkin.
Gak mungkin kan, aku bilang calon istrimu bau bangke. Kan gak etis rasanya, siapa tau ada yang mencurigakan bisa jadi itu sebagai pertanda.
"hmmm, gak ada sih yang aneh. Tapi, ada sih kebiasaan yang menurut mas agak sedikit aneh, tapi katanya dia sih wajar gitu."
" apa?" ucapku tak sabar, bahkan wajah ibu juga kelihatan tegang.
"Sinta itu pecinta bunga bangkai. Bahkan kata ibunya, dia pernah memakan mentah-mentah bunga bau itu."
hening, tak ada suara di antara kami. Jangan-jangan karena makan bunga bangkai itu makanya tubuhnya Sinta jadi bau bangkai. Tapi, aku juga baru dengar kalau ada orang yang suka makan bunga langka itu, bahkan mentah lagi.
Logikanya gak masuk akal sih menurutku, tapi gak ada salahnya ku ikuti saja dulu alurnya. Jika sudah kena gong nya, maka bisa di simpulkan apa nanti akhirnya.
"kenapa tanya-tanya begitu, apa da yang aneh daripada Sinta?" ucap mas Rema seraya melihatku dan ibu.
"iya mas, aku seperti mencium aroma aneh dari tubuh mbak Sinta. Awalnya aku tidak percaya, tapi setelah beberapa saat ternyata indra penciuman ku tidak salah."
Mas Rama mengerutkan keningnya, tampak dia tidak sependapat dengan ku.
"sepertinya kau kebanyakan makan jengkol." celetuknya.
Makan jengkol katanya? Astaga, mana mungkin. Selama ini aku tidak pernah begini, aku yakin pasti ada yang tidak beres dengan mbak Sinta.
"Tapi Ram, kok kebiasaan Sinta itu aneh ya. Suka makan bunga bangkai. Mana mentah lagi. Apa gak bau mulutnya?" ucap ibu penasaran.
" enggak buk, buktinya saat berdekatan bau mulutnya biasa saja."
Aku terdiam, jantungku rasanya berdebar tak karuan. Jangan bilang hanya aku yang bisa mencium aroma bangke dari tubuh mbak Sinta.
Ku raup wajah ini, tapi yang pasti apa yang ku alami saat ini benar adanya bukan tipu-tipu.
"sudahlah Laras, tidak usah berpikiran yang macam-macam. Percayalah Sinta itu wanita yang baik bahkan kalian sudah melihatnya sendiri bukan, anak baik manis dan ringan tangan."
Ku cabikkan bibir ini, dasar dimabuk cinta. Kalau sudah begini, tai kambing pun bisa rasa coklat.
"apa mas gak mau selidiki sekali lagi, perasaanku kok gak enak ya."
Biar bagaimanapun, aku harus tetap melindungi kakak semata wayang ku ini. Walaupun ngeselin tapi hanya dia dan ibu yang kumiliki saat ini.
"kayaknya gak perlu Ras, mas itu dah yakin seratus persen dengan Sinta. Apapun kekurangannya mas akn terima."
Ku buang nafas ini dengan kesal, kalau sudah begini aku bisa apa coba. Yang bisa ku lakukan saat ini adalah mendukung nya itu saja.
"ya sudahlah mas, Laras ikut apa kata mas saja.. " akhirnya kata itu terucap juga dari mulutku.
senyum manis terbit di bibir kakak itu tersebut, ibu juga turut tersenyum tapi aku? Ah, sudahlah kita lihat bagaimana alur nya nanti.
"oh iya buk, besok siang kita di undang gantian sama keluarga Sinta. Orang tua Sinta ngajak kita makan siang."
" oh ya bagus, sekalian kita bicarakan masalah lamaran."
" iya buk."
Mas Rama tersenyum bahagia, bagaimana tidak dia saja langsung di restui ibu. Sementara aku? Tidak usah kalian tanyakan.
malam berlanjut, saat ini kami sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Entah mengapa malam ini rasanya agak gerah padahal kipas angin sudah nomor tiga tapi masih saja gerah.
"mau hujan apa ya?" batinku sembari melirik tirai jendela.
Jam terus berputar, sekarang sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku yang sudah mulai terkantuk-kantuk di kejutkan dengan suara ketukan dari jendela.
Sedikit mengerutkan dahi, siapa gerangan yang mengetuk-ngetuk jendela malam hari?
Beranjak? Tentu saja tidak, tapi insting kepo ku meronta-ronta. Segera ingin melihatnya. Karena semakin lama suara ketukan itu semakin keras.
"dasar kampret." umpatku seraya beranjak, namun saat gorden jendela ku sibak kan tak ada siapapun di sana, bahkan langit juga sangat pekat.
Karena tak ada siapapun, akupun segera menutup kembali gorden jendela. Namun, belum lagi bokong ini mendarat di kasur aku lagi dan lagi di kejutkan dengan suara seseorang yang memanggil namaku.
"Laras... Laras... Laras.!"
Mataku seketika membola, siapa yang memanggil namaku malam-malam begini. Asli bulu tanganku seketika merinding.
"Laras! Buka jendelanya. Biarkan aku masuk Laras." ucapnya.
Aku yang sudah kepalang takut, segera naik ke atas kasur dan menutupi tubuh dengan selimut. Jantung masih terus berdebar kencang, cukup lama aku berada di bawah selimut hingga subuh menjelang.
Rasa kantuk pun tak lagi menghampiri, secepat kilat aku keluar dari kamar karena biasanya jam segini ibuku sudah mulai masak di dapur.
"ada apa, kok kamu lari-larian begitu?"
" ada setan buk," ucapku seraya duduk di kursi makan.
" setan apa?kamu jangan ngawur ah, mana ada setan jaman modern begini."
" tapi beneran buk, Laras gak bohong. Malam tadi jam satu, ada yang ketok-ketok jendela pas lawas lihat gak ada siapapun. Terus, pas laran mau tidur, itu setan yang ketok-ketok manggil nama Laras buk. Dia mau masuk buk ke dalam kamar Laras."
Ibuku seketika terdiam, dari kecil hingga dewasa seperti ini baru kali ini aku di merasakan hal mistis di rumah ini.
"perbanyak doa nak, sepertinya ada yang tidak suka dengan mu."
" maksud ibu?" ucapku malah semakin menjadi takut.
" ibu juga tidak tau, naluri ibu yang mengatakannya." ucapnya sembari melihatku dengan intens.
Apa ini ada hubungan nya dengan mbak Sinta? Tapi, masa iya sih dia tidak suka padaku. Atau jangan-jangan dia tau lagi, kalau sebenarnya aku bisa mencium aroma bangke dari tubuhnya.
"iya buk, Laras akan hati-hati."
"ya sudah, sholat gih sana. Habis itu tidur saja, wajahmu masih terlihat lelah."
" iya buk,"
Akupun segera masuk ke kamar mandi, lalu setelahnya melaksanakan yang wajib kemudian melanjutkan tidur, karena memang aku masih sangat mengantuk.
Tepat jam sepuluh aku sudah terbangun, duduk sejenak kemudian keluar kamar tampak mas Rama tengah sibuk dengan handphone nya. Walaupun kami tinggal di desa, namun jaringan seluler sudah masuk, ya walaupun hanya beberapa kartu provaider saja yang bisa.
"cepetan sana mandi, kita mau ke rumah Sinta." ucap mas Rama tanpa melihatku.
" masih jam sepuluh ini,"
"dandanmu aja belum, milih baju makeup mu juga belum, dan itu membutuhkan waktu yang lama. Udah sana cepetan."
Ku cabikkan bibir ini, dasar Abang sialan. Tapi yang pastinya aku sarapan dulu, setelah itu baru mandi.
Jam terus berputar, setelah selesai semuanya kami pun berangkat. Ibu di bonceng mas Rama, sementara aku naik motor sendiri. Dan tak butuh waktu lama akhirnya kami tiba di rumah mbak Sinta.
Ternyata mereka sudah menunggu kami di depan rumah, sekilas tak ada yang berbeda namun saat sudah berdekatan aroma bangke mulai menusuk hidungku.
"mari silahkan masuk." ucap sang tuan rumah.
Kami pun segera masuk, duduk saling berhadapan.
"suatu kehormatan bagi keluarga kami ibu nya Rama mau berkunjung ke sini." ucap ibunya mbak Sinta.
" sama-sama ibunya Sinta."
"panggil saja buk Surti,"
" oh, jeng namanya Surti. Kalau sya namanya Romlah."
Canda tawa mengiringi percakapan kami, bau bangke bercampur bau asam seakan memenuhi rongga hidung ku.
Bahkan aku berulang kali menutup mulut dan hidung secara bersamaan.
"oh iya, udah jam makan siang ini. Ayo kita makan " ucap buk Surti.
Kami semua beranjak, namun saat sudah Tian di meja makan mataku membelalak sempurna, bagaimana tidak itu bunga bangkai terhidang dia atas meja, dan lupakan baunya sudah memenuhi ruangan ini
"mari-mari silahkan duduk," ucap sang tuan rumah.
Formasi pun sudah di atur dan aku bersebelahan tepat dengan adiknya mbak Dewi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!