“Saya terima nikah dan kawinnya, Aliya Maheera binti Ahmadi Arya dengan mas kawin yang tersebut tunai."
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!!"
Bersamaan dengan kata sah yang terlontar dari bibir dua orang saksi, pengantin wanitanya berseru yes dalam hati karena mimpinya untuk menjadi istri dari seorang Bagaskara Baihaqi itu terwujud.
Ya, dia lah Aliya Maheera, dokter umum yang rela menolak lamaran puluhan pria hanya demi menunggu pujaan hatinya.
Bertahun-tahun dia memendam rasa, atau lebihnya lima tahun sejak dia menyadari bahwa perasaannya tidak hanya sekadar suka, tepat di hari ini Aliya akan serumah dengannya.
Jangan tanya sebahagia apa Aliya, sejak Rajendra dan Aruni datang melamarnya untuk Bagaskara, dia sudah tidak bisa tidur dengan tenang.
Jantungnya berdegup kencang, sama sekali tidak bisa diajak kerja sama. Bahkan, saking senangnya Aliya juga pasrah saja dengan tanggal pernikahan yang sebenarnya bisa dibilang dadakan.
Dia tidak diberikan waktu untuk mengenal Bagaskara secara intens, tidak pula ada momen di mana mereka benar-benar mengobrol berdua karena pria itu memang sibuknya luar biasa.
Siapapun tahu, si workholic itu menempatkan pekerjaan di atas segalanya hingga tidak heran jika fitting baju Aliya sendirian sementara untuk Bagaskara hanya bermodalkan ukuran semata.
Baru di hari pernikahan ini mereka benar-benar bertatap muka. Aliya yang sejak tadi memerah selalu saja salah tingkah.
Terlebih lagi, saat penghulu mempersilakan Bagaskara untuk mencium keningnya.
"Di kening mananya, Pak ustadz?" Bagaskara bertanya dengan polosnya dan mendengar pertanyaan itu, Aliya seketika mencebikkan bibir.
Padahal, jelas-jelas dia sudah memasang posisi dan Bagas hanya perlu maju sedikit saja. Bahkan tanpa diminta, Aliya rela sedikit berjinjit agar Bagaskara tidak terlalu kesulitan mengingat tinggi badan mereka memang cukup jauh berbeda.
"Pakai acara nanya kening yang mana, memang kening ada berapa, Kak Bagas?" Suara adik-adik Bagas terdengar, dan hal itu mewakili isi hati Aliya yang gemas sejak tadi.
"Ck ... aku tidak bertanya pada kalian," timpal Bagaskara tampak kesal bahkan tidak segan melayangkan tatapan sinis ke arah adik-adiknya itu.
Aliya yang tadi nyaris saja ingin ikut bicara mendadak ciut, dia lupa bahwa suaminya ini bukan tipe anak gaul yang bisa diajak bercanda.
Sebaliknya, Bagaskara adalah pria super matang yang kalau kata Dea sebenarnya masuk kategori kematangan, nyaris gosong.
36 tahun, sebentar lagi kepala empat tetapi bagi Aliya tidak demikian. Bagas sangat sesuai dengan kriterianya, dewasa, mapan dan tentunya bukan suami orang.
"Sudah-sudah jangan bertengkar, di momen seindah ini masih saja ... cepat cium kening istrimu, Kak Bagas."
Sejenak, Bagas menoleh dan kembali melayangkan tatapan super tajam ke arah Rajendra, pria di balik pernikahan yang kini mereka jalani.
Aliya tersenyum tipis, seolah tengah berterima kasih pada Rajendra karena telah menyadarkan lamunan pria itu.
Sesaat terdiam, suasana tampak hening dan orang-orang menunggu momen langka itu.
Aliya yang sudah terbayang-bayang adegan dikecup kening pasca menikah ini seketika memejamkan mata agar lebih terasa.
Dia ingin fokus, merasakan kecupan pertama dari sang suami untuknya.
"Nah!! Gitu dong!!"
"Heih?" Aliya membatin, dalam hati dia bertanya-tanya. "Kapan diciumnya? Kok nggak berasa? Ih? Masa iya sudah?“
Aliya membuka mata, mengangkat wajahnya dan jika dilihat sepertinya memang sudah selesai.
Hanya dirinya saja yang memang terlalu berharap bahwa Bagaskara akan mengecupnya lebih lama.
"Yeay!! Sekarang foto dulu buat kenang-kenangan ... mana tahu ada yang mau unggah ke sosial media supaya penggemar Kak Bagas pada sadar diri dan pensiun jadi cegil."
Senyum Aliya semakin mengembang, rasa bangga itu tidak dapat ditutup-tutupi dari dalam dirinya.
Dari sekian banyak wanita yang mendambakan Bagaskara, dia terpilih menjadi ratunya. Sungguh anugerah yang tidak boleh di sia-siakan, begitu pikir Aliya sekarang.
Di momen sesi foto bersama itu, Aliya tampak begitu percaya diri bahkan tidak segan menempel dengan Bagaskara benar-benar diam saja.
Siapapun tamu yang meminta untuk berfoto bersama, Aliya selalu memiliki energi lebih. 180 derajat dengan Bagaskara yang terlihat begitu malas, bisa dibilang muak dalam momen ini.
"Huft, apa sudah selesai?"
"Ah?" Aliya tertegun, ini adalah kali pertama Bagas bertanya secara pribadi padanya hingga Aliya seolah tidak memiliki kekuatan untuk segera menjawab pertanyaan pria itu.
"Aku tanya, apa sudah selesai, Liya?"
.
.
"Hah? Liya? Dia memanggil namaku barusan? Ah kalau begitu, ini kode bakal dipanggil Sayang kayak orang-orang dalam waktu dekat, 'kan ya?" Alih-alih menjawab, satu pertanyaan yang terlontar dari bibir Bagaskara justru membuat Aliya berkhayal sejauh itu.
Mengikuti imajinasinya tanpa tahu bahkan hal itu justru membuat Bagaskara kesal.
"Ck."
Ya, dia berdecak barusan dan Aliya yang mendengar segera menyadarkan diri agar tidak berkhayal kejauhan.
"Sebentar lagi, Kak ... sabar ya, tahan sedikit." Begitu ucap Aliya dan dia saat ini seolah tengah bicara pada anak kecil.
Bagaskara yang mendengar tidak lagi menanggapi, dia hanya menatap nanar ke depan dan berusaha bertahan di tengah cekikan rasa bosan.
Sesekali dia membenarkan kemejanya, jas atau yang lain padahal semua rapi-rapi saja.
Hingga, tepat di waktunya tiba dan acara selesai, mereka dipersilakan untuk menikmati fasilitas berupa kamar pengantin di sebuah hotel bintang lima yang merupakan persembahan dari adik-adiknya atas pernikahan kakak sulung mereka.
Tentu saja adegan ini membuat Aliya berdebar, juga merinding sekaligus. Sepanjang perjalanan, pikirannya sudah melayang ke mana-mana dan selalu berakhir dengan senyum tertahan serta wajah yang bersemu kemerahan di sana.
"Ah ntar gimana ya? Takut banget kelihatan gatelnya ... mau usahain polos, tapi aku sudah terlalu dewasa." Aliya berpikir keras, dia ingin terlihat seperti wanita-wanita menggemaskan dan lucu, tetapi sadar diri karena usianya tidak cocok lagi untuk bersikap demikian.
"Ah yang natural-natural aja deh, katanya cowok suka sama cewek yang nggak berlebihan dalam hal apapun, benar 'kan?"
Dia yang bertanya, dia pula yang menjawab dan Bagaskara sama sekali tidak tahu tentang isi pikiran sang istri.
Pria itu hanya fokus mengemudi dan hingga tiba di kamar, Bagaskara masih diam seribu bahasa.
Sama sebenarnya dengan Aliya, sejauh ini hanya dalam hati saja yang berisik luar biasa dan kali ini, dia tengah mengagumi kamar pengantin yang begitu memanjakan matanya.
"Aduh jantung please, bisa biasa aja nggak? Jangan jedag-jedug begini aduh." Aliya menyentuh dada dan berusaha menenangkan dirinya.
Saat ini, dia benar-benar merasa seperti akan jatuh pingsan lantaran terbawa suasana.
Apalagi, tepat di saat dia menoleh ke arah Bagaskara, Aliya mendapati pria itu tengah membuka kancing kemejanya.
Refleks mata wanita itu membulat sempurna. "Kak Bagas tunggu!!"
Suaranya terdengar kaget, Bagaskara juga segera melirik ke arahnya sembari mengerutkan dahi. "Kamu kenapa?"
"Ehm anu, a-apa nggak sebaiknya tunggu malam saja? Aku belum siap kalau mau begituan sekarang, Kak," ucapnya panik dan detik itu pula, Bagaskara tercengang dan suasana kamar canggung.
Sesaat setelahnya, masih dengan wajah datar tanpa ekspresi, Bagaskara melanjutkan kegiatannya dan tepat di saat bajunya terbuka, pria itu berlalu ke kamar mandi dan menutup pintunya segera.
Meninggalkan Aliya yang kini memerah sembari merutuki kebodohannya. "Aduh malunya, kepedean banget sih, Aliya!!"
.
.
- To Be Continued -
Luar biasa malunya Aliya, hanya karena terlalu fokus memikirkan malam pertama, Aliya sampai tidak bisa berpikir jernih.
Dia lupa bahwa salah-satu kegiatan setelah masuk ke kamar hotel ialah membersihkan diri. Terlebih lagi, mereka memang baru saja melewati serangkaian acara dan sangat masuk akal jika hal pertama yang ingin Bagas lakukan adalah mandi.
"Ah bodo amat deh, telanjur juga ... lagian siapapun yang ada di posisiku pasti mikir ke sana 'kan ya?" Sungguh Aliya tidak bersedia dianggap salah hingga dia menganggap bahwa prasangkanya sangat wajar dan jika siapapun berada di posisinya pasti akan berpikir sama.
Padahal, tentu saja tidak karena sejak awal masuk Bagaskara tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sudah menginginkan malam pertama.
Tidak ada pula keinginan untuk menggoda, dan sikap hangat juga tidak. Bisa-bisanya hanya dengan melihat Bagaskara membuka kancing bajunya wanita itu justru berpikir ke arah yang iya-iya.
Tidak ingin terlalu lama terjebak dalam rasa malunya, Aliya melakukan hal lain yang sekiranya bisa menepis rasa itu.
"Micellar water mana ya ... dibanding mikirin yang nggak penting, mending bersihin make-up." Dia berlagak cuek, mengabaikan rasa malu yang sebenarnya bahkan lebih besar dari dirinya itu.
Pelan-pelan, Aliya membersihkan sisa riasan yang sebenarnya tidak begitu tebal. Dia memang meminta karena sudah tidak terbiasa sejak lama.
Tepat di saat dirinya tengah membersihkan wajah, Bagaskara kembali dengan penampilan yang tampak segar.
Rambutnya basah, dan butiran air tampak menetes di wajah dan juga bagian dadanya. Meski hanya terlihat sedikit karena kini Bagaskara menggunakan jubah mandi demi menyembunyikan aset berharganya dari mata jelalatan Aliya, tapi wanita itu masih bisa mencuri pandang meski tidak begitu puas.
"Turunin dikit please." Sesuatu dalam diri Aliya meronta, dia masih berusaha mencuri pandang dengan harapan setidaknya dia dapat menikmati pemandangan bagian dada Bagas dengan leluasa.
Akan tetapi, agaknya pria itu memang tipe pria pelit dan tidak berkeinginan untuk memuaskan mata kaum Hawa, dengan begitu cepat dia mengganti pakaian dan Aliya tidak bisa menuntaskan rasa penasarannya.
"Ck, susah payah ngintip sampai rada juling tetep nggak dapet juga." Aliya menggerutu, dia kecewa dan juga putus asa lantaran tidak mendapatkan yang dia mau.
Segera, wanita itu menuntaskan kegiatannya sementara Bagas yang sudah tampak begitu gagah dengan kaos hitam oblong dan celana pendeknya memilih duduk di tepian tempat tidur.
Tanpa mengatakan sepatah kata seperti sebelumnya, Bagaskara fokus dengan layak ponselnya. Entah apa-apa yang dia lakukan, Aliya tidak tahu juga.
Hendak bertanya juga enggan, meski cintanya seluas lautan pada seorang Bagaskara, tapi dia juga masih memiliki rasa takut dan berusaha memahami keadaan.
Sebagaimana yang Aruni bilang, Bagas bukan pria hangat, dia masuk kategori dingin dan cuek hingga tidak setiap waktu bisa diajak bicara.
Dan, tentang itu Aliya bukannya menyerah, tetapi justru makin cinta. Makin penasaran dan ingin benar-benar berhasil meraih cintanya, cinta Bagas yang kata beberapa orang sudah habis untuk orang lama.
"Iya, Arga?"
Aliya menoleh, baru saja tadi dia bertanya dalam hati tentang apa yang Bagaskara lakukan, kini dia justru menemukan jawabannya.
"Oh, lagi telepon temannya ternyata." Aliya mengangguk beberapa kali, dia berusaha mengerti keadaan ini.
Tidak ingin membuat Bagaskara canggung atau merasa dibatasi, Aliya bergegas ke kamar mandi.
Kebetulan dia juga merasakan tubuhnya tak nyaman, gerah dan jelas butuh mandi. Mengingat Bagaskara juga sudah tampak segar, mana mungkin Aliya percaya diri dengan tubuhnya yang agak bau keringat.
Begitu tiba di kamar mandi, Aliya memandangi semua benda-benda di sana yang mungkin pernah Bagas sentuh.
"Ah akhirnya, aku bisa berbagi sabun dan hal lain bersama si pekerja keras itu ... masih berasa mimpi sebenarnya," ucap Aliya disertai senyum hangat.
Fakta bahwa dirinya adalah istri dari seorang Bagaskara sungguh membuat Aliya bahagia jujur saja.
Saking bahagianya menjadi istri Bagas, Aliya tak segan mengusap-usap wastafel atau bahkan tembok kamar mandi yang sekiranya pernah menyentuh tubuh Bagas.
Bahkan, di detik terakhir dia memutuskan untuk mengenakan sikat gigi yang sama dengan Bagas.
"Dengan begini, sama saja kayak ciuman secara nggak langsung ... iya 'kan?" Meski sudah jelas-jelas disediakan dua, tapi Aliya memilih sikat gigi yang sudah Bagaskara kenakan tanpa peduli bahwa tindakannya bisa jadi akan menimbulkan kemarahan.
Sembari menggosok giginya, Aliya menari dengan begitu lincah. Seolah dunia adalah miliknya dan Aliya merasa bahwa dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia.
.
.
Tidak hanya sekali Aliya menggosok giginya, tapi berkali-kali dan setelah dirasa puas, barulah dia mengembalikan sikat gigi itu tempat yang seharusnya.
"Ehm Hah!! Aku belum pernah merasakan napasku sesegar ini." Hiperbola sekali, Aliya menganggap efek dari sikat gigi yang sempat digunakan Bagas sangat baik sekali.
Tidak hanya membuat napas lebih segar, tapi juga menyenangkan hati.
Padahal, itu hanya sugesti dan yang sebenarnya terjadi dia memang bahagia saja diperistri oleh pria yang merupakan crush-nya sejak zaman kuliah, itu saja.
Selesai dengan sikat gigi, Aliya berlanjut ke shampo yang sudah tentu Bagas gunakan juga.
"Kak Bagas megangnya dari sisi yang mana ya? Sini kah? Atau sini?" Aliya bertanya sembari menimbang keputusan terkait di mana Bagas memegang botol shampo-nya.
Setelah dirasa yakin, barulah dia menyentuh botol shampo tersebut sembari membayangkan tengah mengenggam tangan Bagaskara.
"Sampai maut memisahkan, kuharap hanya tanganku yang pernah menggenggam tanganku, Aliya."
"Tentu, tentu saja Kak Bagas ... Jangankan genggaman tanganku, semua yang ada di tubuhku aku pastikan hanya digenggam oleh tanganmu saja, Bagaskara Baihaqi."
Tidak ada Bagaskara di dalam sana, dia hanya sendiri dan kini tengah melakukan semacam treater ala-ala orang gila.
Ritual mandinya pun menjadi begitu lama karena Aliya juga melakukan pertunjukan yang tengah dia berikan pada siapa.
Berbicara sendiri pada kaca, walau ya tentu saja dengan berbisik-bisik karena dia khawatir juga andai suaranya bocor dan makin malu di hadapan Bagaskara.
Selang beberapa waktu, barulah Aliya merasakan cukup dan selesai dengan mandinya. Segera dia menggunakan jubah mandi dan bergegas keluar karena baru sadar bahwa jemarinya saja bahkan sudah berkerut.
Dan, tiba di saat dia melangkah dan keluar dari kamar mandi, Aliya masih mendapati Bagaskara berbicara via telepon.
Tanpa keinginan untuk mengganggu, Aliya meneruskan langkah sebelum kemudian langkah itu terhenti tatkala mendengar ucapan Bagaskara yang cukup mengejutkan baginya.
"Iya, demi Tuhan aku tidak menginginkannya sedikit saja, tapi Rajendra tiba-tiba melamar gadis itu untukku, Arga!! Sumpah!"
.
.
- To Be Continued -
"Iya, demi Tuhan aku tidak menginginkannya sedikit saja, tapi Rajendra tiba-tiba melamar gadis itu untukku, Arga!! Sumpah!"
Bagaskara sampai bersumpah dan Aliya dengan jelas mendengar sumpah itu. Jujur saja dia katakan, terkejut.
Raut wajahnya berubah seketika, dari yang tadi seceria itu hanya dengan mendapat kesempatan menggunakan barang-barang yang sama dengan Bagas sampai kehilangan kewarasannya, kini Aliya baru mengetahui fakta bahwa Bagas ternyata tidak menginginkan pernikahan ini.
Lamaran yang dilakukan oleh Rajendra dan Aruni sebagai perantara ternyata bohong, Bagas tidak menginginkannya.
Sesaat setelah dia mendengar fakta itu, Aliya memutuskan untuk kembali ke kamar mandi demi menenangkan diri.
Dia juga tidak ingin mendengar lebih banyak hingga berakhir membuatnya sakit hati.
Saat ini saja, Aliya sudah merasakan perih yang begitu nyata lantaran sesuatu seolah menggores tepat di ulu hatinya.
"Bukan dia yang mau, tapi Rajendra yang mengada-ada ... begitu 'kan maksudnya?" Aliya mengulang pertanyaan itu dengan versi dirinya.
Saat ini, dia benar-benar tidak bisa mengartikan apa yang dia rasakan. Sakit sudah pasti, malu juga iya karena sejak cincin yang diberikan terpasang manis di jemarinya, Aliya tidak henti-hentinya mengatakan kepada sahabat dan juga anggota keluarganya bahwa Crush yang dia impikan tiba-tiba datang melamar.
Untuk pasukan yang memang pernah merasakan cinta dalam diam, tentu saja kisah cinta Aliya terdengar menyenangkan bahkan tidak sedikit yang sampai meminta amalan untuk kemudian mereka ikuti agar bernasib sama.
Kini, tepat di hari yang sama dengan akad nikahnya, Aliya mengetahui fakta itu.
"Ah tapi biarin deh ... yang namanya jodoh, sedikit dipaksa juga nggak masalah. Ntar juga lama-lama cinta, biasanya gitu sih."
Beberapa saat lalu dia terpukul, sedih sekali sampai terduduk lemas saat kembali ke kamar mandi.
Namun, beberapa saat setelahnya dia seolah mendapatkan kekuatan dan memilih untuk mengesampingkan hal-hal yang sekiranya tidak perlu dipikirkan.
Tentang Bagaskara yang ternyata tidak menginginkannya menjadi istri, Aliya berpikir logis saja. "Kalau memang nggak mau, kenapa dia nggak nolak? Kan masih bisa kalau dia mau ... sementara yang kini terjadi justru berbeda, Kak Bagas mau sampai lanjut menikahiku, fiks sebenarnya dia mau!!"
Tak peduli sekalipun Bagas sampai bersumpah pada Arga dan mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak menginginkan pernikahan itu, Aliya menolak sadar.
Di antara berbagai kemungkinan dia mencari yang paling logis dan di antaranya, jika benar Bagas menolak lantas mengapa masih bersedia saat lanjut ke pernikahan?
Bukankah seharusnya dia bisa menolak jika benar iya tidak bersedia menikahinya. Begitu pikir Aliya dan dengan segera dia menyeka air mata.
Dia tidak ingin menangis, merasa tersakiti atau terluka dengan fakta ini.
Sebaliknya, tekadnya untuk membuat Bagaskara cinta dan menyesali sumpahnya tadi makin kuat.
Dia menepis pikiran yang sekiranya akan membawa pengaruh negatif untuknya, kembali dia mencuci muka demi memastikan dirinya tidak terlihat menyedihkan di mata Bagaskara.
Selesai dengan itu, Aliya keluar dan berlagak seakan tidak tahu apa-apa. Dia berharap bahwa yang dia dengar memang hanya sebatas angin lalu, tidak ingin dia mengingatnya lagi dan saat keluar kali ini, Bagaskara telah mengakhiri panggilan bersama pria yang tadi sempat Aliya dengar bernama Arga itu.
Sembari menggigit bibir, Aliya melewati Bagas yang tetap fokus dengan ponselnya.
"Chat sama siapa ya? Apa mungkin dia punya pacar?" Aliya memang tidak bertanya lewat lisan, tapi batinnya tak henti berbicara. "Ah tapi kalau benar punya pacar, kenapa Rajendra dan Aruni sampai melamarku untuknya? Dulu-dulu juga Aruni bilang Kak Bagas belum punya pasangan ... mustahil kan kalau tiba-tiba punya."
Tangannya sibuk meraih piyama di dalam koper, tapi otaknya ke mana-mana.
Demi Tuhan dia penasaran dengan kegiatan Bagaskara. Akan tetapi, nyali Aliya belum sebesar itu sekadar bertanya karena untuk menatap mata tajam Bagaskara saja, dia butuh tenaga.
Sembari mengenakan pakaiannya, Aliya terus berpikir dan bisa dipastikan, dia akan masuk kategori istri yang kebanyakan mikir dan bisa berakhir kurus kering.
Hingga selesai, Aliya masih memikirkan hal sama. Menerka apa yang Bagaskara lakukan dengan ponselnya.
Dan, lamunan itu baru berhenti tepat di saat Bagas bersedekap da-da sembari melayangkan tatapan tak terbaca dan pertanyaan yang menurut Aliya agak aneh sebenarnya.
"Kenapa, Kak?"
Kali ini, Bagas tampak berusaha menahan tawa. Dia menutup mulut dan sesekali menunduk demi menyembunyikan tawa kecilnya.
"Ih, Kak Bagas serius ... ada apa?"
.
.
Masih belum menjawab juga, Bagas tetap dengan posisinya yang tampak berusaha menahan tawa dengan susah payah.
"Oh damn it." Pria itu sampai mengumpat, tetap duduk di tepian ranjang dan tentu saja Aliya heran.
Dia berpikir keras, apa yang sekiranya sampai membuat Bagas bertingkah seperti itu.
"Kamu yakin penampilanmu begitu?"
"Heuh?" Aliya baru mulai memahami, yang mungkin Bagaskara permasalahan adalah piyama ijo neon kesukaannya. "Iya, kenapa memangnya? Warna ini terlalu norak ya?"
Bagaskara menggeleng, tampaknya bukan warna yang dia permasalahkan. Hingga, pria itu beranjak berdiri dan memilih keluar, tetapi sebelum itu dia sempat berbisik pelan tepat di telinga Aliya.
"Next time ganti bajunya di kamar mandi saja, aku yang malu soalnya."
Deg
Usai mengatakan itu, Bagaskara memilih keluar dan Aliya masih tidak mengerti duduk permasalahannya.
Dia merasa tidak ada yang aneh dengan penampilannya kali ini. Sampai akhirnya, Aliya mendapati pantulan dirinya dari cermin besar yang terletak beberapa meter di hadapannya.
"Hah?!"
Saat itulah, Aliya merasa seperti ditelan-jangi di tengah keramaian.
Semua pertanyaan dan kecurigaan tentang Bagas yang selalu fokus dengan ponselnya seketika terganti dengan rasa malu tak tertandingi dalam dirinya.
"Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!" Suara Aliya menggelegar, dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa dia salah.
27 tahun usianya, baru kali ini Aliya salah urutan dalam mengenakan pakaian. Dan, si-alnya justru terjadi di hadapan Bagaskara, pria yang dulu dia kagumi dan kini menjadi suaminya.
Sementara di luar, jauh dari jangkauan Aliya yang kini stres lahir batin, Bagaskara stres juga. Dalam keadaan otak yang sedang kusut pasca melihat penampilan Aliya, Bagaskara menghubungi adiknya demi meluapkan kekesalannya.
"Hai, Kak Bagas? Gimana? Berapa persen persiapan malam pertamanya? Hem?"
"Malam pertama kepalamu!!" Bagaskara naik darah, dia menekan kata-katanya saat menanggapi Rajendra, sang adik yang baru saja menerima panggilannya.
"Loh-loh kenapa? Apa mungkin ada yang salah? Atau terhalang palang merah?"
Sejenak, Bagaskara menarik napas panjang sebelum kemudian dia embuskan perlahan. "Tidak ada palang merah dan tidak ada pula malam pertama, aku menghubungimu hanya sekadar memastikan makhluk jenis apa yang kau berikan pada Kakak, Rajendra?!"
"Ya, Tuhan kenapa harus teriak-teriak? Jelas saja Aliya manusia, dokter secantik itu masih tanya."
"Ehm dokter katamu?" Bagaskara mengangguk beberapa kali, tapi bukan isyarat mengerti. "Dokter apa yang begitu? Dia lebih pantas disebut pasien kau tahu!!"
"Heih? Kenapa begitu? Aliya sehat lahir batin dikatain pasien, Kakak yang sakit mungkin."
Tidak segera menjawab, Bagaskara memilih untuk mengakhiri panggilan itu. "Iya, mungkin aku yang sakit, tapi wanita sehat mana yang kalau malam pakai celana da-lam di luar? Dia jelmaan Superman kah atau apa?"
.
.
- To Be Continued -
...Eyoo ... 3 episode dulu hari ini, see you esok hari, ramein kolom komen yaw ~ Kita akan berpetualang di dalam dunia Kak Bagas dan Aliya dengan comedy romance versi mereka....
...Untuk ilustrasi dan visual boleh di pantengin di Ig (desh_puspita) atau fb (Desy Puspita) ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!