Malam itu kota tampak tenang. Angin berhembus ringan, menggesek dedaunan kering yang jatuh di pinggir trotoar. Lampu jalan berpendar redup, sebagian meredup seperti hendak padam. Di kejauhan, suara mesin motor sempat melintas lalu hilang, Namun, di balik tenang itu, ada sesuatu yang sedang kacau.
Kos-kosan justru sepi total. Bangunan dua lantai berderet, cat dindingnya kusam, sebagian pintu berkarat. Hanya satu kamar yang berbeda. Jendela tertutup rapat, pintu terkunci, tirai tergantung kaku.
Di depan pintu kamar itu, sepasang sepatu tergeletak di rak kayu yang sudah miring. Sepatu pria yang besar, menempel berdampingan dengan sepatu wanita yang ramping, bersih, masih meninggalkan kilau muda.
Ruang kamar itu sederhana, berisi sedikit furnitur. Kasur busa tipis terhampar langsung di lantai keramik.
Suara televisi menyala lirih, bercampur dengan dentum samar musik yang seakan hanya jadi latar. Semua suara itu tercampur, tetapi tidak mampu menutupi yang paling jelas: bunyi kasur spon yang bergerak berulang, berderit pelan namun ritmis.
Di sela-sela itu, samar terdengar dua napas berat, panjang, tak beraturan. Nafas yang saling berkejaran, menolak ditelan oleh kesunyian. Nafas yang seakan ingin disembunyikan, tapi justru kian nyata, membongkar apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar remang itu.
Itu suara yang mengabarkan bahwa norma telah dilanggar, di antara dua orang yang seharusnya menjaga diri. Sesuatu yang seharusnya mereka rahasiakan.
Di lantai keramik kamar kos yang dingin, sepotong seragam dokter tergeletak kusut. Kain putih itu seharusnya rapi, wangi, bersih—citra dari profesi yang dihormati. Di bagian pundaknya jelas tertempel logo berbentuk tanda “+” berwarna merah, dengan tulisan kecil “R.S.U. Kencana Permata Indah.” Di dada kirinya tercetak nama dengan benang biru: Lina Mayasa Adika. Identitas resmi, tanda pengenal, bukti pengabdian di rumah sakit.
Malam ini, seragam itu tidak berada di tubuhnya. Tidak berdiri gagah di ruang pasien. Ia justru kusut, jatuh sembarangan di lantai, seperti simbol yang dilepaskan begitu saja tanpa lagi dihormati.
Tepat di bawahnya, menumpuk dua benda lain yang asing berdampingan: sebuah rompi anti peluru berwarna gelap, berat, dan di sampingnya jaket hitam dengan sablon besar bergambar tengkorak metal.
Seragam putih yang mewakili penyelamat nyawa.
Rompi hitam yang mewakili perang dan kekerasan.
Jaket tengkorak yang mewakili dunia liar di luar norma.
Di atas kasur busa tipis yang terhampar di lantai, seorang wanita terbaring dengan tubuh tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Bentuk tubuhnya jelas menunjukkan kedewasaan: kulitnya halus, sedikit basah oleh keringat, berkilau samar di bawah cahaya lampu neon redup.
Dadanya penuh, besar dan padat, bergerak naik turun dengan ritme yang berat dan tidak stabil, karena berguncang, menegaskan masih merasakan sesuatu yang bercampur antara lelah, panas, dan rahasia yang disembunyikan.
Pinggulnya menonjol, berlekuk jelas, membentuk siluet perempuan yang matang. Jika seorang pria sekadar melirik tubuh itu, barangkali bukan wajah yang pertama kali menjadi pusat perhatiannya, melainkan “aset” tubuh Lina yang begitu menonjol—aset yang diam-diam membuat banyak mata ingin menahannya lebih lama.
Ia tiduran telentang, dengan kedua kaki yang terbuka lebar dan ditekuk pada lutut. Posisi itu menyingkapkan seluruh kelemahan, seolah-olah tubuhnya sudah kehilangan hak untuk menolak.
Wajahnya tetap indah, meski rambut panjangnya acak-acakan menempel di dahi yang basah keringat. Ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari arah untuk mengalihkan rasa yang berkecamuk.
Wanita itu adalah Lina Mayasa Adika, seorang dokter muda berusia 27 tahun. Istri dari seorang pria yang mencintainya di rumah. Perempuan yang seharusnya menjadi teladan.
Di atas tubuh wanita itu, seorang pria menindih dengan berat tubuhnya yang kokoh. Tubuhnya menutupi cahaya lampu redup yang bergoyang samar, menciptakan bayangan bergerak di dinding sempit kamar kos.
Pria itu tinggi, kira-kira 185 cm. Bahunya bidang dan berotot, meski perutnya kurus menampakkan garis urat yang menegaskan kerasnya latihan militer. Dari pundaknya, sebuah tato kalajengking hitam pekat tampak jelas, mencakar kulit seakan siap menusuk siapa pun yang berani menantangnya.
Ia pun telanjang, tubuhnya menjadi kontras dengan tubuh perempuan yang ditindihnya. Kedua tangannya menggenggam pinggul dan dada wanita itu, erat, seperti memastikan Lina tak akan bisa melarikan diri.
Namanya Solerom Mungkar, seorang tentara angkatan darat. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, ia dikenal sebagai salah satu yang paling berbakat di antara rekan seangkatannya. Kedisiplinan dan naluri tempur membuatnya menonjol.
Solerom menggerakkan pinggulnya perlahan, maju dan mundur, ritmis, penuh kendali. Gerakannya bukan sekadar fisik, tapi simbol bahwa ia sedang menguasai situasi.
Napasnya berat, bercampur dengan deru napas Lina, menambah riuh keheningan malam.
Arloji hitam melingkar di pergelangan tangan pria itu.
Diam, dingin, seakan menjadi saksi bisu bagi setiap gerakan pemiliknya.
Jarumnya tetap berputar, detik demi detik berjalan tanpa peduli.
Jam itu tidak melihat, tidak mendengar, hanya merekam waktu yang berlalu.
Rom tampak tegang, tubuhnya condong ke depan, pinggulnya bergerak berulang-ulang semakin cepat, seakan kehilangan kendali atas ritme. Arloji hitam di pergelangan tangannya berkilat setiap kali ia mengayun, jarum detik terus berputar seakan mengukur napas yang makin berat.
Lina tidak lagi mampu mengendalikan tubuhnya. Bahunya terangkat-angkat, jemarinya mencengkeram sprei kusut di bawahnya. Mata setengah terpejam, bibirnya terbuka, napasnya terhuyung-huyung seperti dikejar sesuatu. Wajahnya memerah.
Suasana kamar makin padat. Lampu remang menciptakan bayangan bergerak di dinding, AC berderu tapi hawa justru panas dan pengap. Bunyi kasur berulang, bercampur dengan suara televisi, Di balik itu, hanya ada dua tubuh yang saling bertubrukan dengan intensitas penuh, ekspresi campuran antara ketegangan dan pelepasan.
Rom tiba-tiba berhenti. Gerakannya terputus, tubuhnya menegang sesaat sebelum menarik diri dari Lina. Nafasnya masih berat, terdengar jelas di antara hening yang menekan.
Lina mulai merasa lega, dadanya turun dengan lebih teratur. Ekspresinya sedikit melunak, bibirnya menghembuskan udara panjang, seakan menemukan ruang untuk bernapas kembali.
Namun, tanpa banyak jeda, Rom kembali bergerak. Ia mengubah posisi tubuhnya cepat. Kedua kakinya ditekuk, naik ke sisi kanan dan kiri bahu Lina, mengapit dengan kuat. Gerakan itu membuat tubuhnya menjulang lebih dekat, bayangannya jatuh menutupi wajah Lina.
Lina membuka mulutnya perlahan. Bibir pink yang semula rapat itu terpisah, Gerakan kecil itu membuat wajahnya tampak ragu sekaligus menanti. Matanya menatap Rom dari bawah, sorotnya bergetar, seakan menyimpan tegang.
Mulut Lina terisi, rahangnya kaku menahan dorongan yang tak terduga. Napasnya tersendat, matanya melebar, tubuhnya ikut bergetar, menyesuaikan diri dengan tekanan yang tiba-tiba hadir.”
Rom mundur perlahan, setiap langkahnya meninggalkan jejak yang membuat Lina menahan napas.
Rom menunduk perlahan, matanya menelusuri lantai keramik, mencari pakaiannya yang berserakan, Tangannya meraih celana dengan gerakan tenang, jari-jari memetik kainnya dengan perlahan, seolah tidak ingin terburu-buru.
Ia mulai mengenakan kaosnya, menariknya melewati kepala dengan gerakan lambat. Jaket dan celana mengikuti, Rom menyesuaikan lipatan dan posisi pakaian, sambil sesekali menatap Lina yang masih berdiri tak jauh darinya.
Lina menahan napas, matanya menyorot gerakan Rom dengan campuran kagum dan rindu. Tangannya meremas kain yang ia pegang, hati berdebar-debar, Ia membatin, “Kenapa rasanya… aneh… tapi aku ingin tetap di sini?”
Rom menyadari tatapan Lina dan sedikit tersenyum, tapi tetap diam, membiarkan suasana itu tetap menggantung di antara mereka.
Rom mengambil sebatang rokok dan koreknya, jari-jari panjangnya menyalakan api dengan gerakan tenang, hampir ritualistik. Ia duduk di tepian kasur busa, pandangan sesekali melirik Lina yang masih terbaring di atas kasur.
Lina mengangkat kepalanya perlahan, pandangan matanya menempel pada Rom. Ia menggeser tubuh, tangannya menapak lembut, Tanpa ragu, ia menempelkan tubuhnya dari belakang, lengan melingkari leher Rom, wajahnya nyaris menempel di pundak dan lehernya.
“Kamuu nakall,” bisik Lina, suaranya rendah dan serak, bibirnya nyaris menyentuh telinga Rom. mata yang menatap lembut di balik rambutnya menunjukkan perpaduan antara rasa ingin dimanja dan menggoda. Tangannya bergeser sedikit, menyentuh bahu Rom dengan lembut.
Tiba-tiba, suara pintu diketuk dengan kasar dan berulang: “Dor! Dor! Dor!” Ritmenya mengguncang udara di ruangan, menimbulkan getaran halus yang sampai ke lantai keramik.
Lina langsung terlepas dari pelukan Rom, tubuhnya mundur beberapa langkah, tangan terangkat setengah menutupi dada, matanya membesar, wajahnya pucat karena kaget. “Siapa itu… bagaimana ini…” gumamnya pelan tapi terdengar panik, suaranya nyaris pecah.
Rom, duduk di tepian kasur busa, bergerak cepat namun tenang. tangan kiri melayang dekat Lina untuk memberi rasa aman. “Tenang… tenang,” ucapnya lembut, matanya menatap Lina dengan tenang.
Lina menggigit bibir bawah, alisnya mengerut, wajahnya menunjukkan kombinasi panik dan frustrasi. “Gimana mau tenang, mikir dongg!” Tubuhnya gemetar, namun ia mencoba menahan rasa takut.
Rom menghela napas pelan, matanya mengikuti setiap gerakan Lina, lalu suaranya terdengar lebih tegas namun tetap lembut: “Pakai pakaianmu.”
Lina mengangguk cepat, Jari-jarinya meraih kaos terlebih dahulu, menariknya melewati kepala dengan gerakan tergesa tapi hati-hati, wajahnya merah, alis masih sedikit berkerut karena sisa panik. Lengan dimasukkan satu per satu, bahu menyesuaikan posisi kain.
Selanjutnya, ia meraih celana, punggung membungkuk, rambut jatuh ke depan, ia merapikan dengan tangan menarik celana ke pinggang.
Terakhir, Lina mengambil seragam dokternya. Ia menahan napas sebentar sebelum memasukkan tubuhnya, menarik kerah perlahan melewati kepala, menyesuaikan lengan satu per satu. Tangan kanannya menekan kancing, tangan kiri menahan kain agar rapi.
Lina menatap Rom dari bawah kelopak matanya.
Rom menahan senyum, jari-jarinya masih memegang rokok yang mulai membara, tapi tubuhnya merasakan setiap sentuhan Lina. Bahunya menegang sedikit saat Lina menekan tubuhnya lebih dekat.
Lina menempelkan tubuhnya lebih dekat ke Rom, dagunya bersandar ringan di bahu pria itu. Suaranya terdengar manja dan sedikit bergumam, “Kalau suamiku tahu… gimana yaa…” Bibirnya menekuk kecil, matanya menatap Rom dari belakang.
Rom menoleh sedikit, senyum tipis terukir di wajahnya, suaranya tenang, “Gak lahh, tenang aja.” Tangannya tetap memegang rokok, tapi perlahan jari-jarinya menyentuh punggung Lina, gerakan ringan namun hangat, seolah memberi ketenangan.
Lina menarik napas pelan, membiarkan getaran hatinya keluar lewat kata-kata manis, “Makasih yaa… yang tadi itu anggap aja hadiah. Selama ini kamu baik, perhatian banget ke aku.” Kata-kata itu mengalir lembut, bibirnya tersenyum nakal dan mata berbinar hangat. Tanpa ragu, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencium Rom di pipi, momen yang sederhana tapi sarat makna.
Rom menatapnya, ekspresi hangat dan sedikit terkejut, namun matanya lembut penuh arti. “Sama-sama. Hadiah ini bakal kuingat terus… ini benar-benar berharga buatku,” ucapnya pelan, suaranya berat tapi lembut. Tangannya kini menyentuh lengan Lina, merasakan kelembutan di kulitnya.
Lina tertawa kecil, menepuk bahu Rom dengan ringan, “Ya jangan di ingat-ingat lahh, mending kamu minta hadiah lagi aja kalo kamu pengen.” Suaranya manja, mata berbinar, tubuhnya masih menempel erat, seolah tak ingin melepaskan momen itu.
Rom mengangguk pelan, senyumnya melebar, “Iya dehh.” Ia membiarkan tubuhnya sedikit bersandar ke Lina, menikmati hangatnya kontak dan keintiman yang tercipta, ruangan tetap remang, bayangan lampu menari lembut di dinding, sementara udara dipenuhi rasa manja, nyaman, dan rahasia yang hanya mereka berdua tahu.
Rom menoleh sebentar ke arah Lina, tangan cekatan menarik rompi anti peluru dari kursi di dekat kasur. Jari-jarinya memasukkan lengan ke dalam rompi dengan cepat tapi terkontrol, menarik tali pengikat di pinggang dengan satu gerakan tegas. Napasnya teratur, mata menatap pintu dengan waspada, bibirnya menekuk tipis dalam ekspresi serius.
“Sembunyi lahh, ku urus mereka,” ucap Rom, suaranya berat dan tegas, namun tetap memancarkan rasa aman bagi Lina. Tubuhnya condong sedikit ke depan, siap bergerak, bahunya menegang saat ia mengukur jarak ke pintu.
Lina mengangguk cepat, wajahnya pucat tapi matanya bersinar sedikit karena rasa percaya pada Rom. Dengan langkah cepat tapi hati-hati, ia berlari menuju kamar mandi, rambut sedikit berantakan, tangan meraih gagang pintu, menariknya rapat. Ia menutup pintu, menempelkan punggungnya ke permukaan dingin, menarik napas panjang, jantungnya berdetak kencang, campuran takut dan tegang.
Sementara itu, Rom bergegas ke arah pintu, langkahnya mantap dan cepat di lantai keramik, gerakannya seimbang dan cekatan. Rompi anti peluru membuat bahunya terlihat lebih tegap, namun gerakannya tetap luwes. Ia menoleh sesaat ke arah Lina, memastikan ia aman, mata penuh tekad.
Tiba-tiba, suara dari luar semakin keras, dan Rom menegakkan tubuhnya, menatap pintu dengan serius. Tangannya mengepal ringan, kaki menapak mantap di lantai. Dengan suara penuh otoritas, ia berteriak keras: “DIAMLAH!!” Suaranya menggema di ruangan, menyentak udara dan menimbulkan getaran tipis di dinding.
Lina di dalam kamar mandi menekuk lutut, menempelkan tangan ke lantai, napasnya masih tersengal, pipinya memerah karena campuran rasa takut, cemas, dan sedikit kagum pada keberanian Rom. Bayangan cahaya dari lampu koridor menembus celah pintu, menciptakan nuansa tegang dan intens.
Di luar, Rom tetap di posisi, mata menyapu pintu, bahu menegang siap menghadapi siapa pun yang ada di depan. Udara di sekeliling mereka terasa berat, setiap derit lantai kayu dan lantai keramik menambah ketegangan, sementara aroma rokok samar masih menyisakan jejak hangat di ruangan, menekankan kontras antara keintiman sebelumnya dan bahaya yang kini datang.
Rom menapak mantap ke pintu, tangannya kuat menggenggam gagang besi. Dengan satu tarikan, pintu terbuka, memperlihatkan wajahnya yang sangar, mata melotot menatap barisan orang dewasa yang berdiri di luar. Tubuh mereka lebih pendek darinya, tidak ada yang menyaingi tinggi dan tegap Rom. Jantungnya berdegup cepat, campuran kaget dan marah membuncah: bagaimana mungkin mereka bisa curiga?
“ADA APA!!” teriak Rom, suaranya bergema, tegas dan berat, memaksa udara di lorong ikut menahan getarannya. Tubuhnya tegap, bahu menonjol di bawah rompi anti peluru, mata menyapu setiap wajah di depannya.
Salah satu bapak, suara tegas tapi ragu, bersuara, “Awas… di mana kamu sembunyikan wanita itu?”
Rom mendengus, geram. Ia menepuk pintu dengan keras: DORR!!! Suara dentuman itu bergema, seakan menegaskan otoritasnya.
“Jangan mengganggu pekerjaan saya!!! Investigasi di larang diganggu!!” teriak Rom, jari-jari tangannya mengepal ringan, bahu menegang, dan tubuhnya maju sedikit, memberi tekanan fisik dan visual kepada orang-orang di luar.
Salah satu bapak maju lebih dekat, suaranya bergetar tapi sopan, “Maaf, Pak Tentara, saya RT di sini. Ada laporan terkait suara hubungan di dalam kamar ini… mohon maaf, kami ingin memastikan.”
Rom menunduk sedikit, alisnya mengerut, lalu acungkan jari telunjuk ke arah pak RT. Suaranya berat, tegas, tidak memberi celah, “Tidak! Saya tidak mengizinkan kalian mengganggu pekerjaan saya! Cepat pergi dari sini!” Bahunya menonjol, napasnya panjang, aura tegasnya memenuhi lorong, membuat siapapun yang melihatnya menahan langkah.
Pak RT tetap maju, nada sedikit tegang, “Bagaimana kami tahu anda tidak berbuat mesum di dalam jika kami dilarang memastikan?”
Rom menatap tajam, rahangnya menegang, matanya melotot penuh determinasi. “Harus dengan cara apa saya menjelaskan, bahwa saya tengah bekerja? Kamar ini dicurigai menyimpan sabu-sabu! Pergilah! Saya harus bekerja!” suara Rom menggelegar, menekankan urgensi dan otoritasnya.
Ruang rapat lantai 19 terasa seperti bilik komando: lampu panel dingin, dinding berlapis panel akustik, dan tiga monitor besar yang menampilkan peta operasi, timeline insiden, serta tampilan cetak biru Hummer yang terpotong-potong seperti bukti forensik. Jam digital di dinding menunjuk 07:45. Meja panjang berwarna grafit memantulkan garis-garis cahaya, kursi-kursi tersusun rapi — suasana menuntut disiplin, tidak memberi celah untuk gaduh.
Solerom mengambil posisi di baris paling belakang, kursi sudut kanan. Itu tempatnya selalu: pengamatan luas, jalan keluar cepat. Di sampingnya, Prakai duduk tegak—jas rapi, dasi tertarik rapi, ekspresi wajah nyaris batu. Prakai tidak menoleh; ia menatap layar utama dengan sikap seorang pria yang menimbang kemungkinan-kemungkinan buruk. Solerom merasakan detak jantungnya sedikit melejit setiap kali Prakai menggeser kursi; tangan pria itu sesaat menyentuh buku catatan, lalu menariknya lagi. Di dalam kepala Solerom ada satu kata yang tak mau diam: rahasia semalam. Ia berusaha mengendalikannya—napas pelan, menunduk, memainkan ujung pulpen—tetap pada tugas. Rapat ini mendesak; pribadi harus diletakkan jauh di dalam laci terkunci.
Di ujung meja, Marckno membuka pertemuan dengan cara yang praktis dan dingin. “Rapat terbatas. Semua perangkat pribadi sudah dikumpulkan. Mode tertutup. Agenda: eksfiltrasi cetak biru Hummer, dampak produksi, opsi mitigasi, rencana taktis.” Ia menekan remote; layar menampilkan kata-kata besar: “SITREP — CETAK BIRU Hummer TERKOMPROMI.”
Elesa, Direktur Teknis, mengambil alih dan memaparkan kronologi dengan intonasi militer: “02:13 — anomali keluar dari subnet CAD produksi. Vector: paket terenkapsulasi yang meniru lalu lintas VoIP. Dalam 6 menit, 1,9 GB data ter-ekstrak; sebagian besar berisi desain varian taktis Hummer, modul suspensi adaptif, dan BOM kritikal. Bukti forensik menunjukkan vektor awal berasal dari plug-in yang dikirim oleh pemasok luar negeri. Hash awal cocok—kemungkinan supply-chain compromise.”
Monitor memperbesar potongan cetak biru yang tadinya rahasia — kini terlihat seperti peta ranjau: potongan rangka, titik sambungan, penomoran baut sensitif. Marckno menunduk, suaranya seperti komando: “Produksi varian militer dibatalkan efektif hari ini. Semua lini yang terkait segera diberhentikan. Kerugian finansial awal terestimasi besar — tidak hanya kehilangan IP, tapi kontrak internasional bisa terancam.”
Seorang perwakilan SupplySec menguraikan dampak kerja sama luar negeri. “Kita sudah terikat kontrak pasokan di tiga negara: elektronik di Shenzhen, komposit di Graz, komponen presisi di Nagoya. Kebocoran ini merusak leverage negosiasi — pemasok bisa menuntut penyesuaian biaya atau memaksa klausul lock-in. Selain itu, ada risiko pihak ketiga memproduksi replika kasar di pasar gelap, yang dapat membahayakan operasi yang sedang berjalan.”
Marckno mengangkat tangan: “Keamanan nasional bukan semata-mata soal uang; reputasi kita, serta kelangsungan program, dipertaruhkan. Ini bukan insiden kecil. Kelompok yang mencuri cetak biru tampak terorganisir—jumlah mereka besar, TTP agresif. Kita harus bersiap untuk ancaman kinetik.” Suasana jadi kaku; napas udara dingin menyelinap di antara kursi-kursi.
Kareen, kepala Blue Team, masuk ke detail teknis seperti komandan lapangan membaca laporan intel. “Forensik menunjukkan TTP ‘Mantis-Grey’: living-off-the-land, enkapsulasi pada protokol real-time, pivot via relay di Batam dan beberapa exit node Eropa. Mereka bukan sekadar peretas; mereka punya jaringan logistik. Interval beacon mereka — 3, 5, 13 menit — memberi kita pola. Mereka berkelompok besar; tidak dapat diasumsikan sebagai solo wolf. Ancaman fisik terhadap fasilitas-riset ada kemungkinan nyata.”
Marckno memandang cepat ke seluruh ruangan, lalu memerintahkan: “Kita bentuk dua lini aksi: defensif untuk containment, ofensif untuk penyergapan. Semua pasukan harus siaga. Unit lapangan akan dilibatkan untuk kontra-operasi — bukan hanya tim siber. Kita tidak boleh menunggu sampai mereka beralih dari digital ke kinetik. Kita harus bergerak.”
Marckno menyentuh tombol, slide berubah: “Opsi A: Lockdown total produksi dan jaringan—cut all non-essential external channels, divert critical updates via air-gapped courier. Opsi B: Deception & Decoy — sebarkan varian bench-marked palsu ber-watermark internal untuk menurunkan nilai intel. Opsi C: Offensive Interdiction — koordinasi patroli & penyergapan bersama unit taktis, target relay dan tempat penyimpanan fisik yang teridentifikasi.”
Seorang komandan pasukan taktis menegaskan kesiapan: “Kita akan stand-by 24 jam. Bila intel mendeteksi perpindahan material ke titik kumpul, kita luncurkan operasi penyergapan. Tim kita siap dengan aturan engagement yang dibatasi: sergap cepat, pengamanan barang bukti, dan pencegahan eskalasi sipil. Harus ada sinergi penuh dengan bagian intel siber — tanpa data real-time, operasi lapangan akan buta.”
Marckno menuliskan perintah singkat: “Produksi varian militer dibatalkan. Semua lini terkait dimatikan sampai pemberitahuan lanjutan. SupplySec koordinasi dengan pemasok luar negeri — limited disclosure. Legal & Comms siapkan pernyataan terkontrol. Ops & Intel setting unit siaga. Blue Team: jejak PLUG-IN, buat daftar host yang dikarantina, siapkan decoy.”
Solerom, di kursi belakang, merasakan seluruh tubuhnya tegang—bukan karena bahaya teknis tetapi karena kursi di sebelahnya menumpahkan aura yang sulit ditebak. Prakai menulis beberapa catatan pendek, bibirnya sedikit kencang ketika membaca slide yang memuat kata “penyergapan” dan “unit taktis.” Setiap kali kata “penyergapan” disebut, Solerom membayangkan medan: lampu sorot di malam basah, tim bergerak hening, dan kemungkinan darah. Bayangan itu memukulnya — bukan karena ngeri, melainkan karena kedekatan emosional yang salah tempat: Lina ada dalam persamaan pribadinya. Malu merayap di tengkuknya; ia menjarah dalam hati apakah Prakai akan tahu, membaca sesuatu pada cara ia duduk, atau mengendus kehadirannya seperti anjing pemburu.
Marckno melanjutkan: “Kita tidak hanya menumpulkan nilai intel curian; kita juga harus tangkap aktor utama. Jika mereka besar dan terorganisir, mereka mungkin menempatkan cache fisik atau bekerjasama dengan pabrik bayangan. Unit lapangan akan melakukan sweep berdasarkan intel jaringan—relay hotspot di Batam akan diprioritaskan. Kita bekerja berlapis: Blue Team memetakan jalur komunikasi; Intel HUMINT mencari titik pergerakan; Ops menyiapkan penyergapan.”
Elesa menambahkan garis teknis mitigasi: “Segera lakukan isolasi host, revoke semua API token terkait, reset SSO untuk engineer prioritas, dan lakukan cold-scan pada semua update dari pemasok. Untuk file yang bocor, kita siapkan watermarked decoy yang tampak bernilai tinggi tetapi mengandung cacat terukur—agar replika yang dibuat oleh musuh cepat gagal. Kita juga memprogram traceable anomalies dalam decoy untuk memancing dan menandai rantai distribusi.”
Di sela-sela pemaparan, Solerom merasakan telapak tangannya sedikit berkeringat. Di otaknya, ia terus mengulang: “Jangan terlihat grogi. Jangan biarkan mata bertemu.” Tetapi setiap kali Prakai menggulung catatan, Solerom meliuk sedikit, nafasnya tersendat, perutnya berdenyut. Sebuah detik terlalu lama — dan satu sinyal mata mungkin mengungkap semuanya. Ia menekankan tumit di lantai untuk menahan getaran.
Marckno beralih ke aturan main: “ROE — Rules of Engagement: tidak ada operasi ofensif tanpa persetujuan legal; semua interaksi publik oleh kantor pusat komunikasi; operasi lapangan mematuhi protokol hak asasi; siapa pun yang membocorkan informasi di internal akan diproses menurut kebijakan keamanan nasional. Kita bekerja seperti unit militer: chain of command jelas, komunikasi terpusat, dan eksekusi presisi.”
Kepala Komunikasi menekankan kebutuhan pengendalian: “Media harus di-handle; pernyataan awal netral: ‘sedang diselidiki’. Jangan sebut kata ‘militer’ atau ‘pembatalan produksi’ sampai pernyataan final. Informasi ke pemasok luar negeri: perlu dan terukur—jangan menyebar panik yang dapat dieksploitasi.”
Marckno menutup: “Tingkat ancaman tinggi. Kita harus bersiap untuk opsi kinetik—penyergapan dan operasi penangkapan. Semua unit dari cyber, intel, supply chain, ke lapangan — sinergi total. Kita akan mulai fase eksekusi dalam 12 jam jika indikator berpindah ke fase aktif. Semua komando: siaga.”
Ketika rapat berakhir, kursi-kursi bergeser serentak; suara langkah kaki berirama seperti peleton. Solerom menutup buku catatannya dengan tangan yang sedikit gemetar, menulis dua kata besar: “PENYERGAPAN SIAP.” Di sampingnya, Prakai berdiri tanpa menoleh, wajah tertutup profesionalisme. Solerom menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk berjalan keluar lorong yang sunyi—menuju tugasnya sendiri: mengecek jalur kurir, memverifikasi daftar vendor, mencari celah manusia yang bisa menjadi kunci penyelesaian operasi.
Di luar ruang rapat, dunia berputar seperti biasa—lalu lintas, tumpukan dokumen, pegawai yang melewati gerbang. Tetapi di bawah permukaan, permainan besar telah dimulai: cetak biru dicuri, produksi dibatalkan, pasukan siaga, dan rencana penyergapan yang menunggu sinyal untuk meledak. Solerom tahu satu hal dengan pasti: dalam perang intel seperti ini, kesalahan paling kecil — baik teknis maupun personal — dapat menentukan siapa yang menang dan siapa yang harus menanggung kerugian besar.
Malam itu bulan hampir bulat, cahayanya pucat tapi cukup untuk menyingkap bayangan gedung dan jalanan. Angin malam berhembus kencang, menyibak daun-daun kering dan menimbulkan desis di antara tiang listrik. Aroma bensin, asap kendaraan, dan sedikit uap hujan yang tersisa dari sore bercampur, menciptakan bau kota yang khas.
Jalan Semar Mesem, biasanya lengang, kini berubah sibuk dan tegang. Satu kilometer di utara gang diblokir oleh mobil polisi. Lampu sorot mereka menembus gelap, memantul di dinding-dinding gedung tua dan kendaraan yang melintas. Para petugas berjaga, tangan sesekali menempel di senjata, mata tajam menelusuri setiap gerakan. Di tengah kota, suara klakson mobil, sepeda motor yang melintas, dan percakapan samar warga terdengar dari gang samping.
Di sisi selatan blokade, kendaraan lain menepi, lampu rem dan sein berkelap-kelip. Suara langkah kaki dan pintu kendaraan terdengar jelas, bercampur suara ranting pohon yang terhempas angin. Suasana ramai tapi tegang—kota tidak pernah tidur, tapi malam ini terasa seperti menahan napas.
Langit-langit gang menahan gema suara kota. Teriakan sopir yang kesal karena macet, dentuman musik dari kendaraan yang lewat, bahkan gonggongan anjing dari pekarangan samping terdengar jelas. Semua suara itu menciptakan kontras: ramai tapi penuh tekanan, menambah rasa waspada setiap detik.
Bulan yang hampir bulat menyinari jalan, sementara lampu jalan dan kendaraan menciptakan bayangan yang bergerak liar di aspal. Angin malam membawa dingin, debu, dan aroma logam, menyatu dengan suara ramai kota, memunculkan ketegangan yang terasa nyata. Setiap orang yang melintas di gang tampak waspada, langkah kaki dan suara percakapan seperti saling bersaing dengan bisingnya kota.
Meski ramai, setiap detik terasa menahan napas. Bayangan bisa bergerak di pinggir gang, kendaraan berhenti mendadak menambah ketegangan, dan lampu sorot polisi memantul di permukaan kendaraan, memecah gelap dengan kilatan cepat. Kota malam ini terasa hidup sekaligus mengancam—setiap suara, gerakan, dan bayangan bisa menjadi pertanda sesuatu yang serius.
Di atas semua itu, bulan menyinari malam yang sibuk. Ramai tapi menegangkan, bercampur aroma, cahaya, dan suara kota yang tidak pernah tidur. Semuanya menciptakan atmosfer yang memaksa siapa pun untuk tetap waspada, menahan napas, dan siap menghadapi kemungkinan tak terduga di Jalan Semar Mesem.
Di bagian tengah blokade Jalan Semar Mesem, gedung apartemen 60 lantai, gedung Semar Mohawk, menjulang menakutkan di atas kerumunan kendaraan polisi dan ambulans yang berjajar rapi. Lampu sorot mobil polisi memantul di dinding kaca gedung, membentuk bayangan bergerak liar yang seakan menonton semua yang berada di jalan. Suara sirene bersahutan dengan klakson kendaraan, menciptakan hiruk-pikuk yang ramai tapi menegangkan.
Ambulans bergantian mengevakuasi rakyat sipil. Dari salah satu pintu, seorang wanita berhanduk berlari tergesa-gesa masuk, napasnya tersengal-sengal. Tangannya memeluk handuk erat, langkahnya cepat tapi canggung, seolah setiap detik bisa menjadi ancaman. Pintu ambulans menutup dengan keras, sirene meraung, kendaraan mundur perlahan di jalan penuh bising.
Dari dalam gedung terdengar suara beberapa peluru—“tak-tak-tak”—bergema di lorong beton. Suara itu menembus bisingnya kota, membuat orang menunduk dan mencari perlindungan. Bau logam dan debu mengisi udara, menciptakan ketegangan yang nyata.
Di pinggir jalan, mobil tentara MegatrucX bertulisan Jakartapolice berhenti mendadak. Lampu depan menyorot ke aspal basah, menciptakan garis cahaya yang bergerak mengikuti bayangan. Dari bak belakang truk, Juliar December turun. Logo segi lima menempel di lehernya, memantulkan cahaya lampu sorot dengan kilatan dingin.
Tubuhnya gemuk dan tinggi, seperti raksasa—atau sebut saja : Juliar pria gorila. Matanya tajam seperti pucuk busur, kepala hampir botak, kulitnya lebih gelap ketimbang Rom. Jenggot kriting panjang menutupi leher, bibir tebal menambah kesan galak. Setiap gerakan, setiap langkahnya, bergema di jalan, memberi aura dominasi yang membuat orang di sekitarnya menahan napas.
Ia mengarahkan pasukan dengan tegas, suara perintahnya berat dan penuh wibawa. Tangan menunjuk, tubuh bergerak mantap, setiap gerakan seperti menghitung detik, menyusun strategi dalam keheningan yang penuh tekanan.
Dari truk, sosok—Rom, Prakai, Shadaq, dan 12 orang teman-temannya—berpakaian militer gelap, lengkap dengan rompi anti peluru, turun tergesa-gesa. Mereka melompat dari kendaraan, mendarat mantap di aspal, kaki menekuk menyerap benturan. Napas terdengar berat, jantung berdebar, tapi mata tetap waspada, menelusuri setiap gerakan di sekitar blokade.
Tangannya menyentuh pergelangan, arloji menampilkan jam 11 lewat, cahaya angka memantul di lampu sorot, memberi penanda waktu yang menambah tegang suasana.
Langkah kaki mereka bergema di aspal, gesekan rompi anti peluru menghasilkan suara mendesing halus. Sirene, langkah kaki, suara evakuasi warga, tembakan dari gedung—semua berpadu menciptakan atmosfer ramai tapi menakutkan. Bayangan panjang menari di gedung, cahaya lampu sorot menambah kesan seram. Setiap gerakan bisa menjadi ancaman, setiap suara terasa signifikan.
Angin malam berhembus kencang, menyibakkan pakaian dan rambut. Aroma logam, debu, dan bensin memenuhi udara, bercampur dengan hiruk-pikuk kota yang ramai. Malam itu hidup, menegangkan, dan menyeramkan—seakan setiap detik bisa menentukan nasib yang tak terduga, di tengah blokade yang penuh tekanan dan misteri.
Gedung itu gelap gulita, dinding dan lorongnya nyaris terselimuti kegelapan. Lampu-lampu mati, mungkin listrik gedung dimatikan polisi untuk mencegah korban lebih banyak. Hanya suara langkah kaki mereka yang memecah sunyi, bergema di lorong panjang, menimbulkan gema seram di setiap sudut.
Tanpa basa-basi, suara tegas Juliar memecah kegelapan:
“Masuk bantu polisi, musuh di lantai 39!”
Rom dan pasukan tentara langsung bergerak, tubuh mereka bergerak sinkron. Pijakan kaki menapak di lantai beton, setiap detik terdengar jelas di lorong sunyi. Napas berat terdengar di balik masker dan helm mereka, adrenalin memenuhi setiap urat.
Mereka masuk ke tangga darurat, berlari cepat menanjak ke lantai 39. Tangan menempel di pegangan besi, kaki mendarat mantap di anak tangga. Bayangan bergerak liar di dinding akibat lampu senter yang mereka bawa, menciptakan siluet menakutkan.
Ruang tangga terasa sempit, dingin, dan lembap. Angin malam dari jendela darurat menghempas, membawa aroma logam dan debu. Setiap langkah terasa berat karena ketegangan, setiap detak jantung terasa lebih keras daripada suara langkah sendiri.
Rom dan Shadaq berada di posisi terdepan, napas mereka mulai terengah-engah meski baru menapaki lantai sepuluh. Tangan Rom mengusap matanya sejenak, keringat menetes di pelipis, tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri dengan ritme tangga yang panjang. Ia menoleh ke belakang, melihat barisan pasukan yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Langkah kaki terdengar berat, napas tersengal-sengal, rompi anti peluru menambah beban di pundak mereka. Beberapa wajah memerah, tangan menggenggam pegangan tangga dengan erat.
Rom menegur dengan nada bercanda agar semangat mereka tetap terjaga:
“Oi, yang paling belakang pacarnya Siti!”
Seketika, tawa kecil terdengar di antara pasukan, senyum tersungging di bibir mereka—tak ada yang mau menjadi yang terakhir. Beberapa menggeser langkah, mempercepat ritme, berharap bisa berada lebih maju.
Di depan, Prakai justru menambahkan bumbu humor tak terduga.
“Yang paling depan pacarnya artis bokep Jepang!”
Para tentara tersentak, napas mereka terdorong lebih cepat, hampir tersandung tapi segera menambah kecepatan lari. Suasana gelap di tangga darurat dipenuhi dentuman kaki, desah napas, dan gemericik keringat yang jatuh di beton.
Rom tersenyum tipis dalam hati, meski pikirannya ikut terganggu oleh kata-kata Prakai.
“Prakai ngaco…” batinnya, sambil menahan senyum. Tapi pikiran itu cepat melayang ke rahasia yang hanya ia simpan sendiri—bahwa istri Prakai adalah simpanannya. Hati Rom berdebar lebih cepat dari sekadar lari tangga, campuran ketegangan, rasa bersalah, dan kekhawatiran jika Prakai suatu saat tahu.
Sementara itu, Shadaq di sampingnya fokus menatap langkah ke depan, napasnya teratur tapi matanya tetap waspada pada lorong tangga yang gelap, siap menghadapi apapun yang menunggu di lantai atas.
Tangga yang panjang terasa seperti labirin, bayangan bergerak liar di dinding, cahaya senter menimbulkan siluet menyeramkan. Setiap langkah, setiap desah napas, bahkan tawa kecil pasukan yang bercanda di tengah ketegangan, semuanya paralel menciptakan atmosfer tegang tapi hidup—seakan malam dan gedung itu ikut bernapas bersama mereka.
Rom menelan ludah, mengatur napasnya, dan terus melangkah. Tangga darurat gelap itu bukan hanya menguji stamina fisik, tapi juga ketenangan pikiran. Setiap detik terasa lebih lama, setiap langkah membawa mereka semakin dekat dengan lantai 39, dan semakin dekat dengan risiko yang tak bisa diprediksi.
Akhirnya mereka sampai di lantai 39. Napas berat terdengar jelas di lorong gelap, keringat menetes di pelipis, tetapi langkah mereka tetap mantap. Beberapa pasukan memilih menetap, menahan diri, sementara sebagian besar melanjutkan lari ke lantai berikutnya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin menunggu.
Suasana lantai 39 terasa tegang tapi anehnya tenang. Tidak ada suara peluru yang berdentum keras, hanya desah napas dan langkah kaki yang menggema di dinding beton. Lampu senter yang mereka bawa menebar cahaya kecil, menyingkap bayangan gelap di sudut-sudut lantai.
Tentara yang memilih menetap segera mencari posisi strategis. Mereka menempel di dinding, mengintai lorong, setiap pegangan dan gerakan dilakukan dengan hati-hati. Beberapa menunduk, tangan di senjata, mata menelusuri setiap bayangan, setiap sudut.
Di salah satu sudut, tampak seorang polisi tetap siaga, matanya menatap kosong ke lorong, tetapi aura kewaspadaan tetap terpancar. Juliar melangkah mendekati polisi itu, langkahnya mantap dan tenang, tubuh raksasa menimbulkan bayangan panjang di lantai beton.
“Apa yang terjadi?” suara Juliar berat, menembus keheningan lantai, membuat pasukan yang lain menahan napas sejenak.
Polisi itu menoleh perlahan, wajahnya tegang, mata berkedip cepat menyesuaikan cahaya senter.
“Tidak bisa dipastikan…” jawabnya singkat, suara sedikit gemetar tapi tegas.
Juliar menelan ludah, mata menelusuri lorong di sekelilingnya. Setiap bayangan terasa hidup, setiap sudut gelap mengundang rasa waspada. Pasukan di sekeliling mereka menyesuaikan posisi, senjata di tangan siap menembak jika ada ancaman muncul.
Angin dari jendela darurat sesekali membawa aroma logam dan debu, menambah nuansa tegang lantai yang sunyi tapi terasa berdenyut. Bayangan panjang bergerak mengikuti cahaya senter, menciptakan siluet menyeramkan, seakan lantai 39 itu sendiri mengawasi setiap gerakan mereka.
Rom menatap rekan-rekannya, napasnya masih terengah, tangan memegang pegangan senjata erat. Dalam hatinya, ketegangan bercampur dengan rasa penasaran—apa yang sebenarnya menunggu mereka di lantai ini, dan apakah langkah mereka berikutnya akan aman?
Suasana hidup tapi menakutkan—setiap detik bisa berubah menjadi ancaman. Lantai 39 adalah titik kritis, dan semua mata, semua telinga, semua indra tetap siaga, menunggu aba-aba selanjutnya.
Di tangga darurat nomor 2, bayangan 15 orang dari regu tentara kedua mulai terlihat. Mereka baru turun dari mobil ke-2, rompi anti peluru gelap mereka memantulkan sedikit cahaya senter, langkah kaki mereka terdengar bergema di dinding tangga beton. Napas terengah-engah karena tangga panjang, tapi gerakan mereka teratur, disiplin, siap menghadapi apapun di lantai atas.
Rom melangkah lebih dekat ke pasukan mobil kedua, matanya menelusuri setiap wajah yang tampak tegang tapi siap. Tangannya menunjuk arah, tubuhnya tegap, langkah mantap di tangga sempit.
“Lanjutkan ke lantai atas, kamu urus di sini,” suara Rom tegas, tapi tetap bisa terdengar di lorong tangga yang sempit. Nada itu membuat pasukan tersentak, kemudian mengangguk serempak, mata menatap ke depan, menahan napas, siap bergerak sesuai arahan.
Dari belakang, Juliar mendekat, langkahnya berat tapi mantap. Ia mengangguk singkat ke Rom, mata tajam menelusuri lorong tangga di atas. Suara gesekan sepatu dan armor terdengar jelas, menciptakan gema seram di tangga beton.
Angin malam dari jendela darurat sesekali menerobos masuk, membawa aroma logam, debu, dan sedikit embun dingin. Bayangan pasukan bergerak naik, siluet mereka menempel di dinding tangga, membuat suasana tegang tapi hidup.
Rom menoleh sesaat, menilai posisi pasukan di bawah dan atas, memastikan setiap langkah aman. Tangannya menyentuh senjata, mata tetap waspada, tapi hatinya tetap fokus pada strategi—agar pasukan mobil kedua bisa bergerak aman, dan mereka tetap memegang kendali di lantai yang semakin dekat dengan ancaman.
Juliar menepuk bahu Rom sebentar, memberi sinyal persetujuan. Tidak ada kata lain, hanya gerakan dan mata yang bicara—semua paralel, sejalan, menahan napas dalam suasana malam yang tegang dan hidup, siap menghadapi lantai berikutnya.
Rom, Juliar, dan lima orang tentara bergerak cepat, napas berat terdengar jelas di lorong gelap apartemen. Rom memimpin, langkahnya mantap di atas lantai beton, mata menelusuri setiap sudut lorong, senjatanya siap menembak kapan pun ancaman muncul.
Setibanya di lorong menuju kamar F33, suara peluru pecah terdengar dari dalam kamar, dentuman bergema di dinding beton. Rom menunduk seketika, tubuh menekuk agar tubuhnya menjadi target lebih sulit. Suara desingan peluru menembus udara malam, menimbulkan ketegangan yang hampir terasa menekan dada.
Dengan gerakan cepat, Rom menembak balik, matanya tetap fokus pada sumber suara. Gerakan senjatanya stabil, tubuhnya menyesuaikan ritme tembakan sambil menjaga jarak aman. Juliar di sampingnya mengangguk, mengarahkan pasukan agar tetap tenang, mengintai setiap sudut kamar F33.
Dari luar terdengar suara keras polisi melalui pengeras suara:
“15 orang tersangka di kamar tersebut!”
Setiap kata menggetarkan lorong, menambah tekanan bagi semua yang berada di sana. Pasukan menunduk, tubuh menempel di dinding, namun tidak kehilangan fokus. Lampu senter mereka memantul di senjata, menimbulkan bayangan menakutkan di dinding, menambah kesan seram di lorong yang gelap.
Rom menelan ludah, napasnya masih berat, tangan tetap mantap di senjata. Dalam hatinya, ketegangan bercampur rasa penasaran—apa sebenarnya yang menunggu mereka di dalam kamar F33, dan bagaimana cara mereka menaklukkan ancaman dengan aman.
Juliar memberi kode dengan tangan, lima tentara lain merespons dengan gerakan serempak, membentuk posisi strategis di lorong. Bayangan mereka bergerak selaras dengan cahaya senter, langkah kaki terdengar seirama, menciptakan paralel ketegangan antara fisik dan mental.
Pintu kamar F33 terbuka perlahan, memantulkan cahaya senter yang menari di dinding beton. Di barisan depan, Juliar, sebagai pemimpin tim, memegang perisai anti peluru besar, tubuhnya tegap, mata tajam menelusuri setiap sudut ruangan. Napasnya berat tapi terkontrol, setiap langkahnya mantap. Rom dan Shadaq berada tepat di belakang, siap menembak jika ada ancaman muncul.
Pasukan lain—gabungan tentara dan beberapa polisi—mengikuti, membentuk formasi phalanx. Perisai di depan, membentuk dinding logam tebal, sementara di belakangnya, senjata otomatis diarahkan ke titik-titik blind spot. Para tentara cadangan menempati posisi strategis di sudut ruangan, siap menahan tersangka yang mungkin mencoba menyerang atau melarikan diri.
Suasana di F33 terasa tegang, gelap, dan menekan. Lampu senter memantul di perisai, menciptakan bayangan panjang di lantai dan dinding. Desah napas pasukan, gesekan logam perisai, dan langkah kaki bergema di ruangan luas, paralel dengan ketegangan yang menyelimuti setiap sudut.
“Tetap pada posisi! Jangan bergerak sembarangan!” perintah Juliar terdengar berat, memotong keheningan yang menegangkan.
Langkah demi langkah, pasukan bergerak perlahan masuk. Beberapa tersangka mencoba melarikan diri ke arah tangga, tapi formasi frontliner menutup jalur itu, menahan dengan perisai. Senjata diarahkan ke lantai dan sisi-sisi lorong sebagai peringatan. Suara peluru menembus udara, dentuman keras menggema, namun setiap pasukan tetap fokus, tubuh menekuk sedikit, gerakan minimal agar tidak menjadi target.
Juliar memberi aba-aba dengan tangan, kode singkat yang dimengerti semua anggota tim. Rom menunduk, menembak peringatan ke arah salah satu tersangka yang mencoba meraih senjata. Dentuman keras membuat tersangka terhenti, tangan terangkat, pandangan liar tapi takut. Pasukan cadangan segera menutup jalur lain, membentuk perimeter aman.
Ketegangan semakin memuncak ketika dari sudut kamar terdengar suara tembakan. Juliar terkena lima peluru, tetapi rompi anti peluru menahan semua, sehingga tubuhnya tidak terluka. Hentakan tembakan membuatnya tersungkur ke lantai, debu beterbangan, bayangan pasukan lain menari di dinding. Rom dan Shadaq langsung menyesuaikan posisi, menembakkan tembakan peringatan, menutup jalur ke tangga.
Momen itu dimanfaatkan delapan orang mafia yang sebelumnya bersembunyi. Dengan cepat, mereka meloncat menuju tangga, napas terengah-engah terdengar di lorong beton. Langkah kaki mereka cepat, panik, namun gesit, dan mereka berhasil lolos ke lantai berikutnya.
Pasukan yang masih di F33 menahan napas, mengatur ulang formasi, memastikan jalur tersangka yang tertangkap tetap aman. Polisi yang berada di dalam memeriksa setiap sudut, menandai posisi tersangka yang tertangkap, sementara beberapa tentara menahan bayangan di sudut ruangan. Setiap gerakan, setiap gesekan perisai, setiap pantulan cahaya senter terasa paralel dengan ketegangan—hidup, menakutkan, dan profesional.
Rom menelan ludah, matanya menelusuri setiap sudut kamar, siap menghadapi kemungkinan serangan berikutnya. Juliar, meski tersungkur, tetap menggerakkan tangan memberi kode, memastikan pasukan tetap terkoordinasi. Suara langkah kaki delapan mafia yang lolos masih terngiang di telinga, menambah tekanan mental, sementara udara di kamar F33 terasa berat, penuh adrenalin dan ketegangan hidup.
Di lorong gelap dan di kamar luas itu, setiap detik terasa menentukan. Setiap desah napas, setiap gerakan pasukan, setiap bayangan yang bergerak, semuanya paralel dengan ketegangan yang hidup, menakutkan, dan menegaskan profesionalisme operasi militer mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!