Cahaya keemasan menembus tirai putih dan menimpa sprei putih yang berantakan. Eleanor terbangun dengan kepala berat, kelopak matanya lengket seperti tertarik beban. Tubuhnya terasa panas dan pegal. Kepalanya sangat pusing, untuk sesaat ia tak mengerti di mana dirinya berada sampai matanya menangkap detail ruangan. Ini bukan kamarnya. Ia membuka sedikit selimut untuk melihat tubunya sendiri… telanjang. Matanya langsung terbuka, mencoba mengingat apa yang terjadi padanya semalam. Ia mencium aroma napasnya sendiri, mmh… aroma sampanye langsung menyebar hingga kehidung.
Eleanor menoleh ke samping, Astaga… Nicholas. Matanya membola penuh keterkejutan, irama jantungnya berdegup sangat keras. Apa yang sudah aku lakukan?
Nicholas masih terlelap dengan napas dalam dan teratur dengan rambut cokelat acak-acakan menutupi dahinya. Selimut hanya menutupi pinggangnya. Pemandangan dada bidang tanpa atasan itu membuat Eleanor panik setengah mati.
“Oh God…” bisiknya tercekat.
Eleanor melompat dengan tubuh gemetar.
“Sialan…”
Kakinya goyang saat berdiri. Rasa kebas mejalar di selangkangannya membuatnya terhuyung dan mengumpat lirih. Ia meraih gaun pesta hitam yang terlempar di lantai, ini sangat kusut. Tangannya bergetar saat mencoba mengenakannya, seolah tiap inci kain mengingatkannya pada apa yang terjadi malam tadi.
Ia meraih clutch kecilnya di meja samping tempat tidur dengan hati-hati. Nicholas bergerak sedikit, lalu bergumam sebentar. Eleanor membeku, ia menoleh sebentar melihat pria itu sudah tidur kembali. Syukurlah…, batinnya.
Dengan jantung berdebar, ia meraih tumit sepatunya lalu menyelipkannya asal ke kaki. Lalu dengan langkah setengah berlari, ia menuju pintu keluar. Pintu kamar berderit pelan ketika Eleanor mendorongnya. Begitu pintu tertutup di belakang ia menempelkan punggungnya sebentar di sana, menahan detak jantung yang memburu.
Eleanor melirik lorong kanan dan kiri hotel. Ia bahkan tidak tahu ini dimana. Kau sungguh bodoh, Eleanor.
Ia melangkah dengan tergesa, sepatu haknya berdetak tidak stabil di lantai marmer dekat lift. Saat pintu terbuka, dua wanita paruh baya dengan pakaian rapi keluar. Pandangan mereka langsung jatuh pada Eleanor yang mengenakan gaun hitam kusut, resleting terpasang tak sempurna, rambut acak-acakan dan riasan yang luntur.
Eleanor bisa merasakan tatapan mereka mengupas kulitnya. Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan clutch di tangan seolah tidak peduli. Padahal pipinya memanas.
Lift turun perlahan, terasa terlalu lama bagi Eleanor yang terburu-buru. Ketika pintu terbuka di lobi, ia bergegas keluar. Aroma kopi dan roti croissant segar dari restoran hotel menyambutnya, kontras sekali dengan rasa asam alkohol yang masih menempel di lidahnya.
Eleanor melangkah cepat melewati pintu kaca. Ia menoleh sebentar ke langit pucat yang dipenuhi burung camar, lalu mengangkat tangan menghentikan taksi pertama yang lewat.
Eleanor menjatuhkan dirinya ke kursi penumpang, napasnya masih terburu.
“Jalan Abesses No.12” suaranya serak. Ia batuk kecil, lalu mengulang alamat rumahnya dengan lebih jelas. Sopir tua hanya mengangguk lewat kaca spion, lalu melajukan mobil menyusuri jalanan basah sisa hujan semalam.
Eleanor bersandar, mencoba menarik napas panjang. Aroma parfum pria yang masih menempel di kulitnya membuat perutnya mual sekaligus panas. Jemarinya meremas clutch di pangkuan, Sial… setelah tujuh belas tahun harusnya aku melepaskan diri pada pria tampan, bukan malah dengan pria bajingan itu… lagi.
Ia menoleh ke jendela, menatap bayangan dirinya sendiri. Lihatlah… wanita ini tampak seperti baru menghabiskan malamnya mengumpulkan sampah di jalanan Paris. Rasa malu merayap ke pipinya, tapi tubuhnya masih menyimpan sensasi samar yang menolak hilang, denyut di selangkangan, kehangatan dan kilasan erangan samar yang terus bergema di telinganya.
“Brengsek,” desisnya, hampir tak bersuara.
Ia menutup mata, mengatur napas, memaksa diri untuk tidak menangis. Pemandangan di luar tampak begitu indah, jalanan berbatu basah berkilau diterpa matahari pagi, namun bagi Eleanor semua terlihat kabur.
Nada dering ponsel memecah keheningan di dalam taksi. Eleanor membuka clutch dengan tangan gemetar, menarik ponselnya keluar. Nama yang terpampang di layar membuat dadanya semakin sesak William.
Ia menekan tombol hijau dengan kasar.
“Dasar brengsek!” suaranya meluncur tajam, serak bercampur emosi. “Kau tinggalkan aku begitu saja semalam, hah?!”
Di ujung sana terdengar suara penuh penyesalan William. “Eleanor, maafkan aku. Aku cuma pergi sebentar menyapa rekan kerja. Lalu saat aku kembali kau sudah menghilang. Aku mencari kemana-mana tapi kau…” ia terhenti sebentar lalu menarik napas khawatir. “Kau baik-baik saja, kan?”
Eleanor terdiam membisu, kata-kata makian yang hampir keluar dari mulutnya menggantung di tenggorokan.
Ia menelan ludah kasar, mengatur napas lagi lebih teratur lalu mengatur suaranya agar terdengar datar. “Aku baik-baik saja.”
Hening sepersekian detik. William hendak bertanya lebih lanjut tapi Eleanor sudah menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan lebih dulu.
Tangannya masih gemetar ketika ia menyelipkan ponsel ke dalam clutch. Oksigen di dalam taksi tiba-tiba terasa mengecil, seperti menekan dadanya. Ia menoleh ke jendela lalu menutup mata, membiarkan bayangan lampu jalan yang bergeser di kaca menenggelamkan pikirannya.
Suara deru mesin taksi yang monoton perlahan berubah menjadi musik dengan denting piano, gesekan saxophone, irama jazz yang mengalun lembut tadi malam.
Lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom hotel di Champs-Elysees. Cahaya keemasan memantul dari gelas-gelas sampanye. Udara dipenuhi aroma parfum mahal dan tawa berlapis sopan santun.
“Tenang saja, mereka semua ramah,” William menepuk lembut punggung tangannya, menuntunnya masuk ke dalam keramaian. Eleanor tersenyum kecil, meski kakinya terasa kaku di atas sepatu hak tinggi yang baru ia beli tadi pagi.
Ia mengatur napas, berusaha tampil anggun padahal hatinya diselimuti kecanggungan. Ia sudah terlalu lama hidup dengan dirinya sendiri dan melupakan dunia seperti ini.
William menggenggam tangannya erat seolah tahu ia sedang gugup.
Menikmati minuman, makanan, tarian… Eleanor pikir akan menyenangkan. Ternyata tidak semenyenangkan itu, membaca buku sambil menunggu rotinya matang di oven jauh lebih menyenangkan. Ia melihat sekitar, lalu meraba lehernya sendiri. Entah kenapa Eleanor merasa sedang di perhatikan.
Eleanor hendak mengambil tambahan minuman, namun seorang pria berdiri di tengah ruangan dengan setelan hitam yang jatuh sempurna di tubuh jangkungnya membuat langkahnya berhenti. Mata biru yang dulu begitu ia kenal… mengunci dirinya hanya lewat tatapan intens. Tiba-tiba saja waktu di ruangan itu terasa berhenti.
Dia… Nicholas.
Eleanor terhenti sejenak. Darahnya berdesir, namun dengan segera ia menangkisnya dan menghadirkan ketenangan di wajahnya. Wanita dengan dress hitam itu berpaling, pura-pura sibuk memperhatikan dekorasi bunga di meja seakan tidak mengenalinya. Eleanor merasa kakinya sedikit bergetar, tatapan itu terlalu intens hingga mempersulit laju napasnya.
Oh Eleanor, betapa sialnya dirimu bertemu dengan pria itu lagi.
Musik jazz dari panggung kecil bergulir pelan, bercampur dengan denting gelas sampanye dan tawa halus tamu pesta. Eleanor berdiri di dekat meja sampanye, jemarinya membelai permukaan gelas dingin yang ia genggam mencoba menenangkan detak jantung yang kacau.
Langkah-langkah mantap terdengar di belakangnya. Ia tahu bahkan sebelum menoleh, tubuhnya sudah memberi sinyal, kulit tengkuknya meremang dan udara di sekitarnya seakan berubah padat.
“Bonsoir.”
Suara rendah, bariton dan berat mengusik telinganya.
Eleanor menoleh. Nicholas berdiri hanya beberapa langkah darinya. Setelan hitamnya jatuh sempurna, dasi kupu-kupu terikat rapi, seolah ia baru keluar dari majalah bisnis kelas dunia.
Eleanor mengangkat dagu sedikit. Ia berusaha menahan napasnya agar tetap stabil. “Bonsoir,” jawabnya singkat, nada suaranya dibuat setenang mungkin.
Nicholas menyodorkan tangan penuh kontrol. “Nicholas Armand.”
Ia menyebut namanya sendiri, seolah-olah memperkenalkan diri kepada seorang asing. Senyum tipisnya tidak bergeser sedikit pun.
Eleanor menatap tangan itu sejenak sebelum menyambut. Sentuhan singkat, kulit ke kulit. Terlalu singkat tapi cukup untuk membuat perutnya melilit.
“Eleanor,” katanya datar. Ia sengaja tidak menambahkan nama belakang.
Mata Nicholas menyipit sepersekian detik, senyumnya melebar nyaris tak terlihat. “Eleanor.” Ia mengulang pelan seolah pernah mencicipi namanya, menahannya lebih lama tinggal di lidah.
Eleanor menarik tangannya cepat, lalu menempelkan gelas sampanye ke bibir. Cairan dingin menelusuri tenggorokannya, tapi justru rasa panas yang menyebar di tubuhnya.
Nicholas tidak bergeser sedikit pun. Ia tetap berdiri dengan tatapan yang tidak bergeser seinci pun dari tubuhnya.
“Akhirnya Paris menunjukkan sisi paling indahnya malam ini,” kata Nicholas pelan, mengambil gelas sampanye dari meja di sampingnya dengan gerakan santai.
Eleanor menoleh sebentar, bibirnya membentuk senyum kaku. “Paris selalu indah. Anda hanya harus tahu ke mana harus pergi.”
“Benar.” Nicholas mengangkat alis, menyesap sampanye lalu matanya kembali mengunci pada Eleanor. “Dan kadang, kejutan terbaik muncul di tempat yang paling tak kita duga.”
Kalimatnya terdengar ringan, tapi ada nada ganda yang membuat Eleanor mengencangkan cengkeramannya pada gelas. Ia pura-pura tidak terpengaruh, memutar gelas itu pelan. “Saya tidak percaya pada kejutan. Biasanya hanya masalah salah waktu.”
Nicholas menyunggingkan senyum miring. “Ah, jadi Anda percaya pada kendali penuh? Setiap hal harus sesuai rencana, begitu?”
“Bukankah itu hal yang masuk akal?” balas Eleanor cepat.
Nicholas mendekat setengah langkah, cukup untuk membuat Eleanor merasakan aroma maskulinnya… cologne kayu dan sedikit aroma anggur merah. “Kadang, rencana terbaik justru berantakan. Dan itu… bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih menarik.”
Eleanor menegakkan tubuh, menatap lurus ke matanya dengan dingin. “Atau bencana.”
Nicholas tertawa pendek, suara rendah yang menggema samar. “Bencana bisa jadi menyenangkan… bagi mereka yang tahu cara menikmatinya.”
Kata-kata itu membuat dada Eleanor sesak. Ia buru-buru meneguk sampanye lagi, menyamarkan getar di bibirnya.
Di sekeliling mereka, tawa dan musik jazz berlanjut. Namun Eleanor merasa dunia menyempit hanya pada lingkaran kecil di antara dirinya dan Nicholas. Musik jazz berganti lebih hidup, saksofon melengking merdu memaksa semua orang di ruangan sedikit meninggikan suara. Nicholas memiringkan tubuhnya, mendekat ke Eleanor agar suaranya terdengar. Gerakan kecil itu membuat bahunya nyaris menyentuh bahu Eleanor.
“Paris memang penuh pesta,” bisik Nicholas di dekat telinganya, nada suaranya begitu intens seakan hanya milik mereka berdua. “Tapi malam ini… rasanya berbeda.”
Eleanor menahan napas, memalingkan wajahnya kea rah lain. “Tidak ada yang berbeda. Mungkin Anda hanya terlalu banyak minum,” balasnya dingin. Ia mundur satu langkah mencoba menjaga jarak.
Nicholas tersenyum lalu mencondongkan badan lagi, kali ini lebih dekat. “Bisa saja, atau mungkin… ada sesuatu yang lebih kuat dari alkohol.”
Eleanor mengeraskan rahangnya. Pria ini sangat menyebalkan.
Nicholas meraih segelas sampanye dari meja, tepat di samping tangan Eleanor. Jari-jarinya panjang dan kokoh, menyentuh gelas itu dengan tenang. Saat ia menarik gelas, punggung tangannya sedikit bersentuhan dengan jari Eleanor.
Sentuhan itu begitu singkat, hampir tidak disengaja. Namun cukup untuk membuat napas Eleanor tercekat. Nicholas menatapnya sambil mengangkat gelas itu lalu menyesap pelan. Senyumnya muncul lagi… senyum tipis yang penuh arti.
“Eleanor!” suara riang memecah ketegangan.
Eleanor hampir melompat kaget. William muncul dari kerumunan dengan dasi sedikit longgar, dan wajahnya yang memerah karena sampanye. Ia melangkah cepat, lalu berhenti di sisi Eleanor dengan senyum lebar.
“Ah, ternyata kalian sudah bertemu!” katanya ringan. Tangannya menepuk bahu Nicholas dengan akrab. “Izinkan aku memperkenalkan dengan benar, ini Nicholas Armand senior kami.. Pria yang berinvestasi setengah dari jaringan perusahaan ini.”
Eleanor kesulitan hanya untuk sekadar meneguk ludah. Rupanya William sudah mengenal Nicholas sebelumnya. Dunia ini begitu sempit.
Nicholas menoleh pada William. “Kau terlalu melebih-lebihkan.” Lalu matanya kembali ke Eleanor, menatapnya lebih dalam, seakan menyiramkan bara api di balik tatapan formal itu.
William tertawa, tidak menangkap apa-apa diantara mereka. “Kau harus hati-hati dengan orang ini, Eleanor. Dia bisa membuatmu merasa kecil hanya dengan tatapannya.”
Kalimat itu diucapkan bercanda tapi mampu membuat Eleanor tersedak udara. Ia tersenyum kaku, berusaha mengalihkan. “Begitu ya? Tapi aku rasa tidak ada yang begitu Istimewa hingga membuatku merasa kecil.”
Nicholas mengangkat alis, senyum dinginnya muncul lagi. “Jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Kita lihat saja nanti.”
William tidak sadar, sibuk melambai pada rekannya di seberang ruangan. “Maaf, aku harus menyapa mereka sebentar. Kalian lanjutkan saja.” Ia menepuk bahu Nicholas sekali lagi, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Seketika udara di sekeliling Eleanor kembali padat. Nicholas tidak bergerak, tetap berdiri tegak di dekatnya. Eleanor memutar gelas sampanye di tangannya, berusaha fokus pada kilau kristal di langit-langit. Ia berharap Nicholas akan menjauh begitu William pergi.
Tapi Nicholas tidak bergeser. Justru ia melangkah setengah inci lebih dekat, membuat bahu mereka hampir bersentuhan. Dari sudut matanya Eleanor bisa melihat senyum tipis itu, senyum yang tidak pernah ia percayai sejak dulu.
“Seandainya kau tidak berpura-pura…” suaranya rendah, “malam ini bisa lebih mudah untukmu.”
Eleanor menoleh cepat, menatapnya dengan tajam. “Saya tidak tahu apa maksud Anda,” katanya dingin.
Nicholas menunduk sedikit, cukup dekat hingga Eleanor bisa merasakan hangat napasnya di telinganya. “Kau tahu persis maksudku.”
Eleanor buru-buru meneguk sampanye, lalu meletakkan gelas kosong di meja. “Aku harus…” suaranya terputus. Ia mengatur napas, lalu melanjutkan dengan lebih mantap, “aku harus mencari William.”
Nicholas tidak menghalangi. Ia hanya berdiri di sana, matanya mengikutinya saat Eleanor melangkah cepat menjauh menjauh darinya. Tidak ada yang berubah darinya, masih tetap cantik dan awet muda. Hanya saja wanita ini lebih keras kepala dan berani.
Eleanor menempel pada lingkaran kecil tamu pesta yang sedang membicarakan galeri seni terbaru di arrondissement ketujuh. Tawa mereka melayang ringan, percakapan penuh nama-nama pelukis Prancis yang asing baginya. Eleanor tersenyum tipis, menyelipkan komentar kecil sekadar agar tidak terlihat seperti orang luar.
Tapi arah matanya, tetap sesekali melirik ke arah seberang ruangan. Lagi dan lagi mata mereka bertemu. Tatapannya seolah menelanjangi Eleanor hingga kulit di tengkuknya meremang. Pria itu tidak berbaur, tidak bicara panjang dengan siapa pun. Ia hanya berdiri santai, gelas sampanye di tangannya.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan, tertawa kecil pada lelucon salah satu tamu. Tangannya meremas gelas lebih keras, mencoba menyalurkan kegelisahan ke dalam genggaman. Percakapan di sekitarnya terus berjalan, tapi di telinga Eleanor hanya ada dentum musik jazz dan detak jantungnya sendiri.
Eleanor menutup mata sebentar mencoba untuk berpikir jernih. Dalam sekejap ia menyadari, ini konyol. Ia hanya sedang menghadapi Nicholas, pria yang berani muncul lagi di hadapannya seolah tanpa dosa. Kendalikan diri, Eleanor. Kau bukan wanita dua puluhan lagi. Kau sudah berbeda, kau bisa menghadapinya.
Menjelang tengah malam, musik berganti lagi. Denting piano melambat, saksofon mengulur nada panjang, dan tiba-tiba suasana ballroom berubah lebih intim. Pasangan-pasangan mulai melangkah ke tengah ruangan, tubuh mereka saling merapat dalam irama lambat. Lampu kristal di atas kepala berkilau lembut, memantulkan warna keemasan di wajah-wajah yang berputar.
Eleanor menunduk, seolah meneliti isi gelasnya. Jangan ikut, jangan menarik perhatian.
Tapi suara itu datang sebelum ia sempat berpaling.
“Eleanor.”
Nicholas sudah berdiri di sampingnya. Ia tidak tahu kapan pria itu bergerak, hanya tahu bahwa kini ia berdiri terlalu dekat.
Nicholas menundukkan kepala sedikit, mengulurkan tangan. “Menari denganku?”
Otot-otot di leher Eleanor tiba-tiba kaku. Ia bisa saja menolak, tapi tatapan orang-orang di sekeliling membuat penolakan itu terasa kasar. Ia bahkan menangkap pandangan William sekilas di seberang ruangan, sibuk mengobrol, tapi matanya sempat melirik ke arah mereka dengan senyum tipis di bibirnya.
“Tidak, terima kasih,” Eleanor berusaha terdengar tegas, namun suaranya keluar terlalu pelan.
Nicholas tidak menarik tangannya. Ia hanya menunggu dengan tatapan matanya yang tak bergeming. Penolakan Eleanor tak ada artinya baginya. Eleanor memindai sekeliling, semua orang melihat ke arah mereka. Ia menghela napas panjang lalu akhirnya meletakkan jemarinya di telapak tangannya.
Nicholas menariknya masuk ke lingkaran dansa. Gerakannya mantap, penuh kendali dan tidak memberi ruang untuk Eleanor mundur.
Tubuh mereka berhadapan. Tangan Nicholas menempel di punggung bawahnya, menuntunnya lebih dekat dari yang ia harapkan. Eleanor berusaha menjaga jarak dengan menegakkan lengan, tapi Nicholas menunduk sedikit untuk mengatur irama langkah mereka.
“Kau masih sama,” katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam musik.
Eleanor menegakkan dagunya. “Tidak ada yang sama, Nicholas.”
Senyum tipis muncul di bibirnya. “Kau boleh pura-pura, tapi tubuhmu selalu jujur.”
Eleanor mendesis, menatapnya tajam. “Aku hanya menari untuk kesopanan, itu saja. Jangan berpikir terlalu jauh, Tuan.”
Nicholas menunduk, jarak wajah mereka begitu dekat sehingga Eleanor bisa merasakan hangat napasnya. “Kalau hanya menari… kenapa jantungmu berdetak sekeras itu?”
Langkah Eleanor goyah sejenak, tapi Nicholas menahannya dengan genggaman kuat di pinggang. Ia nyaris tidak bisa bergerak ke arah lain, hanya bisa mengikuti arah yang ditentukan Nicholas.
Ia mencoba melempar tatapan dingin meski matanya berkilat gugup. “Aku sudah lama tidak olahraga. Gerakan kecil bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tidak ada yang istimewa, jangan terlalu percaya diri.”
Nicholas membalas dengan senyum menyeringai. “Tidak… aku hanya tahu apa yang selalu jadi milikku.”
Eleanor mengeraskan rahangnya, menoleh cepat ke samping berusaha menghindari tatapannya. Tapi tangan Nicholas menuntun dagunya dengan halus namun pasti, memaksanya kembali menatap lurus ke matanya.
Sekeliling mereka berputar dalam cahaya emas dan musik yang semakin melambat. Tangan Nicholas dipinggang Eleanor semakin mencengram erat. Lebih dekat dan lebih intens. Nicholas menurunkan kepalanya berbisik persis di telinganya. “Tujuh belas tahun… dan kau masih tidak berubah.”
Eleanor menahan napas, lalu tertawa pendek. “Kau salah, aku berubah banyak.”
Nicholas membiarkan jeda panjang, seolah menikmati penyangkalannya. “Sungguh?”
Eleanor menggigit bibir, “Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Tidak usah sok tahu”
Nicholas menoleh sedikit, wajahnya nyaris menyentuh pipinya. “Aku tahu bagaimana kau berhenti bicara ketika marah. Aku tahu jemarimu selalu meremas sesuatu saat gugup.” Ia menurunkan pandangan sekilas ke tangannya yang menggenggam batang gelas tadi, lalu kembali menatapnya. “Dan aku tahu, meski bibirmu bisa berkata ‘tidak’… tubuhmu tidak pernah benar-benar menolak aku.”
Tubuh Eleanor menegang tapi hanya sebentar. Ia menatap tajam tajam. “Kau terlalu sibuk dengan wanita lain, Nicholas. Jangan bertingkah seolah kau masih mengenalku.”
Tatapan Nicholas menggelap. Sebuah senyum tipis melintas, namun lebih dingin daripada sebelumnya. “Ah, jadi kau masih mengingat itu.”
“Bagaimana mungkin aku lupa?” Eleanor mendesis, suaranya rendah namun bergetar.
Nicholas menundukkan kepalanya lebih dekat, hampir menyentuh keningnya. “Kalau begitu, mari kita buktikan apakah luka lama itu masih sakit… atau justru masih hidup.”
Eleanor terperangkap dalam tatapannya. Matanya membara, marah sekaligus goyah. Musik di sekeliling mereka terus berputar, tapi Eleanor merasa seolah mereka hanya berdua di ruangan itu menyisakan ketegangan yang menyesakkan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tiba-tiba melepaskan diri dari tarian itu. Ia menyingkir dari kerumunan. Dadanya naik turun, bibirnya masih bergetar oleh sisa ketegangan. Ia meraih gelas sampanye pertama yang terlihat di meja terdekat, meneguknya dalam sekali minum.
Gelombang tawa para tamu, denting kristal, musik jazz yang berubah lebih liar… semuanya bercampur menjadi riuh yang memusingkan. Eleanor meraih gelas kedua, lalu ketiga.
“Pelan saja, Madame.” Seorang pelayan hotel menatapnya ragu, tapi Eleanor mengabaikannya, meneguk setengah gelas sekaligus.
Matanya menyapu ruangan, mencari-cari William. Ia menemukannya di sudut, sibuk berbincang dan tertawa lebar dengan rekan-rekannya.
Eleanor mendengus pendek. Bodoh sekali aku ikut kemari.
Tangannya meraih gelas keempat. Saat ia menenggaknya, musik di sekeliling terasa makin berat. Lampu kristal di atas kepala seolah berputar lebih cepat dari seharusnya.
Ia tertawa kecil tanpa alasan. Langkahnya goyah ketika mencoba bergerak menjauh dari meja. Gaun panjangnya terseret sedikit, hampir membuatnya tersandung.
Sekilas pandangannya menangkap sosok Nicholas di kejauhan. Ia masih di tempatnya dengan tegap dan tenang. Tatapannya tajam, menusuk, membuat Eleanor merasa telanjang meski ia sudah berpaling. Eleanor menggelengkan kepala keras-keras, berusaha mengusir bayangan itu. Tapi goyangan itu justru membuat pandangannya semakin kabur.
Ia menepuk pelan pipinya sendiri, mencoba mengembalikan fokus. “Kendalikan diri…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Namun tubuhnya tak lagi mau patuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!