NovelToon NovelToon

Menantu Ibu

Bab 1 Namaku Cantya Lova

...Jika hidupmu terasa berat, gak apa-apa. Gak usah diangkat, dorong saja pelan-pelan....

...(Cantya Lova, S.T. RONG)...

...***...

Ingin sekali suara ayam jantan di kandang belakang yang berkokok setara volume sound horeg itu dibungkam. Suaranya menggetarkan jendela kamar. Tya sudah menutup kuping dengan guling. Tapi si Joko—nama ayam jago itu, dengan sombongnya memamerkan kejantanan lewat suara memekakkan. Gadis dengan rambut acak-acakan persis ciri-ciri hantu jembatan yang kini sedang ramai dibicarakan emak-emak dasteran, terduduk dengan bibir penuh umpatan.

"Ku bikin jadi opor kau Joko!"

"Kemarin udah kubilang aku lagi merah. Jangan bersuara jam empat subuh jam lima aja. Hrgghhh!"

"TYAAAA. Kau mimpi atau kesurupan?" Teriakan disertai gedoran di pintu terdengar keras.

Tarik napas dari hidung, buang napas dari mulut. Huft. Emosi pada si Joko lumayan turun. Dut! Oh, lega. Dentuman dari bawah itu diluar perkiraan, tidak diajak-ajak tapi spontanitas. Tya turun dari kasur tanpa ranjang. Segera membuka pintu saat gedoran kedua terdengar sama kerasnya seperti yang pertama.

"Astaghfirullah set....eh." Laki-laki yang menggedor pintu segera melipat bibir. Hampir saja terpeleset mengucapkan nama makhluk yang diciptakan Allah dari api. Spontanitas itu dikarenakan penampilan sang adik yang super jelek.

"Aku tahu Kakak mau bilang 'Masya Allah, cantik sekali'. Mau muji kok gengsi."

Namanya Bisma, kakak Tya satu-satunya. Sudah menikah dan memiliki satu orang putri lucu usia tiga tahun. Laki-laki itu menyentil kening Tya yang cukup membuat sang adik meringis. "Makanya...biasakan bangun tidur tuh rapihin rambut. Kalau nggak, gundulin aja biar nggak bikin orang kaget."

Tya mengerucutkan bibir. Memutar bola mata saat tawa pelan terdengar dari arah dapur. Kakak iparnya ikut mentertawakan. Bagaimana obrolan di ruang tengah merangkap ruang tamu itu tak terdengar, luas rumahnya cuma seukuran kamar utama rumah orang kaya di sinetron. Yang diam-diam Tya rajin sholawatin dalam hati sambil ngemil keripik singkong.

"Kakak antar mbakmu ke pasar dulu. Titip Nesha, titip si Joko kasih pakan."

"Iyaaaa."

"Mbak ke pasar dulu, Dek." Kakak iparnya Tya menenteng keranjang berisi jajanan pasar yang setiap hari dititipkan di toko kue. "Cucian biarin aja. Biar sama Mbak nanti sepulang dari pasar."

"Semoga habis dagangannya, Mbak." Tya tak menanggapi kalimat terakhir sang kakak ipar. Ia juga punya nurani. Mbak Susan, kakak iparnya itu bangun pukul setengah tiga dini hari setiap hari untuk membuat kue-kue jajan pasar—libur setiap hari Jumat. Dititipkan di dua toko kue di pasar. Bisma menyusul bangun pukul empat untuk mengantar. Lalu pulang mengantarkan istrinya, mulai mencari nafkah sebagai ojek online.

Tya memulai hari dengan membuka semua jendela. Membiarkan udara bersih masuk memupus berbagai aroma kue yang menjadi parfum ruangan. Mengintip sebentar ke kamar kakaknya, keponakannya masih tidur lelap memeluk boneka ulat.

Mencuci perabotan kotor dan menyapu ruangan, dilakukan Tya dengan ceria karena bekerjanya diiringi menyetel lagu India. Kegaduhan terdengar dari kandang yang ada di halaman belakang. Itu cara si Joko meminta ransum sarapan. Tya sudah paham itu.

"Joko oh Joko. Kalau kau bukan kesayangan Kak Bisma, sudah ku buat jadi opor lho. Gue aja baru minum, lo udah sarapan enak sama bubur dedak toping daun kaca piring. Mana nyeduhnya mesti pakai air panas. Manja." Tya menatap ayam jago yang kata kakaknya ganteng, posturnya gagah perkasa. Si ayam anteng mematuk sarapannya di wadah terbuat dari bilah bambu memanjang. Sepertinya sudah biasa sarapan dibarengi ceramah babu Tya.

"Tanteee!"

Tya memutar badan. Mencari sumber suara keponakannya karena di ambang pintu tak ada orang. Rupanya berada di jendela kamar sedang menempelkan wajah di kaca. Bergegas masuk ke dalam rumah lewat pintu dapur. Mengajak Nesha buru-buru ke kamar mandi. Sang keponakan jangan sampai pipis di celana.

***

Tya mematut penampilannya di cermin duduk yang terpasang di meja lipat. Kerudung hitam dan sapuan bedak serta polesan lipstiknya sih sudah rapi, tapi pikirannya masih acak-acakan. Memang hari ini tanggal gajian, tapi kontrak kerjanya tinggal sebulan di depan. Belum ada kabar dari HRD apakah dirinya akan diperpanjang kerja atau tidak. Padahal teman di satu ruangannya sudah mendapat surat perpanjangan kontrak untuk dua tahun ke depan.

Bismillah. I love Friday. Kalau hari ini nama Cantya Lova dipanggil HRD buat tanda tangan kontrak baru, berarti dapet Jumat berkah.

Tya mengepalkan tangan ke udara. Berdiri dan merapikan kemeja warna krem khas seragam pabrik garmen tempatnya bekerja.

"Dek, Mbak kan udah bilang cucian biarin aja. Ini malah udah rapi semua. Nesha juga udah dimandiin." Teguran Susan bernada tak enakan menyambut kedatangan Tya yang baru muncul dari kamar.

"Karna sempat. Kalau nggak sempat gak bakalan dikerjain, Mbak. Dari depan sampai belakang udah disapuin. Cuma belum dipel aja, Mbak."

"Iya biar sama Mbak. Mbak beli nasi kuning tuh di dapur. Sarapan dulu, Dek."

"Asiap."

Pukul tujuh, Tya sudah keluar rumah menumpang motor Bisma yang sekalian jalan menjemput penumpang. Jarak pabrik tak begitu jauh sekitar 1 km dari rumah. Dalam waktu lima menit sudah tiba di depan pabrik berbaur dengan karyawan lainnya yang baru datang—rata-rata mengendarai motor masing-masing.

"Tya!"

"Woy." Tya menghentikan langkah. Menunggu Yuni yang setengah berlari menghampirinya. Itu dia teman yang sudah pasti kontrak kerjanya diperpanjang.

"Gimana udah dapat notif harus ke ruang HRD, belum?"

"Belum. Moga hari ini."

"Tapi..."

Tya mengerutkan kening melihat Yuni ragu melanjutkan bicara. "Tapi apa?"

"Kamu gak baca di grup ya. Kemarin tuh terakhir pengumumannya. Jadi kalau kamu gak dapat notif ya wasalam."

Tya termangu. "Gitu ya. Aku cuma buka acak, gak baca detail."

"Tapi ada jalur khusus dan pasti diterima. Tapi ini rahasia. Limited edition."

Masih ada waktu 12 menit sebelum absen. Masih bisa mojok dulu di sudut gerbang. Wajah Tya yang baru saja muram berubah cerah lagi setelah mendengar Yuni menyampaikan informasi sambil berbisik. "Aku baru dengar ada jalur khusus. Kayak gimana? Nyogok orang dalam gitu?"

"Bukan. Nanti deh aku jelasin pas istirahat. Sekarang waktunya mepet. Istirahat nggak pulang, kan?"

"Nggak. aku bawa bekal. Ih, jadi gak sabar pengen tahu. Spill dikit bisa kali."

Yuni menggeleng. "Informasi ini harus disampaikan utuh nggak bisa setengah-setengah."

Tya mendesah. "Baiklah, aku minum dulu pil sabar. Masih ada tiga lagi di tas."

Yuni tergelak. Setelah menoyor bahu Tya, keduanya jalan bersama. Melakukan absensi dengan metode fingerprint lalu berbaur dengan karyawan lainnya di ruang QC (Quality Control).

Waktu istirahat benar-benar ditunggu oleh Tya. Berkali-kali melirik jam tangan mungil yang nyempil dari balik lengan kemeja kiri. Begitu penasaran ingin mendengar penjelasan Yuni tentang jalur khusus tersebut. Hingga terdengar bel berbunyi, ia menarik napas lega. Kegiatan mengamati presisi jahitan di topi pun berhenti dulu.

"Yun!" Tya menghampiri temannya yang masih duduk di kursinya. Sedang fokus melihat layar ponsel tapi kemudian ditutup dengan segera. "Ayo, Yun. Ngobrolnya di mana kita?"

"Sorry, Tya. Nggak jadi sekarang. Aku dipanggil Pak Anton. Barusan nge-chat."

"Yaahhh."

"Ntar pas pulang aja ya. Sekarang aku sekalian bilang sama Pak Anton kalau kau ada wacana mau ambil jalur khusus."

"Jangan bilang dulu. Aku harus dengar dulu syarat dan ketentuannya."

"Ya udah. Pulang kerja kita ngobrol di warung mie ayam langganan."

"Deal. Awas kalau pending lagi."

Yuni tertawa. Sudah tahu dengan tabiat Tya. Ancamannya cuma sebatas canda.

Tya berbaur dengan minoritas orang yang makan di ruang semi outdoor yang biasa dipakai tempat makan para pegawai yang tidak pulang di jam istirahat. Sepertinya sehari tanpa bergosip, dunia tak asyik. Dan tema pembahasan selalu ada saja setiap harinya. Gosip selingkuh pegawai cutting dengan staf kantor yang sekarang sedang hangat dibicarakan. Tya memilih jadi pendengar saja sambil mulut dijejali menu empat sehat lima puluh juta bayangan gaji bulan ini yang masuk ke rekening. Tapi itu mustahil. Menghayal setinggi langit boleh, tapi kewarasan harus tetap terjaga.

...*****...

Assalamu'alaikum, pembaca semua.

Selamat membaca karya Me Nia kedelapan yang lahirnya di Noveltoon. Karya baru bukan spin off. Fresh from the oven. Hihihi. Mari kita sama-sama berpetualang mengikuti kisah Menantu Ibu. Mainkan jempolnya. Ramaikan kolom komentarnya. Semoga berkenan. ♥️

Bab 2 Dua Orang Tidak Waras

...Tenang...masalah pasti segera berlalu. Berlalu lalang maksudnya....

...(Cantya Lova, S.T. RONG)...

...***...

Selama menunggu Yuni yang sedang pergi ke toilet, justru dua mangkuk mie ayam datang lebih dulu. Untung saja pil kesabaran Tya khasiatnya masih berlaku hingga 20 jam. Ia masih bisa tersenyum dan duduk manis dengan jemari tangan kanan mengetuk-ngetuk meja.

"Kau ketiduran atau pingsan di toilet?" sambutan sarkas dilayangkan Tya saat Yuni menjatuhkan bokong di kursi plastik sebelah kanannya.

Yuni menyeringai. "Sorry, Tya. Aku terima telepon dulu di luar. Ke toiletnya malah nggak jadi. Hasrat pengen pipis tiba-tiba hilang."

Kedua alis Tya bertaut. Apakah ke toilet cuma alibi? Terima telepon mesti menghindar jauh dulu memangnya telepon dari siapa. Dari selingkuhan? Tya menyudahi analisisnya demi kesehatan otak minimalisnya. Mie ayam dengan toping ceker yang ada di depan mata lebih menggoda untuk segera dilahap.

"Jadi gimana mekanisme jalur khusus itu, Yun?" sambil mengunyah suapan pertama, Tya memperhatikan wajah Yuni yang mengaduk mie ayam setelah baru saja ditambahkan saus dan sambal.

"Menghadap supervisor, Tya."

"Pak Anton?"

"He em. Janjian ketemunya di luar pabrik. Nanti kau akan ditanya secara pribadi. Jika setuju, kau tinggal menjalankan tugasnya. Dan cuma nunggu semingguan, kau bakal disuruh tandatangan kontrak baru."

"Ini berdasar pengalamanmu atau kata orang?"

"Real pengalamanku lah. Sebagai teman, aku pengen juga bantu kau yang lagi butuh duit..."

"...semua orang butuh duit kali."

"Bener itu. maksudku kau kan punya cicilan ke rentenir biar rumahmu nggak disita."

Ceker ayam tulang lunak itu nikmat saat dikunyah. Tapi berubah berdesir perih saat ditelan. Itu dia alasan Tya harus tetap kerja demi bisa membantu sang kakak membayar bunga yang terus berjalan selama belum mampu membayar pinjaman pokok.

"Jadi pertanyaan dari Pak Anton apa? Bakal sama atau random?"

"Pertanyaannya sama. Apa kamu bersedia jadi teman tidur manajer? Sehari doang."

Uhuk...uhuk. Uhuk....uhuk.

Tya menerima gelas yang diulurkan Yuni. Bahkan semua orang sempat menoleh padanya yang masih terbatuk-batuk dengan wajah memerah. Gara-gara pedasnya sambal masuk rongga hidung. Tapi biang gara-garanya karena mendengar informasi yang sedari pagi penasaran ingin diketahuinya. Dan dengan entengnya barusan bilang, "Sehari doang."

"Yun, aku pernah dengar ucapan 'jangan mau punya istri pegawai pabrik', kupikir cuma candaan karna pegawai pabrik gajinya bercanda tapi kerjanya serius. Tapi ternyata dalam banget maknanya."

"Amit-amit jabang bayi. Aku pulang duluan, Yun." Hampir terjungkal kursi yang dipakai Tya karena berdiri dengan tergesa. Uang 15 ribu disimpan di meja lalu lari terbirit-birit meninggalkan mie ayam yang masih tersisa setengah. Mengabaikan Yuni yang memanggil namanya tiga kali

***

Tya berjalan kaki tanpa arah pasti. Yang pasti ia ingin menenangkan diri dari gerahnya hati dan body. Karena ini wilayah kelurahan domisilinya, ia tahu tempat mengadem yang enak barang sejenak di sore hari—bantaran kali yang airnya sudah tercemar polusi.

"Yuni...oh Yuni. Kau jual diri demi gaji sebulan yang setara gaji anggota DPR sehari. Oh My darling I love you. Tapi aku gak punya darling."

"Eh, tapi Rizky gimana. Mau claim pacar tapi belum jadian. Au ah."

"Hadeuh... Murah banget harga diri orang saat ini. Demi kontrak dua tahun ke depan, virgin hilang. Untung gini-gini juga masih punya iman."

"Ya Allah! Lihatlah hamba-Mu ini yang tak memilih jalan pintas. Berikan rejeki yang halal dari sisi-Mu, ya Rab!"

"Dengar laraku....suara hati ini, eh malah nyanyi."

Tya melemparkan kerikil ke tengah kali yang airnya kecoklatan dan bergemuruh deras. Ia sangat suka mengekspresikan suasana hati dengan bicara sendiri. Segala sumpek dan berat di dada biasanya langsung ringan. Tentunya pastikan dulu tidak ada orang yang melihat.

Saat akan mengambil batu yang lebih besar yang ada di sisi kiri badannya, Tya terkejut saat pandangan tak sengaja mendongak ke atas. Tatapan terkunci pada sesosok manusia yang ada di bukit—duduk dengan tatapan kosong dan wajah sedih di bawah pohon sengon. Ia tahu deretan puluhan pohon sengon di bukit itu milik Haji Toriq yang bininya tiga—bos rongsok.

"Eh, bu ibu...jangan terjun!" Teriak Tya begitu melihat perempuan dewasa itu berdiri dan berjalan ke ujung bukit. Di bawahnya adalan palung sungai yang dalam. "Ibu tahu nggak di hadapan Ibu itu palung tempat bersarangnya buaya buntung. Ibu kalau terjun akan langsung dicabik-cabik."

Dengan napas terengah-engah, Tya memperhatikan reaksi wanita itu. Tampak mulai mundur selangkah dengan wajah takut.

"Ibu jangan bundir, Bu. Kita bisa bicara. Maksudku, aku bisa jadi teman curhat Ibu. Oke tenang...tenang." Tangannya Tya masih mengarah ke atas. Memastikan dulu wanita dengan penampilan sosialita tetap berdiri di tempat.

Dengan badan menegang dan jantung yang berdetak kencang, Tya berjalan perlahan setengah merangkak menaiki bukit yang tingginya sekitar 2,5 meter. Ia bergerak di bawah tatapan mata wanita yang tampak depresi itu. Begitu sampai di atas, Tya membujuk dengan mengajak duduk.

"Bu...aduh bentar aku capek dan haus nih." Tya menarik napas yang masih ngos-ngosan. "Ibu punya air minum nggak?"

"Nggak."

Tya tersenyum samar. Setidaknya wanita bergaya rambut blonde itu bisa diajak bicara. "Oh tak apa. Nanti aku beli es cekek di pengkolan."

"Es cekek? Seperti apa itu?"

"Es teh biasa, Bu. Dimasukkan dalam plastik dikasih sedotan. Kan saat minum pegangnya dicekek jadi dinamain es cekek."

"He. Ada-ada aja ngasih nama."

Lumayan. Meski ketawanya cuma sedetik. Ini si ibu kenapa ya kira-kira? Harus nanya gimana ya?

"Siapa namamu, Nak."

"Cantya, Bu. biasa dipanggil Tya. Pakai Y bukan i."

"Hm, nama yang unik."

Tya tersenyum dan berterima kasih diiringi anggukan sopan. Seketika kekhawatirannya hilang karena wanita cantik yang belum terlihat tua itu bisa diajak bicara.

"Kalau Ibu namanya siapa?"

"Panggil saja Ibu Suri."

"Wah, nama yang etnik. mungkin nama panjang Ibu, Permaisuri. Kalau pun bukan, pasti ibu diperlakukan suaminya layaknya permaisuri.

wanita dengan gaya rambut blonde itu tertawa sumbang. Lalu saling diam. Semilir angin sore menerpa wajah yang berkeringat. Tya mendadak mengingat ucapan Yuni saat makan mie ayam tadi. Seketika bahunya merinding.

"Tya, maukah kau jadi mantu ibu?"

"HAH?!" Tya terkejut hingga punggung tegak. Ia mengernyit lalu meringis. Hari ini bukannya dpat jumat berkah. Tapi malah bertemu dua orang dengan dua penawaran di luar kewarasan.

Ibu Suri mendekat dengan tatapan yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Membuat Tya mundur perlahan dengan tatapan waspada. Ia mulai takut dengan kejiwaan wanita dengan make up seperti mau ke kondangan itu.

"Tya, mau ya jadi mantu Ibu. Saya serius. Begini..."

"... nyesel deh udah nolongin ibu. Ibu kalo mau bundir, monggo dilanjut. Permisi...." Tya lari terbirit-birit. Tas yang ada di punggungnya sampai memantul-mantul karena gerakan larinya yang zigzag.

Bab 3 Bekerjasamalah, Nak

...Masalah yang menimpa bisa membuat kita menjadi dewasa. Maka sering-seringlah bermasalah....

...(Cantya Lova, S.T. RONG)...

*S.T. RONG \= Stres Tak Tertolong

...***...

Tya terduduk lesu di teras rumah. Ingin mengatakan ini hari adalah hari yang sial tapi ucapan bisa jadi doa. Bagaimana jika esok dan seterusnya hari-harinya tidak mujur.

"Jatuh di mana ya dompetku? Untung aja ada recehan tiga ribu di tas. Pas buat bayar angkot. Emang ciri orang Indonesia selalu untung dalam berbagai kondisi." Tya mendesah. Lalu mengembuskan napas kasar. Menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal karena lembab oleh keringat. Sepertinya hari ini tidak mendapat Jumat berkah tapi ada sedikit untung.

"Sudah pulang?" Suara Bisma terdengar seiring pintu pagar terbuka. Kakaknya menenteng kantong kresek putih. Tampak pula bapak-bapak yang berjalan kaki dengan mengenakan sarung dan baju koko dan menenteng kantong kresek yang sama.

"Belum. Baru khodamnya aja."

Bisma menyeringai. Ia ikut duduk di sisi kiri Tya kemudian memanggil-manggil nama anaknya dengan mulut mengarah ke pintu rumah.

"Siapa yang selametan, Kak?"

"Rehan anaknya Pak Kohar. Besok mau nikah."

"Sama orang..."

"...bukan. Sama kambing."

Tya menonjok bahu Bisma hingga kakaknya mengaduh. "Aku belum tamat ngomong. Sama orang Depok itu bukan? Atau yang orang Bogor?"

"Orang Depok."

"Syukurlah cepet nikah. Ngeri lihatnya. Itu cewek kalau dibonceng kayak cicak nempel di tembok."

Bisma tertawa. Tawanya berhenti begitu mendengar pintu dibuka. Menengok ke belakang.

"Ayah bawa oleh-oleh buat Nesha?" tanya anak gadis yang muncul bersama ibunya.

"Ini...Tante Tya dibagi juga ya. Kasian kelaparan. Lihat saja bawa oleh-oleh cuma mie segede cacing." Bisma segera beranjak sebelum badan rusak digebuki adiknya.

Tya yang terkejut, langsung meraba wajah. "Mbak, serius ada mie di wajahku?" tanyanya pada Susan yang juga memperhatikan ke arahnya. Dan kakak iparnya itu melipat bibir menahan senyum.

"Itu di kerudung Tante." Nesha menunjuk dengan jari mungilnya.

Tya langsung menyentuh bagian kerudung di bawah dagu. Teraba ada yang lengket dan itu memang mie yang sudah kering. "Ih, kok bisa. Tadi kan aku jajan mie ayam. Terus lari-lari, terus duduk. Terus lari-lari lagi. Harusnya mie ini jatuh dong bukannya ngikut. Pantesan tadi di angkot pada ngelirik aku. Kupikir mereka merasa aneh liat gadis cantik naik angkot. Udah ge er aku."

Susan tertawa. "Eh tapi ngapain juga harus lari terus duduk terus lari lagi."

"Ketemu ODGJ, Mba."

"Apa itu ojeje, Tante?" tanya Nesha.

Tya meringis sambil menggaruk kepala. Lupa jika punya keponakan yang kritis serba ingin tahu. "Orang sakit. Masuk yuk ah dah maghrib. Tante mau mandi."

Hanya ada satu kamar mandi di rumah. Berada di sisi ruang tengah sebelum masuk dapur. Alhasil Tya harus mengantri jadi belakangan setelah kakak iparnya berwudhu. Sementara Bisma sudah pergi ke masjid. Meski hati resah karena dompet hilang entah dimana, otaknya tetap bisa memproduksi kalimat quote sesat yang kemudian diunggah di story-nya—jadi hiburan untuknya. Orang-orang yang melihat story nya membalas dengan emoji tawa.

"Tya, mau ikut nggak besok nganter Rehan ke Depok? Pak Kohar nyiapin 3 mobil untuk tetangga yang mau ikut." Jelas Bisma yang baru pulang dari masjid. Bergabung dengan istri dan adiknya yang sudah duduk di karpet bersiap makan.

"Mbak Susan ikut?" Tya melemparkan pertanyaan pada kakak iparnya.

"Ikut. Hitung-hitung healing. Besok mbak libur mengganti hari ini yang harusnya libur. Ikut yuk, Dek?"

Tya menggeleng. "Nggak deh. Lagi mager. Dompetku jatuh entah di mana. Duitnya sih gak seberapa. Cuma 30 ribuan. Tapi kartu ATM dan KTP. Duh, nggak bisa gesek duit deh."

"Telpon call center dulu minta kartumu diblokir. Terus nanti ke Polsek aja bikin surat kehilangan," sahut Bisma.

"Besok deh aku ke Polsek. Pinjam motor Kak Bisma ya. Selamat mengantar calon pengantin ke Depok. Aku...pinjam dulu seratus ada, kan?" Tya menyeringai.

***

Ribuan bintang gemintang menggantung indah di langit hitam dan kelam. Menjadi saksi seorang wanita duduk sendiri di kursi santai favoritnya sambil meluruskan kaki menghadap kolam renang yang memantulkan kilat sinar lampu pencahayaan. Mimik wajah datar namun pandangan dalam. Ia menoleh ke kanan begitu menghirup aroma parfum yang terbawa semilir angin.

"Bu Suri panggil saya?"

"Cari tahu profil perempuan ini sekarang juga." Suri mencabut kartu identitas dari dompet yang ditemukan saat ia akan meninggalkan bukit pohon sengon. "Cari tahu latar pendidikan, pekerjaan, keluarga, pacar, kredit bank kalau ada. Pokoknya sedetail mungkin."

"Untuk apa?" Pria yang mengenakan kemeja hitam itu mengernyit usai membaca nama dan tahun kelahiran yang tertera di KTP. Gadis muda.

"Aku tertarik dengan karakter gadis itu. Ingin ku jodohkan dengan Diaz."

"Kau udah dua kali cari perempuan untuk jadi istrinya Diaz. Tapi Kau sendiri yang kemudian ragu untuk menjodohkan setelah tahu profilnya." Tutur kata pria yang awalnya formal kini berubah laksana obrolan dengan teman.

"Kali ini feeling aku mantap. Aku udah ketemu gadis itu tadi sore. Kayaknya cocok buat jalanin misi aku. Tolong bantu aku, Husain."

Pria berusia 46 tahun itu mengangguk. "Baiklah. Secepatnya saya akan kasih laporan. Ada lagi yang harus saya lakukan, Bu Suri?"

"Nggak usah formal. Suamiku lagi di rumah istri muda. Temani aku minum teh dulu."

"Kalau ada Diaz, aku bersedia. Kalau cuma berdua, aku nggak mau timbul fitnah. Lebih baik pulang dan kerjakan tugas darimu."

Suri mendengus. Tapi ucapan Husain ada benarnya juga. Ia mengijinkan pria yang menjadi sopir pribadinya itu dengan sekali kibasan tangan. Tak ada lagi suara setelah ucap 'permisi' didengarnya. Hening suasana. Sepi di jiwa.

Setelah satu jam duduk diam menikmati kesendirian, Suri beranjak meninggalkan kursinya. Ditambah hawa malam semakin dingin. Menutup pintu dan menguncinya. Langkahnya lambat tapi pasti menuju ruang tengah dengan interior yang mewah. Duduk di sofa empuk menghadap layar televisi yang baru saja dinyalakan. Suri menunggu anak semata wayangnya pulang.

"Malam, Ibu." Suara Diaz memecah kesunyian.

Yang ditunggu akhirnya datang pukul sembilan. Suri tersenyum saat Diaz mencium pipinya lalu duduk di sisi kirinya.

"Keluyuran melulu. Ibu nggak ada temen ngobrol di rumah."

"Cowok jadi anak rumahan kesannya gimana. Lagian aku ada di cafe bukan nongkrong gak jelas."

"Makanya cepet nikah. Nanti istrimu harus tinggal di sini biar Ibu ada teman ngobrol di rumah."

Diaz mendesah. "Kalau sekadar butuh teman ngobrol Ibu bisa ajak teman ke sini atau nyuruh karyawan butik nginap di sini. Gampang kan?"

"Diaz, kau masih kepikiran Gena?" Suri mengalihkan tema membahas mantan pacar Diaz.

"No. Rugi waktu dan pikiran."

"Syukurlah. Ibu terus terang nggak mau punya mantu modelan dia. Berarti kamu nggak masalah Gena kini jadi pacar Boby?"

Diaz tak langsung menjawab. Butuh waktu 10 detik untuk membuka mulut. "Aku nggak masalah putus sama Gena. Tapi masalahnya kenapa Gena mau sama Boby. Padahal dia tahu kalau Boby anak ayah dari istri muda."

"Ibu nggak mau ikut pusing berpikir. Ibu lebih peduli kebahagiaanmu. Ibu udah siapin calon istri untukmu, Diaz."

"Apa?!" Diaz menyerongkan badan. Menatap lekat wajah ibunya yang dengan santainya mulai bercerita tentang pertemuan tadi sore dengan seorang perempuan.

"Ibu apa-apaan. Main paksa nikah segala mana ceweknya nemu di jalan nggak jelas asal-usulnya. Nggak mau!"

"Cuma nikah kontrak nggak sampai setahun, Diaz. sampai ayahmu ngasih warisan. Kan syaratnya kamu kudu nikah dulu. Dan Ibu juga pengen lepas dari ayahmu. Kau pikir Ibu bahagia jadi istri tua?"

"Lantas alasan apa selama ini ibu memilih bertahan?"

"Karna Ardiaz Kavian, buah hati Ibu harus dapat haknya. Kalau Ibu nggak terima dimadu, Ibu akan terusir dan kau tidak dinafkahi. Bekerja samalah dengan Ibu, Nak. Kalau tidak, Boby akan cari muka depan ayahmu. Dia bakal memperkenalkan Gena sebagai calon istri. Kalau Boby yang duluan nikah, jabatan CEO pasti jatuh ke tangannya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!