“WHAT?! MAKSUDNYA APA??". Suara gadis cantik yang saat ini sudah mematung mendengar ucapan kedua orang tuanya.
Calya Elxander yang merupakan seorang putri tunggal salah satu CEO perusahaan terkenal di Autralia, Gadis cantik dengan postur tubuh
bak model internasional. Usianya sudah menginjak delapan belas tahun, ia masih kelas dua belas yang sedang menempuh pendidikan di salah satu sekolah terkenal HIGH INTERNASIONAL SCHOOL.
Tak sekali pun terlintas dalam benak calya bahwa dirinya akan mendengar ucapan sang Mama yang menurutnya sangat tak masuk akal, Calya mendelik jengkel kearah sang mama.
“Gak, Calya gak mau dijodohin, lagian calya masih sekolah ngapain pake dijodohin segala!,” Pekik Calya tak terimah
Bagi Calya usianya itu masih sangat terbilang mudah untuk menikah, bahkan Calya sendiri masih sibuk menikmati kebebasannya, menikmati masa muda dengan bersenang-senang, setiap malam ia habiskan
dengan pergi ke bar menikmati alunan music dan berpesta bersama teman-temannya. Membayangkan saja bahwa ia akan meninggalkan semua kesenangannya itu membuat dirinya frustasi, Apa lagi jika itu semua beneran ia tinggalkan. Calya menggelengkan kepalannya dan menatap sang mama.
“Mama gak butuh pendapat kamu, intinya Mama sama Papa sudah sepakat untuk menjodohkan kamu”. Putus Amelia wanita cantik dengan umur yang sudah berkepala tiga, Namun masih terlihat sangat mudah apa lagi dengan lesung pipi membuat ia terlihat sangat manis ketika tersenyum, Namun ketika Amelia memutuskan sesuatu sudah pasti tidak bisa di bantah.
Dengan wajah yang memelas calya melirik sang Papa yang tengah sibuk memainkan handphone miliknya “pah” lirih calya berharap sang Papa membantunya Candragtha Sebastian seorang CEO terkenal ayah dari calya mengalihkan pandangannya menatap sang putri kesayangannya “ Kamu ikuti aja apa kata Mama kamu Baby girl”. Jelas Candragtha
Membayangkan dirinya akan menikah diusia mudah membuat calya
bergindik ngeri lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian
“emang siapa sih yang mau dijodohin sama gue, jangan bilang om-om”. Curiga Calya
Amelia dan Candragtha saling melirik lalu tersenyum mendengar ucapan anak kesayangan mereka. Calya yang melihat tingkah kedua orang tuanya menjadi curiga “Masa iya gue mau dijodohin sama om-om, Mama sama Papa tega banget ngejodohin Calya sama om-om kumis, uda gitu perutnya kek ikan buntal lagi hihhh” ujar Calya bergindik ngeri dengan bibir yang sudah
maju beberapa senti
Candragta tertawa medengar ucapan anaknya
“Gak Baby girl, Kamu kita jodohin sama anak teman mama, anaknya ganteng kok, kamu pasti suka, kalau gak salah kalian satu sekolah” Jelas Candragtha
“Hah!? Satu sekolah? Yang benar aja dong pah, teman-teman sekolah gue pada norak semua lagi”. Lirih Calya tiba-tiba sesuatu terlintas di kepala Calya, "waduh gimana kalau dia nyebarin hal ini sama anak sekolah, gimana kalau semua orang tau gue mau di jodohin sama dia hihhh nyebelin" (ungakapan isi hati calya).
Amelia lalu mengambil benda pipih miliknya yang ada diatas meja dan berkata
"kamu mau liat ga calon suami kamu?" tanya nya
"Apaan sih mah calon calon, aku ga mau ya di jodohin ogahhhh banget" jawab Calya dengan sewot
"ini semua demi kebaikan kamu Calya, kamu tersesat sama teman-teman kamu itu, pulang malam, mabok-mabokan, mama ga mau anak mama tersesat. jadi jalan satu-satunya adalah kamu menikah dengan pilihan mama dan papa, lagian bentar lagi kamu juga bakal lulus kok". jelas Amelia panjang lebar
"Tapi maaaaaa.......Mama kenapa sih?!" teriak Calya, suaranya bergetar menahan amarah. Air mata sudah membasahi pipinya. Ia tidak peduli lagi dengan sopan santun. Perasaan terkejut dan marah kini mendominasi dirinya.
Di depannya, Amelia, sang mama, hanya bisa memijat kening. Wajahnya terlihat lelah dan bingung harus berkata apa. Sementara itu, sang papa hanya duduk diam, seolah tak ingin ikut campur dalam pertengkaran sengit antara ibu dan anak.
"Calya, ini demi kebaikan kamu. Dia anak baik-baik, dari keluarga terpandang," kata Amelia mencoba menenangkan.
"Kebaikan apa? Mama bahkan belum tanya aku setuju atau enggak! Aku gak kenal dia! Kenapa harus dijodohkan kayak gini?!" bentak Calya.
Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Hidupnya sudah seperti diatur, dan kali ini ia benar-benar merasa kehilangan kendali. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini padanya? Ia sudah punya Rion, orang yang kini ia cintai. Dan Aksa, pria yang sudah dijodohkan dengannya sejak kecil, kini digantikan oleh orang lain yang bahkan namanya pun ia tak tahu.
Calya membanting pintu kamarnya, mengabaikan teriakan mamanya yang memanggil namanya. Di dalam kamar, ia merosot di balik pintu, tangisnya pecah. Ia tidak bisa membayangkan harus menjalani hidup dengan seseorang yang tidak ia kenal, sementara hatinya sudah dimiliki oleh orang lain.
Di luar, Amelia menatap suaminya dengan putus asa. "Lihat, Mas. Anak kita marah besar."
Sang papa menghela napas, "Dia pasti akan mengerti, kok. Seiring berjalannya waktu," ucapnya datar. Namun, di dalam hati, ia tahu, ini bukanlah hal yang mudah untuk Calya.
Calya merebahkan dirinya di kasur, wajahnya terbenam di bantal. Ia menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibnya yang terasa begitu kejam. Isakannya menggema di dalam kamar yang sunyi. Ia merasa takdir sedang mempermainkannya. Saat ia akhirnya menemukan cinta, saat ia merasakan kebahagiaan bersama Rion, takdir justru merenggutnya paksa dengan sebuah perjodohan. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung: Kenapa? Kenapa harus seperti ini?
Sementara itu, di ruang tamu, Amelia dan suaminya, Bima, duduk berhadapan. Mereka berdua memikirkan cara terbaik untuk mendekatkan Calya dengan calon suaminya, Aksa.
"Bagaimana, Mas? Calya marah besar. Dia bahkan tidak mau keluar kamar," ucap Amelia, suaranya terdengar putus asa.
Bima menghela napas. "Kita tidak bisa memaksanya, Mel. Itu hanya akan membuatnya semakin memberontak. Kita harus melakukannya dengan cara yang lebih halus."
"Lalu, apa rencananya?" tanya Amelia, menatap suaminya penuh harap.
Candragtha tersenyum tipis. "Besok, kita adakan acara makan malam bersama. Undang keluarga Aksa. Kita akan kenalkan mereka berdua. Setelah itu, biarkan mereka berjalan sendiri. Kita hanya perlu mengawasi dari jauh."
Amelia mengangguk setuju. "Ide yang bagus, Mas. Aku harap Calya mau bertemu dengannya. Aksa itu pria yang baik, dia pasti bisa membuat Calya bahagia."
Di kamar yang berbeda, Calya masih menangis. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia menolak perjodohan ini? Atau haruskah ia pergi? Pikirannya kacau. Ia tidak bisa membayangkan harus bertemu dengan pria yang akan dijodohkan dengannya. Ia merasa ini adalah akhir dari segalanya.
Calya menggeliat di bawah selimut, enggan membuka mata. Pagi itu terasa berat, seolah gravitasi kasur melipatgandakan kekuatannya. Setiap tarikan napasnya terasa malas, membawa kembali ingatan tentang perdebatan sengit semalam. Ia malas bertemu dengan siapa pun, apalagi kedua orang tuanya yang telah mengkhianati kepercayaannya.
Di ambang pintu, Amelia berdiri dengan tatapan lelah. Ia menghela napas panjang melihat putrinya yang tak bersemangat. Biasanya, Calya akan bangun pagi dan bersemangat untuk ke sekolah, namun kali ini ia tampak seperti gumpalan kain yang tak bernyawa.
Tak lama kemudian, sang papa muncul. Ia mencoba mencairkan suasana. "Anak Papa kok belum bangun? Ada yang mau cariin sarapan, nih," godanya, mencoba menyentuh pipi Calya.
Namun, Calya hanya membuang muka, malas menanggapi. Ia tak lagi melihat candaan itu sebagai bentuk kasih sayang, melainkan sebagai pengkhianatan.
Merasa tidak ada pilihan, Amelia akhirnya angkat bicara, "Calya, nanti malam keluarga Aksa akan datang untuk makan malam. Kamu harus pulang cepat dan jangan membuat masalah."
Mendengar nama Aksa, Calya seketika bangkit dari tidurnya. Matanya membulat, menatap sang mama dengan amarah yang membara. "Mama apa-apaan sih?! Aku enggak mau! Aku nggak kenal dia! Aku nggak akan pulang cepat!" teriak
Calya, suaranya pecah dipenuhi kekecewaan.
Amelia terkejut melihat reaksi Calya yang begitu meledak-ledak. "Calya! Jaga sikap kamu!" bentaknya, namun Calya sudah tidak peduli. Ia berlari keluar kamar, membanting pintu, dan meninggalkan rumah dengan hati yang dipenuhi kemarahan. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya diatur sedemikian rupa, bahkan dengan mengorbankan perasaannya sendiri.
"Pulang cepat hari ini sekarang turun dan sarapan, intinya kamu mama jodohin, iyakan pah". Putus Amelia
"iya sayang". jawabnya
Calya yang melihat itu rasanya mau muntah, "hih dasar bucin" ejek Calya
"biarin" ungkap sang papa " dari pada kamu jomloh karatan" lanjutnya dengan wajah yang mengejek
"ihhh papaaaa apaan sih, nyebelin banget". jawab Calya dengan wajah yang cemberut
"udahh bntar lagi juga kamu bakal bisa bucin kok, iyakan sayang? " lanjut Argatha dengan suara tawa yang menggelegar dirinya sangat bahagia bila mengejek anak semata wayangnya itu
"PAPAAAAAAAA" teriak calya lalu membanting pintu
Setelah berteriak, Calya langsung bergegas, tangannya meraih tas sekolah. Ia sama sekali tidak berniat sarapan. Perutnya terasa mual, dan semua selera makannya hilang ditelan amarah.
"Calya, sarapan dulu," tegur Amelia dengan suara lembut, mencoba menahan putrinya.
"Aku nggak lapar!" jawab Calya ketus, mencoba melepaskan tangannya.
"Tidak, kamu harus sarapan. Dan hari ini kamu berangkat diantar supir," tegas Amelia, tidak ingin ada perdebatan lagi.
Mata Calya membulat. "Aku nggak mau! Aku mau naik bus saja!"
"Kamu sudah membuat Mama pusing," kata Amelia, suaranya naik satu oktaf.
"Mama juga bikin Calya pusing" balasnya denga sewot. Calya hanya bisa mendengus kesal. Ia tahu perdebatan ini tidak akan ada habisnya. Ia pun pergi tanpa menjawab sang mama, pikirannya masih dipenuhi kemarahan.
Di luar, Calya melihat bayangan dirinya yang panjang karena matahari pagi. Ia tersenyum tipis. Meskipun terburu-buru, pagi ini terasa berbeda. Ia merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhnya, memberinya energi untuk menghadapi hari yang panjang di sekolah. Calya berjalan santai, menelusuri trotoar sambil memakan roti. Pagi itu, ia tahu, akan menjadi awal dari hal-hal baik. Sebelum dirinya teringat dengan percakapan yang dilakukan dengan kedua orang tuanya, ia jadi penasaran seperti apa rupa laki-laki yang ingin dijodohkan dengannya itu. Calya tersadar "heh ngapain juga gue mikirin dia, lagian gue pasti bisa membujuk mama sama papa biar batalin perjodohan ini". Calya kembali terseyum setelah mengucapkan kata-kata yang membuat dirinya bersemangat lagi
Calya kemudia menaiki bus yang mengatah kesekolahnya, hari ini ia memang sengaja untuk menggunakan bus alih-alih diantar oleh supir pribadi keluarganya, namun tak disangka ketika Calya ingin duduk sesorang dengan seragam yang persis digunakannya terlebih dahulu duduk di kursi yang sisa satu itu... Calya memutar bola matanya lalu memilih untuk berdiri saja ia tidak ingin merusak paginya yang indah ini
Di dalam bus, Calya memejamkan mata, membiarkan angin yang masuk dari jendela menerpa wajahnya. Hembusan angin itu terasa menyejukkan, namun tidak bisa mendinginkan hatinya yang panas. Pikirannya kembali melayang ke percakapan semalam dengan kedua orang tuanya. Perjodohan. Kata itu terus terngiang, melilit otaknya bagai benang kusut.
Malam ini, makan malam mengerikan itu akan terjadi. Ia akan bertemu dengan Aksa, calon suaminya yang bahkan tidak ia kenal. Calya merasa seluruh hidupnya kini diatur, dan ia benci perasaan itu. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan membiarkan takdir yang ditentukan orang lain menimpanya.
Otaknya berputar mencari cara untuk kabur dari jamuan makan malam nanti.
...----------------...
Ia bisa berpura-pura sakit perut atau demam mendadak. Ini adalah alasan klasik, tapi efektif. Siapa yang akan memaksa orang sakit untuk menghadiri jamuan makan?
Ini adalah pilihan yang paling berisiko, namun juga yang paling menjanjikan. Ia bisa meminta Rion untuk menjemputnya atau menciptakan situasi yang membuatnya tidak bisa pulang ke rumah tepat waktu, kesempatan juga buat Calya karena Calya menyukai Rion. Rion adalah sosok yang kompleks dan penuh rahasia. Di satu sisi, ia adalah ketua OSIS yang karismatik dan tampan. Ia adalah siswa idola, sosok yang sempurna di mata para guru dan banyak siswa lainnya. Kecerdasannya dan kemampuannya memimpin membuatnya menjadi kesayangan guru-guru, yang selalu memujinya dan menaruh kepercayaan besar padanya.
Namun, di balik citra sempurna itu, Rion memiliki sisi lain yang gelap. Ia diam-diam adalah raja bullying Tanpa sepengetahuan guru dan sebagian besar siswa, ia menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan mengintimidasi siswa yang lebih lemah. Hanya beberapa orang yang mengetahui sisi buruknya ini, namun mereka terlalu takut untuk berbicara.
Calya, yang terpikat oleh pesona Rion, sama sekali tidak menyadari sisi gelap ini. Ia hanya melihat sosok Rion yang menawan, baik, dan memesona. Baginya, Rion adalah pangeran impiannya, dan ia jatuh hati padanya tanpa tahu bahaya yang mengintai di balik senyum manis Rion.
Jika semua ide gagal, ia bisa menyelinap keluar rumah setelah acara dimulai, atau bahkan bersembunyi di suatu tempat sampai jamuan selesai. Dengan tekad yang membara, Calya kini memiliki tujuan baru: menggagalkan makan malam ini, apa pun caranya.
Di dalam bus, senyum tipis akhirnya kembali merekah di wajah Calya. Pikiran tentang makan malam mengerikan itu tidak lagi membuatnya sesak. Ia telah menemukan sebuah rencana. Rencana gila yang entah bagaimana, membuatnya merasa lega. Ia yakin, kali ini ia tidak akan kalah. Ia akan berjuang untuk hidupnya, untuk perasaannya, untuk Rion.
Ia membiarkan pandangannya menerawang keluar jendela. Pemandangan kota yang berlalu begitu cepat terasa seperti cerminan dari hatinya yang kini bergerak. Ia tidak lagi peduli dengan perjodohan konyol itu. Ia tidak peduli dengan apa kata orang tuanya. Yang ia pedulikan kini hanyalah bagaimana cara melarikan diri dari takdir yang diatur orang lain.
Calya membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan musik dari earphone-nya. Sepanjang perjalanan, ia membayangkan bagaimana ia akan melaksanakan rencananya. Ia akan berbicara dengan Rion, meminta bantuannya. Rion pasti akan mengerti, Rion pasti akan membantunya.
Dengan hati yang kini dipenuhi keyakinan, Calya merasa harinya kembali tenang. Ia tidak lagi terbebani. Pagi itu, ia telah menemukan kembali kendali atas hidupnya, dan ia tidak akan membiarkannya lepas lagi.
Suara musik rock menghentak dari earphone Calya, menyamarkan bisingnya klakson dan deru mesin bus kota.
Rambutnya yang panjang berayun mengikuti irama. Ia kini duduk di kursi paling belakang, kakinya yang panjang diselonjorkan ke lorong, seolah-olah bus itu adalah miliknya. Calya tak peduli dengan tatapan risih penumpang lain. ia hanya ingin menikmati paginya yang indah ini. Toh, ia tak pernah niat menyakiti orang lain, hanya saja ia malas untuk beramah-tamah.
Tiba-tiba, sebuah guncangan hebat membuat bus itu terhuyung. Sopir mengerem mendadak, membuat semua penumpang terlempar dari kursinya. Sial! Earphone Calya terlepas, musiknya berhenti, dan tubuhnya terpental. Ia tak bisa menahan diri. Dengan panik, ia berusaha meraih pegangan, tapi terlambat. Tubuhnya meluncur ke depan, lalu… brukk!
Calya mendarat di atas pangkuan seseorang. Wajahnya menempel di seragam yang sama dengannya yang beraroma wangi, campuran kopi dan peppermint. Ia mendongak, bersiap melontarkan makian andalannya. Namun, kata-kata itu tercekat di tenggorokannya. Karena semua orang kini menatapnya dengan tatapan yang aneh. Pria itu tersenyum pada Calya namun berbeda dengannya ia langsung berdiri dan kembali ketempat ia duduk.
"Apes banget gue hari ini". ujarnya
pria itu pun kemudian berusaha untuk mengambil bukunya yang berserakan, Calya hanya memperhatikan tanpa berniat untuk membantu, dalam hatinya ia memaki pria itu.
Guncangan bus kembali terjadi, kali ini lebih kuat. Calya yang masih berdiri terhuyung ke depan, dan untuk kedua kalinya, ia jatuh terduduk di pangkuan seorang cowok berkacamata yang terlihat culun.
"Aduh!" cowok itu meringis, menahan sakit. Guncangan kali ini sangat keras, membuat Calya jatuh dengan berat.
Calya mendengar rintihan itu, merasa sedikit bersalah. Namun, entah kenapa, niat untuk meminta maaf menguap begitu saja. Belum sempat ia bangkit, bus kembali berguncang untuk yang ketiga kalinya. Ia kembali terduduk, kini benar-benar terjebak dalam posisi canggung di atas cowok yang terus meringis kesakitan.
Guncangan bus ketiga akhirnya berhenti. Calya bergegas bangkit, wajahnya merah padam. Tanpa pikir panjang, ia melayangkan makian. "Lo sengaja, ya? Makanya, kalau jadi cowok jangan genit!"
Bus kini hening. Semua mata kini tertuju pada Calya Namun, Calya tak peduli. Amarah dan rasa malu menguasai dirinya, dan ia melampiaskannya pada pria yang ia duduki.
"Lo sengaja, kan? Lo manfaatin momen bus goyang biar bisa pegang-pegang gue, iya kan?!" maki Calya, menunjuk-nunjuk wajah pria culun itu. "Dasar cowok mesum! Punya tampang culun tapi kelakuannya bejat!"
Pria culun itu terkejut. "Aku? Aku enggak ngapa-ngapain. Aku cuma duduk."
"Halahhh, alasan!" Calya berdecak. "Gak usah sok polos deh! Gue tahu tipe-tipe kayak lo. Gak tahu malu!"
Tiba-tiba, suara seorang ibu terdengar. "Neng, enggak boleh begitu. Kasihan adiknya. Dia enggak salah, kok."
Mata Calya membelalak. Ia baru sadar, seluruh penumpang kini memandanginya dengan tatapan menghakimi. Ada yang menggeleng, ada yang berbisik. Wajahnya seketika memanas. Ia merasa malu luar biasa. Saking marahnya, ia sampai tidak sadar sudah menjadi pusat perhatian.
Calya terdiam, mulutnya tertutup rapat. Ia menunduk, tak berani menatap mata siapa pun. Ia langsung berjalan cepat menuju kursi kosong di belakang, meninggalkan pria culun itu dengan tatapan bingung dan rasa sakit yang ia tahan.
Guncangan bus tadi masih terasa di benak Calya. Ia menuruni tangga bus dengan langkah santai dengan wajah yang kusut. Di depannya, gerbang sekolah sudah ramai oleh siswa-siswi yang berlalu-lalang.
Dari kejauhan, dua sosok yang sangat ia kenal sedang bersandar di pagar, asyik mengobrol. Satu berambut pirang sebahu dengan gaya rebel, namanya Vira. Yang satu lagi, tinggi besar dengan jaket jins, namanya Jojo. Kedua sahabatnya itu sama-sama punya reputasi "bandel" di sekolah, dan mereka sangat cocok dengan sifat "bar-bar" Calya.
"Woi, Cal! Tumben udah nyampe?" sapa Jojo sambil menunjuk jam tangannya. "Biasanya lima menit sebelum bel baru nongol."
"Cal, muka lo kusut banget. Kenapa?" tanya Vira, menepuk bahu Calya saat mereka bertemu di koridor sekolah.
Calya menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Vira, yang memiliki perawakan mungil dan rambut panjang yang selalu digerai rapi, dan ke arah Jojo, yang tubuhnya lebih tinggi dan tegap dengan gaya rambut cepak yang membuatnya terlihat keren.
Mereka berdua adalah sahabat yang paling ia percaya. Tanpa ragu, Calya menceritakan semua kejadian, mulai dari pertengkaran semalam dengan orang tuanya tentang perjodohan, rencana makan malam dengan keluarga Aksa, hingga insiden memalukan di bus pagi itu.
"Gue dijodohin, guys," bisik Calya, suaranya tercekat. "Sama cowok yang bahkan gue nggak kenal. Dan tadi pagi, di bus, gue bikin malu diri sendiri. Gue marah-marah ke cowok yang enggak salah apa-apa."
Vira dan Jojo saling pandang, ekspresi mereka berubah serius. Vira langsung memeluk Calya. "Ya ampun, Cal. Lo yang sabar ya," ucapnya, mengelus punggung sahabatnya itu.
"Terus, lo mau gimana?" tanya Jojo. Wajahnya terlihat khawatir.
"Gue udah punya rencana. Gue bakal batalin makan malam itu. Gue nggak mau dijodohin," jawab Calya, matanya kembali menunjukkan tekad.
"Rencana apa?" tanya Vira.
"Gue akan kabur," jawab Calya, tanpa ragu.
Vira hanya melirik sambil tersenyum " ya udah ntar malem kita ke tempat biasa gimana?", lalu menyodorkan sebatang permen lolipop. "Nih, biar enggak kaget lagi sama jalanan berlubang," katanya santai, menyindir insiden di dalam bus yang sempat diceritakan Calya via chat.
"iya boleh tuh" Balas jojo
Calya mengambil permen itu. "Kalian kira gue anak TK?" balasnya, tapi tetap memakan permen lolipop itu. "hari ini gue pulang ke rumah lo ya?" tanya Calya dan di anggukin oleh Vira "Ada tugas enggak?" lanjutnya
"Tenang aja, tugas kita udah kelar, kok," jawab Jojo, matanya berkedip jahil. "Punya Vira udah gue salin. Punya gue udah gue salin. Punya lo… ntar aja di kantin, ya?"
Calya mendengus sepertinya ia akan kerumah sahabatnya saja pulang kerumah sangat beresiko, dan Calya tahu betul kebiasaan teman-temannya yang suka menyalin tugas. Tapi ia juga sama, jadi ia tidak bisa protes. Mereka bertiga berjalan beriringan, melewati koridor yang sudah mulai lengang.
Saat mereka sampai di depan kelas, bel sekolah berbunyi nyaring. Ketiganya langsung berlari masuk, kembali ke kehidupan sehari-hari mereka yang penuh dengan drama dan petualangan. Calya melirik sekilas ke jendela, teringat wajah cowo yang tidak sengaja ia jumpai di bus, namun dengan cepat Calya mengelengkan kepalanya " ck ngapain gue mikirin dia, lagian bukan salah gue juga". pikir calya " lagian dia cuma cowo kutu buku jadi lupain deh". lanjut Calya
namun kedua sahabatnya itu memperhatikan tingkah Calya "oi! lo kenapa?" tanya vira
"tau tuh, mikirin apa loh ntar kesambet baru tau rasa" lanjut jojo
Calya hanya memutar bola matanya dengan malas mendengar ucapan kedua sahabatnya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!