NovelToon NovelToon

Nikah Kilat Dengan Murid Ayah

Pertanyaan

“Hari ini pulanglah lebih awal, Nak! Salah satu murid Ayah akan berkunjung.”

“Iya, Yah. Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam…”

Adinda Pratiwi, yang akrab disapa Dinda. Seorang guru SD yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Meski belum menyandang status pegawai sipil, setidaknya Dinda sudah menerima gaji berupa tunjangan profesi.

Pilihannya menjadi guru SD, tak lain karena pengaruh sang ayah yang menjabat sebagai kepala sekolah SMP Negeri dan kurangnya tenaga pendidik di desanya. Desa Dinda yang jauh dari kecamatan, membuat perkembangan Pendidikan di desanya tertinggal dibandingkan SD yang lain.

“Pagi, Bu!” seru anak-anak menyambut kedatangan Dinda.

“Pagi.” Satu-persatu dari mereka menyalami tangan Dinda dan segera masuk ke dalam kelas untuk meletakkan tas mereka.

Sementara Dinda masuk ke dalam kantor guru yang ukurannya sama dengan rata-rata ruang kelas. Di dalam sudah ada Sholeh, kepala sekolah.

“Pagi, Pak Sholeh.”

“Pagi, Bu Dinda. Hari ini Bu Dinda mengajar berapa kelas?”

“Dua kelas, Pak karena Bu Maisyurah izin. Bapak sendiri?”

“Saya di kelas 6 saja karena kelas 4 sudah ada yang mengampu.”

“Guru baru, Pak?”

“Iya, sama seperti Bu Dinda. Fresh graduate.”

“Alhamdulillah kalau ada yang melamar kemari, Pak. Biasanya fresh graduate mencari sekolah yang aksesnya gampang dan fasilitasnya lengkap.”

“Ibu benar. Tetapi Pak Gibran ini punya visi yang sama seperti Bu Dinda, yaitu mau memajukan Pendidikan desa yang tertinggal. Makanya masuk ke sekolah kita.”

“Syukurlah kalau begitu, Pak. Saya ajak anak-anak bersih-bersih dulu, Pak.”

“Silahkan!”

Dinda berjalan menyusuri koridor sekolah yang kini terlihat lebih berwarna setelah dirinya menggalakkan penanaman pohon dan bunga di pekarangan sekolah. Sebelumnya, sekolah terasa kosong dan tidak terawat karena tidak ada tukang kebun yang bertugas.

Jangankan tukang kebun, tenaga pengajar saja pas-pasan. Sejak ada Dinda, setiap hari sebelum masuk ke dalam kelas, anak-anak akan bekerja bakti untuk membersihkan kelas dan bersama membersihkan sekolah di Hari Jum’at seperti hari ini.

Sekolah dengan enam kelas, hanya memiliki murid rata-rata perkelas 10-15 orang. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang tua di desa memasukkan anak mereka di sekolah luar desa yang lebih maju.

“Bu, ada Pak Guru baru!” seru anak-anak yang sedang menyapu lapangan sekaligus halaman sekolah.

“Iya. Kata Pak Sholeh, guru baru akan mengajar kelas 4.”

“Asyik! Pak Gurunya ganteng.” seru anak-anak perempuan kelas 4.

Dinda tersenyum dan meminta mereka melanjutkan bersih-bersih. Sebagai guru, Dinda tidak hanya mengawasi tetapi juga terjun langsung bersama guru lain. Ia membantu anak-anak merapikan tanaman dan mencabut rumput yang tumbuh di pot-pot bekas kaleng cat.

Setelah selesai, anak-anak berbaris untuk mencuci tangan bergantian dan masuk ke dalam kelas masing-masing. Guru-guru menyusul mereka dan memulai kegiatan belajar.

Di sisi lain.

“Mau ke mana?”

“Mau ke rumah Pak Lilik, Ma.”

“Sampaikan salam Ibu untuk Pak Lilik, ya?”

“Iya, Ma.”

“Oh iya, bukannya Pak Lilik punya anak perempuan?”

“Namanya Dinda.”

“Apa kamu tidak tertarik?”

“Dinda itu sudah aku anggap seperti adikku sendiri, Ma. Lagi pula dia tidak mengenalku karena selama ini dia hanya fokus dengan dunianya.”

“Cocok kalian itu! Sama-sama fokus dengan dunia sendiri sampai tidak ingat dengan pasangan! Mama juga mau jadi Nenek dan gendong cucu!”

“Jodoh itu sudah ada yang mengatur, Ma.”

“Memang sudah ada yang mengatur, tapi kalau tidak diusahakan apa bisa tiba-tiba datang sendiri?”

“Mungkin saja, Ma. Yang namanya kuasa Allah, tidak ada yang tahu.”

“Kesal Mama ngomong sama kamu. Ya Allah, semoga Engkau lekas memberikan hamba-Mu ini mantu.” Doa sekaligus sindiran Mama Adlan sambil berlalu.

Adlan menyalakan mesin motornya dan segera pergi menuju rumah Pak Lilik. Jarak yang lumayan jauh dan jalan yang tidak mulus, membuat Adlan memilih menggunakan motor dibandingkan dengan mobil.

Dengan motor, ia juga bisa menikmati pemandangan yang bebas polusi tidak seperti di kota tempatnya tinggal.

Setelah satu jam setengah perjalanan, Adlan sampai di rumah Pak Lilik. Sayangnya, rumah masih tertutup rapat yang artinya tidak ada orang di rumah.

Sambil menunggu, Adlan duduk di kursi bambu yang ada di teras dan memainkan ponselnya. Ia yang membuka bisnis bengkel mobil, sudah bisa menyerahkan semua urusan kepada karyawannya. Sehingga ia memiliki banyak waktu luang seperti sekarang.

“Ada apa, Di?” tanya Adlan yang menerima panggilan dari mekaniknya.

“Bos! Ada yang mencari.”

“Siapa?”

“Aku lupa tanya, Bos! Tapi katanya kenal dengan Bos. Ciri-cirinya, perempuan tinggi sebahuku, penampilannya modis dan pakai mobil sedan warna hitam.”

“Kalau ada urusan, suruh datang lagi lain waktu saja. Aku sedang tidak bisa diganggu!”

“Siap!”

Adlan mencoba mengingat perempuan yang dimaksud Adi. Tetapi ia tidak bisa menebak siapa karena selama ini ia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun.

Tak lama kemudian, Pak Lilik datang dengan motor tuanya. Adlan segera berdiri dan menyambutnya.

“Sudah lama?”

“Baru saja, Pak.”

“Maafkan Bapak, tadi motornya mogok. Maklum sudah tua seperti yang punya.”

“Kenapa tidak diganti saja, Pak?”

“Sayang, Nak! Motor itu ada kenangannya sendiri.” Adlan mengangguk dan mengikuti Pak Lilik masuk ke dalam rumah.

Rumah sederhana yang terlihat rapi itu membuat Adlan merasa nyaman. Ia yang sudah mengenal Pak Lilik sejak awal masuk SD, menjalin hubungan baik dengan beliau karena Pak Lilik yang telah membimbingnya menjadi dirinya yang sekarang.

Ia sudah sering berkunjung sehingga ia hafal dengan tata letak rumah. Yang paling membuatnya nyaman adalah belakang rumah beliau, dimana ada kolam ikan nila dan lele dengan saung di atasnya.

Pohon mangga dan jambu di sekeliling yang membentuk pagar, membuat sekitar terasa sejuk meski panas di Tengah hari. Ia sering menghabiskan waktu di sana saat berkunjung.

“Seadanya, Nak.” Pak Lilik menyuguhkan air putih untuk Adlan.

“Sepertinya Dinda lupa belanja, makanya tidak ada gula di rumah.” Imbuhnya.

“Tidak perlu repot-repot, Pak.”

“Nak Adlan… Maafkan Bapak yang menyita waktumu yang sibuk.”

“Saya tidak sibuk, Pak. Untuk Bapak, saya akan luangkan waktu.”

“Maksud Bapak memanggilmu kemari adalah untuk menanyakan sesuatu yang tidak bisa Bapak tanyakan lewat telepon.”

“Apa itu?”

“Apa kamu saat ini sudah punya pasangan?”

“Belum.”

“Apa kamu sedang menyukai seseorang?” Adlan terdiam.

“Maafkan Bapak kalau lancang. Bapak hanya ingin memastikan sesuatu.”

“Kenapa Bapak menanyakan ini?” Pak Lilik menghembuskan nafas dalam.

“Umur Bapak tidak akan lama, Nak. Sebelum itu, Bapak ingin mencarikan seseorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Dinda. Dan kamu adalah pilihan pertama yang terpikirkan.  Kamu tahu, Dinda sudah tidak memiliki Ibu sejak lahir. Bapak tidak ingin Dinda sendirian saat aku juga meninggalkannya. Sementara Dinda tidak memiliki laki-laki yang disukai karena selama ini ia hanya fokus dengan pendidikannya dan Bapak. Tapi Bapak tidak memaksa, Nak. Bapak menghargai keputusanmu.”

“Saya setuju.”

Setuju

“Nanti sore jangan lupa untuk masuk ekstrakulikuler pramuka, ya?”

“Siap, Bu!”

“Apa kalian sudah menyiapkan yel-yel?”

“Sudah!”

“Yel-yel terkompak akan mendapatkan hadiah nanti.”

“Asyik!”

Dinda tersenyum dan mengakhiri sesi belajarnya. Sebenarnya ia bisa pulang lebih cepat, tetapi anak-anak memintanya untuk menambah durasi karena mereka masih kesulitan dengan materi yang baru saja di pelajari.

Sekolah di desa tidak terikat dengan jam pulang yang tepat waktu, sehingga Dinda mengiyakan dan memberikan waktu tambahan 15 menit karena ia harus mampir belanja sebelum pulang ke rumah.

Dari sekolah, Dinda mampir ke sebuah toko sembako terlengkap di desanya dan membeli bahan yang sudah ia catat.

Sementara itu, ruang tamu rumah Dinda masih dengan suasana yang berat karena Pak Lilik harus mencari laki-laki yang bisa dipercaya untuk menjaga anaknya jika Adlan tidak setuju.

Adlan adalah kandidat yang paling bagus karena beliau sudah mengenalnya sejak lama dan tahu latar belakangnya dengan baik. Adlan juga sudah mengenal Dinda sejak kecil, sehingga tahu kebiasaan dan sifatnya seperti apa.

Beliau merasa tenang jika Adlan yang menjaga Dinda. Tetapi jika Adlan menolak, Pak Lilik belum tahu siapa lagi yang bisa menjaga anaknya kelak.

“Saya setuju.” Kata Adlan setelah diam sejenak.

“Baiklah, terima kasih sudah mau datang kemari. Bapak akan mencari kandidat lain.” kata Pak Lilik dengan nada lemah.

“Saya setuju, Pak.” Ulang Adlan.

“Apa?” Pak Lilik seperti tidak percaya dengan pendengarannya.

“Saya setuju menjaga Dinda untuk Bapak.”

“Tunggu! Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang? Menjaga yang aku maksud adalah menjadikannya istri, sehingga tidak ada Batasan dalam menjaganya dan tidak menimbulkan fitnah.”

“Saya sudah memikirkannya.” Jawab Adlan mantap.

Jawaban Adlan bukannya membuat Pak Lilik lega, tapi justru membuat beliau merasa tidak nyaman. Beliau merasa secara tidak langsung, memaksa Adlan untuk menjaga Dinda.

“Adlan… Jangan karena mengenangku, kamu mengorbankan masa depanmu! Bapak tahu Dinda bukanlah anak yang memenuhi kriteriamu karena sampai sekarang belum mau mengenakan hijab. Dinda juga masih egois karena selama ini hanya Bapak yang ada dalam prioritasnya. Tolong pertimbangkan lagi.”

“Saya setuju bukan karena Bapak, tapi karena Dinda.”

“Apa kamu…” Pak Lilik tidak melanjutkan pertanyaannya.

Beliau bisa melihat jika Adlan tidak keberatan dengannya ataupun Dinda. Tatapan dan jawaban Adlan yang mantap, membuktikan jika anak didiknya itu sudah membuat keputusan sehingga beliau tersenyum dan menganggukkan kepala.

Adlan yang merupakan kandidat pertama ternyata mau menerima Dinda. Dengan begini, ia tidak perlu lagi khawatir dengan Dinda ke depannya.

“Terima kasih, Nak. Semoga Allah meridhoi keputusanmu. Untuk sementara kita rahasiakan dulu sambil Dinda mengenalmu. Dinda juga tidak tahu dengan kondisi Bapak yang sebenarnya.” Adlan mengangguk.

“Kalau boleh tahu, Bapak sakit apa?”

“Kanker lambung akut. Bapak terlambat mengetahuinya karena selama ini mengira gangguan pencernaan.”

“Apakah tidak bisa operasi?”

“Kondisi Bapak tidak memungkinkan untuk pembedahan, Nak. Kanker sudah menyebar ke hati dan paru, jadi hanya berharap dengan keajaiban atau pasrah.”

“Masih bisa, Pak. Saya akan membawa Bapak ke rumah sakit besar!” Pak Lilik menggeleng.

“Usahamu hanya akan sia-sia, Nak. Bapak sudah puas dengan hidup Bapak selama ini. Ditambah kamu yang bersedia menjaga Dinda, Bapak bisa pergi dengan tenang.”

“Jika sudah seperti itu, kenapa Bapak masih mengajar?”

“Bapak hanya membereskan pekerjaan. Pengajuan pensiun dini Bapak sudah disetujui.” Adlan tidak lagi mengatakan apa-apa.

Ia tahu Pak Lilik sudah bersiap dengan segala kemungkinan. Melihat kondisi beliau saat ini, ia tidak percaya jika kanker sedang menggerogoti tubuh Pak Lilik.

Tapi ia kembali sadar, jika Pak Lilik melakukan semua ini agar anaknya tidak khawatir. Dinda adalah anak beliau satu-satunya yang lahir tanpa ibu karena istri Pak Lilik mengalami pendarahan hebat yang merenggut nyawanya saat melahirkan.

Pak Lilik adalah ayah sekaligus ibu untuk Dinda. Ternyata, seorang ayah juga bisa melakukan apapun untuk anaknya.

“Assalamu’alaikum…” salam Dinda yang baru saja pulang.

“Wa’alaikumsalam…” jawab Pak Lilik dan Adlan bersamaan.

“Duduk dulu, Nak!” Dinda mengangguk.

Ia meletakkan belanjaannya di lantai dan duduk di sebelah sang ayah.

Pak Lilik memperkenalkan Adlan kepada anaknya. Dinda menganggukkan kepalanya karena ia telah melihat Adlan beberapa kali saat mengunjungi ayahnya.

Beliau juga mengatakan jika beberapa hari ini Adlan akan berkunjung ke rumah mereka dan meminta Dinda untuk bersikap baik kepadanya.

Setelah selesai dengan basa-basi, Dinda pamit ke dalam untuk merapikan belanjaannya dan mengganti pakaian. Lalu memasak untuk makan siang, sementara Pak Lilik dan Adlan bersiap pergi ke masjid untuk sholat Jum’at.

Sepulang dari sholat Jum’at, mereka disambut dengan aroma masakan dari dapur. Pak Lilik mengajak Adlan ke dapur untuk makan siang.

“Jangan sungkan, Nak Adlan!” Adlan menganggukkan kepalanya dan mulai mengambil nasi dan lauk.

Ia tahu Dinda pandai memasak menuruni kemampuan ayahnya, tetapi ini adalah kali pertama Adlan merasakan masakannya.

Enak. Cocok dilidahnya seperti masakan Pak Lilik. Adlan tersenyum dan segera menghabiskan makanannya. Pak Lilik merasa lega dalam hati dan menyuruh Adlan untuk menambah.

“Terima kasih untuk jamuannya, Pak. Saya akan kembali lagi besok.” Kata Adlan berpamitan.

“Iya. Hati-hati di jalan!”

Adlan menganggukkan kepalanya ke arah Dinda yang juga dibalas dengan anggukan. Ia tersenyum lalu pergi meninggalkan desa Pak Lilik.

Sesampainya di rumah, ia segera mengutarakan pembicaraannya dengan Pak Lilik kepada mamanya.

“Apa Mama bilang? Kalian itu cocok! Alhamdulillah… Akhirnya bisa punya mantu!” seru Mama Adlan dengan gembira.

“Tapi Dinda belum tahu, Ma.”

“Gampang! Kamu pelan-pelan mendekatinya, nanti juga luluh. Tidak ada yang bisa menolak pesona anak Mama!” kata Mama Adlan dengan percaya diri.

Sementara Adlan tidak yakin karena pandangan Dinda kepadanya adalah pandangan kepada orang asing. Bahkan selama makan, Dinda tidak bersuara sama sekali dan hanya menunduk makan.

Pesona yang dikatakan sang mama, sepertinya tidak berpengaruh untuk Dinda. Tak apa, masih ada waktu, pelan-pelan.

Di sisi lain.

“Ayah sudah mengajukan pensiun dini, Nak.”

“Iya, Yah. Dengan begitu Ayah bisa beristirahat di rumah menikmati masa tua.”

“Kamu tidak keberatan?”

“Untuk apa? Kesehatan Ayah yang utama.” Dinda tersenyum melanjutkan pijatan di kaki ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kurus.

“Nanti jangan mengeluh kalau gajinya habis untuk kebutuhan rumah!”

“Tenang saja, Yah. Selain gaji, Dinda masih bisa punya penghasilan lain.”

“Apa itu? Kenapa baru mengatakannya sekarang?”

“Penghasilannya masih kecil, Yah.”

“Pekerjaan apa?”

“Membuat novel. Sekarang ini penghasilannya hanya mengandalkan iklan dan penilaian bab. Tapi nanti jika sudah lebih tinggi, bisa dibayar lima ratus rupiah per kata. Jadi, kalau satu bab sekitar seribu kata, Dinda bisa menghasilkan lima ratus ribu rupiah per babnya.”

“Alhamdulillah… Yang penting kamu suka, Nak. Sedikit banyak, disyukuri.”

“Alhamdulillah, Yah…”

Masalah

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa menepati janji hari ini. Kebetulan ada sedikit masalah di bengkel, jadi saya tidak bisa ke sana dan mungkin untuk beberapa hari ke depan.” kata Adlan yang merasa menghubungi Pak Lilik.

Ia merasa menyesal telah membuat janji yang tidak bisa ia tepati. Tapi ia bisa apa, yang namanya musibah tidak ada di kalender.

“Tidak apa, Nak. Bapak doakan semoga masalahnya cepat selesai.”

“Aamiin…”

Setelah mengakhiri panggilan, Adlan segera meluncur ke bengkel miliknya. Disana masih seperti biasa, antrean kendaraan sedang munggu giliran untuk mendapatkan perawatan atau penggantian komponen.

Beberapa mekaniknya juga sedang sibuk mengerjakan bagian mereka dan ada pula pengunjung yang memilih menunggu kendaraan mereka dengan duduk santai di tempat yang disediakan.

Begitu Adlan masuk ke dalam ruangan, ia sudah disambut oleh Ragil karyawan yang khusus mengurus keuangan dan pasokan.

“Silahkan, Bos!” Ragil menyerahkan kertas yang berisi pemasok cadangan.

Masalah yang dihadapi Adlan saat ini adalah pemutusan kontrak tiba-tiba yang dilakukan oleh pemasok suku cadang tambahan yang selama ini sudah bekerja sama dengan bengkelnya.

Alasan pemutusan kontrak hanya mengatakan jika bengkelnya tidak memenuhi syarat penjualan, padahal selama ini bengkel Adlan merupakan salah satu bengkel dengan penjualan suku cadang yang lumayan fantastis.

Adlan membaca semua informasi pemasok cadangan yang diberikan Ragil, tetapi tidak ada satupun pemasok yang memenuhi kriterianya.

“Her, apa kamu masih menyimpan nomor kontak Pak Kasturi?” tanya Adlan yang menghubungi temannya, Heri.

“Masih. Kenapa?”

“Aku ada perlu.”

“Baiklah, aku akan kirimkan nomornya.”

“Terima kasih.”

Beberapa menit kemudian, Adlan menghubungi kontak yang dikirimkan oleh Heri. Ia mengatakan keperluan, yaitu mengajak Kasturi bekerja sama dengan bengkelnya.

Kasturi yang merupakan pemilik toko suku cadang tambahan terbesar di Kota S, setuju dan memberikan harga di bawah grosir untuk Adlan sebagai bentuk terima kasihnya karena Adlan pernah menolong belilau.

“Saya tidak bisa menerimanya, Pak. Berikan saya harga sesuai pasar saja. Saya membantu bukan untuk meminta imbalan.” Tolak Adlan dengan sopan.

“Kalau kamu tidak mau, sebaiknya kita tidak perlu bekerja sama.”

“Baik, saya terima. Tapi bagaimana jika membuat iri mitra Bapak yang lain?”

“Tenang saja! Itu urusanku.”

Mau tak mau Adlan setuju karena saat ini ia sedang terdesak. Pemasok yang direkomendasikan Ragil semuanya memang toko suku cadang yang terkenal, tetapi Adlan sudah pernah survei di tempat mereka dulu.

Beberapa dari mereka memiliki syarat penjualan yang tinggi dan pelayanan karyawannya kurang memuaskan.

“Ini kontak bagian gudang dan ekspedisi dari Pak Kasturi. Kamu hubungan dengannya untuk masalah pengiriman.”

Masalah pemasok selesai, Adlan masih dihadapkan dengan masalah lain, yaitu pengiriman beberapa komponen yang tertunda karena banjir. Terpaksa ia harus ke sana-kemari untuk mencari komponen yang dibutuhkan karena deadline dari pelanggan tidak bisa ia mundurkan.

Di sisi lain.

“Bu Dinda, ada yang ingin saya sampaikan. Apakah ada waktu?”

“Iya, Pak Gibran. Ada apa?”

“Begini, saya memiliki kenalan di PT. Semen yang katanya mereka sedang menggalakkan kegiatan gemar membaca. Jika bisa, saya ingin ikut andil dengan mengajukan proposal perpustakaan sekolah. Dengan begini, anak-anak akan punya kesempatan membaca dan membuka wawasan dan tentunya sesuai dengan kegiatan PT tersebut. Hanya saja, kita tidak memiliki perpustakaannya. Apa Bu Dinda ada usulan?”

Perpustakaan. Satu hal yang selama ini mengganjal di pikiran Dinda. Sekolahnya bukan tidak memiliki perpustakaan, hanya saja perpustakaan mereka menyatu dengan ruang TU sehingga anak-anak jarang masuk ke sana dengan alasan takut dengan pegawai yang ada di sana.

Dinda sudah pernah mengajukan proposal untuk infrastruktur, tetapi ditolak dengan alasan ada yang lebih membutuhkan dibandingkan SDnya saat ini.

“Saya sudah pernah mengajukan proposal, Pak Gibran. Tapi tidak tembus.”

“Bagaimana kalau konsultasi dengan kepala sekolah? Mungkin saja beliau ada solusi.”

“Baik, Bu. Saya akan bicarakan ini dengan Pak Sholeh.” Dinda mengangguk dan menatap kepergian Gibran.

Entah mengapa, berbicara dengan Gibran membuat detak jantungnya terpacu dan gugup. Ia belum pernah merasakannya. Bahkan saat siding skripsi saja dirinya tidak setegang ini.

Dinda menggelengkan kepalanya dan segera masuk ke dalam kelas 5. Ia meminta murid kelas 5 untuk berdoa dan meminta salah satu dari mereka untuk mencatat soal di papan tulis.

Setelah menyerahkan kertas berisi soal, Dinda meninggalkan kelas 5 dan berpesan untuk tidak ribut karena ia akan ke kelas 1 untuk menggantikan Ibu Maisyurah.

Di kelas 1, Dinda mengulang kembali Pelajaran yang sebelumnya diberikan wali kelas mereka dan memberikan soal.

“Ibu tinggal ke kelas 5 sebentar, jangan ribut ya?”

“Baik, Bu.”

“Bu! Fadil nakal! Dia menarik ikat rambutku!” teriak seorang siswa perempuan saat Dinda baru sampai pintu.

“Benar itu Fadil?”

“Salah siapa rambutnya mirip dengan stang sepeda!”

“Fadil juga menarik rambutku, Bu!”

“Rambutmu seperti ekor kuda!”

Dinda menggelengkan kepalanya. Fadil adalah salah satu murid kelas 1 yang tidak bisa diam. Ada saja kejahilannya setiap kali ada kesempatan. Fadil hanya bisa diam saat diawasi, tetapi Dinda masih ada tanggung jawab lain.

“Fadil, ikut Ibu!” kata Dinda.

“Aku tidak mau ke BK!” teriak Fadil yang segera berlari ke luar kelas.

Segera saja kelas menjadi heboh dan anak-anak ingin ikut mengejar. Dinda menghentikan mereka semua dan meminta mereka untuk melanjutkan mengerjakan soal yang diberikan. Ia yang akan mengejar Fadil.

Dinda yang melihat ke sekeliling sekolah, mendapati Fadil sedang bertengger di pohon kelengkeng yang ada di dekat toilet. Segera Dinda meminta Fadil turun dan membawanya masuk ke dalam kelas 5.

“Untuk apa bocil kemari?” tanya Rafi, ketua kelas.

“Rafi akan ikut belajar di sini.” Kata Dinda.

“Yeay! Aku masuk kelas 5!” seru Fadil kegirangan.

“Fadil, kerjakan soal nomor satu!” perintah Dinda seraya menyerahkan kapur.

“Kecil!” kata Fadil dengan percaya diri.

Fadil mengambil kapur dari tangan Dinda dan berdiri di depan papan tulis. Ia berlagak menghitung dan segera menuliskan jawabannya.

Tetapi satu kelas menertawakannya karena jawaban yang diberikan Fadil salah. Fadil merasa malu dan menundukkan kepalanya. Dinda menghentikan tawa anak-anak dan meminta Ainun maju mengerjakan.

Fadil memperhatikan Ainun yang mengerjakan di papan tulis, tetapi ia masih tidak mengerti. Dinda yang melihat kebingungan di wajah Fadil merasa gemas dengan pipi tembang dan mulut yang mengerucut.

Fadil memang tidak bisa diam, tapi dia unggul dalam perhitungan makanya Dinda memintanya mengerjakan. Hanya saja Fadil belum tahu cara menghitung pecahan, jadi wajar kalau hitungannya salah.

Dinda akhirnya menjelaskan jawaban Ainun dan membenarkan jawaban Fadil yang sesuai dengan pemahamannya.

“Kenapa kalau kami yang mengerjakan seperti itu Ibu salahkan?” tanya Tiko.

“Jelas salah, karena kalian sudah tahu pengoperasian bilangan pecahan. Fadil benar karena ia hanya tahu pengoperasian penambahan dan pengurangan. Dulu saat kalian kelas 1, ada yang tahu bilangan pecahan?” semua siswa menggeleng.

“Saya tahu, Bu. Emak sering menyuruh saya beli minyak goreng dan gula seperempat kilo.” Jawab Rafi.

“Iya, aku juga pernah!” seru yang lain menimpali.”

“Tahu cara menambahkan dan mengurangkannya, tidak?” tanya Dinda.

“Tidak. Tahunya kalau beli seperempat itu dapat satu bungkus, kalau beli setengah dapat dua bungkus.”

“Kalau sekarang, bagaimana?”

“Bisa!” seru semuanya.

“Itu yang namanya belajar sesuai porsi. Karena kalian sudah kelas 5, kalian sudah ada perkalian, pembagian, bilangan pecahan dan lainnya sedangkan Fadil yang kelas 1 hanya ada pengurangan dan penjumlahan.”

“Ooo begitu…”

Anak-anak tidak lagi protes melainkan kembali mengoreksi jawaban mereka. Setelah selesai, mereka mengumpulkan buku untuk mendapatkan paraf dan nilai dari Dinda.

“Bu, Fadil mau belajar seperti kakak-kakak kelas 5.” Kata Fadil saat mereka berjalan ke kelas 1.

“Kalau mau belajar seperti mereka, kamu harus rajin belajar dan naik kelas. Tidak boleh jahil dengan teman-teman.”

“Ya! Aku tidak akan jahil lagi!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!