Suara mesin monitor berdetak pelan, bau antiseptik tercium di udara. Lampu putih terasa menyilaukan saat kelopak mata Kirana bergetar, lalu perlahan membuka.
Untuk sesaat, dunia terasa asing. Pandangannya kabur, tubuhnya berat, seakan menolak untuk bergerak. Kirana mencoba bicara, tapi yang yang keluar hanya bisikan serak.
"Di...ma...na a..ku?"
Seseorang di samping tempat tidur Kirana terlonjak, lalu terburu-buru memanggil perawat. "Sus... Dia bangun..! Dia bangun!"
********
Kirana menatap dinding putih itu. Di kamarnya hanya terdengar suara tetesan air dan detak jam dinding. Ruang VIP yang nyaman, tidak mengubah hawa dingin dan sepi yang menyergap Kirana.
Sepuluh tahun. Ada sepuluh tahun dari kehidupannya, yang tidak mampu diingat Kirana. Waktu yang panjang. Usianya kini 29 tahun dan sudah menikah.
Menurut dokter, dirinya mengalami kecelakaan lalu lintas yang cukup parah. Ia terbaring koma selama tiga bulan. Dan, kini terbangun dengan sebagian ingatan yang hilang. Kirana tidak bisa mengingat detik-detik tubuhnya hancur di jalanan.
Hal terakhir yang diingatnya, ia baru saja mendapat penghargaan dari yayasan Biannale sebagai Best Artwork untuk salah satu lukisannya. Dan, ia baru berusia 19 tahun. Dalam sebulan, ia akan berangkat ke London, melanjutkan sekolah di Royal Collage of Art (RCA), salah satu sekolah seni terbaik di dunia, dengan beasiswa.
Namun, kini....
Kirana menarik nafas menghentikan rasa yang menghimpit dadanya. Kirana bingung bagaimana cara memahami semuanya.
"Selamat siang Bu Kirana," sapa perawat memasuki kamar.
"Siang Sus Dian," balas Kirana. Kirana sudah mengenalnya. Karena perawat Dian-lah yang bertugas mengawasi kamarnya sejak ia sadar tiga minggu lalu.
" Bagaimana perasaan Ibu? Ada keluhan?" tanyanya sambil mengeluarkan alat tensi.
"Sudah lebih baik, Sus. Hanya kadang-kadang masih sakit kepala."
Suster Dian melingkarkan alat tensi di lengan atas Kirana. "Tensi dulu ya Bu!" ucapnya sambil tersenyum.
"80/90. Rendah tapi normal. Sakit kepalanya hebat gak Bu?" lanjutnya lagi.
Kirana menggeleng. "Masih bisa ditahan," ungkapnya.
"Nanti saya infokan ke dokter Nurman ya Bu. Ini obat untuk siang ini. Diminum sesudah makan." Suster Dian menaruh beberapa butir pil di atas lemari kecil di samping tempat tidur Kirana.
"Lho, ibu sendirian? Ke mana bu Wulan?" lanjutnya menanyakan keberadaan orang yang selalu menemani Kirana.
"Lagi keluar sebentar. Katanya bosan di dalam kamar," Kirana mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Terlihat beberapa bunga berwarna-warni. Ia juga bosan di kamar.
"Sabar ya, Bu! Sebentar lagi, Ibu juga bisa berjalan-jalan keluar. Kata dokter, otot Ibu hanya tinggal dilatih lagi. Ibu harus semangat terapi ya," suster Dian berkata seolah tahu apa yang ada di pikiran Kirana.
"Iya, Sus, Aamiin," doa Kirana.
"Saya tinggal ya, Bu. Ibu bisa makan sendiri?"
Kirana mengangguk. "Terima kasih, Sus!"
"Sama-sama, Ibu," suster Dian menutup pintu.
Kembali sunyi. Kirana mencoba mengambil nampan makanan yang berada persis di sebelah pil-pil tadi diletakkan. Agak sulit, karena kakinya belum bisa banyak bergerak.
"Mau makan, Mba?"
Kirana terlonjak kaget. Wanita yang bernama ibu Wulan sudah berada di hadapannya. Kirana tidak mendengar pintu di buka.
"Eh, iya, Bu."
"Mba Kirana duduk saja!" pinta Bu Wulan. Tidak ada kelembutan dalam suaranya.
Bu Wulan lalu menaikkan overbed table dan menaruh makanan di atasnya. "Perlu disuapi?" tanyanya dengan nada ketus.
"Tidak usah, Bu, saya sudah bisa sendiri. Terima kasih."
Meskipun masih sedikit kesulitan, tapi Kirana harus membiasakan kembali melakukan hal-hal sederhana sendiri, seperti makan dan minum. Kirana harus melatih otot tubuhnya lagi.
"Hmmm..." Bu Wulan hanya menjawab dengan gumaman.
Bu Wulan duduk di sofa kemudian menyalakan TV, sementara Kirana menghabiskan makanannya. Tidak ada obrolan hangat di antara keduanya.
Sejak sadar kembali, bu Wulan adalah satu-satunya orang di luar tenaga medis yang Kirana kenal. Hanya bu Wulan yang menemani Kirana. Meskipun tidak terlalu ramah, namun dia cukup telaten menjaga Kirana.
Kirana adalah seorang anak tunggal. Setau Kirana, mama dan papanya juga tidak punya saudara. Sementara, kakek dan nenek dari pihak mama Kirana sudah lama meninggal. Kirana tidak pernah kenal dengan orang tua papanya.
Kirana sempat menanyakan keberadaan mama dan papanya pada bu Wulan. Jawaban bu Wulan sangat singkat. Mamanya sudah meninggal enam tahun lalu karena serangan jantung. Sedangkan papanya tidak tahu di mana, pergi setelah menikahkan Kirana lima tahun lalu.
Kirana menangis semalaman saat mendengarnya. Karena bagi Kirana, terasa baru kemarin mama dan papanya berada di atas panggung, memeluk dan menciumnya kala ia menerima penghargaan. Kini... Mamanya sudah tiada dan papanya tidak tahu di mana.
"Sudah Mba! Gak perlu ditangisi berlebihan. Kejadiannya sudah lama berlalu!" ucap bu Wulan saat itu. Entah karena ingin menghibur, atau merasa terganggu dengan suara tangisan Kirana.
"Bu, sudah selesai. Tolong... " Kirana merapikan alat makannya.
Bu Wulan dengan sigap membereskan sisa makan Kirana dan menurunkan overbed table ke tempat semula. Dia memberikan obat dan segelas air putih pada Kirana.
Terdengar suara ponsel berdering. Bu Wulan menjawabnya.
"Iya Mas... Baik-baik saja. Baru saja makan. Makannya banyak kok. Kapan Mas? Baik Mas."
"Mba!" panggil bu Wulan setelah memutuskan sambungan.
"Mas Barra besok pulang. Dari bandara langsung ke sini!" infonya.
Mas Barra? Siapa? Kirana coba mengingat. Ah, suamiku! Kirana masih asing dengan namanya.
Tiba-tiba degup jantung Kirana berdetak kencang. Kirana tidak bisa membayangkan dirinya sudah menikah dan memiliki suami. Dan, suaminya akan datang besok.
Menurut bu Wulan, saat Kirana sadar, Barra sedang ada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Karena itu, bu Wulan di sini, menjaganya atas permintaan suami Kirana.
"Bu... Mas Barra itu orangnya baik gak?" tanya Kirana malu-malu. Pipinya sedikit memerah.
Bukannya menjawab, bu Wulan malah memperhatikan Kirana.
Sebetulnya, sudah dari beberapa hari lalu, Kirana ingin bertanya tentang Barra. Ia sama sekali tidak mengingatnya. Tapi, Kirana segan. Malu lebih tepatnya.
Bu Wulan bilang kalau ia sudah menikah selama lima tahun. Namun, sama sekali tidak ada jejak tentang pernikahan ataupun sosok suami dalam ingatan Kirana.
"Besok juga Mba tahu!" ucapnya setelah terdiam beberapa saat. Ia lalu duduk kembali menonton TV.
Kirana menghembuskan nafas lalu merebahkan badannya. Kirana sudah mengira kalau bu Wulan tidak akan memberikan jawaban.
Sepanjang menjaga Kirana, bu Wulan tidak pernah mau banyak berbicara dengannya. Apalagi menjawab pertanyaan tentang sepuluh tahun hidupnya yang hilang.
"Saya gak tahu banget soal hidupnya Mba Kirana. Saya cuma ART. Jadi jangan tanya-tanya lagi!" tegas bu Wulan, ketika di suatu hari Kirana minta dia bercerita tentang hal-hal yang disukai Kirana sebelum kecelakaan.
Bu Wulan juga tidak mau memandang mata Kirana saat berbicara. Dari interaksi lebih dari tiga minggu ini, Kirana bisa menyimpulkan jika bu Wulan tidak terlalu menyukai dirinya.
Kirana kembali menatap dinding putih kamarnya. Terdengar suara TV dan tawa bu Wulan. Rupanya bu Wulan sedang menonton TV show komedi. Kirana sendiri tidak berminat melihatnya.
Lama kelamaan kelopak mata Kirana terasa berat. Ia pun tertidur karena pengaruh obat.
Kirana tidak menyadari saat bu Wulan mengambil fotonya kemudian mengirimkan pada nomor Mas Barra.
***********
Halo Man Teman, kembali lagi sama Othor dengan karya terbaru. Semoga kalian suka ya dengan kisah Kirana dan Barra ini.
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak, like, 5 bintang, komen, gift dan vote. Karena support sekecil apapun dari kalian, sangat berarti untukku 😄😄
"Mba bangun! Bersih-bersih dulu!" tubuh Kirana terasa bergoncang.
Kirana membuka matanya, berat. Wajah bu Wulan yang tampak pertama kali.
"Ayo, Mba! Jangan malas-malas! Hari ini jadwalnya fisioterapi," Bu Wulan berkata tidak sabar.
Apa katanya? Jangan malas-malas? Siapa yang malas? omel Kirana dalam hati. Di luar saja masih gelap. Lagian jadwal fisio-nya juga jam 9.
"Iya Bu, sebentar," ujar Kirana dengan suara serak. Meskipun jengkel, tapi hanya itu yang keluar dari mulut Kirana.
Bu Wulan lalu membantu Kirana bersih-bersih, sarapan dan minum obat pagi.
--Pukul 08.45--
"Mas Barra nanti sampai sini jam 2. Sehabis terapi bisa mandi dulu," bu Wulan berujar saat Kirana akan diantarkan ke ruangan terapi.
"Kenapa harus mandi?" tanya Kirana polos. Tubuhnya dibantu perawat untuk pindah ke kursi roda.
"Suami mau pulang. Wajib bersih dan wangi! Masa gitu aja gak tahu?!" bu Wulan mengambil selimut lalu membukanya untuk menutupi kaki Kirana.
"Kalau habis terapi, pasti keringetan. Gobyos!! Gak pantas menyambut suami yang baru pulang sehabis mencari rejeki di luar," bu Wulan melanjutkan dengan bersungut-sungut.
Kirana hanya diam saja.
Kenapa sih dia marah-marah? Aku 'kan baru
punya suami. Wajar kalau gak ngerti! Batin Kirana.
Suster Dian tersenyum penuh arti mendengar bu Wulan. "Iya Bu Wulan, nanti Bu Kirana mandi, kok. Biar cantik menyambut suami. Iya kan, Bu?"
Kirana hanya tersenyum samar menjawab suster Dian.
"Pakai make up juga, Bu. Biar tambah oke. Ibu ada make up 'kan? Kalau gak ada, bisa pinjam punya saya," ujar suster Dian lagi.
"Eh, gak usah, Sus. Aku gak terlalu suka pakai make up," tolak Kirana.
Kirana memang tidak terlalu suka berdandan. Biasanya ia hanya menggunakan sunscreen, BB cream, bedak dan lipbalm saja. Ia merasa tidak nyaman kalau menggunakan lebih dari itu. Terlalu menor rasanya.
Bu Wulan terpaku dan menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
"Ohhh begitu," kata suster Dian.
Lalu, ketiganya menuju ruangan terapi. Bu Wulan berjalan lebih dulu, diikuti suster Dian yang mendorong kursi roda Kirana.
Fisioterapi Kirana berlangsung kurang lebih selama 2-3 jam. Di hari-hari pertama terbangun dari koma, Kirana melakukannya di dalam kamar, seperti menggerakkan tangan- kaki, miring kiri-kanan, latihan duduk di tepi ranjang, menggenggam bola karet. Semuanya dilakukan Kirana dengan semangat.
Menurut terapis yang menangani Kirana, perkembangan yang ditunjukkan sangat baik. Sehingga di minggu kedua Kirana mulai berlatih di ruangan khusus fisioterapi.
Di sana, Kirana mulai latihan berdiri dan berjalan dengan walker, gerakan kaki sederhana seperti mengangkat lurus lalu tekuk lutut, lemar tangkap bola dalam posisi duduk, naik turun kursi.
Bagi Kirana yang sudah terbaring selama tiga bulan, latihan-latihan itu sangat berat. Karena tubuh dan otak Kirana mengalami penurunan fungsi. Hingga perlu tenaga ekstra hanya untuk sekadar melakukan kegiatan sederhana seperti, mengangkat dan memindahkan gelas.
Biasanya, sehabis fisioterapi, Kirana kelelahan. Keringat membanjiri tubuhnya. Karena itu, khusus hari ini bu Wulan meminta Kirana langsung mandi karena Barra akan pulang.
Selain fisioterapi, Kirana juga harus melakukan terapi kognitif dan neurologis serta terapi psikologis. Semuanya sebagai rangkaian rehabilitasi medis intensif pasien yang baru sadar dari koma panjang. Jadwalnya bergiliran setiap harinya. Perjuangan yang tidak mudah bagi Kirana untuk pulih kembali.
"Jangan terlalu dipaksakan! Semuanya butuh waktu!" saran bu Wulan sambil menyisir rambut Kirana yang panjang sepunggung.
Saat ini, Kirana sudah kembali ke kamarnya. Ia sudah mandi. Aroma harum sabun tercium dari tubuh Kirana.
"Apanya Bu?"
"Latihannya! Gak perlu terburu-buru!" Bu Wulan memasangkan jepit rambut di sisi kanan kepala Kirana.
Kirana menunduk. Bukan memaksa, Kirana hanya ingin tubuhnya segera kembali seperti semula. Sungguh menyiksa, saat terbangun, ia bahkan tidak bisa mengangkat sendok.
"Sudah... !" seru bu Wulan memandangi Kirana. Ia menyentuh kedua pipi Kirana.
Kirana tercengang. Sentuhan bu Wulan terasa lembut di pipinya. Baru kali ini ia rasakan setelah lebih dari tiga minggu bersama.
Kirana memandangi pantulan dirinya di cermin. Masih terasa asing. Ia masih belum terbiasa menatap dirinya yang sudah menua sepuluh tahun.
Kirana melihat dirinya seperti menatap seseorang yang belum pernah ia temui. Ia masih ingat dirinya sebagai gadis remaja. Kulit mulus tanpa cela, mata yang bersinar dengan semangat, pipi yang penuh, dan rambut hitam legam yang selalu ia kepang dengan malas.
Tapi kini, pantulan itu menunjukkan seseorang yang berbeda. Usianya 29 tahun, tapi baginya, waktu melompat begitu saja. Di sudut matanya, terlihat guratan halus, bekas dari tawa atau tangis yang tak lagi ia ingat.
Pipinya lebih tirus, rahangnya lebih tegas, dan ada sesuatu yang dewasa dalam wajahnya. Tubuhnya bukan lagi tubuh seorang gadis, melainkan seorang wanita yang telah melewati banyak hal, meskipun memorinya tak mampu membuktikannya.
Kirana mengangkat tangan, menyentuh wajahnya perlahan. Ujung jarinya meraba bekas waktu. Gadis remaja itu telah menghilang, digantikan oleh seseorang yang matang, tapi asing.
Dan yang paling menyakitkan adalah bukan perubahan itu sendiri, melainkan fakta bahwa Kirana tak pernah menyadari prosesnya. Mata Kirana memanas.
Ting. Bunyi pesan masuk.
"Mas Barra sudah sampai parkiran, Mba! " bu Wulan merapikan ranjang Kirana.
"Senyum ya! Jangan lupa senyum!" bu Wulan kembali merapikan rambut dan baju Kirana.
"Eh, iya, Bu."
Jantung Kirana berdegup kencang. Akhirnya, untuk pertama kali, ia akan bertemu dengan suaminya.
Ceklek. Bunyi pintu dibuka.
Kirana melihat ke arah pintu.
Sosok pria masuk.
Kirana terpana.
Mas Barra, yang disebut bu Wulan sebagai suaminya, memiliki wajah yang menurut Kirana sangat tampan.
Tinggi badan Barra lebih dari 180 cm. Rambutnya hitam legam kontras dengan kulitnya yang bersih. Hidungnya mancung dan mulutnya meski tidak lebar namun terlihat sempurna. Terlihat ada bulu-bulu tipis di sekitar mulut dan dagunya.
Setelan jas hitam yang membalut tubuhnya jatuh sempurna di bahu bidang dan pinggang ramping. Wajahnya tegas, dengan garis rahang yang terlihat jelas. Mata hitamnya tajam. Ada sesuatu yang memikat dalam caranya berjalan, penuh keyakinan tapi tidak berlebihan
Mulut Kirana mengangga.
Inikah Mas Barra? Ganteng banget? Kok, aku bisa-bisanya nikah sama cowok ganteng begini?
Kirana coba mengingat-ingat sosok di depannya itu. Tapi, bayangan samar pun tak ada.
"Bu Wulan... " Barra menyapa. Suaranya rendah, dalam dan berat. Maskulin.
"Iya Mas Barra... Eh, Mba Kirana ini Mas Barra sudah pulang," balas bu Wulan.
Bu Wulan menyenggol bahu Kirana karena dari tadi dia tidak berkedip menatap suaminya.
Kirana mengatupkan mulutnya. "Eh, iya, Bu." Ia menegakkan punggungnya lalu mengulurukan tangan. Kirana berniat mencium punggung tangan suaminya.
Barra terkejut melihat tangan Kirana terulur. Ia mematung.
Kirana bingung kenapa Barra tidak menyambut tangannya.
Apa yang salah? pikir Kirana. Bukankah ini yang dilakukan istri jika suaminya baru pulang bekerja?
Kirana menoleh ke arah Bu Wulan.
Bu Wulan gelagapan dipandang Kirana.
"Ehem, ehem!" Bu Wulan memanggil Barra lalu memberikan kode untuk menyambut uluran tangan Kirana.
Barra tampak bingung. Dahinya berkerut.
"Ehem, ehem!" Bu wulan kembali memberikan kode.
Dengan ragu, Barra memberikan tangannya.
Kirana tersenyum, lalu mengambil tangan Barra dan menciumnya.
Kirana lalu menatap wajah suaminya. Kirana merasa jantungnya berdetak lebih cepat, sama seperti saat ia belajar berjalan di ruang terapi tadi.
Sementara, raut wajah Barra tidak terbaca. Ekspresinya datar. Matanya menyorotkan sesuatu yang tidak dipahami Kirana.
************
Kirana terpesona pada pandangan pertama dengan suaminya. Apakah Kirana jatuh cinta? ataukah, cinta itu sudah ada dalam hatinya meskipun ia tidak mengingatnya?
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak, like, 5 bintang, komen, gift dan vote. Karena support sekecil apapun dari kalian, sangat berarti untukku 😄😄
Kirana tengah asyik meremas bola karet guna melatih kekuatan genggaman tangannya. Sesekali, ia melirik Barra, yang duduk di sofa, sibuk memainkan ipad-nya.
Sejak datang, Barra belum mengucapkan satu patah katapun pada Kirana. Ia hanya berbicara pada bu Wulan menanyakan bagaimana perkembangan Kirana, jadwal terapi, makan, minum obat. Atau, berbicara pada perawat menanyakan kapan bisa berkonsultasi dengan dokter.
Huuuh... Kirana menghembuskan nafas kasar.
Barra yang posisi duduknya menghadap ranjang, mengangkat kepalanya melihat Kirana. Alisnya terangkat .
Kirana yang tidak menduganya, langsung salah tingkah. "Bu, tolong ambilkan minum," ujar Kirana sekenanya.
Jantungnya berdenyut lebih cepat ketika ditatap Barra.
Malamnya...
"Mas, saya pamit. Semua kebutuhan Mba Kirana ada di dalam lemari. Telepon saja kalau Mas Barra bingung."
Bu Wulan membereskan barang-barangnya. memasukkan ke dalam tas besar. Ia mengikat rambutnya tingi-tinggi. Lalu, mengganti sandal jepitnya dengan sepatu.
Kirana yang baru saja akan memejamkan mata, terlonjak. Ia langsung duduk.
Barra berdiri mendekati bu Wulan. "Iya, Bu! Bu Wulan istirahat dulu. Nan--- "
"Ibu mau ke mana?" tanya Kirana sebelum Barra menyelesaikan kalimatnya.
Tiba-tiba Kirana takut. Ia tidak mau bu Wulan pergi. Selama ini, bu Wulan yang menemaninya. Apa yang akan dilakukannya kalau tidak ada bu Wulan? Ia tidak ingat apa-apa. Ia tidak punya siapa-siapa. Kirana hanya mengenal bu Wulan.
Mata Kirana berkaca-kaca.
"Ibu... Jangan ke mana-mana!" ucap Kirana. Suaranya bergetar menahan tangis.
Sorot mata bu Wulan yang biasanya tegas spontan berubah. Sebentar, hanya sebentar, Kirana melihat kelembutan di sana.
Tapi, kemudian, tatapan bu Wulan kembali tajam. "Jangan cengeng Mba! Di sini banyak perawat. Mba Kirana juga sudah jauh lebih baik!" Ia kembali dalam mode galak.
Air mata Kirana jatuh di pipinya.
"Bu Wulan butuh istirahat, Kira. Dia sudah lebih dari satu bulan menjagamu. Sekarang, aku ada di sini. Aku yang akan menjagamu," Barra bersuara, berbicara pada Kirana.
Bu Wulan terhenyak mendengar panggilan Barra untuk istrinya. Ia sudah lama sekali tidak mendengar Barra memanggil Kirana dengan sebutan Kira.
Kirana mengangkat wajahnya, memastikan ucapan Barra itu ditujukan padanya.
Pandangan Barra lurus padanya. Betul! Barra memang sedang berbicara padanya. Dan, Barra memanggil dengan sebutan Kira, panggilan kesayangan mamanya.
"Nanti, saya ke sini lagi!" ucap bu Wulan tergesa. Ia membalikkan badan, berjalan keluar, menutup pintu dibelakangnya.
Barra tidak memutuskan pandangannya pada Kirana. Tatapannya kembali sulit diartikan.
Kirana merebahkan badannya, lalu memejamkan mata. Ia mencoba menenangkan dirinya.
Mulai saat ini, ada suami yang menjaganya. Sosok pria yang tidak diingatnya. Perasaan aneh menghinggapi Kirana.
Barra menarik nafas panjang, kembali duduk memainkan ipad-nya. Sorot matanya dingin, tidak tersentuh.
********
Tengah malam...
Kirana merasa kantung kemihnya penuh. Ia ingin pipis. Kirana duduk menyapukan pandangannya ke seluruh kamar.
Terlihat Barra tertidur di atas sofa. Kaki Barra menggantung karena ukuran panjang sofa tidak bisa menampung tinggi badannya. Barra sudah mengganti bajunya dengan kaos oblong dan celana jogger.
Kirana butuh bantuan untuk ke kamar mandi. Semenjak bisa bangun dan duduk, Kirana tidak mau menggunakan pispot. Aneh sekali rasanya pipis di atas tempat tidur. Terkadang, pipisnya juga jadi tidak mau keluar.
Biasanya Kirana akan memanggil bu Wulan untuk meminta bantuan. Tapi, sekarang hanya ada Barra. Kirana malu untuk membangunkan Barra.
"Hmm... Gimana ya? Duh, udah gak tahan lagi," gumam Kirana.
Kirana melihat kursi roda di samping ranjangnya. Matanya membesar. Ia meraih lalu membukanya.
"Nah, bisa!" seru Kirana pelan.
Kirana bermaksud menggeser tubuhnya berpindah ke kursi roda. Namun, ia lupa mengunci rodanya. Ketika, ia mengangkat tubuhnya bertumpu pada pegangan kursi, rodanya bergerak.
Bruk!! prang!
Kirana jatuh menelungkup di lantai.
Barra tersentak bangun mendengar suara jatuh. "Kira!" panggilnya. Ia melihat Kirana tidak ada di atas kasur.
"Kira!" panggilnya lagi. Barra menyalakan lampu kamar.
"Ya Allah! Kira apa yang terjadi?" Barra berlari ke arah Kirana. Ia langsung memegang lengannya.
Kirana menengadahkan dagunya. Tersenyum lebar pada suaminya.
"Kenapa bisa jatuh?" Barra melingkarkan tangannya di pinggang Kirana, mengangkat dan membantunya duduk di atas kasur.
Kirana tidak bersuara.
"Kira... ?" tanyanya lagi. Matanya lurus ke arah Kirana.
Dug dug dug...
Aduh kenapa mandangnya harus gitu sih? bisik hati Kirana.
"Hmmm... Aku ingin pipis," jawab Kirana malu-malu. Pipinya bersemu merah.
Kirana sempat melihat senyum di bibir Barra, sebelum mengangkat tubuh Kirana ke dalam dekapannya. Kirana langsung memeluk leher Barra karena takut terjatuh. Barra menggendongnya ala bride style.
"Kenapa tidak bangunkan aku?!"
Dug dug dug dug...
Dalam dekapan Barra, Kirana tidak bisa bersuara.
Barra menurunkannya di kloset, lalu berjongkok di depan Kirana. Kirana bisa merasakan terpaan nafas Barra di wajahnya .
"Bisa sendiri dari sini?" tanya Barra dengan suara rendah.
Haduh, haduh, tenang... Tenang hati! sahut Kirana dalam hati.
Kirana mengiyakan dengan anggukan kepala. Pipinya panas.
Barra bangkit. Namun, entah disengaja atau tidak, Kirana merasakan jari Barra menyentuh pipinya. Ia melangkah keluar dan menutup pintu.
Kirana lalu mulai melakukan ritual BAK.
"Mas...!" panggil Kirana pelan setelah selesai.
Tidak ada jawaban.
"Mas... Mas Barra... " panggilnya lagi, sedikit mengeraskan suaranya.
Tidak ada tanda-tanda Barra akan masuk.
"Duh, ke mana sih dia?" gerutu Kirana sedikit kesal.
"Mas... Mas... Mas Barra, aku sudah selesai," kali ini Kirana sedikit berteriak.
Ceklek.
Pintu terbuka.
Kirana lega.
"Sudah?" Barra memastikan.
"Sudah, Mas," jawab Kirana pelan.
Barra menggendongnya lagi, membawa dan merebahkannya di atas tempat tidur.
"Aduh!" Kirana menahan sakit.
Siku Kirana terasa sakit karena tadi sempat menahan berat badannya saat terjatuh.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Barra memeriksa lengan Kirana. Ia melihat memar biru pada siku. Kulitnya sedikit terkoyak karena bergesekkan dengan lantai.
"Sakit?" Barra menyentuhnya lagi.
"Ish, iya Mas. Jangan dipegang!" Kirana meringis menarik tangannya.
"Tunggu sebentar!" Barra keluar dari ruangan.
Tak berapa lama, ia kembali sambil membawa salep. Rupanya ia meminta obat memar pada suster.
"Mana sini! Mana yang sakit?"
Kirana mengulurkan lengannya. Barra mengoleskan salep dengan lembut.
"Lain kali, jangan ragu bangunkan aku kalau kamu butuh apa-apa."
Kirana diam. Dia asyik melihat Barra yang sedang mengoleskan salep.
"Kira...?" Sekali lagi pandangan mereka bertemu.
"I...iya Mas," Kirana gugup.
"Sudah. Ada lagi yang sakit?" Barra memutuskan pandangan. Berdiri.
Kirana menggeleng.
"Tidurlah lagi."
Barra mematikan lampu kemudian kembali tidur di atas sofa.
Kirana menarik selimut hingga dagu. Ia bertanya-tanya kenapa hatinya selalu berdegup kencang saat dekat dengan Barra.
Hati kamu kenapa sih?
**********
Kenapa Barra kelihatan dingin dengan Kirana ya? Barra Tidak terlihat seperti suami yang hampir kehilangan istrinya. Apakah Kirana menyadarinya? Yuk, ikuti terus kisah mereka!
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan jejak, like, 5 bintang, komen, gift dan vote. Karena support sekecil apapun dari kalian, sangat berarti untukku 😄😄
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!