NovelToon NovelToon

Kepincut Ustadz Muda: Drama & Chill

BAB 1 Kebebasan Terakhir

Dentuman musik menghentak tanpa ampun, memantul di dinding kaca, berbaur dengan sorak sorai pengunjung yang larut dalam malam. Lampu strobo berkedip-kedip, menciptakan ilusi seakan dunia ini hanya ada dua warna gelap dan terang.

Di tengah riuh itu, seorang gadis berdiri dengan tangan terangkat tinggi, rambut panjangnya terurai berantakan, matanya berkilat penuh gairah. Ia tertawa lepas, tawa yang lebih nyaring daripada musik yang menggedor telinga.

Namanya Maya. Gadis berusia dua puluh tahun yang terkenal kocak, keras kepala, dan paling anti dengan kata aturan. Baginya, hidup adalah panggung, dan ia adalah pemeran utama yang tak mau diatur naskah mana pun.

“Ya ampun, Maya!” teriak Mika, sahabatnya, sambil setengah menutupi telinga.

“Nggak ada capeknya, ya, lo? gue aja udah pegel semua.”

Maya merangkul bahu Mika dan mengguncangnya pelan, membuat minuman di tangan Mika hampir tumpah. “Capek itu pilihan, Mik. gue sih nggak pernah pilih capek. gue pilih hepi!”

“Gila lo,” Mika terkekeh, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan senyum. Ia sudah terbiasa dengan gaya sahabatnya itu.

Mereka berdua menembus kerumunan, tertawa, menari, sesekali melontarkan komentar konyol pada orang-orang di sekitar. Maya selalu bisa membuat suasana cair, bahkan pada orang asing. Ada sepasang pria di meja dekat bar yang terbahak melihat tingkahnya menirukan gaya DJ, lengkap dengan ekspresi wajah lebay seolah sedang mengendalikan ribuan pasukan musik.

“Ladies and gentlemen!” teriak Maya pura-pura memegang mikrofon, padahal hanya botol kosong di tangannya. “Malam ini kita di sini bukan buat diem, bukan buat mikirin masalah hidup, bukan juga buat galau mikirin mantan! Malam ini… kita bebas!”

Sorak sorai kecil terdengar dari sekitar, beberapa orang menepuk tangan seakan Maya benar-benar sedang memberi orasi.

Mika menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Astaga, bisa nggak sih lo sehari aja jadi normal?”

“Normal itu overrated,” sahut Maya cepat, lalu kembali menenggak minumannya.

****************

Jam bergulir cepat. Musik terus menghentak, tubuh-tubuh semakin liar di lantai dansa, tapi Maya tetap segar. Bagi Mika, jam dua pagi sudah lebih dari cukup untuk pulang. Namun bagi Maya, ini baru pemanasan.

“Mik, ayo satu lagu lagi, habis itu kita pulang,” rayunya sambil menarik tangan sahabatnya.

Mika menghela napas panjang. “Lagu terakhir ya, sumpah. Abis itu kita pulang, gue beneran udah nggak kuat.”

“Okeee, janji deh.”

Maya menepati janjinya setidaknya setelah tiga lagu tambahan yang ia anggap “bonus.” Mika hampir pingsan, sementara Maya masih bisa bercanda dengan bartender soal koktail termanis di dunia.

Ketika akhirnya mereka keluar dari diskotik, hawa dingin malam langsung menyergap. Udara luar terasa segar, seakan memberi tamparan setelah berjam-jam terjebak dalam kepulan asap rokok dan aroma alkohol. Jalanan sudah sepi, hanya ada beberapa kendaraan lewat.

Mika merapatkan jaketnya. “Besok gue pasti tepar. Kalau gue nggak bangun buat kuliah, itu semua salah lo, May.”

“Kalau lo nggak bangun kuliah, berarti lo akhirnya tahu rasanya jadi gue,” jawab Maya sambil cengengesan.

"Big no! ya, Maya senakal-nakalnya gue, gue ga bakalan ninggalin kuliah sehari pun", jawab Mika Tegas.

"Ah, iyaa gue lupa, lo kan lagi ngincer dosen baru lo itu kaan", Maya memainkan kedua alisnya, wajah tengilnya berusaha menahan tawa.

"Mayaaa stop yaa", Mika menatap Maya horor.

"ahaha iya iyaa, gausah liat gue kayak gitu, lo jadi mirip suzanna versi Depok",

“Heh kalau orang tua gue tahu gue ikut-ikutan lo ke tempat kayak gini gimana?” Mika menatapnya tajam.

Maya mengangkat alis. “Santai aja, Mik. Yang penting kita seneng. Hidup ini buat dijalanin, bukan buat ditakutin.”

Mika hanya bisa menggeleng. Kadang ia iri pada Maya, bagaimana gadis itu bisa seolah tak peduli pada beban apa pun. Tapi di sisi lain, Mika juga tahu,di balik semua tawa dan kelakar, Maya sering menyimpan sesuatu yang tak pernah ia ceritakan.

***************

Maya sampai di rumah hampir pukul tiga pagi. Jalanan kampung sudah sunyi, hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing yang terdengar. Ia berjalan pelan, berusaha menahan tawa sendiri ketika teringat ekspresi panik Mika saat hampir jatuh karena salah pijak di lantai dansa.

Tangannya meraba pintu gerbang kecil rumah. Ia membuka perlahan, berharap bisa menyelinap tanpa suara. Malam ini terlalu indah untuk diakhiri dengan omelan.

Namun begitu ia melangkah masuk ruang tamu, Maya langsung membeku.

Di sofa panjang, lampu redup menerangi wajah-wajah yang sudah menunggunya. Wajah yang penuh amarah.

Ayahnya duduk dengan rahang mengeras, tangan terlipat di dada. Ibunya berdiri tak jauh, tatapannya menusuk, seakan bisa menembus semua alasan yang mungkin akan Maya lontarkan. Sementara itu Alin adiknya tengah duduk sembari mengunyah keripik kentang.

Seolah begitu tidak bersabar menyaksikan bagaimana sang kakak akan mengelak kali ini. Tingkahnya seperti seseorang pecinta serial drama yang akan melihat drama secara langsung.

Maya menatap sinis pada Alin, mulutnya menggerutu pelan. Sementara itu Alin justru terlihat menahan tawanya.

“Maya,” suara ayahnya pelan tapi berat, nyaris lebih menakutkan daripada teriakan. “Kamu kira ini jam berapa?”

"Jam tiga pah, kok belum pada tidur? lagi nungguin hasil ngepet Maya malam ini ya?, aduh Maya lagi apes duitnya kepake", Ucap Maya terlihat tak bersalah.

"ppfttt...", Alin terlihat menahan tawanya.

“Maya!” suara ayahnya membentak, membuat Maya sedikit tersentak.

Biasanya, ia selalu bisa mengelak dengan candaan, tapi malam ini berbeda. Sorot mata ayahnya lebih tajam dari biasanya, penuh dengan rasa marah yang ditahan-tahan.

Maya menelan ludah. Tiba-tiba semua keberanian dan tawa yang tadi memenuhi dirinya menguap begitu saja.

"Tamat riwayat gue", cicit Maya pelan.

✨️Bersambung✨️

BAB 2 Hukuman Terberat

"Tamat riwayat gue ", cicit Maya pelan.

Dia berdiri kaku di depan pintu, sementara kedua orang tuanya menatapnya tanpa berkedip. Wajah mereka jelas sekali menunjukkan amarah bercampur kekecewaan.

Ibunya melangkah lebih dulu. “Kamu pulang jam segini, Maya? jam tiga pagi? dan bisa-bisanya kamu masih bercanda kayak gitu?,Kamu kira rumah ini hotel?!”

Maya mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. “Hotel mana ada yang gratis kayak gini, mah. Kalau ini hotel, aku udah disuruh bayar sewa tiap bulan.”

“Maya!” suara ayahnya membentak, membuat Maya sedikit tersentak.

Biasanya, ia selalu bisa mengelak dengan candaan, tapi malam ini berbeda. Sorot mata ayahnya lebih tajam dari biasanya, penuh dengan rasa marah yang ditahan-tahan.

“Berapa kali kami bilang? Jangan keluar malam, apalagi ke tempat-tempat nggak jelas begitu!” lanjut ayahnya.

Maya menghela napas keras, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa seakan ruangan itu hanya miliknya.

 “Diskotik itu jelas kok, pah. Ada papan namanya gede banget di depan, nggak mungkin nggak jelas.”

Ibunya menepuk meja. “Maya! Kamu selalu saja membantah. Kamu pikir hidup itu hanya tentang bersenang-senang? Tentang kebebasanmu sendiri?”

Maya mendongak, tatapannya penuh perlawanan. “Terus hidup itu harus gimana, Mah? Bangun, sekolah, pulang, tidur, besok ngulang lagi? Aku bukan robot! Aku cuma pengin ngerasain hidup dengan cara aku sendiri!”

Keheningan menyusul. Hanya terdengar detak jam dinding yang terasa lambat.

Ayahnya berdiri, tubuhnya tegap, suaranya berat tapi bergetar menahan emosi.

 “Maya, kamu pikir kami nggak ngerti? Kamu pikir kami nggak tahu kamu pengin bebas? Tapi kebebasan itu ada batasnya! Kalau kamu terus begini, kamu bukan cuma nyakitin diri sendiri… kamu juga bikin malu keluarga ini!”

Kata malu itu menancap dalam. Maya mendengus, lalu berdiri.

 “Malu? Malu karena aku nggak jadi anak penurut kayak yang kalian mau? Maaf ya, aku bukan tipe anak yang bisa disetir seenaknya!” Maya menatap kearah Alin yang kini ikut menunduk.

Ibunya terdiam, terlihat tersinggung sekaligus sedih.

Maya menatap mereka sebentar, lalu berbalik menuju kamarnya. “Kalau buat kalian aku salah cuma karena aku pengin jadi diri sendiri, ya udah. Biarin aku salah.”

Pintu kamarnya dibanting keras, meninggalkan ruang tamu yang sunyi namun penuh bara.

......................

Begitu pintu kamar tertutup, terdengar suara langkah ringan. Alin muncul di ambang pintu, tangan di saku celana, tangan satunya terlihat menjinjing sebungkus keripik kentang. Wajahnya tenang tapi matanya sedikit menahan tawa.

“kak… lo mau cerita?, atau mau gue jagain lo biar nggak kebanyakan drama sendirian?”

Maya menatapnya, setengah kesal, setengah lega. “Ngapain lo kesini? ntar lo bangun kesiangan gue lagi yang dimarahin,”

Alin mendekat, duduk di ujung tempat tidur.

 “Tenang… gue kesini nggak bakal komentar tentang ‘kebebasan’ lo itu kok. Tapi… kalau lo mau nangis atau ngomel, gue siap jadi penonton setia.”

Maya menggeleng, tapi sedikit senyum. “Tumben lo baik gitu, duta keripik aja mau dengerin curhatan gue?, banjir tuh ntar air mata,”

Alin mengangkat bahu. “Justru itu bakat terpendam gue. Sekarang, tarik napas… bayangin musik diskotiknya diubah jadi suara ayam jago. Dijamin langsung berkurang gregetnya.”

Maya tertawa kecil, menahan campuran emosi di dadanya. Malam itu, meski hatinya masih panas, hadirnya Alin membuatnya merasa tidak sepenuhnya sendirian.

...****************...

Pagi itu rumah terasa tegang. Maya turun dari kamar dengan rambut acak-acakan, masih memakai kaus longgar bekas tidurnya. Ia menemukan kedua orangtua nya tengah duduk di ruang makan, wajah mereka serius seakan sedang menunggu vonis.

Sementara Alin dia sudah berangkat kuliah sejak tadi.

“Duduk, Maya,” kata ayahnya singkat.

Maya mengangkat alis, mencomot gorengan di meja tanpa banyak pikir. “Wih, serius amat. Kayak sidang KPK aja.”

Ibunya menatapnya tajam. “Kamu pikir ini main-main, Maya? Kami sudah tidak bisa diam lagi.”

Maya berhenti mengunyah, lalu bersandar santai di kursi. “Oke, jadi vonisnya apa nih? Penjara seumur hidup karena aku pulang jam tiga pagi?”

Ayahnya mengetuk meja dengan keras. “Cukup, Maya! Mulai besok kamu masuk pesantren.”

Gorengan yang ada di mulut Maya hampir saja tersemprot. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata melebar. “Pesantren? Serius nih? Kalian bercanda kan? Aku tuh udah besar, bukan anak TK lagi. Masa iya udah segede ini masuk pesantren!”

Ibunya menggeleng, suaranya mantap. “Ini keputusan kami, Maya. Kamu terlalu liar. Kami nggak mau kamu rusak. Di pesantren, kamu akan belajar disiplin, agama, dan tahu batasan. Lagipula pesantren yang ini khusus untuk yang sudah seperti kamu ini",

Maya tertawa kecil, tapi tawa itu hambar. “Aduhh mah dsiplin? Batasan? Mah, pah… masa iya seorang Maya yang lebih cocok jadi pemandu karaoke ini bakal alih profesi jadi santri sih, plis not my style!”

Ayahnya menatap lurus ke matanya. “Kalau kamu tetap tinggal di rumah ini, kamu harus ikut aturan kami. Dan aturan kami sekarang adalah pesantren.”

Maya terdiam. Hatinya bergolak, antara marah, bingung, sekaligus takut. Ia tahu, sekali orang tuanya sudah bicara seperti ini, jarang sekali bisa digoyahkan.

Ia berdiri, kursinya bergeser keras di lantai. “Jadi gitu? Karena aku nggak sesuai sama bayangan anak ideal kalian, aku dibuang ke pesantren?”

Ibunya menghela napas panjang. “Kami nggak buang kamu, Maya. Kami selamatkan kamu.”

Maya menatap mereka dengan mata berair, meski ia buru-buru memalingkan wajah agar air mata itu tak terlihat. “Selamatkan? Atau sekadar bikin aku jadi boneka aturan?”

Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas kembali ke kamarnya, membanting pintu lebih keras dari semalam.

Di dalam kamar, Maya menendang tas ranselnya sendiri. Ia berbaring di kasur, menutup wajah dengan bantal. Untuk pertama kalinya, tawanya benar-benar hilang.

Diskotik, lampu, kebebasan semuanya seperti menjauh. Yang tersisa hanyalah tembok tinggi pesantren yang kini membayangi masa depannya.

Dengan cepat ia mengambil handphone nya. Melakukan panggilan pada Mika, orang yang mungkin bisa membantunya kali ini.

Panggilan tersambung,

" Hai May..... tumben lo telpon gue pagi-pagi gini, mau minta ceramah pagi lo", Mika terdengar santai dari sebrang sana.

"Mikaaaaaa.....tolongin gue, gue mau dimasukin ke pesantren gimana ini huhu", rengeknya begitu nyaring.

"What?!.. serius lo May?," Mika terdengar tidak percaya .

"Demi rumah spongebob, gue serius!gimana dong!",

"May..gue ga bisa lakuin apapun, saran gue untuk kali ini gak ada salahnya kan nurutin keinginan orang tua lo?, ya setidaknya masa depan lo lebih terarah. Daripada kayak sekarang lo luntang lantung gak tau arah gini", Ujar Mika mencoba memberi Maya saran.

"Ah! nyebelin lo!",

Maya berdiri, hatinya kembali panas sahabatnya justru lebih mendukung orang tua nya. Dengan perasan kesal ia mematikan panggilan itu sepihak.

Ia merenung,walaupun tidak terima tapi kata-kata Mika ada benarnya. Cepat-cepat ia menampik perasaan itu. Mengambil bantal dan menutupi wajahnya. Masuk Pesantren adalah hukuman terberat baginya.

✨️Bersambung✨️

BAB 3 H-1 Jadi Santri

Setelah obrolan di ruang makan itu, Maya benar-benar tidak bisa melangkahkan kakinya kemanapun. Orang tuanya seolah sudah mengantisipasi kalau Maya akan bertindak nekat dengan melarikan diri dari rumah.

Bahkan beberapa Art nya juga terlihat sibuk sedari tadi di kamarnya. Dipandu oleh sang ibu, mereka terlihat sedang membereskan barang yang akan dibawa ke pesantren.

Sementara itu Maya hanya duduk diatas Ranjang sembari menatap kesal ke arah mereka. Rasanya ingin sekali menendang nya satu persatu.

"Mah....mamah serius mau bawa aku ke pesantren?!", Maya berdiri dan mencoba merayu ibunya.

"Demi kebaikan kamu nak, mamah gak mau kamu terus hidup dilingkungan yang penuh dengan pergaulan bebas ", Ucap sang ibu tanpa menoleh ke arah sang anak.

"Aduh, mah kata siapa sih aku pergaulan bebas? yang Maya lakukan itu cuma sekedar menyalurkan hobi kok", Wajah Maya memelas.

Bu Rani berdiri menatap anaknya yang tengah memasang wajah sedih. Namun kali ini ia tidak akan masuk kedalam hasutan anak sulungnya itu.

"Maya! keputusan mamah dan papah udah valid ga bisa di nego lagi, titik", Setelah mengatakan itu bu Rani langsung berjalan keluar.

Sementara itu Maya mencak-mencak sendiri, susah sekali merayu orang tuanya. Beberapa Art nya terlihat menahan tawa saat melihat ekspresi Maya yang tidak seperti biasanya.

......................

Sementara itu Di ruang tamu, Pak Arman tengah duduk sembari menyeruput kopi pahitnya. Bu Rani datang dengan wajah lesunya. Ia berulang kali menghembuskan napas kasar,hingga akhirnya membuka suara.

"Pah.. apa ini keputusan yang benar ya buat Maya?", ucapnya lirih.

Pak Arman menarik napas panjang, " Maya itu sudah kelewatan mah, kalau kita gak ambil keputusan ini, kita gak tau gimana caranya buat bikin dia jadi anak yang seperti dulu lagi",

"Mungkin.....kita juga harus mendengarkan pendapat nya pah, dengan membiarkannya menjadi dancer seperti yang dia mau, mungkin saja Maya akan berubah", sahut bu Rani dengan hati-hati.

"Tidak mah! dancer itu gak cocok untuk lingkungan keluarga kita!keluarga ini terlalu terhormat untuk profesi seperti itu! papah tegaskan sekali lagi, Maya akan tetap aku masukkan ke Pesantren!", tegas pak Arman tak ingin dibantah.

Bu Rani menunduk tak mau membantah, suaminya adalah orang yang tidak suka dibantah. Setiap perkataannya adalah hal mutlak yang tak bisa dirubah.

"Lagipula pesantren itu merupakan pesantren terkenal di daerah pelosok desa mah, Maya gak akan bisa kabur dari sana", tambah pak Arman.

"Mamah ikut aja pah, semoga ini yang terbaik untuk Maya, apa papah kenal dengan pemiliknya?", Bu Rani berdiri sembari memijat bahu sang suami.

"Pemiliknya itu kiyai Bahar mah, teman masa sekolah papah, tenang aja papah udah nitip Maya ke dia, dan dia juga sudah menyanggupi", kali ini suara pak Arman lebih lembut.

Ditengah obrolan itu pintu terbuka lebar, Alin datang dengan wajah kusutnya. Ia mendengar semua percakapan orang tuanya. Hatinya panas ia ikut kesal, mendengar keputusan orangtua nya mengenai Maya.

"Alin, kamu sudah pulang nak", buk Rani menghampiri Alin yang masih diam tak bergerak.

"Dari dulu keinginan anak-anak dirumah ini emang gak penting kan pah", lirihnya sembari menatap ke arah pak Arman. Matanya terlihat berkaca-kaca, sekuat tenaga Alin menahan agar air matanya tidak jatuh.

Buk Rani menunduk,hatinya ikut sedih. Melihat putri bungsunya yang biasanya ceria justru kini terlihat berurai air mata.

Sementara itu Pak Arman terlihat pura-pura tidak mendengar, ia lebih sibuk dengan secangkir kopinya.

Alin yang kesal langsung beranjak meninggalkan kedua orang tuanya. Ia melangkah cepat kearah kamar sang kakak.

"Pasti kakak lagi sedih banget, setidaknya gue harus nemenin dia malam ini", pikirnya.

Pintu kamar dibuka perlahan, Alin masuk dengan cepat. Air matanya masih bergulir deras, namun baru saja ia melangkah bibirnya terbuka lebar melihat apa yang terjadi didalam kamar sang kakak.

Beberapa Art nya tengah jadi kanvas alami ditangan Kakaknya. Wajah-wajah itu terlihat dihiasi make up joker yang tebal bak seorang pantomim yang akan manggung.

Mbok Sarmi yang kini tengah dirias asal itu menatap Alin dengan memelas. Seolah meminta pertolongan agar Maya tidak kembali menghias wajahnya. Sementara itu Maya duduk sembari memegang kanvas make up dengan gaya tengilnya.

Alin spontan menutup mulutnya, menahan tawa yang hampir meledak. Air mata kesedihannya tadi seolah hilang begitu saja melihat tingkah aneh kakaknya.

“Kak! Ya Allah… ini apaan sih?!” seru Alin sambil menunjuk wajah Mbok Sarmi yang sudah penuh dengan bedak putih tebal dan lipstik merah yang melebar sampai ke pipi.

“Kenapa? Bagus kan? Joker versi Maya lebih kece daripada aslinya,” jawab Maya dengan wajah penuh percaya diri, tangannya masih lincah menggoreskan kuas ke pipi ART lain yang pasrah jadi korban.

Alin mendekat sambil setengah kesal, setengah geli. “Kak, serius… bukannya tadi kakak lagi marah sama Mamah sama Papah? Kok malah begini?”

Maya menghentikan gerakannya sejenak, lalu tersenyum miring. “Ya habis gimana Lin, daripada gue stress mikirin pesantren itu, mending gue bikin karya seni. Nih, lihat kanvas hidup gue,” ujarnya sambil menunjuk ART-ART yang sudah didandaninya.

ART yang lain menunduk menahan tawa, ada juga yang pipinya berkedut menahan malu.

Alin akhirnya ikut tertawa kecil, tapi tawanya masih bercampur sedih. Ia duduk di sebelah kakaknya lalu berbisik, “Kak… aku denger obrolan Papa sama Mama tadi. Mereka bener-bener serius mau masukin kakak ke pesantren.”

Wajah Maya mendadak berubah muram. Senyumnya hilang, ia meletakkan kuas make up itu di meja. “Gue tahu Lin… dan gue bener-bener gak bisa nerima itu. Rasanya kayak mereka gak pernah denger apa yang sebenarnya gue mau.”

Alin menggenggam tangan kakaknya erat. “Aku ngerti, Kak. Aku juga kesel sama Papa. Dari dulu, keinginan kita gak pernah dianggap.”

Maya menatap adiknya, matanya ikut berkaca-kaca. “Terus gue harus gimana, Lin? Kabur? Gue udah coba, tapi pasti ketahuan.”

Namun sebelum Alin sempat menjawab, terdengar suara ketukan keras dari luar pintu kamar. Suara berat Pak Arman terdengar menggema.

“Maya! Besok pagi kita berangkat. Jangan coba-coba bikin ulah lagi!”

Suara langkah kaki Pak Arman menjauh, meninggalkan ketegangan di kamar. Maya hanya bisa menghela napas panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.

“Udahlah Lin, kayaknya gak ada lagi yang bisa gue lakuin. Besok gue Beneran dibawa ke pesantren…” ucapnya lirih, menatap kosong ke langit-langit kamar.

Alin ikut duduk di samping kakaknya, wajahnya masih terlihat murung. “Kak…”

Belum sempat Alin melanjutkan, Bu Rani masuk ke kamar. Dengan suara tegas tapi tetap lembut, ia memberi instruksi pada ART-ART yang masih terpaku di dalam.

“Kalian keluar dulu. Biarin Maya istirahat, besok kita berangkat pagi-pagi,” katanya.

Para ART itu segera menunduk sopan lalu bergegas keluar, sebagian masih menahan tawa kecil karena wajah mereka yang penuh make up joker. Begitu pintu tertutup, suasana kamar jadi lebih hening.

Maya bangkit setengah duduk, wajahnya masih kesal. “Lihat kan, Lin? Gue beneran gak punya pilihan. Semua orang di rumah ini ikut aturan Papa. Bahkan Mama juga gak bisa nolak.”

Alin menggenggam tangan kakaknya, kali ini lebih erat. “Iya Kak… tapi jangan nyerah dulu. Mungkin aja di pesantren nanti kakak nemuin sesuatu yang bisa bikin Papa sadar. Atau justru… kakak bisa nunjukin kalau hobi kakak itu bukan hal buruk.”

Maya memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. Antara marah, kecewa, dan takut bercampur jadi satu. Ia ingin melawan, tapi bayangan wajah tegas ayahnya membuatnya tak berani.

“Oke..gue bakal ikut ke pesantren dan bikin mereka nyesel karna udah bikin seorang Maya masuk ke penjara syari'ah", Ucap Maya penuh penekanan.

✨️Bersambung✨️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!