NovelToon NovelToon

SHE LOVE ME, I HUNT HER

Hai, Aries

Agatha Aries Sandy, seorang Dokter spesialis penyakit dalam yang disegani di Rumah Sakit Kota A.

Dia baru saja kembali dari seminar kedokteran di luar kota. Sepanjang perjalanan pulang Agatha memikirkan perdebatan sebelumnya dengan istrinya Rena, membuatnya akhirnya menyiapkan hadiah untuk istrinya. Dia sengaja tidak mengabari kepulangannya untuk memberi kejutan.

Namun, kejutan yang ia dapatkan jauh dari manis. Pemandangan yang menyambutnya di ruang tengah rumahnya bagai petir yang mengguncang hidupnya.

Rena dalam pelukan mesra seorang pria yang sangat dikenalnya, Reza. Pria yang menjadi sahabatnya sejak di bangku SMA.

Melihat tubuh istrinya sedang dalam rengkuhan Reza, membuatnya marah. Namun, Agatha tidak ingin emosinya menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Karena ada reputasi yang harus ia jaga.

Tanpa sepatah kata pun, Agatha berbalik. Bibirnya terkatup rapat, menahan ledakan emosi yang menggelegak di dalam hatinya. Masuk ke dalam mobil, tangan kanannya mengepal kuat, memukul stir mobil berulang kali.

“Aku akan membalas semua ini!” batinnya.

Dia melajukan mobilnya ke Rumah Sakit, tempat dia bekerja. Dia memilih mencari ketenangan di sana dan memikirkan cara untuk membalas perbuatan istri dan sahabatnya yang telah mengkhianatinya.

Tiba di rumah sakit, Agatha menuju rooftop rumah sakit, mencari udara segar. Menyalakan sebatang rokok untuk menemaninya dalam kesepian.

Suara tangisan seorang wanita terdengar, membuatnya mencari asal suara itu. Di sana, Agatha melihat seorang wanita berdiri di tepi pembatas, siap mengakhiri hidupnya.

“Apa yang kau lakukan? Turun!” teriak Agatha, berusaha menghentikan aksi nekat itu.

Wanita itu menoleh. "Untuk apa aku hidup?” ucap wanita itu lirih.

“Turun! Kau ingin mati?” Agatha perlahan mendekat, mengubah nadanya menjadi lembut. Agar ucapannya didengar

Wanita yang semula menunduk, mengangkat kepalanya dan menatap Agatha.

“Aries, kau Aries?” tanya wanita itu, membuat Agatha terkejut, karena tahu nama beken-nya saat SMA.

“Kau... siapa?” Agatha mendekat satu langkah lagi.

Wanita itu tersenyum, seolah apa yang dia lihat adalah hal paling bahagia sebelum nyawanya berakhir.

“Cepat turun! Aku seorang Dokter. Aku akan mendengarkan kesakitan mu. Katakan,” ucap Agatha.

Wanita itu melempar sebuah buku kecil ke arah Agatha sebelum terjun ke bawah.

“Tidaaak!”

Agatha berteriak histeris. Ia berlari ke tepi rooftop dan menunduk.

Teriakan keras Agatha menggema, disusul oleh suara dentuman tubuh yang menghantam tanah di bawah.

Orang-orang di lantai dasar yang mendengar dan menyaksikan tragedi itu ikut menjerit histeris.

Agatha masih tercekat, matanya terpaku pada selembar buku harian kecil yang tergeletak di dekat pembatas, seolah sengaja ditinggalkan.

Tanpa berpikir panjang, ia meraih buku itu, menyelipkannya ke dalam saku jasnya, lalu berlari menuruni tangga secepat kilat menuju lokasi jatuhnya pasien wanita yang belum ia ketahui namanya.

Di bawah, kerumunan orang sudah terbentuk. Sirene polisi meraung-raung mendekat. Petugas segera mengevakuasi tubuh wanita itu yang sudah tak bernyawa dan memasang garis polisi mengelilingi TKP.

Agatha berdiri di antara kerumunan, tubuhnya gemetar, matanya tak lepas dari sosok yang kini terbungkus kain. Dua kejadian pahit dalam satu malam, seolah menamparnya bertubi-tubi.

Dengan langkah gontai, Agatha mundur dari kerumunan, mencari jalan keluar dari hiruk-pikuk kesedihan dan kepanikan itu. Ia kembali ke ruang kerjanya, wajahnya pucat pasi, masih dalam keadaan syok.

Setelah meneguk segelas air dingin untuk menenangkan diri, Agatha kembali duduk di kursinya dengan langkah lambat dan lelah.

Saat tangannya hendak melepas jas putihnya, ia teringat akan buku harian yang tadi ia masukkan ke saku.

Tiba-tiba wajah pasien wanita yang bunuh diri beberapa menit yang lalu muncul di benaknya.

Dengan tangan gemetar, Agatha mengeluarkan buku harian dari sakunya. Rasa penasaran mengalahkan rasa lelah dan syoknya. Tanpa ragu, Agatha membuka buku harian itu.

Lembar demi lembar ia baca, mengisahkan kehidupan seorang wanita bernama Larast.

Lembar pertama tertulis “Untuk Cinta pertamaku, jika aku bisa kembali ke masa lalu. Aku ingin mengungkapkan perasaanku.”

Lembar kedua hanya berisi tentang penyakit leukimia yang diderita Larast selama ini.

Lembaran ketiga membuatnya terkejut ketika menyadari bahwa Larast adalah alumni dari sekolah SMA-nya. Namun, yang lebih mencengangkan, di salah satu halaman buku itu tertulis namanya.

“Aries, kau tahu? Aku selalu mengagumimu. Sejak dulu, saat kau menjadi bintang di klub Judo sekolah kita. Setiap kali kau berlatih, aku selalu mencuri pandang. Bahkan saat kini, aku berusaha mencarimu.”

“Apa?” desah Agatha, tak percaya. Dunia terasa berputar. Wanita yang baru saja mengakhiri hidupnya adalah gadis yang diam-diam mengaguminya di masa SMA?

Rasa penasaran mendorongnya untuk terus membaca lembaran-lembaran berikutnya, menyelami pikiran dan perasaan Larast. Ia membaca hingga larut malam, hingga matanya tak mampu lagi menahan kantuk. Buku harian itu jatuh dari genggamannya, dan terlelap.

Sebuah mimpi aneh membungkusnya dalam badai waktu yang tak terkendali. Angin kencang menghantamnya, menyeretnya ke dalam lorong waktu yang gelap dan berputar-putar. Nafasnya terputus-putus, tubuhnya terasa seperti terhisap ke dalam pusaran yang tak berujung. Ketika ia mencoba bergerak, tubuhnya terasa kaku, seperti terkurung dalam dimensi waktu yang lain.

Namun, ketika ia terbangun, semuanya terasa berbeda.

Aroma keringat memenuhi indra penciumannya. Ia mengenakan seragam Judogi berwarna putih, dan di sekelilingnya, wajah-wajah remaja yang familiar menatapnya. Ia berada di sebuah Gymnasium, 20 tahun yang lalu, kembali ke masa remajanya.

Bersambung.

Jangan lupa tinggalkan jejak, untuk vote, like, subscribe dan komentarnya.

My Larast

Agatha masih tercekat, dia memandang sekeliling. Tatapannya kosong. “Apa yang aku lakukan disini?” Agatha membolak-balikkan telapak tangannya tanpa sadar.

“Aries! Kemari!” Suara Kapten Utama, Sensei Ryu memecah konsentrasinya.

“Aries?” Agatha menggumam sesaat, sudah cukup lama nama itu tidak terdengar di telinganya.

“Cepat!” panggil Sensei Ryu dengan suara yang berat. “Dan kau, Reza! Maju ke depan!”

Agatha menoleh ke belakang, dia melihat Reza sahabatnya. Wajah muda Reza, membuat Agatha sadar jika dia sedang terjebak di dimensi masa lalu.

Agatha melangkah maju dan Reza mengikutinya.

“Kalian berdua!” Sensei Ryu melanjutkan, menunjuk ke tengah matras. “Aries akan mendemonstrasikan beberapa teknik dasar dan lanjutan. Reza, kau akan menjadi uke-nya. Tunjukkan kepada mereka apa artinya kesempurnaan dalam judo!”

Mata Agatha menyipit tipis. Ini adalah kesempatan yang tidak ia duga. Kesempatan untuk melampiaskan amarahnya, mengingat Reza telah berkhianat kepadanya di masa depan.

“Siap, Sensei!” jawab Agatha, suaranya mantap.

Reza mengambil posisi di hadapannya, seringai tipis tersungging di bibirnya.

“Kita mulai dengan O-goshi,” kata Agatha, suaranya tenang namun mengandung otoritas. “Perhatikan bagaimana kuzushi pemecahan keseimbangan dilakukan.”

Agatha bergerak mendekat. Tangannya yang kuat mencengkeram erat kerah dan lengan Reza. Cengkeraman itu, meskipun tampak standar, memiliki kekuatan yang sedikit berlebihan, membatasi gerakan Reza bahkan sebelum teknik dimulai.

Agatha menarik Reza ke arahnya, memastikan Reza sedikit condong ke depan, lalu memutar pinggulnya dengan cepat dan dalam, memposisikan pinggulnya tepat di bawah pusat gravitasi Reza.

Saat Agatha mengangkat Reza, ia memastikan bahwa kake aplikasi teknik dilakukan dengan kekuatan yang tepat.

Reza terangkat dari matras, tubuhnya melayang sesaat sebelum Agatha memutar tubuhnya, melemparkan Reza ke matras.

GEDEBUK!

Agatha memastikan Reza jatuh dengan punggung rata, namun dengan sedikit hentakan yang lebih keras dari yang seharusnya untuk demonstrasi biasa.

Reza terkesiap, napasnya sedikit tertahan, namun ia segera bangkit, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menusuk. “Sialan!” batinnya kesal.

“Bagus sekali, Aries! Perhatikan kuzushi dan tsukuri nya!” puji Sensei Ryu, sama sekali tidak menyadari nuansa di balik lemparan itu.

“Selanjutnya, Ippon Seoi Nage,” kata Agatha, tidak memberi Reza waktu untuk bernapas.

Kali ini, Agatha bergerak lebih cepat. Ia menarik lengan Reza, memutar tubuhnya di bawah lengan Reza, dan menyelipkan lengan nya di bawah ketiak Reza.

Cengkeraman di lengan Reza diperketat, membuat sendi bahunya sedikit tegang. Saat ia menarik dan memutar, Agatha memastikan Reza tidak memiliki kesempatan untuk beradaptasi atau menahan.

Reza sekali lagi terlempar, kali ini dengan efek yang lebih mengejutkan, mendarat dengan bahu terlebih dahulu sebelum punggungnya menghantam matras. Rasa sakit itu menjalar, namun Reza tetap berusaha mempertahankan wajah datar.

“Luar biasa. Kecepatan dan presisi yang tepat!” Sensei Ryu bertepuk tangan.

Agatha melirik Reza. Ada sedikit kerutan di dahi Reza, “Ini pembalasanku, br*ngsek!”

“Sekarang, kita akan melihat Uchi-Mata,” Agatha melanjutkan, suaranya tetap tenang. “Ini membutuhkan koordinasi yang sempurna antara kaki dan pinggul.” imbuhnya.

Agatha mengambil langkah maju, menarik Reza ke dalam jangkauannya. Ia mengayunkan kakinya ke dalam paha Reza, bukan hanya untuk menyapu, tetapi dengan sedikit dorongan ke atas yang membuat Reza kehilangan pijakan sepenuhnya.

Pada saat yang sama, ia menarik kerah Reza ke bawah dan ke samping, memutar tubuhnya. Reza merasakan kakinya terangkat tinggi, tubuhnya berputar di udara dengan cara yang tidak terkontrol. Ia mendarat dengan sisi tubuhnya, mengeluarkan erangan kecil yang nyaris tak terdengar.

“Sempurna! Kekuatan eksplosif dan keseimbangan yang luar biasa!” Sensei Ryu berseru.

Setelah beberapa lemparan lagi, masing-masing dengan sentuhan 'sempurna' yang membuat Reza semakin terengah-engah dan sedikit memar, Sensei Ryu meminta demonstrasi teknik kuncian.

“Aries, tunjukkan Kesa-gatame setelah lemparan,” perintah Sensei Ryu.

Agatha mengangguk. Ia melakukan Osoto-Gari yang kuat, menjatuhkan Reza dengan keras ke matras.

Sebelum Reza sempat bereaksi, Agatha sudah berada di atasnya, mengunci Reza dalam Kesa-gatame kuncian leher, lengan.

Agatha memposisikan tubuhnya dengan sempurna, menekan berat badannya ke dada Reza, membatasi gerakannya. Lengan Reza terkunci erat di bawah ketiaknya, kepalanya tertekan ke matras.

Cengkeraman Agatha tidak menyakitkan, tetapi sangat membatasi. Ia menekan dengan cukup kuat sehingga Reza kesulitan bernapas dalam-dalam, namun tidak cukup untuk dianggap tidak sportif.

Reza mencoba bergerak, namun setiap gerakannya hanya memperkuat cengkraman Agatha. Ia merasa terperangkap, tidak berdaya di bawah kendali Agatha.

“Perhatikan bagaimana Aries mengunci posisi, tidak memberi lawan kesempatan untuk melarikan diri,” jelas Sensei Ryu, mengamati dengan seksama.

Beberapa detik terasa seperti kematian bagi Reza. Dia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdebar kencang, paru-parunya menuntut udara lebih banyak. Akhirnya, Sensei Ryu memberi isyarat agar Agatha melepaskannya.

Agatha bangkit dengan tenang, wajahnya tanpa emosi.

Reza terbatuk pelan, mencoba menarik napas dalam-dalam, matanya bertemu dengan mata Agatha.

“Luar biasa, Aries! Demonstrasi yang sempurna!” Sensei Ryu memuji, bertepuk tangan. “Itulah standar yang harus kita kejar!”

Agatha membungkuk hormat kepada Sensei Ryu, lalu kepada Reza.

Pembungkukan itu tampak sopan, namun ada pesan tak terucap di dalamnya. Sebuah peringatan, sebuah dominasi.

Reza membalas busur itu, namun dengan sedikit gemetar di tangannya. Ia merasa lelah, memar, dan entah mengapa, terhina. “Sial! Dia seakan ingin membunuhku. Apa salahku padanya?” gerutu Reza dalam hati.

Saat Agatha kembali ke barisan, ia merasakan kepuasan yang dingin. Ia telah memberikan 'pembalasan dendam' yang sempurna.

Tanpa kata, tanpa pelanggaran aturan, ia telah menunjukkan kepada Reza siapa yang berkuasa di dojo ini, dan siapa yang akan selalu berada di bawahnya.

“Di masa ini, akulah pemenangnya.”

Setelah latihan Judo yang penuh ketegangan dan konflik, Agatha bergegas keluar dari Gymnasium.

Pikirannya hanya tertuju pada satu hal, Larast. Wanita yang menulis buku harian itu. Wanita di masa depan yang bunuh diri akibat penyakit leukimia nya.

Agatha berlari dari satu kelas ke kelas lainnya, mencoba mencari tahu di mana Larast berada. Ia menyusuri koridor, bertanya pada setiap murid yang ia temui tentang keberadaan Larast.

“Larast?” ujar seorang siswi dari kelas IPA 3A.

“Iya, kau kenal?” tanya Agatha dengan nada mendesak.

Siswi bernama Bella itu mengangguk, kemudian dia menarik bahu Agatha dan berbisik, “Kalau jam segini, biasanya dia di halaman belakang,” ucap Bella.

“Halaman belakang? Untuk apa?” Agatha tampak bingung.

Bella menunjukkan kedua jarinya, memberi isyarat seperti sedang merokok. “Ya, gitulah,” bisiknya.

“Apa?” Agatha tampak terkejut. Larast yang terlihat lemah di masa depan sama sekali tidak cocok dengan gambaran masa sekarang.

Bella lalu menarik bahu Agatha lagi, kali ini dengan satu jari telunjuknya di bibir, “Jangan keras-keras, kalau dia tahu aku memberitahukan kepadamu, aku bisa habis,” ucap Bella lirih, matanya melirik ke sekeliling dengan waspada.

Agatha semakin terkejut. Jadi, Larast di masa SMA adalah sosok yang ditakuti?

Tanpa membuang waktu, Agatha segera berlari ke halaman belakang, tempat persembunyian Larast saat bolos ekstrakurikuler.

“Sialan! Kenapa aku mencarinya?” Sesaat terbesit pertanyaan tentang alasan ia melakukan ini. Mengapa ia begitu terobsesi dengan Larast? Apakah hanya karena buku harian itu? Atau ada sesuatu yang lebih?

Langkahnya terhenti, tepat sebelum memasuki gudang kosong yang menjadi ruang rahasia Larast. Agatha ragu. “Haruskah aku melanjutkan?”

Namun, saat ia akan berbalik, seorang gadis berambut panjang keluar dari gudang kosong itu. Asap rokok mengepul tipis di sekitarnya.

Matanya menatap Agatha tajam, penuh curiga dan permusuhan. “Apa, loe!” gertaknya dengan nada kasar.

Agatha melihat tag nama di dada gadis itu. Jantungnya berdebar kencang.

"L A R A S T" membaca satu persatu huruf dengan wajah kesal.

Bersambung.

Run!

Agatha mengangkat satu alis, matanya menyipit menatap sosok di hadapannya.

Aroma nikotin menyengat hidungnya, membuatnya tanpa sadar mengibaskan tangan di depan wajah. “Kamu merokok?”

Larast hanya mendengus, tidak menggubris. Ia mencoba melewati Agatha, bahunya sengaja menyenggol siswa di depannya itu. “Cih, bukan urusan, loe!”

Namun, Agatha tidak membiarkannya lolos. Ia mencengkram pergelangan tangan Larast, menahannya dengan kuat. “Aku ingin bicara, dengarkan.”

“Apa mau, loe? gertak Larast, matanya memicing tajam. Mengamati judogi yang dikenakan siswa di depannya sekarang.

“Loe, loe … Aku Agatha ..” Agatha berpikir sejenak, “Aries, namaku Aries kamu tahu, kan?” Dengan terbata-bata Agatha mengubah namanya sesuai masa sekarang.

Larast mendengus geli,“Nggak nanya.” Ia memasukkan jari telunjuk ke hidung, mengupil dengan santai seolah siswa yang terang-terangan memperkenalkan namanya sebagai Aries tidak ada di sana.

Agatha mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi.

“Sudah?” tantang Larast, wajahnya mendekat dengan senyum mengejek.

Dengan cepat, Agatha mendorong kening Larast dengan jarinya.

“Pantas saja dia seperti ini.” Sepasang mata Agatha menelusuri tubuh Larast, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia melihat plester luka di sana-sini, memar yang samar terlihat di balik seragamnya.

Larast menyeringai, salah mengartikan tatapan Agatha. “Dasar mesum!” Tanpa aba-aba, ia melayangkan tendangan ke arah lutut Agatha.

Beruntung, insting seorang kapten Judo menyelamatkannya. Agatha mengangkat kaki, menangkis serangan Larast dengan mudah.

Larast kembali mencondongkan wajahnya, nyaris menempel pada wajah Agatha. Matanya menelusuri setiap inci. Lalu, sebuah kilatan memori terbesit. Tentang Turnamen Judo yang pernah Larast lihat. Sosok yang lincah, kuat, dan tenang di atas matras. Jantungnya berpacu liar. Tidak mungkin, batin nya bergejolak. “Dia... siswa itu?”

“Kau…” Suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.

“Apa?” Agatha mengangkat dagunya.

“Kau yakin, kau Aries?”

“Iya, Aku Aries,” Agatha mendorong kening Larast untuk kedua kalinya, “Jangan terlalu dekat.”

“Apa kamu selalu bersikap seperti ini?”

“Bagaimana jika guru tahu? Kamu merokok di sekolahan … lalu, pikirkan kesehatanmu. Kamu ingin mati muda hanya untuk asap?”

Omelan Agatha membuat jantung Larast berdebar tak terkendali. Sensasi aneh menjalar di sekujur tubuhnya, membuatnya bertindak tanpa berpikir panjang. Ia sedikit berjinjit, mendekatkan bibirnya ke bibir Agatha yang selama ini ia kagumi.

Cup.

Kecupan singkat itu mendarat tanpa peringatan, membuat Agatha membeku di tempatnya.

Matanya membulat karena terkejut, otaknya seolah berhenti berfungsi. Ia tidak menyangka Larast akan melakukan hal seperti ini.

“Kan loe udah diem, minggir!” ujar Larast, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia menyenggol bahu Agatha dan melewatinya, berusaha menjauh secepat mungkin.

Sedangkan Agatha masih terpaku, syok dengan kejadian yang baru saja menimpanya.

Otaknya serasa error, tidak mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Ia hanya bisa menatap punggung Larast yang semakin menjauh.

Begitu Larast menghilang dari pandangannya, Agatha baru tersadar. "Eh ...!"

Cuh!

Cuh!

Cuh!

Agatha menyeka bibirnya dengan kasar, berusaha menghilangkan jejak ciuman Larast yang tanpa permisi.

“Dasar gadis tidak waras!” gerutunya kesal. Tangannya masih terus mengusap-usap bibirnya, seolah tidak rela.

Dia kemudian bergegas kembali ke ruang ganti, melepaskan judogi dan menggantinya dengan seragam sekolah. Pikirannya masih kacau setelah kejadian di gudang dan kecupan tak terduga itu.

“Kemana aja, bro?” Sebuah tepukan di pundaknya membuat Agatha tersentak.

Ia menoleh dan mendapati Reza berdiri di belakangnya. Alisnya mengernyit. Memori tentang perselingkuhan Reza dengan istrinya di masa depan menghantamnya, membuatnya enggan berurusan dengan sahabatnya itu.

Reza memutar bahunya perlahan, meringis kesakitan akibat demonstrasi yang mereka lakukan di gymnasium tadi.

“Ries, emang gue ada salah sama lu?” tanyanya, mencoba mencari tahu penyebab kekesalan Agatha yang dilampiaskan padanya saat latihan tadi.

“Udah, aku mau balik dulu,” jawab Agatha singkat, berusaha menghindari percakapan lebih lanjut.

“Nggak bareng aku?” tanya Reza, heran karena biasanya mereka selalu bersama.

“Nggak,” jawab Agatha tanpa basa-basi, lalu meninggalkan ruang ganti.

Agatha berjalan menyusuri koridor kelas yang mulai sepi, pikirannya berkecamuk.

'Bagaimana bisa ia terjebak kembali ke masa lalu? Dan yang lebih penting, bagaimana caranya ia bisa kembali ke masa depan?'

“Terus, cara baliknya gimana?” gumamnya bingung. “Akh... harus mulai belajar lagi buat kuliah, bikin skripsi... Astaga!” keluhnya frustrasi.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ia tersadar bahwa karena ia kembali ke masa lalu, berarti tragedi kebakaran yang merenggut nyawa ibunya belum terjadi.

Bayangan ibunya muncul di benaknya, membuat langkahnya semakin cepat menuju rumah.

“Aku masih bisa melihat Ibuku,” gumamnya, jantungnya berdebar kencang membayangkan pertemuannya kembali dengan wanita yang sangat ia rindukan.

Rasa bersalah yang selama ini menghantuinya perlahan menghilang.

Agatha berhenti di halte depan sekolah, menunggu bus yang akan membawanya pulang.

Bus tiba, Agatha segera naik. Ia tersenyum, menikmati sensasi duduk di kursi empuk setelah sekian lama.

Perjalanan panjang menuju rumah, salah satu hal yang dirindukan saat sekolah.

Bus mulai melaju, namun teriakan seseorang di jalan membuat Agatha menoleh ke jendela.

“Berhenti!” teriak Larast dengan napas terengah-engah, berusaha mengejar bus yang sudah berjalan.

Namun, karena sudah melewati halte, sepertinya sopir enggan untuk berhenti.

Agatha kembali menutup jendela, mengabaikan Larast. “Gadis payah, ngapain aja dari tadi,” gerutunya kesal.

Namun, rasa penasaran mengalahkan egonya. Agatha membuka kembali jendela dan menoleh ke belakang. Ia melihat Larast yang tampak putus asa, berhenti berlari dan menunduk lesu.

“Sepertinya dia gadis yang bersemangat, kenapa ingin mengakhiri nyawanya hanya karena sakit?”

Sesaat, Agatha merasa iba. Tapi ia segera menepis perasaan itu.

“Besok lagi aku akan cari tahu tentang dia,” gumam Agatha. “Sekarang waktunya pulang dan bertemu Ibuku dulu.” Ia menutup jendela dan bersandar di kursinya.

Flashback (POV LARAST)

“Iya, aku Aries.”

Mendengar itu Larast mati-matian menyembunyikan senyum yang hampir merekah di bibirnya.

Setiap kata yang keluar dari bibir Aries bagaikan gema di telinga Larast, mengusik pikirannya.

“Ini tidak terjadi di masa lalu.”

Cup.

Entah dorongan apa, bibir Larast bergerak sendiri, mendarat di bibir Aries.

“Di kehidupan ini, semuanya akan sesuai keinginanku. Aku ingin mengungkapkan perasaanku.” batin Larast

Melihat ekspresi terkejut di wajah Aries, Larast langsung menarik wajahnya dengan panik.

Rasa gugup yang membuncah di tutupi dengan ucapan kasar. “Kan loe udah diem, minggir!” Dibalik itu Jantungnya berdebar tak karuan, nyaris meledak.

Laras segera berlari, meninggalkan Aries yang mungkin saja memaki di belakangnya.

“Ah, apa yang aku lakukan!” Sesampainya di kelas, Larast memukul kepalanya sendiri. Kilasan bayangan saat mencium Aries terus terlintas, membuatnya kesal karena melakukan hal segila itu.

“Tapi, apa sebenarnya yang membuat dia mencari ku?” Larast mencoba keras memikirkan maksud Aries yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya.

Padahal, di kehidupan masa lalunya, dia dan Aries bahkan tak pernah bertatap muka secara langsung.

“Apa dia juga dari masa depan?”

Sebuah pikiran yang menggelitik membuat Larast buru-buru meraih tas.

“Aku harus mencari tahu.”

Namun, saat Larast tiba di depan kelas Aries, keberadaan siswa yang kini membuatku penasaran itu menghilang. “Akh... kemana dia?” Larast menyusuri koridor, matanya menyapu setiap sudut.

Kemudian, dia melihat Aries berlari keluar dari halaman sekolah. Tanpa pikir panjang, Larast mengejarnya, langkahnya menguat, namun tak mampu mengimbangi kecepatan kaki kapten Judo.

Saat tiba di halte, Larast melihat Aries sudah duduk di dalam bus. Nafasnya tersengal, namun dia kembali berlari sekuat tenaga.

“Berhenti!” teriaknya, suaranya serak.

Namun, bus itu tidak berhenti. Yang dia lihat hanya Aries mencondongkan kepalanya keluar jendela, menatapnya dari kejauhan, sebelum bus itu melaju, membawanya pergi.

Flashback Off.

Cerita ini khayalan Author, jadi sekiranya muter-muter gak ngerti skip aja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!